Tuesday, August 4, 2009

Bab 1

.

Bab1

Pengantar

Para sejarahwan, penafsir Al-Qur’ân dan perawi terkenal sering membuat kesalahan dalam melaporkan suatu peristiwa. Mereka menerima berita-berita sebagaimana disampaikan kepada mereka tanpa menilai mutunya. Mereka tidak... membandingkannya dengan laporan-laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan-laporan tersebut dengan ukuran-ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan hukum alam, tidak juga dengan bantuan renungan dan wawasan sejarah. Mereka lalu tersesat dari kebenaran dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan-kesalahan yang tak dapat dipertahankan. Ibnu Khaldun

P

embaiatan[1] Abû Bakar sebagai khalîfah pertama di Saqîfah Banî Sâ’idah, adalah peristiwa yang berekor panjang. Abû Bakar dan ‘Umar sendiri kemudian mengakuinya sebagai tindakan keliru yang dilakukan secara tergesa-gesa, faltah[2]

Peristiwa ini telah menimbulkan perpecahan pertama dan terbesar yang kelanjutannya terasa sampai di zaman ini.

Naskah-naskah sejarah tradisional, târikh an-naqlî, yang tertera dalam buku-buku sejarah lama, yang beredar dan tersebar luas, telah memungkinkan para ahli membuat rekonstruksi peristiwa besar itu.

Penulis membuat rekonstruksi peristiwa Saqîfah berdasarkan pidato ‘Umar bin Khaththâb dalam khotbah Jum’atn­ya yang terakhir. Khotbah ini didengar banyak orang dan dicatat oleh hampir seluruh penulis sejarah lama dengan isnâd yang leng­kap dan melalui banyak jalur, sehingga pidato ‘Umar ini diterima oleh semua ahli sebagai sumber yang patut dipercaya.

Naskah tertua yang mencatat pidato ‘Umar ini ialah as-Sîrah an Nabawiyah, yakni riwayat hidup Nabî Muhammad saw. karya Ibnu Ishâq, yang sampai kepada kita melalui “revisi” Ibnu Hisyâm. “Celah-celah” pidato ‘Umar ini kemudian diisi dengan sumber lama lainnya, sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa itu dalam satu rangkaian yang terpadu.

Bagi yang dapat membaca dalam bahasa Arab, tersedia banyak buku mengenai peristiwa itu, baik yang ditulis secara khusus, maupun yang terselip dalam rangkaian tulisan lain. Dua buku semacam itu adalah as-Saqîfah oleh Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar dan As-Saqîfah wa’l-Khilâfah oleh ‘Abdul Fattâh ‘Abdul Maqshûd..[3]

Bagi pembaca awam perlu diingatkan, bahwa menulis sejarah tidak sama dengan menulis buku dakwah untuk memperkuat keyakinan yang telah lama dianut.

Penulis sejarah menulis apa adanya; tulisannya dapat berbeda dengan hipotesa atau keyakinannya semula. Dalam menulis suatu peristiwa sejarah ia harus mengumpulkan semua laporan tentang peristiwa tersebut dan harus bertindak sebagai hakim di pengadi­lan yang mengambil keputusan dari keterangan-keterangan para saksi. Hal ini disebabkan karena para penulis sejarah zaman dahulu, terutama pada zaman para sahabat dan tâbi’în[4] sering menyampaikan laporan-laporan yang banyak tentang suatu peristiwa.

Laporan-laporan ini demikian rumit dan kadang-kadang saling bertentangan. Oleh karena itu di beberapa bagian penulis terpaksa memuat laporan itu selengkap-lengkapnya. Sebagai contoh pembaca dapat melihat catatan pada bab ‘Pengepungan Rumah Fâthimah’.

Penulis sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi pelapor suatu peristiwa dan para penyalur yang membentuk rangkaian isnâd. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekelir­uan mereka karena kelemahan-kelemahan manusiawi seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya.

Sejak permulaan abad kedua puluh ini, telah muncul para peneliti dan penulis yang sangat tekun, antara lain yang namanya disebut di atas; namun tulisan-tulisan mereka, dalam bahasa Arab, tidak berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan karena buku-buku sejarah lama telah terlanjur tersebar luas dan melembaga dalam rumusan akidah. Sebuah laporan yang diriwayatkan dalam buku sejarah dikutip ke dalam buku-buku dakwah, seperti mengutip hadis, kemudian dikhotbahkan di masjid-masjid tanpa membanding­kannya dengan laporan-laporan serupa yang lain, dan tidak juga diteliti dengan dasar-dasar metode sejarah.

Pada zaman dulu, ulama adalah manusia dua dimensi. Ia adalah ilmuwan dan sekaligus juga juru dakwah yang mengajak kaum awam mendekati agama; ia meneliti dan mengajar. Lama kelamaan, kedudu­kan seorang ulama makin beralih ke tugas dakwah, dan mengabaikan segi penelitian. Penelitian sejarah di zaman sahabat pun dilupa­kan.

Maka timbullah semboyan yang terkenal: ‘Kita harus membisu terhadap segala yang terjadi di antara sahabat’[5]. Para ulama telah menjadi juru dakwah semata-mata, yang pekerjaannya ialah berdakwah dan mengajarkan agama.

Ditutupnya pintu ijtihâd, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah zaman para Sahabat serta tâbi’în generasi pertama dan kedua. Dan para ulama terus bertaklid pada ijtihâd para imam yang hidup seribu tahun lalu.

Para pembaharu cenderung membangun pikirannya di atas permu­kaan, dan tidak menelusuri khazanah kebudayaan Islam yang kaya, yang merentang dalam kurun waktu yang panjang. Dimensi-dimensi luas yang terkandung dalam Al-Qur’ân, telah dibiarkan membeku dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.

Itulah sebabnya, buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis, tidak lagi mendapatkan pasaran. Membaca buku-buku ini dianggap tidak memberi manfaat, karena pikiran-pikiran baru ini akan membuat dirinya terasing dalam kalan­gannya sendiri dan dari masyarakat yang telah ‘mantap’ dalam keyakinan.

Pada sisi lain, kelemahan dalam segi kepemimpinan membuat para ulama sukar memasarkan ‘pikiran-pikiran baru’-nya. Hal ini dise­babkan tidak adanya lagi kewajiban untuk menaati para ulama mujtahid yang kompeten, yang masih hidup, sebagai Imâm.

Buku kecil ini sebenarnya hanyalah kumpulan kutipan dari para sejarahwan awal dan bukanlah ‘barang baru’, kecuali bagi yang tidak membaca buku-buku sejenis dalam bahasa Arab. Bagi mereka, membaca buku ini akan menimbulkan unek-unek, karena mungkin melihat adanya sumber lain yang tidak dikutip penulis.

Misalnya, penulis sangat kritis terhadap hadis ramalan politik, hadis dan riwayat dari Saif bin ‘Umar Tamimi dengan cerita ‘Abdullâh bin Saba’-nya, hadis dari Abû Hurairah serta hadis keutamaan, fadhâ’il, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan peristiwa Saqî­fah. Karena itu penulis perlu membicarakan,walaupun sepintas lalu,dalam pengantar ini, satu demi satu.

Hadis Sebagai Sumber Sejarah

Hadis Shahîh Belum Tentu Shahîh

Sumber sejarah kita adalah Al-Qur’ân, hadis dan naskah sejarah lainnya. Mengenai Al-Qur’ân, tidak ada beda pendapat. Al-Qur’ân hanya satu. Tetapi mengenai hadis kita harus memilih hadis shahîh. Namun haruslah diingat bahwa hadis yang ‘shahîh’ belum tentu shahîh bila dihubungkan dengan sejarah atau ayat Al-Qur’ân. Misalnya hadis Abû Hurairah mengenai mizwâd, kantong mukjizat yang diikatkan di pinggangnya dan memberi makan pasukan-pasukan dan dirinya sendiri selama dua puluh tahun. Atau hadis Abû Hurairah tentang Âdam yang diciptakan seperti bentuk Allâh SWT dengan panjang enam puluh hasta, yang akan dibicarakan di bagian lain pengantar ini. Atau hadis yang bertentangan satu dengan yang lain, seperti, riwayat ‘Â’isyah bahwa Rasûl Allâh wafat sambil bersandar di dada ‘Â’isyah dan hadis Ummu Salamah bahwa Rasûl meninggal tatkala sedang bersandar di dada ‘Alî bin Abî Thâlib.

Di kemudian hari muncul hadis-hadis palsu yang jumlahnya sangat mencengangkan seperti ‘sinyalemen’ Rasûl Allâh saw.: ‘Sejumlah besar hadis palsu akan diceritakan atas namaku sesudah aku wafat, dan barangsiapa berbicara bohong terhadapku, ia akan dimasukkan ke dalam neraka’.[6]

H. Fuad Hashem[7] memberi gambaran menarik “..Khalîfah Abû Bakar, menurut sejarawan al-Dzahabî, dilaporkan membakar kumpulan lima ratus hadis, hanya sehari setelah ia menyerahkannya kepada putrinya ‘Â’isyah. ‘Saya menulis menurut tanggapan saya,’ kata Abû Bakar, ‘namun bisa jadi ada hal yang tidak persis dengan yang diutamakan Nabî.’ Kalau saja Abû Bakar hidup sampai dua ratus tahun kemudian dan menyaksikan betapa beraninya orang mengadakan jutaan hadis yang kiranya jauh dari ‘persis’, mungkin sekali ia menangis, seperti yang dilaku­kannya banyak kali.

Penggantinya khalîfah ‘Umar, juga menolak menulis serupa karena ini tidak ada presedennya. Di depan jemaah Muslim, ia berkata: ‘Saya sedang menimbang menuliskan hadis Nabî,’ katan­ya. ‘Tetapi saya ragu karena teringat kaum Ahlu’l-Kitâb yang mendului kaum Muslim. Mereka menuliskan kitab selain wahyu; akibatnya, mereka akhirnya malahan meninggalkan kitab sucinya dan berpegang pada kumpulan hadis itu saja.’ Semua ini menunda pencatatan keterangan mengenai kehidupan awal Islam. ...

“Tidak kita temui ulama memberi lebih banyak kepalsuan dari yang mereka lakukan atas hadis,” kata Muslim, pengumpul hadis tersohor. Banyak duri khurâfât yang kalau dicabut, akan mengeluarkan banyak darah dan membikin sekujur tubuh merasa demam; sudah terlalu dalam, terlalu lama tertanam. Di zaman Dinasti ‘Abbâsiyah, semua keutamaan ‘Umayyah dibilas... Peranan ‘Abbâs, paman Rasûl, dibenahi; ia, selagi kafir, dijadikan “pahlawan” dengan mengawal Muhammad dalam bai’at Aqabah, atau ia sebenarnya telah lama masuk Islam dan dipaksa oleh kaum Quraisy untuk ikut berperang melawan Islam dalam Perang Badr. Semua untuk memberikan legitimasi atas tahta.

Tetapi kedua dinasti bermusuhan itu sepakat mengenai satu hal: mendiskreditkan para pengikut ‘Alî dan berkepentingan agar Abû Thâlib mati kafir. Ia ayah ‘Alî dan dengan begitu barangkali anak cucunya kurang berhak atas jabatan pimpinan umat Islam yang diperebutkan. Penulis zaman itu pun sedikit banyak harus memperhatikan pesanan dari istana, kalau masih mau menulis lagi. Dan mereka terpaksa menulis apa yang mereka tulis...

Dua ratus tahun sepeninggal Rasûl, jumlah hadis telah mencapai jutaan dan para ulama yang memburu dengan kuda dari Spanyol sampai India mulai heran karena persediaan hadis sudah jauh melampaui permin­taan. Di situ sudah ditampung sabda Yesus, ungkapan Yunani, pepatah Persia dan aneka sisipan dan buatan yang sukar ditelusuri asal-muasalnya. Barulah ulama memikirkan cara mengontrol: memer­iksa rangkaian penutur hadis ini (isnâd) dengan berbagai metode untuk menguji kebenarannya. Bukhârî dan Muslim serta beberapa lainnya menyortir secara ketat semua itu, lalu menggolongkannya menurut tingkat dan mutu kebenarannya , tugas yang hampir mustahil dilakukan manusia. Bagaimanapun, kerusakan telah terjadi. Sepanjang menyangkut catatan mengenai biografi Muhammad, mungkin sedikit saja motif jahat untuk mego­tori sisa hidup dan perjuangannya. Juga kita dapat mencek dan menimbang lalu menyimpulkan “motif” kepentingan politik dari hadis mengenai selangkah atau sepatah kata Nabî, walaupun ini bukan mudah: sebab orang dulu pun pandai seperti kita untuk membuat motif itu mulus, luput dari utikan dan dengan mudahnya menjerat kita...

Motif itu hampir tak terbilang jumlahnya: ekonomi, kehormatan, politik atau sekadar kesadaran bahwa nama mereka masih akan dicatat dan disebut sampai detik-detik menjelang kiamatnya alam jagad ini, sebab Islam agama universal. Maka siapa pengikut pertama, siapa yang menjabat tangan Muhammad lebih dulu dalam ikrar Aqabah, siapa yang tidak hijrah, semua diperebutkan oleh anak keturunan, murid atau malahan tetangga mereka. Ahmad Amîn mengutip Ibnu Urafah, mengatakan bahwa ‘kebanyakan hadis yang mengutamakan para sahabat dan mutu sahabat Rasûl, dipalsukan selama periode Dinasti ‘Umayyah.’ “ Demikian H. Fuad Hashem.

Hati-hati Terhadap 700 Pembuat Hadis Aspal

Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut.Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikum­pulkan al-Bukhârî, ia hanya memilih 2761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis[8]. Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memilih 4.000 (empat ribu).[9] Abû Dâwud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis[10]. Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis.[11]

Bukhârî (194-255 H., 810-869 M.), Muslim (204-261 H., 819-875 M.), Tirmidzî (209-279 H., 824-892 M.), Nasâ’î (214-303 H. , 829-915 M.), Abû Dâwud (203-275 H., 818-888 M.) dan Ibnu Mâjah (209-295 H., 824-908 M.) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadis-hadis yang menurut mereka adalah benar, shahîh. Hadis-hadis ini telah terhimpun dalam enam buku shahîh, ash-shihâh as-sittah, dengan judul kitab masing-masing menurut nama mereka, Shahîh Bukhârî, Shahîh Muslim, Shahîh (Sunan) Ibnu Mâjah, Shahîh (Sunan) Abû Dâwud, Shahîh (Jâmi’) Tirmidzî dan Shahîh (Sunan) Nasâ’î.[12]

Tetapi, bila kita baca penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl, maka masih banyak hadis shahîh ini akan gugur, karena ternyata banyak di antara pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu.

Al-Amînî, misalnya, telah mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong , yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl Sunnî , yang selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan selama ini dianggap shahîh dan tertera dalam buku shahîh enam. Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri, beribu-ribu hadis palsu.

Dan terdapat pula para pembo­hong zuhud[13], yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan berbohong seharian. Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasûl Allâh saw. yang diancam api neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (‘alâ) Rasûl Allâh saw. tetapi untuk () Rasûl Allâh saw. Maksudnya, mereka ingin membuat agama Islam lebih bagus.[14]

Tidak mungkin mengutip semua. Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi yang ditulis Amînî.[15]

“Muqâtil bin Sulaimân al-Bakhî, meninggal tahun 150 H.-767 M. Ia adalah pembohong, dajjal dan pemalsu hadis. Nasâ’î memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis terhadap Rasûl Allâh saw.. Ia berkata terang-teran­gan kepada khalîfah Abû Ja’far al-Manshûr: ‘Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasûl untuk­mu’. Ia lalu melakukannya. Dan ia berkata kepada khalîfah al-Mahdî dari Banû ‘Abbâs: ‘Bila Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) ‘Abbâs’. Al-Mahdî menjawab: ‘Aku tidak menghendakinya!’. Abû Bakar al-Khatîb, Târîkh Baghdâd, jilid 13, hlm. 168; ‘Alâ’udîn Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l-’Ummâl, jilid 5, hlm. 160; Syamsuddîn adz-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl, jilid 3, hlm. 196; al-Hâfizh Ibnu Hajar al-’Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, jilid 10, hlm. 284; Jalâluddîn as-Suyûthî, al-La’âlî’ul Mashnû’ah, jilid 1, hlm. 168, jilid 2, hlm. 60, 122.”

Para pembohong ini bukanlah orang bodoh. Mereka mengetahui sifat-sifat dan cara berbicara para sahabat seperti ‘Umar, Abû Bakar, ‘Â’isyah dan lain-lain. Mereka juga memakai nama para tâbi’în seperti ‘Urwah bin Zubair sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad dipilih dari orang-orang yang dianggap dapat diper­caya.. Hadis-hadis ini disusun dengan rapih, kadang-kadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi kesalahan terjadi tentu saja karena namanya tercantum di dalam rangkaian perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak hadis-hadis tersebut.[16].

Demikian pula, misalnya hadis-hadis yang menggunakan kata-kata ‘mencerca sahabat’ tidak mungkin diucapkan Rasûl, karena kata-kata tersebut mulai diucapkan di zaman Mu’awiah, lama sesudah Rasûl wafat. Seperti kata-kata Rasûl “Barang siapa mencerca sahabat-sahabatku maka ia telah mencercaku dan barang siapa mencercaku maka ia telah mencerca Allâh dan mereka akan dilem­parkan ke api neraka” yang banyak jumlahnya[17].

Juga hadis-hadis berupa perintah Rasûl agar secara lansung atau tidak lansung meneladani atau mengikuti seluruh sahabat, seperti ‘Para sahabatku laksana bintang-bintang, siapa saja yang kamu ikuti, pasti akan mendapat petunjuk’ atau ‘Para sahabatku adalah penye­lamat umatku’, tidaklah historis sifatnya.

Disamping perintah ini menjadi janggal, karena pendengarnya sendiri adalah sahabat, sehingga menggambarkan perintah agar para sahabat meneladani diri mereka sendiri, sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan Banî Umayyah, cerca dan pelaknatan terhadap ‘Ali bin Abî Thâlib serta keluarga dan pengikutnya, selama itu, tidak ada sahabat atau tabi’in yang menyampaikan hadis ini untuk menghenti­kan perbuatan tercela yang dilakukan di atas mimbar masjid di seluruh negeri tersebut. Lagi pula di samping fakta sejarah, al-Qur’ân dan hadis telah menolak keadilan seluruh sahabat.[18]

Atau hadis-hadis bahwa para khalîfah diciptakan atau berasal dari nûr (sinar) yang banyak jumlahnya, sebab menurut Al-Qur’ân manu­sia berasal dari Âdam dan Âdam diciptakan dari tanah dan tidak mungkin orang yang tidak menduduki jabatan dibuat dari tanah sedang yang ‘berhasil’ menjadi khalîfah dibikin dari nûr.

Para ahli telah mengumpul para pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan.

Abû Sa’îd Abân bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300.

Abû ‘Alî Ahmad al-Jubarî 10.000

Ahmad bin Muhammad al-Qays 3.000

Ahmad bin Muhammad Maruzî 10.000

Shalih bin Muhammad al-Qairathî 10.000

dan banyak sekali yang lain. Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnâd, Anda harus hati-hati.

Ada pula pembohong yang menulis sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin ‘Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama ‘Abdullâh bin Saba’’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syî’ah. Dan ia juga memasukkan 150[19] sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis di zaman khalîfah Hârûn al-Rasyîd. Bukunya telah menim­bulkan demikian banyak bencana yang menimpa kaum Syî’ah.

Bila membaca, misalnya, kitab sejarah Thabarî dan nama Saif bin ‘Umar berada dalam rangkaian isnâd, maka berita tersebut harus diperiksa dengan teliti.

Hati-hati Terhadap 150 Sahabat Fiktif

Suatu rangkaian isnâd yang lengkap, dengan penyalur-penyalur yang indentitas orangnya tidak dapat dibuktikan sebagai cacat, belum lagi menjamin kebenaran suatu berita. Hal ini disebabkan adanya sahabat-sahabat fiktif sehingga memerlukan penelitian yang lebih cermat terhadap para sahabat.

Murtadha al-’Askarî, misalnya, telah berhasil menemukan 150 nama sahabat Nabî yang fiktif, yang tidak pernah ada dalam kehidupan nyata, yang telah dimasukkan oleh penulis sejarah yang bernama Saif bin ‘Umar, pencipta pela­kon fiktif ‘Abdullâh bin Saba’, sebagai saksi-saksi pelapor. ‘Pen­ulis sejarah’ ini telah memasukkan berbagai kota dan sungai yang kenyataannya tidak pernah ada.[20]

Di bagian lain banyak ulama berpendapat bahwa hadis yang disam­paikan seorang pembohong harus ditolak tetapi laporan sejarah yang ditulisnya ‘harus’ diterima. Hal ini, misalnya terjadi pada hadis dari Saif bin ‘Umar yang menulis buku ar-Ridda dan al-Futûh yang telah ditolak oleh banyak ulama karena dianggap pembohong tetapi ceritanya sendiri tentang tokoh fiktif ‘Abdullâh bin Saba’ , suatu pribadi yang tidak dikenal oleh semua penulis lain , selama ini diterima sebagai fakta sejarah. Tetapi menur­ut hemat saya, kedua laporannya, hadis maupun bukan hadis harus dipandang dengan kritis. Kalau tentang Rasûl Allâh saw. saja ia mau berbohong apalagi tentang orang lain.

Bukhârî Tidak Suka Imâm az-Zakî al-’Askarî

Kesulitan lain adalah kita kekurangan berita langsung dari sumber ‘Alî bin Abî Thâlib dan anak cucunya bila berhadapan dengan peristiwa di mana mereka juga terlibat, seperti bagaimana suasana dan perasaan anak-anak Fâthimah tatkala rumah Fâthimah diserbu oleh pasukan Abû Bakar[21], atau apa kegiatan ‘Alî selama hampir 24 tahun[22] kekhalifa­han Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân. Bagaimana hukum fiqih berkem­bang dalam keluarga mereka? Bukankah ‘Alî adalah pintu ilmu menurut hadis Rasûl? Sebabnya adalah kurangnya perhatian sejarah­wan Sunnî terhadap sumber riwayat dari ‘Alî, Fâthimah, Hasan, Husain dan anak cucunya. Bukhârî misalnya tidak mau mewawan­carai Imâm az-Zakî al-’Askarî ( yang sezaman dengannya, 232-260 H; 840-870 H.), cucu Rasûl Allâh saw. dan sedikit pun juga tidak berhujah dengan Imâm Ja’far Shâdiq, Imâm al-Kâzhim, Imâm ar-Ridhâ, Imâm al-Jawâd dan tidak dari al-Hasan bin al-Hasan, Zaid bin ‘Alî bin al-Husain, Yahyâ bin Zaid, an-Nafsu az-Zakîyah, ‘Ibrâhîm bin ‘Abdullâh, Muhammad bin Qâsim bin ‘Alî (sezaman dengan Bukhârî) dan tidak dari keturunan ahlu’l-bait mana pun. Tetapi Bukhârî misalnya meriwayatkan dari seribu dua ratus kaum Khawârij yang memusuhi ahlu’l-bait, dan tokoh-tokoh yang terkenal Jâhil terhadap keluarga Rasûl Allâh saw.[23]

Hati-hati Terhadap Sejarah yang Telah Baku

‘Ali dan Zubair menyembelih ratusan orang tak berdaya?

Rasûl menggali kubur mereka di Madinah?

Dalam hampir semua buku sejarah Rasûl, diceriterakan tentang pembunuhan Banî Quraizhah, klan Yahudi di Madinah, oleh kaum muslimin secara berdarah dingin.

Cerita yang sudah dianggap baku dan memalukan ini, bila dihadap­kan dengan konteks sejarah sangat diragukan.

Menurut Ibnu Ishâq, setelah dikepung selama 25 hari (menurut Ibnu Sa’d 15 hari) oleh pasukan kaum Muslimîn yang berjumlah 3.000, mereka menyerah dan meminta sebagai pemimpin sekutu mereka dari Banû Aws menjadi hakam untuk menentukan hukuman mereka. Dan Sa’d menetapkan hukuman mati terhadap semua prajurit (muqâtil) yang berjumlah antara 600 sampai 900 (Ibnu Ishâq), harta dirampas dan keluarga mereka ditawan. Menurut Ibnu Sa’d dan Wâqidî, Banû Quraizhah menyerahkan keputusan kepada Rasûl dan Rasûl menunjuk Sa’d bin Mu’âdz sebagai hakam. Tapi menurut Ibnu Sa’d, Banû Quraizhah lansung menyerahkan keputusan pada Sa’d. Bukhârî menyatakan bahwa keputu­san diserahkan kepada Sa’d, dan Muslim menyatakan keputusan diserahkan kepada Rasûl dan Rasûl menyerahkan pada Sa’d.
Kemudian Rasûl menggali liang-liang kubur di tengah pasar
kota Madînah dan ‘Alî serta Zubair memenggal kepala mereka. Bila untuk tiap prajurit terdapat enam anggota keluarga lain, maka jumlah mereka adalah antara 3.600 sampai 5.400 orang. Mereka dikumpul di rumah Bint Hârits dari Banû Najjâr dan diikat dengan tali. Sekarang timbul pertanyaan.
Di mana mereka mendapatkan tali untuk mengikat orang sebanyak itu dan berapa besar rumah Bint Hârits? Bagaimana mereka makan dan bagaimana sanitasi mereka? Sebab pada masa itu, menurut ‘Â’isyah, tidak ada kakus dan mereka harus ke luar malam hari untuk itu. Apakah mungkin mereka tidak berusaha melarikan diri dan kelihatan pasrah saja? Bagaimana Rasûl menggali kuburan untuk 600 atau 900 mayat di batu lahar yang demikian keras seperti di Madînah. Bagaimana perasaan ‘Alî dan Zubair yang membunuh masing-masing antara 300 sampai 450 orang? Berapa banyak orang yang menyaksi­kan? ‘Alî dan Zubair terkenal sebagai pemberani, tetapi membunuh sekian banyak orang ‘berdarah dingin’, shabran, pasti akan membekas pada jiwa mereka. Dan ‘Alî serta Zubair maupun banyak sahabat yang pasti turut melihat peristiwa luar biasa ini, suatu ketika, akan menye­butnya. Namun dalam Nahju’l-Balâghah atau tulisan lain, tidak kita temukan ‘Alî menyinggung peristiwa tersebut. Cerita itu seperti hilang begitu saja di pasar Madînah.[24]

Hampir tidak mungkin menulis satu periode sejarah tanpa memahami seluruh sejarah Islam. Misalnya, tatkala membaca suatu peristiwa, opini seseorang sering terpengaruh oleh komentar penulis peristi­wa tersebut , boleh jadi ia juga terpengaruh oleh mazhab yang dianutnya , misalnya oleh keutamaan seorang sahabat yang terlibat dalam peristiwa terse­but, sehingga kita cenderung untuk ‘berpihak’ kepadanya. Tidak kecuali peristiwa Saqîfah.

Menjatuhkan Khalîfah ‘Utsmân

Sifat Jâhiliyah di Kalangan Para Sahabat

H. Fuad Hashem dalam bukunya Sîrah Muhammad Rasûlullâh[25] melukiskan sifat jahiliah itu dengan jelas. Ia mengatakan:

Arti kata ‘jâhiliyah’ yang dimaksud Rasûl tidak ada sangkut pautnya dengan kata ‘zaman’ atau ‘periode’. Kalau kedatangan Islam itu memberantas kebiasaan jahiliah, itu tidak lantas berar­ti bahwa babakan sejarah menjadi ‘Zaman Jahiliah’ dan ‘Zaman Islam’, sehingga implikasinya adalah bahwa ‘jâhiliyah’ adalah periode yang telah lewat, sudah kaduluwarsa, sudah mati dikubur ajaran Islam. Pengertian yang menyamakan zaman jahiliah sebagai ‘Zaman Kebodohan’ (Ignorance) mungkin suatu usaha untuk ikut membonceng pengertian agama Kristen bahwa jahiliah itu adalah ‘zaman sebelum datangnya Nabî’, seperti tercantum dalam Kitâb Injil (Kisah Rasûl-Rasûl 17:30), korban pengaruh Kristen seperti kata teolog Mikaelis. Memang banyak pengaruh itu yang disadari, mis­alnya dibuangnya bagian awal dari Sîrah Ibnu Ishâq. Tetapi ini hanya satu dari sekian aspirasi Kristen yang telah merasuk ke dalam karya literer Islam dan kalau tidak dicabut, duri ini akan tetap menyakiti daging.

Jahiliah itu benar-benar lepas dari pengertian zaman atau peri­ode. Ini jelas terlihat dari kutipan ayat Al-Qur’ân: ‘Ketika orang kafir membangkitkan dalam dirinya kesombongan , kesom­bongan jahiliah , maka Allâh menurunkan ketenangan atas Rasûl dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allâh sadar akan segalanya’.[26] Ayat ini jelas mempertentangkan jahiliah dengan ketenangan (sâkinah), sifat menahan diri dan takwa...arti kata pokok jahil (jhl) bukan­lah lawan dari ‘ilm (kepintaran) melainkan hilm yang artinya sifat menahan diri sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’ân.

Maka perwujudan sifat jahiliah itu adalah antara lain rasa ke­congkakan suku, semangat balas dendam yang tak berkesudahan, semangat kasar dan kejam yang keluar dari sikap nafsu tak terken­dali dan perbuatan yang bertentangan dengan takwa. Ini bisa saja terjadi dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim.

Sebagai ilustrasi kita teliti tanggapan Rasûl dalam peristiwa Khâlid bin Walîd, yang terjadi sekitar pertengahan Januari 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibnu Ishâq bercerita[27]: ‘Rasûl mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam Islam: beliau tidak memerintahkan mereka untuk bertempur. Di antara yang dikirim adalah Khâlid bin Walîd yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar perbukitan Makkah sebagai misionaris; ia tidak memerin­tahkan mereka bertempur’.

Mulanya klan Jadzimah, penghuni wilayah itu ragu, tetapi Khâlid mengatakan: ‘Letakkan senjata karena setiap orang telah menerima Islam’. Ada pertukaran kata karena curiga akan Khâlid, tetapi seorang anggota suku itu berkata: ‘Apakah Anda akan menumpahkan darah kami? Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata. Perang telah usai dan semua orang aman’. Begitu mereka meletakkan senjata, Khâlid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Ketika berita ini sampai kepada Rasûl, ia menyuruh ‘Alî ke sana dan menyelidiki hal itu dan ‘memerintahkan agar menghapus semua praktek jahiliah’. ‘Alî berangkat membawa uang, yang dipinjam Rasûl dari beberapa saudagar Makkah untuk membayar tebusan darah dan kerugian lain, termasuk sebuah wadah makan anjing yang rusak. Ketika semua lunas dan masih ada uang sisa, ‘Alî menanyakan apakah masih ada yang belum dihitung; mereka menjawab tidak. ‘Alî memberikan semua sisa uang sebagai hadiah, atas nama Rasûl. Ketika ‘Alî kembali melapor, Rasûl yang sedang berada di Ka’bah, menghadap Kiblat dan menengadahkan tangannya tinggi ke atas sampai ketiaknya tampak, seraya berseru: ‘Ya Allâh! Saya tak bersalah atas apa yang dilakukan Khâlid’, sampai tiga kali. ‘Abdurrahmân bin ‘Auf mengatakan kepada Khâlid: ‘Anda telah melakukan perbuatan jahiliah di dalam Islam’.. Demikian F. Hashem.[28]

Khâlid bin Walîd adalah panglima perang yang terpuji, tetapi sikap jahiliah yang merasuk ke dalam jiwanya tidak bisa segera hilang.

Ia dan asistennya Dhirâr bin Azwar setelah jadi Muslim tetap minum minuman keras, syârib al-khumûr, berzina dan membuat maksiat, shâhib al-fujûr.[29]

Orang mengetahui dendam Khâlid pada keluarga Banû Jadzîmah sebelum Islam. Terlihat jelas bahwa dendam pribadi di kalangan kaum Quraisy sangat kuat dan berlansung lama seperti sering dikatakan ‘Umar bin Khaththâb. Perintah Rasûl Allâh kepada ‘Alî untuk menyelesaikan masalah Banû Jadzîmah agakn­ya membekas pada Khâlid bin Walîd.

Tatkala ia berada di bawah komando ‘Alî berperang melawan Banû Zubaidah di Yaman, ia mengirim surat kepada Rasûl Allâh melalui Buraidah, yang mengadukan tindakan ‘Alî mengambil seorang tawanan untuk dirinya sendiri. Wajah Rasûl berubah karena marah dan Buraidah memohon maaf kepada Rasûl dan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Rasûl Allâh lalu bersabda: ‘Janganlah kamu mencela ‘Alî, sebab dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku’. Lalu beliau mengulangi lagi: ‘Dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku’.[30] Dalam versi yang sedikit berbeda Nasâ’î meriwayatkan bahwa Rasûl Allâh bersabda: ‘Hai Buraidah, jangan kamu coba mempengaru­hiku membenci ‘Alî, karena ‘Alî adalah sama denganku dan aku sama dengan ‘Alî. Dan dia adalah walimu sesudahku’[31]. Ia adalah orang perta­ma sesudah ‘Umar yang dicari Abû Bakar untuk penyer­buan ke rumah ‘Alî dan Fâthimah, setelah Rasûl wafat.

Dia ditunjuk sebagai pemimpin pasukan memerangi ‘kaum pembang­kang’ yang tidak mengirim zakat ke pusat pemerintahan pada zaman khalîfah Abû Bakar. Di antara ulahnya adalah membu­nuh seorang sahabat pengumpul zakat yang diangkat Rasûl, secara berdarah dingin, shabran, yang bernama Mâlik bin Nuwairah dan sekaligus meniduri istri Mâlik yang terkenal cantik, pada malam itu juga. Cerita ini sangat terkenal dalam sejarah dan jadi topik perdebatan hukum fiqih.[32]

Tatkala Abû Bakar mengingatkannya akan kebiasaannya ‘main perempuan’ dan dosanya membunuh 1100 (seribu seratus) kaum Muslimîn secara berdarah dingin, ia hanya bersungut dan mengatakan bahwa ‘Umarlah yang menulis surat itu’.[33]

‘Umar Buka Jalan Bagi Banû ‘Umayyah

Sepeninggal Rasûl, dari empat khalîfah yang lurus tiga di antar­anya dibunuh tatkala sedang dalam tugas, yaitu ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî. Yang menarik adalah ramalan ‘Umar bin Khaththâb bahwa ‘Utsmân akan dibunuh karena membuat pemerin­tahan yang nepotis seperti yang dikatakannya.

‘Umar seperti melihat bahaya munculnya sifat-sifat jahiliah ini sehingga tatkala ia baru ditusuk oleh Abû Lu’lu’ah dan mengetahui bahwa ia akan meninggal pada tahun 24 H. - 645 M. , ia memanggil keenam anggota Syûrâ yang ia pilih sendiri.

‘Umar berkata: ‘Sesungguhnya Rasûl Allâh telah wafat dan ia rida akan enam tokoh Quraisy: ‘Alî, ‘Utsmân, Thalhah, Zubair, Sa’d dan ‘Abdurrahmân bin ‘Auf!’

Kepada Thalhah bin ‘Ubaidillâh ia berkata: ‘Boleh saya bicara atau tidak!’.

Thalhah: ‘Bicaralah!’.

‘Umar: ‘Engkau belum pernah berbicara baik sedikit pun juga. Aku ingat sejak jarimu putus pada perang Uhud, orang bercerita tentang kesombonganmu, dan sesaat sebelum Rasûl Allâh wafat, ia marah kepadamu[34] karena kata-kata yang engkau keluarkan sehingga turun ayat hijâb...Bukankah engkau telah berkata: “Bila Nabî saw. wafat aku akan menikahi jandanya?” Bukankah Allâh SWT lebih berhak terhadap wanita sepupu kita, yang menjadi istrinya, dari diri kita sendiri, sehingga Allâh SWT menurunkan ayat: ‘Tiadalah pantas bagi kamu untuk mengganggu Rasûl Allâh, atau menikahi janda-jandanya sesudah ia wafat. Sungguh yang demikian itu suatu dosa besar menurut Allâh’[35]. Di bagian lain: ‘Bila engkau jadi khalî­fah, engkau akan pasang cincin kekhalifahan di jari kelingking istrimu’. Demikian kata-kata ‘Umar terhadap Thalhah. Seperti diketahui ayat ini turun berkenaan dengan Thalhah yang mengatakan: ‘Muhammad telah membuat pemisah antara kami dan putri-putri paman kami dan telah mengawini para wanita kami. Bila sesuatu terjadi padanya maka pasti kami akan mengawini jandanya’. Dan di bagian lain: ‘Bila Rasûl Allâh saw. wafat akan aku kawini ‘Â’isyah karena dia adalah sepupuku’. Dan berita ini sampai kepada Rasûl Allâh saw.. Rasûl merasa terganggu dan turunlah ayat hijâb’.[36]

Kemudian kepada Zubair, ‘Umar berkata:

‘Dan engkau, ya Zubair, engkau selalu gelisah dan resah, bila engkau senang engkau Mu’min, bila marah, engkau jadi kafir, satu hari engkau seperti manusia dan pada hari lain seperti setan. Dan andaikata engkau jadi khalîfah, engkau akan tersesat dalam peper­angan. Bisakah engkau bayangkan, bila engkau jadi khalîfah? Aku ingin tahu apa yang akan terjadi pada umat pada hari engkau jadi manusia dan apa yang akan terjadi pada mereka tatkala engkau jadi setan, yaitu tatkala engkau marah. Dan Allâh tidak akan menyerah­kan kepadamu urusan umat ini selama engkau punya sifat ini’.[37] Di bagian lain: ‘Dan engkau ya Zubair, demi Allâh, hatimu tidak pernah tenang siang maupun malam, dan selalu berwatak kasar sekasar-kasarnya, jilfan jâfian’.[38]

Bersama ‘Â’isyah,Thalhah dan Zubair setelah membunuh ‘Utsmân memerangi ‘Alî dan menyebabkan paling sedikit 20.000 orang meninggal dalam Perang Jamal. Dan selama puluhan tahun menyusul, beribu-ribu kepala yang dipancung, banyak tangan dan kaki yang dipotong, mata yang dicungkil dengan mengatasnamakan menuntut darah ‘Utsmân sebagaimana akan kita lihat menyusul ini.

Kepada ‘Utsmân, ‘Umar berkata: ‘Aku kira kaum Quraisy akan menunjukmu untuk jabatan ini karena begitu besar cinta mereka kepadamu dan engkau akan mengambil Banû ‘Umayyah dan Banû Abî Mu’aith untuk memerin­tah umat. Engkau akan melindungi mereka dan membagi-bagikan uang baitul mâl kepada mereka dan orang-orang akan membunuhmu, menyem­belihmu di tempat tidur’.[39]

Atau menurut riwayat dari Ibnu ‘Abbâs yang didengarnya sendiri dari ‘Umar: ‘Andaikata aku menyerahkan kekhalifahan kepada ‘Utsmân ia akan mengambil Banû Abî Mu’aith untuk memerintah umat. Bila ia melakukannya mereka akan membunuhnya’.[40]

Di bagian lain, dalam lafal Imâm Abû Hanîfah: ‘Andaikata aku menyerahkan kekhalifahan kepada ‘Utsmân, ia akan mengambil keluarga Abî Mu’aith untuk memerintah umat, demi Allâh andaikata aku melakukannya, ia akan melakukannya, dan mereka akhirnya akan memotong kepalan­ya’.[41] Atau di bagian lain: ‘’Umar berwasiat kepada ‘Utsmân dengan kata-kata: ‘Bila aku menyerahkan urusan ini kepadamu maka bertakwalah kepada Allâh dan janganlah mengambil keluarga Banû Abî Mu’aith untuk memerintah umat’.[42]

Khalîfah ‘Utsmân yang Dituduh Nepotis

Mari kita lihat ‘ramalan’ ‘Umar bin Khaththâb. Tatkala ‘Alî menolak mengikuti peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan Abû Bakar dan ‘Umar, dalam pertemuan anggota Syûrâ, ‘Utsmân justru sebaliknya. Ia berjanji menaati peraturan dan keputusan Abû Bakar dan ‘Umar.[43]

Ia menjadi khalîfah tanggal 1 Muharam tahun 24 H pada umur 79 tahun dan meninggal dibunuh tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 H. , 17 Juni 656 M..

Pemerintahannya dianggap nepotis oleh banyak kalangan. Misalnya, ia mengangkat anggota keluarganya yang bernama Marwân anak Hakam Ibnu ‘Abi’l-’Âsh yang telah diusir Rasûl saw. dari Madînah karena telah bertindak sebagai mata-mata musuh. ‘Utsmân membolehkan ia kembali dan mengangkatnya menjadi Sekretaris Negara. Ia memper­luas wilayah kekuasaan Mu’âwiyah, yang mula-mula hanya kota Damaskus, sekarang ditambah dengan Palestina, Yordania dan Liba­non. Ia memecat gubernur-gubernur yang ditunjuk ‘Umar dan meng­gantinya dengan keluarganya yang Thulaqâ’[44], ada di antaranya yang pernah murtad dan disuruh bunuh oleh Rasûl, dilaknat Rasûl, penghina Rasûl dan pemabuk. Ia mengganti gubernur Kûfah Sa’d bin Abî Waqqâsh dengan Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’aith, saudara seibu dengannya. Walîd disebut sebagai munafik dalam Al-Qur’ân.

‘Alî, Thalhah dan Zubair, tatkala ‘Utsmân mengangkat Walîd bin ‘Uqbah jadi gubernur Kûfah, menegur ‘Utsmân: ‘Bukankah ‘Umar telah mewasiatkan kepadamu agar jangan sekali-kali mengang­kat keluarga Abî Mu’aith dan Banû ‘Umayyah untuk memerintah umat? Dan ‘Utsmân tidak menjawab sama sekali’.[45]

Walîd adalah seorang pemabuk dan penghambur uang negara. ‘Utsmân juga mengganti guber­nur Mesir ‘Amr bin ‘Âsh dengan ‘Abdullâh bin Sa’îd bin Sarh, seorang yang pernah disuruh bunuh Rasûl saw. karena menghujat Rasûl. Di Bashrah ia mengangkat ‘Abdullâh bin Amîr, seorang yang terkenal sebagai munafik.

‘Utsmân juga dituduh telah menghambur-hamburkan uang negara kepada keluarga dan para gubernur Banû ‘Umayyah’ yaitu orang-orang yang disebut oleh para sejarahwan sebagai tak bermor­al (fujûr), pemabok (shâhibu’l-khumûr), tersesat (fâsiq), malah terlaknat oleh Rasûl saw. (la’în) atau tiada berguna (‘abats). Ia menolak kritik-kritik para sahabat yang terkenal jujur. Malah ia membiarkan pegawainya memukul saksi seperti ‘Abdullâh bin Mas’ûd, pemegang baitul mâl di Kûfah se­hingga menimbulkan kemarahan Banû Hudzail. Ia juga membiarkan pemukulan ‘Ammâr bin Yâsir sehingga mematahkan rusuknya dan menimbulkan kemarahan Banû Makhzûm dan Banû Zuhrah. Ia juga menulis surat kepada penguasa di Mesir agar membunuh Muhammad bin Abû Bakar. Meskipun tidak sampai terlaksana, tetapi menimbulkan kemarahan Banû Taim.

Ia membuang Abû Dzarr al-Ghifârî,pemrotes ketidakadilan dan penyalahgunaan uang ne­gara,ke Rabdzah dan menimbulkan kemarahan keluarga Ghifârî. Para demonstran datang dari segala penjuru, seperti Mesir, Kûfah, Bashrah dan bergabung dengan yang di Madî­nah yang mengepung rumahnya selama 40 hari[46] yang menuntut agar ‘Utsmân memecat Marwân yang tidak hendak dipenuhi ‘Utsmân. Tatka­la diingatkan bahwa uang Baitu’l Mâl adalah milik umat yang harus dikeluarkan berdasarkan hukum syariat seperti sebelumnya oleh ‘Abû Bakar dan ‘Umar ia mengatakan bahwa ia harus mempererat silaturahmi dengan keluarganya. ‘Ia mengatakan: ‘Ak­ulah yang memberi dan akulah yang tidak memberi. Akulah yang membagi uang sesukaku!’. [47]

‘Utsmân memberikan kebun Fadak kepada Marwân, yang tidak hendak diberikan Abû Bakar kepada Fâthimah yang akan dibicarakan di bagian lain.

Memerlukan beberapa buku tersendiri untuk menulis penyalahgunaan ‘uang negara’ oleh para penguasa dan ‘politisi’ pada masa itu sedang sebagian besar sahabat dan anggota masyarakat hidup kekur­angan.

Al-Amînî mecacat daftar singkat hadiahyang dihambur ‘Utsman:

Dalam dinar:

Marwân bin Hakam bin Abî’l-’Ash 500.000

Ibnu Abî Sarh 100.000

Khalîfah ‘Utsmân 100.000

Zaid bin Tsâbit 100.000

Thalhah bin ‘Ubaidillâh 200.000

‘Abdurrahmân bin ‘Auf 2.560.000

Ya’la bin ‘Umayyah 500.000

Jumlah dinar 4.310.000

Dalam Dirham:

Marwân bin Abî’l-’Ash 300.000

Keluarga Hakam 2.020.000

Keluarga Hârits bin Hakam 300.000

Keluarga Sa’îd bin ‘Âsh bin ‘Umayya 100.000

Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’aith 100.000

‘Abdullâh bin Khâlid bin ‘Usaid (1) 300.000

‘Abdullâh bin Khâlid bin ‘Usaid (2) 600.000

Abû Sufyân bin Harb 200.000

Marwân bin Hakam 100.000

Thalhah bin ‘Ubaidillâh (1) 2.200.000

Thalhah bin ‘Ubaidillâh (2) 30.000.000

Zubair bin ‘Awwâm 59.800.000

Sa’d bin Abî Waqqâsh 250.000

Khalîfah ‘Utsmân sendiri 30.500.000

Jumlah dirham 126.770.000

Dirham adalah standar mata uang perak dan dinar adalah standar mata uang uang mas. Satu dinar berharga sekitar 10-12 dirham. Satu dirham sama harganya dengan emas seberat 55 butir gandum sedang. Satu dinar seberat 7 mitsqal. Satu mitsqal sama berat dengan 72 butir gandum. Jadi satu dinar sama berat dengan 7 X 72 butir gandum atau dengan ukuran sekarang sama dengan 4 gram. Barang dagangan satu kafilah di zaman Rasûl yang terdiri dari 1.000 unta dan dikawal oleh sekitar 70 orang berharga 50.000 dinar yang jadi milik seluruh pedagang Makkah. Seorang budak berharga 400 dirham.

Contoh penerima hadiah dari ‘Utsmân adalah Zubair bin ‘Awwâm. Ia yang hanya kepercikan uang baitul mâl itu , seperti disebut dalam shahîh Bukhârî, memil­iki 11 (sebelas) rumah di Madînah, sebuah rumah di Bashrah, sebuah rumah di Kûfah, sebuah di Mesir... Jumlah uangnya, menurut Bukhârî adalah 50.100.000 dan di lain tempat 59.900.000 dinar, di samping[48] seribu ekor kuda dan seribu budak.[49].

‘Â’isyah menuduh ‘Utsmân telah kafir dengan panggilan Na’tsal[50] dan memerintahkan agar ia dibunuh. Zubair menyuruh serbu dan bunuh ‘Utsmân. Thalhah menahan air minum untuk ‘Utsmân. Akhirnya ‘Utsmân dibunuh. Siapa yang menusuk ‘Utsmân, tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa mereka yang pertama mengepung rumah ‘Utsmân selama empat bulan dan berapa jumlah mereka dapat dibaca sekilas dalam catatan berikut. Mu’â­wiyah mengejar mereka satu demi satu.

Cerita Demonstran

Satu tahun sebelum ‘Utsmân dibunuh, orang-orang Kûfah, Bashrah dan Mesir bertemu di Masjid Haram, Makkah. Pemimpin kelompok Kûfah adalah Ka’b bin ‘Abduh, pemimpin kelompok Bashrah adalah al-Muthanna bin Makhrabah al-’Abdî dan pemimpin kelompok Mesir adalah Kinânah bin Basyîr bin ‘Uttâb bin ‘Auf as-Sukûnî kemudian diganti at-Taji’î.

Kelompok Keluarga yang Dilalimi Khalîfah

Sa’îd bin Musayyib menceritakan adanya keluarga Banû Hudzail dan Banû Zuhrah yang merasa sakit hati atas perbuatan ‘Utsmân terhadap ‘Abdullâh bin Mas’ûd, karena Ibnu Mas’ûd berasal dari kedua klan ini. Keluarga Banû Taim untuk membela Muhammad bin Abî Bakar, keluarga Banû Ghifârî untuk membela Abû Dzarr al-Ghifârî, keluarga Banû Makhzûm untuk membela ‘Ammâr bin Yâsir. Mereka mengepung rumah khalîfah dan menuntut khalîfah memecat sekertaris Negara Marwân bin Hakam.

Kelompok Penduduk Bashrah

Kemudian dari Bashrah datang ke Madînah 150 orang. Termasuk kelom­pok ini adalah Dzarîh bin ‘Ubbâd al-’Abdî, Basyîr bin Syarîh al-Qaisî, Ibnu Muharrisy. Malah menurut Ibnu Khaldûn jumlah mereka sama banyaknya dengan jumlah pendatang Mesir , 1000 orang, dan terbagi dalam 4 kelompok.

Kelompok Kûfah

Dari Kûfah datang 200 orang yang dipimpin Asytar. Ibnu Qutaibah mengatakan kelompok Kûfah terdiri dari 1000 orang dalam empat kelompok. Pemimpin masing-masing kelompok adalah Zaid bin Sûhân al-’Abdî, Ziyâd bin an-Nashr al-Hâritsî, ‘Abdullâh bin al-‘Ashm al-’Âmirî dan ‘Amr bin al-Ahtâm.

Kelompok Mesir

Dari Mesir datang 1.000 orang.[51] Dalam kelompok ini terdapat Muhammad bin Abî Bakar , Sûdan bin Hamrân as-Sukûnî, ‘Amr bin Hamaq al-Khaza’î. Mereka dibagi dalam empat kelompok masingmasing dipimpin oleh ‘Amr bin Badîl bin Waraqa’ al-Khaâz’î, ‘Abdurrahmân bin ‘Adîs Abû Muhammad al-Balwî, ‘Urwah bin Sayyim bin al-Baya’ al-Kinânî al-Laitsî, Kinânah bin Basyîr Sukûnî at-Tâjidî.

Mereka berkumpul sekitar ‘Amr bin Badîl al-Ghaza’î, seorang sahabat Rasûl saw. dan ‘Abdurrahmân bin ‘Adîs al-Tâjibî.

Kelompok Madînah

Mereka disambut oleh kelompok Madînah yang terdiri dari kaum Muhâjirîn dan Anshâr seperti ‘Ammâr bin Yâsir al-’Abasî, seorang pengikut Perang Badr, Rifâqah bin Rafî’ al-Anshârî, pengikut Perang Badr, al-Hajjâj bin Ghâziah seorang sahabat Rasûl saw., Amîr bin Bâkir, seorang dari Banû Kinânah dan pengikut Perang Badr, Thalhah bin ‘Ubaidillâh dan Zubair bin ‘Awwâm, peserta Perang Badr.[52]

‘Â’isyah: ‘Bunuh Na’tsal!’

Dan sejarah mencatat bahwa ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah, bersama Thalhah, Zubair dan anaknya ‘Abdullâh bin Zubair, telah melancarkan peperangan terha­dap Amîru’l-mu’minîn ‘Alî bin Abî Thâlib, yang memakan kurban lebih dari 20.000 orang, dengan alasan untuk menuntut balas darah ‘Utsmân.

Padahal ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah adalah pelopor melawan ‘Utsmân dengan mengatakan bahwa ‘Utsmân telah kafir.

Thalhah menahan pengiriman air minum kepada ‘Utsmân, tatkala rumah khalîfah yang ketiga itu dikepung para ‘pemberontak’ yang datang dari daerah-daerah.

Zubair menyuruh orang membunuh ‘Utsmân pada waktu rumah khalîfah itu sedang dikepung. Orang mengatakan kepada Zubair: ‘Anakmu sedang menjaga di pintu, mengawal (‘Utsmân)’. Zubair menjawab: ‘Biar aku kehilangan anakku tetapi ‘Utsmân harus dibu­nuh!’[53] Zubair dan Thalhah juga adalah orang-orang pertama membaiat ‘Alî.

Khalîfah ‘Utsmân mengangkat Walîd bin ‘Uqbah, saudara seibunya jadi Gubernur di Kûfah. Ayahnya ‘Uqbah pernah menghujat Rasûl Allâh di depan orang banyak, dan kemudian dibunuh ‘Alî bin Abî Thâlib. Walîd sendiri dituduh sebagai pemabuk dan menghambur-hamburkan uang baitul mâl. Ibnu Mas’ûd (Abû ‘Abdurrahmân ‘Abdullâh bin Mas’ûd), seorang Sahabat terkemuka, yang ikut Perang Badr, yang mengajar Al-Qur’ân dan agama di Kûfah, penang­gung jawab baitul mâl, menegur Walîd. Walîd mengirim surat kepada ‘Utsmân mengenai Ibnu Mas’ûd. ‘Utsmân memanggil Ibnu Mas’ûd menghadap ke Madînah.

Balâdzurî menulis:

‘Utsmân sedang berkhotbah di atas mimbar Rasûl Allâh. Tatkala ‘Utsmân melihat Ibnu Mas’ûd datang ia berkata: ‘Telah datang kepadamu seekor kadal (duwaibah) yang buruk, yang (ker­janya) mencari makan malam hari, muntah dan berak!’.

Ibnu Mas’ûd: ‘Bukan begitu, tetapi aku adalah Sahabat Rasûl Allâh saw. pada Perang Badr dan bai’at ar-ridhwân’.[54]

Dan ‘Â’isyah berteriak: ‘Hai ‘Utsmân, apa yang kau katakan terha­dap Sahabat Rasûl Allâh ini?’

Utsmân: ‘Diam engkau!’ Dan ‘Utsmân memerintahkan mengeluarkan Ibnu Mas’ûd dari Masjid dengan kekerasan. ‘Abdullâh bin Zam’ah, pembantu ‘Utsmân lalu membanting Ibnu Mas’ûd ke tanah. Kemudian ia menginjak tengkuk Ibnu Mas’ûd secara bergantian dengan kedua kakinya hingga rusuk Ibnu Mas’ûd patah.

Marwân bin Hakam berkata kepada ‘Utsmân: ‘Ibnu Mas’ûd telah merusak Irak, apakah engkau ingin ia merusak Syam?’ Dan Ibnu Mas’ûd ditahan dalam kota Madînah sampai me­ninggal dunia tiga tahun kemudian. Sebelum mati ia membuat wasiat agar ‘Ammâr bin Yâsir menguburnya diam-diam, yang kemudian membuat ‘Utsmân marah.

Karena ‘Utsmân sering menghukum saksi pelanggaran agama oleh pembantu-pembantunya, timbullah gejolak di Kûfah. Orang menuduh ‘Utsmân menghukum saksi dan membebaskan tertuduh.[55] Abû’l-Faraj menulis: “Berasal dari Az-Zuhrî yang berkata: ‘Sekelompok orang Kûfah menemui ‘Utsmân pada masa Walîd bin ‘Uqbah menjadi Gubernur. Maka berkatalah ‘Utsmân: ‘Bila seorang di antara kamu marah kepada pemimpinnya, maka dia lalu menuduhnya melakukan kesalahan! Besok aku akan menghukummu’. Dan mereka meminta perlindungan ‘Â’isyah. Besoknya ‘Utsmân mendengar kata-kata kasar mengenai dirinya keluar dari kamar ‘Â’isyah, maka ‘Utsmân berseru: ‘Orang ‘Iraq yang tidak beragama dan fasiklah yang mengungsi di rumah ‘Â’isyah’. Tatkala ‘Â’isyah mendengar kata-kata ‘Utsmân ini, ia mengangkat sandal Rasûl Allâh saw. dan berkata: ‘Anda meninggal­kan Sunnah Rasûl Allâh, pemilik sandal ini’. Orang-orang mendengarkan. Mereka datang memenuhi masjid. Ada yang berkata: ‘Dia betul!’ dan ada yang berkata: ‘Bukan urusan perem­puan!’. Akhirnya mereka baku hantam dengan sandal”[56].

Balâdzurî menulis: ‘Â’isyah mengeluarkan kata-kata kasar yang ditujukan kepada ‘Utsmân dan ‘Utsmân membalasnya: ‘Apa hubungan Anda dengan ini? Anda diperintahkan agar diam di rumahmu (maksudnya adalah firman Allâh yang memerintahkan istri Rasûl agar tinggal di rumah: ‘Tinggallah dengan tenang dalam rumahmu’)[57] dan ada kelompok yang berucap seperti ‘Utsmân, dan yang lain berkata: ‘Siapa yang lebih utama dari ‘Â’isyah?’ Dan mereka baku hantam dengan sandal, dan ini pertama kali perkelahian antara kaum Muslimîn, sesudah Nabî saw. wafat.[58]

Tatkala khalîfah ‘Utsmân sedang dikepung oleh “pemberontak” yang datang dari Mesir, Bashrah dan Kûfah, ‘Â’isyah naik haji ke Makkah.

Thabarî menulis: ‘Seorang laki-laki bernama Akhdhar (datang dari Madînah) dan menemui ‘Â’isyah.

‘Â’isyah: ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’

Akhdhar: ‘’Utsmân telah membunuh orang-orang Mesir itu!’ ‘Â’isyah: Inna lillâhi wa inna ilaihi râji’un. Apakah ia membunuh kaum yang datang mencari hak dan mengingkari zalim? Demi Allâh, kita tidak rela akan (peristiwa) ini’.

Kemudian seorang laki-laki lain (datang dari Madînah).

‘Â’isyah: ‘Apa yang sedang dilakukan orang itu?’

Laki-laki itu menjawab: ‘Orang-orang Mesir telah membunuh ‘Utsmân!

‘Â’isyah: ‘Ajaib si Akhdhar. Ia mengatakan bahwa yang terbunuhlah yang membunuh’. Sejak itu muncul peribahasa, “lebih bohong dari Akhdhar”[59].

Abû Mikhnaf Lûth al-’Azdî menulis: ‘ ‘Â’isyah berada di Makkah tatkala mendengar terbunuhnya ‘Utsmân. la segera kembali ke Madînah tergesa-gesa. Dia berkata: ‘Dialah Pemilik Jari[60]. Demi Allâh, mereka akan mendapatkan kecocokan pada Thalhah. Dan tatka­la ‘Â’isyah berhenti di Sarif[61], ia bertemu dengan ‘Ubaid bin Abî Salmah al-Laitsî.

‘Â’isyah berkata: ‘Ada berita apa?’.

‘Ubaid: ‘’Utsmân dibunuh’.

‘Â’isyah: ‘Kemudian bagaimana?’.

‘Ubaid: ‘Kemudian mereka telah menyerahkannya kepada orang yang paling baik, mereka telah membaiat ‘Alî’.

‘Â’isyah: ‘Aku lebih suka langit runtuh menutupi bumi!. Selesai­lah sudah! Celakalah Anda! Lihatlah apa yang Anda katakan!’.

‘Ubaid: ‘Itulah yang saya katakan pada Anda, ummu’l-mu’minîn’.

Maka merataplah ‘Â’isyah.

‘Ubaid: ‘Ada apa ya ummu’l-mu’minîn! Demi Allâh, aku tidak menge­tahui ada yang lebih utama dan lebih berhak dari dirinya. Dan aku tidak mengetahui orang yang sejajar dengannya. maka mengapa Anda tidak menyukai wilâyah-nya?’.

‘Â’isyah tidak menjawab.

Dengan jalur yang berbeda-beda diriwayatkan bahwa ‘Â’isyah, tatkala sedang berada di Makkah, mendapat berita tentang pembunu­han ‘Utsmân, telah berkata: ‘

‘Mampuslah dia (ab’adahu’llâh) ! Itulah hasil kedua tangannya sendiri! Dan Allâh tidak zalim terhadap hambanya!’.

Dan diriwayatkan bahwa Qais bin Abî Hâzm naik haji pada tahun ‘Utsmân dibunuh. Tatkala berita pembunuhan sampai, ia berada bersama ‘Â’isyah dan menemaninya pergi ke Madînah. Dan Qais berkata: “Aku mendengar ia telah berkata:

‘Dialah Si Pemilik Jari!’

Dan tatkala disebut nama ‘Utsmân, ia berkata:

‘Mampuslah dia!

Dan waktu mendapat kabar dibaiatnya ‘Alî ia berkata:

‘Aku ingin yang itu (sambil menunjuk ke langit, pen.) runtuh menutupi yang ini!’ (sambil menunjuk ke bumi, pen.)

Ia lalu memerintahkan agar unta tunggangannya dikembalikan ke Makkah dan aku kembali bersamanya. Sampai di Makkah ia berkhotbah kepada dirinya sendiri, seakan-akan ia berbicara kepada seseor­ang.

‘Mereka telah membunuh Ibnu ‘Affân (‘Utsmân, pen.) dengan zalim’. Dan aku berkata kepadanya: ‘Ya ummu’l-mu’minîn, tidakkah aku mendengar baru saja bahwa Anda telah berkata: ‘Ab’adahu ‘llâh’!

‘Dan aku melihat engkau sebelum ini paling keras terhadapnya dan mengeluarkan kata-kata buruk untuknya!’

‘Â’isyah: ‘Betul demikian, tetapi aku telah mengamati masalahnya dan aku melihat mereka meminta agar dia bertobat.. kemudian setelah ia bertobat mereka membunuhnya pada bulan haram’.

Dan diriwayatkan dalam jalur lain bahwa tatkala sampai kepadanya berita terbunuhnya ‘Utsmân ia berkata:

‘Mampuslah dia! Ia dibunuh oleh dosanya sendiri. Mudah-mudahan Allâh menghukumnya dengan hasil perbuatannya (aqâdahu’llâh)!. Hai kaum Quraisy, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap pembunuh ‘Utsmân, seperti yang dilakukan kepada kaum Tsamud!. Orang yang paling berhak akan kekuasaan ini adalah Si Pemilik Jari!’.

Dan tatkala sampai berita pembaiatan terhadap ‘Alî, ia berkata: ‘Habis sudah, habis sudah (ta’îsa), mereka tidak akan mengembali­kan kekuasaan kepada (Banû) Taim untuk selama-lamanya!’

Dan jalur lain lagi: “Kemudian ia kembali ke Madînah dan ia tidak ragu lagi bahwa Thalhah-lah yang memegang kekuasaan (khalîfah) dan ia berkata:

‘(Allâh) menjauhkan dan membinasakan si Na’tsal. Dialah si Pemil­ik Jari! Itu dia si Abû Syibl![62], ah dialah sudah misanku!. Demi Allâh, mereka akan menemukan pada Thalhah kepantasan untuk kedudukan ini. Seakan-akan aku sedang melihat ke jarinya tatkala ia dibaiat! Bangkitkan unta ini dan segera berangkatkan dia!’”.[63]

Dan tatkala ia berhenti di Sarf dalam perjalanan ke Madînah ia bertemu dengan ‘Ubaid bin Umm Kilab[64]; ‘Â’isyah bertanya: ‘Bagaimana?”

‘Ubaid: ‘Mereka membunuh ‘Utsmân, dan delapan hari tanpa pemim­pin!’

‘Â’isyah: “Kemudian apa yang mereka lakukan?”

‘Ubaid: ‘Penduduk Madînah secara bulat (bî’l-ijmâ’) telah menya­lurkannya ke jalan yang terbaik, mereka secara bulat telah memil­ih ‘Alî bin Abî Thâlib’.

‘Â’isyah: ‘Kekuasaan jatuh ke tangan sahabatmu! Aku ingin yang itu runtuh menutupi yang ini. ‘Bagus![65] Lihatlah apa yang kamu katakan!’

‘Ubaid: ‘Itulah yang aku katakan, ya ummu’l-mu’minîn’.

Maka merataplah ‘Â’isyah. ‘Ubaid melanjutkan: ‘Ada apa dengan Anda, ya ummu’l-mu’minîn? Demi Allâh, aku tidak menemukan antara dua daerah berlafa gunung berapi (maksudnya Madînah) ada satu orang yang lebih utama dan lebih berhak dari dia. Aku juga tidak melihat orang yang sama dan sebanding dengannya, maka mengapa Anda tidak menyukai wilâyah-nya?’

Ummu’l-mu’minîn lalu berteriak: ‘Kembalikan aku, kembalikan aku’. Dan ia lalu berangkat ke Makkah. Dan ia berkata: ‘Demi Allâh, ‘Utsmân telah dibunuh secara zalim. Demi Allâh, kami akan menun­tut darahnya!’

Ibnu Ummu’l-Kilab berkata kepada ‘Â’isyah: ‘Mengapa, demi Allâh, sesungguhnya orang yang pertama mengamati pekerjaan ‘Utsmân adalah Anda, dan Anda telah berkata: ‘Bunuhlah Na’tsal! Ia telah kafir!’ ‘Â’isyah: ‘Mereka minta ia bertobat dan mereka membunuhnya. Aku telah bicara dan mereka juga telah bicara. Dan perkataanku yang terakhir lebih baik dari perkataanku yang pertama’.

Ibnu Ummu’l-Kilab:

Dari Anda bibit disemai,

Dari Anda kekacauan dimulai,

Dari Anda datangnya badai,

Dari Anda hujan berderai,

Anda suruh bunuh sang imam,

Ia ‘lah kafir, Anda yang bilang,[66]

Jika saja kami patuh,

Ia tentu kami bunuh,

Bagi kami pembunuh adalah penyuruh,

Tidak akan runtuh loteng di atas kalian,

Tidak akan gerhana matahari dan bulan,

Telah dibaiat orang yang agung,

Membasmi penindas, menekan yang sombong,

Ia selalu berpakaian perang,

Penepat janji, bukan pengingkar.

Menurut Mas’ûdî[67]:

Dari Anda datang tangis,

Dari anda datang ratapan,

Dari Anda datangnya topan,

Dari Anda tercurah hujan,

Anda perintah bunuh sang imam,

Pembunuh bagi kami adalah penyuruh[68].

Perang Jamal

‘Â’isyah Memerangi Imâm ‘Alî.Dua Puluh Ribu Muslim mati

‘Â’isyah berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan pintu masjid menuju ke al-Hajar kemudian mengumpul orang dan berkata: ‘Hai manusia. ‘Utsmân telah dibunuh secara zalim! Demi Allâh kita harus menuntut darahnya’.Dia dilaporkan juga telah berkata: ‘Hai kaum Quraisy! ‘Utsmân telah dibunuh. Dibunuh oleh ‘Alî bin Abî Thâlib. Demi Allâh seujung kuku atau satu malam kehidupan ‘Utsmân, lebih baik dari seluruh hidup ‘Alî’.[69]

Ummu Salamah Menasihati ‘Â’isyah

Ummu’l-mu’minîn Ummu Salamah menasihati ‘Â’isyah agar ia tidak meninggalkan rumahnya:

“Ya ‘Â’isyah, engkau telah menjadi penghalang antara Rasûl Allâh saw. dan umatnya. Hijâbmu menentukan kehormatan Rasûl Allâh saw.. Al-Qur’ân telah menetapkan hijâb untukmu.[70] Dan jangan engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan Allâh SWT dan janganlah engkau keluar. Allâh-lah yang akan melindungi umatnya. Rasûl Allâh saw. mengetahui tempatmu. Kalau Rasûl Allâh saw. ingin memberimu tugas tentu telah beliau sabdakan. Ia telah melarang engkau mengelilingi kota-kota. Apa yang akan engkau katakan kepada Rasûl Allâh saw. seandainya engkau bertemu dengan beliau di perjalanan dan engkau sedang menunggangi untamu dan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain? Allâh sudah menetapkan tempatmu dan engkau suatu ketika akan bertemu dengan Rasûl Allâh saw. di akhirat. Dan seandainya aku disuruh masuk ke surga firdaus, aku malu berjumpa dengan Rasûl Allâh saw. dalam keadaan aku melepaskan hijâbku yang telah diwajibkan Allâh SWT atas diriku. Jadikanlah hijâbmu itu sebagai pelindung dan jadikanlah rumahmu sebagai kuburan sehingga apabila engkau bertemu dengan Rasûl Allâh saw. ia rela dan senang akan dirimu!”[71]

‘Â’isyah tidak menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan ‘Abdullâh bin Zubair pergi bergabung dengan ‘Â’isyah di Makkah. Demikian pula Banû ‘Umayyah serta penguasa-penguasa ‘Utsmân yang diberhentikan ‘Alî dengan membawa harta baitul mâl.

Hafshah binti ‘Umar yang juga ummu’l-mu’minîn, diajak ‘Â’isyah, tapi membatalkan niatnya karena dilarang oleh kakaknya ‘Abdullâh bin ‘Umar.

Abû Mikhnaf Lûth al-’Azdî berkata: ‘Setelah ‘Alî tiba di Dzi Qar[72], ‘Â’isyah menulis kepada Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb:

“ ‘Amma ba’du. Aku kabarkan padamu bahwa ‘Alî telah tiba di Dzi Qar, dan ia benar-benar sedang ketakutan setelah mengetahui jemaah kami telah siap siaga. Dan ia berada di tepi jurang, bila ia maju, akan dipancung,’uqira, bila mundur disembelih, nuhira, dan Hafshah memanggil para dayangnya dan menyuruh mereka menyanyi sambil memukul rebana:

Apa kabar, apa kabar,

‘Alî dalam perjalanan,

Seperti penunggang di tepi jurang,

Maju, terpancung,

Mundur, terpotong.

Wanita-wanita para thulaqâ’ (mereka yang baru masuk Islam pada waktu dibukanya kota Makkah, pen.) masuk ke rumah Hafshah ketika mendengar nyanyian itu. Mereka berkumpul dan menikmati nyanyian. Setelah sampai berita ini kepada Ummu Kaltsum binti ‘Alî bin Abî Thâlib, ia lalu pakai jilbabnya untuk menyaru. Sampai di tengah-tengah mereka, dia buka jilbabnya. Setelah Hafshah tahu bahwa orang itu adalah Ummu Kaltsum ia merasa malu dan berhenti bernyanyi. Lalu Ummu Kaltsum berkata: ‘Kalau engkau berdua (maksudnya ‘Â’isyah dan Hafshah, pen.) menentang ‘Alî bin Abî Thâlib sekarang, dahulu pun kamu berdua menentang saudara ‘Alî bin Abî Thâlib (maksudnya Rasûl Allâh saw.) sehingga turun ayat mengenai kamu berdua. Hafshah lalu menyela: ‘Stop! Mudah-mudahan Allâh merahmatimu!’ Ia lalu mengambil surat ‘Â’isyah tersebut, merobeknya dan minta ampun kepada Allâh!.[73]

Setelah sampai di wilayah ‘Iraq, Sa’îd bin ‘Âsh bertemu Marwân bin Hakam dan kawan-kawannya. Ia berkata: ‘Tunggu apa lagi kamu! Pemberontak dan pembunuh ‘Utsmân berada di sekeliling unta (yang ditunggangi ‘Â’isyah) itu! Bunuhlah mereka dan kembalilah ke tempatmu sesudah itu. Jangan kamu membunuh diri kamu sendiri!’ Mereka menjawab: ‘Biar mereka saling membunuh dan pembunuh ‘Utsmân dengan sendirinya akan terbunuh!’ Mereka lalu bergabung dengan ‘Â’isyah.[74]

Dalam menuju Bashrah, ‘Â’isyah, Thalhah dan Zubair berhenti di Sumur Abî Mûsâ dekat Bashrah. ‘Utsmân bin Hunaif, gubernur Bashrah mengirim utusan yang bernama Abû al-Aswad ad-Du’ali yang lansung menemui ‘Â’isyah dan ia bertanya kepada ‘Â’isyah akan maksud perjalanannya.

‘Â’isyah:’Aku menuntut darah ‘Utsmân!’

Abû al-Aswad:’Tak ada seorang pun pembunuh ‘Utsmân di Bashrah!’

‘Â’isyah: ‘Engkau benar. Mereka berada bersama ‘Alî bin Abî Thâlib di Madînah. Dan aku datang membangkitkan orang Bashrah untuk memerangi ‘Alî. Kami memarahi ‘Utsmân karena cambuknya yang memecuti kamu (umat Islam, pen.). Maka tidakkah kami juga harus membela ‘Utsmân dengan pedangmu?’

Abû al-Aswad: ‘Apa urusanmu dengan cambuk dan pedang!’ Engkau adalah istri Rasûl Allâh saw.. Engkau diperintahkan untuk tinggal di rumahmu dan mengaji Kitâb Tuhanmu dan perempuan tidaklah pantas untuk berperang dan tidak juga untuk menuntut darah. Sesungguhnya ‘Alî lebih pantas dan lebih dekat hubungan keluarga untuk menuntut , karena mereka berdua (‘Alî dan ‘Utsmân), adalah anak ‘Abdi Manâf!’.

‘Â’isyah : ‘Saya tidak akan mundur, sebelum saya melaksanakan apa yang telah saya rencanakan. Apakah engkau menduga bahwa seseorang mau memerangi saya?’.

Abû al-Aswad: ‘Ya, demi Allâh! Engkau akan ber­perang dalam suatu peperangan yang bagaimanapun kecilnya, masih akan tetap paling dahsyat!’.

Tiba di tepi kota Bashrah, orang-orang terkagum-kagum melihat unta ‘Â’isyah yang besar dan mengagumkan. Jâriyah bin Qudâmah mendatangi ‘Â’isyah dan berkata:

‘Wahai ummu’l-mu’minîn! Pembunuhan ‘Utsmân merupakan tragedi, tetapi tragedi yang lebih besar lagi adalah bahwa Anda telah keluar dari rumah Anda, menunggangi unta terkutuk ini dan merusak kedudukan dan kehormatan Anda. Lebih baik Anda pulang.’

‘Â’isyah tidak peduli dan orang-orang merasa heran. Ayat Al-Qur’ân yang memerintahkan para istri Rasûl agar tinggal di rumah tidak dapat lagi menahannya.

Tatkala pasukan ini berusaha masuk kota Bashrah, Gubernur Bashrah ‘Utsmân bin Hunaif datang untuk menghalangi mereka dan tatkala dua pasukan saling berhadapan, mereka mencabut pedang masing-masing dan saling menyerbu. Waktu sejumlah anggota pasukan telah berguguran ‘Â’isyah datang melerai dan kedua pasukan sepakat bahwa sampai Amîrul mu’minîn ‘Alî bin Abî Thâlib tiba, pemerintahan yang ada berjalan sebagaimana biasa dan ‘Utsmân bin Hunaif harus tetap dalam kedudukannya sebagai gubernur.

Pembunuhan Berdarah DinginMencabuti Rambut Gubernur

Tetapi, baru dua hari berlalu, mereka menyergap ‘Utsmân bin Hunaif pada malam hari, membunuh empat puluh orang yang tidak bersalah, memukuli gubernur ‘Utsmân bin Hunaif, mencabut tiap helai rambut dan jenggotnya kemudian menawannya. Mereka lalu menyerang dan merampok Bait al-Mâl sambil membunuh dua puluh orang di tempat serta lima puluh orang dibunuh berdarah dingin setelah menyerah. Setelah itu mereka merebut gudang gandum. Seorang tokoh tua kota Bashrâ yang bernama Hâkim bin Jabalah tidak dapat lagi menahan diri. Ia mendatangi mereka dengan anggo­ta suku dan keluarganya. Ia berkata kepada ‘Abdullâh bin Zubair: ‘Tinggalkan sebagian gandum untuk penduduk kota! Bagaimanapun juga penindasan harus ada batasnya. Kamu telah menyebarkan maut dan perusakan serta menawan ‘Utsmân bin Hunaif. Demi Allâh tinggalkan perbuatan celaka ini dan lepaskanlah ‘Utsmân bin Hunaif. Apakah tidak ada lagi takwa dalam hatimu?’. ‘Abdullâh bin Zubair berkata: ‘Ini kami lakukan untuk menuntut darah ‘Utsmân!’ Hâkim bin Jabalah menjawab: ‘Adakah orang-orang yang kamu bunuh itu pembunuh ‘Utsmân? Demi Allâh bila aku punya pendukung, tentu akan kutuntut balas terhadap pembunuhan kaum Muslimîn tanpa sebab ini!’ Ibnu Zubair menjawab: ‘Kami sama sekali tidak akan member­ikan apa pun dari gandum ini, dan tidak akan kami lepas ‘Utsmân bin Hunaif!’. Akhirnya terjadi pertempuran dan gugurlah Hâkim bin Jabalah dan kedua anaknya Asyrâf dan Ri’l bin Jabalah bersama tujuh puluh anggota sukunya yang lain.

Perang yang paling menyedihkan dalam sejarah Islam. Dalam perang ini bapak dan anak serta saudara saling membunuh, melemahkan jiwa dan raga masyarakat Islam yang sebenarnya merupakan awal berakhirnya Daulah Islamîyah dan membuka jalan kepada kerajaan.

Ibnu ‘Abd Rabbih meriwayatkan bahwa Mughîrah bin Syu’bah, sesudah Perang Jamal mendatangi ‘Â’isyah. ‘Â’isyah berkata kepadanya: ‘Hai Abû ‘Abdillâh aku ingin engkau berada bersama kami pada Perang Jamal; bagaimana anak-anak panah menembus haudaj-ku[75] dan sebagian menyentuh tubuhku!’. Mughîrah bin Syu’bah menjawab: ‘Aku menghendaki satu dari panah-panah itu membunuhmu?’ ‘Â’isyah: ‘Mudah-mudahan Allâh mengampunimu! Mengapa demikian?’ Mughîrah menjawab: ‘Agar terbalas apa yang engkau lakukan terhadap ‘Utsmân!’.[76]

Diriwayatkan bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada ‘Â’isyah tentang hukumnya seorang ibu yang membunuh anak bayinya. ‘Â’isyah menjawab:’Neraka tempatnya bagi ibu yang durhaka itu!’. ‘Kalau demikian’, tanyanya, ‘bagaimana hukum seorang ibu yang membunuh dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?’. ‘Â’isyah berteriak dan menyuruh orang melempar keluar wanita tersebut. ‘Â’isyah, memang, sebagai istri Rasûl ditentukan Allâh SWT sebagai ibu kaum mu’minîn.[77] Dan perang yang dilancarkannya terhadap Imâm ‘Alî telah menyebabkan terbunuhnya dua puluh ribu anaknya sendiri. Setelah semua ini ‘Â’isyah kembali ke rumahnya.

Thalhah misan ‘Â’isyah, yang diharapkan ‘Â’isyah akan menjadi khalîfah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwân bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan ‘Utsmân. Setelah memanah Thalhah, Marwân berka­ta: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah ‘Utsmân!” Zubair bin ‘Awwâm, iparnya, suami kakaknya Asmâ’ binti Abû Bakar meninggalkan pasukan setelah mendengar nasihat ‘Alî. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang yang bernama ‘Amr bin Jurmuz. ‘Alî berkata: ‘Zubair senantiasa bersama kami sampai anaknya yang celaka[78] menjadi besar.

Sepanjang masa peperangan Jamal ini ‘Abdullâh bin Zubair menjadi imam salat, karena Thalhah dan Zubair berebut jadi imam dan ‘Â’isyah menunjuk ‘Abdullâh. Juga, ‘Abdullâh bin Zubair menuntut bahwa ia lebih berhak terhadap kekhalifahan dari ayahnya dan Thalhah dan menyatakan bahwa ‘Utsmân telah mewasiatkan kepadanya untuk menjabat khalîfah.[79]

Orang sering mengajukan pertanyaan mengenai Zubair dan Thalhah, seperti ‘mengapa harus ‘Abdullâh bin Zubair yang mengimami salat padahal Zubair dan Thalhah adalah Sahabat Rasûl dan mengapa mereka berdua harus berebut dan bertengkar menjadi imam sehingga ‘Â’isyah lalu menunjuk ‘Abdullâh bin Zubair? Mengapa membaiat ‘Alî, kemudian memerangi ‘Alî? Kalau menganggap ‘Alî kafir, maka lari atau menyerah dari perang melawan orang kafir adalah kafir. Kalau ‘Alî adalah Muslim, maka memerangi ‘Alî adalah kafir’. Sedih, memang! Muhammad bin Abû Bakar, adik ‘Â’isyah yang berper­ang di pihak ‘Alî melawan ‘Â’isyah, akhirnya di kemudian hari dibunuh oleh Mu’âwiyah, dimasukkan dalam perut keledai lalu dibakar. ‘Alî benar tatkala ia mengatakan bahwa ia diuji oleh empat hal. Pertama oleh orang yang paling cerdik dan derma­wan, yaitu Thalhah. Kedua oleh orang yang paling berani, yaitu Zubair. Ketiga oleh orang yang paling bisa mempengaruhi orang, yaitu ‘Â’isyah. Yang terakhir oleh orang yang paling cepat terpengaruh fitnah, yaitu Ya’la bin ‘Umayyah. Yang terakhir ini adalah penyedia dana utama untuk Perang Jamal, dengan membawa harta baitul mâl tatkala ia jadi gubernur ‘Utsmân di Yaman. Ia menyerahkan 400.000 dinar kepada Zubair dan menanggung pembiayaan tujuh puluh anggota pasukan orang Quraisy. Ia membelikan seekor unta yang terkenal besarnya untuk ‘Â’isyah seharga delapan puluh dinar.[80]

‘Â’isyah adalah seorang luar biasa. Bagaimana ia mengguncangkan dua khalîfah sekaligus dan bagaimana ia berubah dari seorang yang mengeluarkan fatwa untuk membunuh ‘Utsmân dan setelah ‘Utsmân terbunuh, ia menuntut darah ‘Utsmân dan membuat umat Islam berontak melawan ‘Alî. Rasanya, ‘Utsmân tidak akan terbunuh tanpa fatwa ‘Â’isyah yang punya pengaruh demikian besar terhadap kaum Muslimîn karena kedudu­kannya sebagai istri Rasûl. Setelah ‘Utsmân terbunuh ia gembira. Tetapi setelah ‘Alî dibaiat ia mampu menghimpun para pembunuh dan keluarga yang terbunuh untuk bangkit melawan ‘Alî bin Abî Thâlib. Ia dapat mengubah kesan orang terha­dap ‘Alî yang membela ‘Utsmân menjadi orang yang tertuduh membu­nuh ‘Utsmân.

‘Â’isyah punya kelebihan. Setelah meruntuhkan dua khalîfah ia bisa berubah menjadi orang yang tidak berdosa. Dan perannya dalam menentukan akidah umat berlanjut sampai sekarang dengan hadis-hadisnya yang banyak.

Ummu Salamah, misalnya, yang juga ummu’l-mu’minîn tidaklah mendapat tempat yang terhormat seperti ‘Â’isyah. Hal ini disebabkan karena Ummu Salamah berpihak kepada ahlu’l-bait’ dengan sering meriwayatkan hadis-hadis yang mengutamakan ‘Alî, seperti hadis Kisâ’. Abû Bakar, ayahnya, maupun ‘Umar bin Khaththâb menyadari kemampuan ‘Â’isyah, dan sejak awal mereka menjadikan ‘Â’isyah sebagai tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya, meriwayatkan dari al-Qâsim: ‘’Â’isyah sering diminta memberikan fatwa di zaman Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân dan ‘Â’isyah terus memberi fatwa sampai mereka meninggal’.[81] Dari Mahmûd bin Labîd: ‘’Â’isyah memberi fatwa di zaman ‘Umar dan ‘Utsmân sampai keduanya meninggal. Dan Sahabat-sahabat Rasûl Allâh saw. yang besar, yaitu ‘Umar dan ‘Utsmân sering mengirim orang menemui ‘Â’isyah untuk menanyakan Sunnah’. Malah ‘Umar memberikan uang tahunan untuk ‘Â’isyah lebih besar 20 % dari istri Rasûl yang lain. Tiap istri Rasûl mendapat sepuluh ribu dinar sedang ‘Â’isyah dua belas ribu. Pernah ‘Umar meneri­ma satu kereta dari Irak yang di dalamnya terdapat mutiara (jauhar) dan ‘Umar memberikan seluruhnya pada ‘Â’isyah.[82] Di samping pengutamaan ‘Umar kepada ‘Â’isyah dalam fatwa maupun hadiah, ‘Umar juga menahannya di Madînah dan hanya membolehkan ‘Â’isyah melakukan sekali naik haji pada akhir kekhalifahan ‘Umar dengan pengawalan yang ketat. ‘Umar menyadari betul peran ‘Â’isyah yang tahu memanfaatkan kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu kaum mu’minîn dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi orang. Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan. Sedangkan ‘Utsmân, terutama pada akhir kekhalifa­hannya, melalaikan hal ini.

Dan di pihak lain, ‘Alî seperti juga Fâthimah sejak awal menjadi bulan-bulanan ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah. Para ahli tidak dapat memecahkan misteri kebencian ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah terhadap anak tirinya Fâthimah dan ‘Alî yang barangkali belum ada taranya dalam sejarah umat manusia bila kita pikirkan betapa tinggi kedudukan Fâthimah dan ‘Alî di mata Rasûl Allâh saw.. Fâthimah adalah satu dari empat wanita utama dalam dunia Islam, sedang ‘Alî dikenal sebagai orang yang paling mulia dan paling utama sesudah Rasûl dan jasanya terhadap Islam sangatlah besar. Kalau Mu’âwiyah bersujud dan diikuti orang-orang yang menemanin­ya, dan salat dhuhâ enam raka’at saat mendengar ‘Alî meninggal dunia di kemudian hari, sedangkan ‘Â’isyah melakukan sujud syukur ketika mendengar berita gembira ini seper­ti dilaporkan oleh Abû’l-Faraj al-Ishfahânî.[83]

Thabarî, Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Ibnu Sa’d dan Ibnu al-Atsîr melaporkan bahwa tatkala seorang menyampaikan berita kematian ‘Alî, ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah bersyair:

‘Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah’

‘Seperti musafir gembira pulang ke rumah!’

Kemudian ia bertanya: “Siapa yang membunuhnya?

Jawab: “Seorang laki-laki dari Banû Murad!”

‘Â’isyah berkata:

“Walaupun ia jauh,

Berita matinya telah sampai,

Dari mulut seorang remaja,

Yang tak tercemar tanah!”.[84]

Maka berkatalah Zainab puteri ummu’l-mu’minîn Ummu Salamah: “Apakah ‘Alî yang engkau maksudkan?”

‘Â’isyah menjawab: ‘Bila aku lupa kamu ingatkan aku!’.[85]

Kemudian Zainab berkata:

Selalu kasidah dihadiahkan di berbagai kalangan,

Tentang “Shiddîq” dan bermacam-macam julukan,

Akhirnya kau tinggalkan juga,

Di setiap pertemuan, kau keluarkan kata-kata,

Seperti dengungan lalat belaka.[86]

Mengapa ‘Â’isyah Benci Fâthimah dan ‘Alî?

Kebencian ‘Â’isyah kepada anak tirinya Fâthimah dan suami Fâthimah, ‘Alî, sangat bertalian dengan kecemburuannya kepada Khadîjah yang telah lama meninggal. Cemburu ‘Â’isyah terhadap Khadîjah dapat dipahami dari kata-katanya sendiri.

‘Â’isyah berkata[87]: ‘Cemburuku terhadap istri-istri Rasûl tidak seperti cemburuku kepada Khadîjah karena Rasûl sering menyebut dan memujinya , dan Allâh SWT telah mewahyukan kepada Rasûl saw.. agar menyampaikan kabar gembira kepada Khadîjah bahwa Allâh SWT akan memberinya rumah dari permata di surga’.

Dan di bagian lain[88]: ‘Aku tidak cemburu terhadap seorang dari istri-istrinya seperti aku cemburu kepada Khadîjah , meski aku tidak mengenalnya. Tetapi Nabî sering mengingatnya dan kadang-kadang ia menyembelih kambing, memotong-motongnya dan membagibagikannya kepada teman-teman Khadîjah’.

Di bagian lain: ‘Suatu ketika Hâlah binti Khuwailid, saudari Khadîjah , minta izin menemui Rasûl dan Rasûl mendengar suaranya seperti suara Khadîjah ‘. Rasûl terkejut dan berkata: ‘Allâhumma Hâlah!’. Dan aku cemburu. Aku berkata: ‘Apa yang kau ingat dari perempuan tua di antara perempuan-perempuan tua Quraisy... dan Allâh telah menggantinya dengan yang lebih baik’.

Di bagian lain lagi[89]: ‘Dan wajah Rasûl Allâh saw. berubah, belum pernah aku melihat ia demikian, kecuali pada saat turun wahyu’.

Dan dalam riwayat lain[90]: ‘Allâh tidak mengganti seorang pun yang lebih baik dari dia. Ia beriman kepada saya tatkala orang lain mengingkari saya. Ia membenarkan saya ketika orang lain mendustakan saya. Dan ia membantu saya dengan hartanya tatkala orang lain enggan mem­bantu saya. Allâh SWT memberi anak-anak kepada saya melaluinya dan tidak melalui yang lain’.

Kebenciannya terhadap ‘Alî juga disebabkan sikap Rasûl saw. yang mendahulukan ‘Alî dari ayahnya, Abû Bakar, sebagai­mana pengakuannya sendiri.

Imâm Ahmad menceritakan[91], yang berasal dari Nu’mân bin Basyîr: ‘Abû Bakar memohon izin menemui Rasûl Allâh saw. dan ia mendengar suara keras ‘Â’isyah yang berkata: ‘Demi Allâh, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai ‘Alî dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. ‘Â’isyah seperti lupa firman Allâh: ‘Dan ia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. Perkataannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyu-kan kepadanya’.[92]

Ibn Abîl-Hadîd menceritakan: ‘Aku membacakan pidato ‘Alî mengenai ‘Â’isyah dari Nahju’l-Balâghah[93], kepada Syaikh Abû ‘Ayyûb Yûsuf bin Ismâ’îl tatkala aku berguru ilmu kalam kepadanya. Aku bertan­ya bagaimana pendapatnya tentang pidato ‘Alî tersebut. Ia memberi jawaban yang panjang. Aku akan menyampaikannya secara singkat, sebagian dengan lafatnya sebagian lagi dengan lafalku sendiri.(Abû ‘Ayyûb melihat dari kacamata yang umum terjadi. Penulis menerjemahkannya agak bebas).

Abû ‘Ayyûb berkata: ‘Kebencian ‘Â’isyah kepada Fâthimah timbul karena Rasûl Allâh saw. mengawini ‘Â’isyah setelah meninggalnya Khadîjah . Sedang Fâthimah adalah putri Khadîjah . Secara umum antara anak dan ibu tiri akan timbul ketegangan dan kebencian. Istri akan mendekati ayahnya dan bukan suaminya, dan anak perem­puan tidak akan senang melihat ayahnya akrab dengan ibu tirinya. Ia menganggap ibu tirinya merebut tempat ibunya. Sebaliknya anak perempuan benar-benar jadi tumpuan kecemburuan ibu tiri. Beban cemburu ‘Â’isyah kepada almarhumah Khadîjah , berpindah kepada Fâthimah. Besarnya kebencian pada anak tirinya sebanding dengan bencinya kepada madunya yang telah meninggal. Apalagi bila sua­minya sering mengingat istrinya yang telah meninggal itu.

Kemudian semua sepakat bahwa Fâthimah mendapat kedudukan mulia di sisi Allâh SWT melalui hadis Rasûl, yang juga ayahnya, sebagai Penghulu Wanita Kaum Mu’minîn yang kedudukannya sejajar dengan Asiyah, Mariam binti ‘Imrân dan Khadîjah al-Kubrâ seperti yang tertera dalam hadis shahîh Bukhârî dan Muslim. Dan Rasûl saw., sekali lagi dalam kedudukannya sebagai Nabî, memuliakan Fâthimah dengan kemuliaan yang besar, lebih besar dari yang disangka orang dan lebih besar dari pemuliaan yang lazim diberikan seorang ayah mana pun kepada anaknya. Sampai melewati batas cinta ayah kepada anak. Dan Rasûl Allâh saw. menyampaikannya terang-terangan di kalangan khusus maupun umum, berulang-ulang, bukan hanya sekali, dan di kalangan yang berbeda-beda, bukan di satu kalangan saja bahwa ‘Fâthimah adalah penghulu kaum wanita sedunia’. Melalui hadis yang berasal dari ‘Alî, ‘Umar bin Khaththâb, Hudzaifah Ibnu Yaman, Abû Sa’îd al-Khudrî, Abû Hurairah dan lain-lain Rasûl bersabda: ‘Sesungguhnya, Fâthimah adalah penghulu para wanita di surga, dan Hasan serta Husain adalah penghulu para remaja di surga. Namun ayah mereka berdua (‘Alî) lebih mulia dari mereka berdua’.[94] Atau hadis yang diriwayatkan ‘Â’isyah sendiri bahwa Rasûl telah bersabda: ‘Wahai Fâthimah, apakah engkau tidak puas menjadi penghulu para wanita sejagat atau penghulu wanita umat ini atau penghulu kaum mu’minât?’[95].

Sekali lagi, Rasûl Allâh saw. melakukan ini sebagai Nabî, bukan sebagai orang biasa yang mudah terbawa oleh hawa nafsu[96]. Rasûl bersabda bahwa kedudukan Fâthimah sama dengan kedudukan Mariam binti ‘Imrân[97], dan bila Fâthimah lewat di tempat wuquf, para penyeru berteriak dari arah ‘arsy, ‘Hai penghuni tempat wuquf, turunkan pandanganmu karena Fâthimah binti Muhammad akan lewat’.[98] Hadis ini merupakan hadis shahîh dan bukan hadis lemah

Betapa sering Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Barangsiapa menyakiti Fâthimah, maka ia telah menyakitiku’, ‘Membencinya berarti mem­benciku’[99], ‘Ia bagian dari diriku’, ‘Meraguinya berarti meraguiku’[100]. Dan semua pemuliaan dan penghormatan ini tentu menambah kebencian ‘Â’isyah yang tidak beru­saha sungguh-sungguh untuk melihat konteks ini dengan kenabian Rasûl saw. Berbeda misalnya dengan Ummu Salamah, juga istri Rasûl, ummu’l-mu’minîn, yang mencintai Fâthimah, ‘Alî, Hasan dan Husain bukan hanya sebagai anggo­ta keluarga tetapi juga sebagai yang dimuliakan Allâh dengan ayat thathhîr. [101]

Biasanya bila seorang istri merasa diperlakukan kurang baik oleh sesama wanita maka berita ini akan sampai kepada suami. Dan lumrah bila istri menceritakan ini pada suaminya di malam hari. Tetapi ‘Â’isyah tidak dapat melakukan ini, karena Fâthimah adalah anak suaminya. Ia hanya bisa mengadu pada wanita-wanita Madînah dan tetangga yang bertamu ke rumahnya. Kemudian wanita-wanita ini akan menyampaikan berita kepada Fâthimah, barangkali begitu pula sebaliknya. Dan yang jelas ia akan menyampaikannya kepada ayahnya, Abû Bakar. Dan sampailah kepada Abû Bakar semua yang terjadi. Kemampuan ‘Â’isyah untuk mempengaruhi orang sangatlah terkenal dan hal ini akan membekas pada diri Abû Bakar. Kemudian Rasûl Allâh saw. melalui hadis yang demikian banyak, telah memuliakan dan mengkhususkan ‘Alî dari sahabat-sahabat lain. Berita ini tentu menambah kepedi­han Abû Bakar, karena Abû Bakar adalah ayah ‘Â’isyah. Pada kesem­patan lain sering terlihat ‘Â’isyah duduk bersama Abû Bakar dan Thalhah sepupunya dan mendengar kata-kata mereka berdua. Yang jelas pembicaraan mereka mempengaruhinya sebagaimana mereka terpengaruh oleh ‘Â’isyah’.

Kemudian ia melanjutkan: ‘Saya tidak mengatakan bahwa ‘Alî bebas dari ulah ‘Â’isyah. Telah sering timbul ketegangan antara ‘Â’isyah dan ‘Alî di zaman Rasûl Allâh saw.’. Misalnya telah diri­wayatkan bahwa suatu ketika Rasûl dan ‘Alî sedang berbicara. ‘Â’isyah datang menyela antara keduanya dan berkata: ‘Kamu berdua ngobrol terlalu lama!’. Rasûl marah sekali. Dan tatkala terjadi peristiwa Ifk, menurut ‘Â’isyah, ‘Alî mengusulkan Rasûl Allâh saw. agar menceraikan ‘Â’isyah dan mengatakan bahwa ‘Â’isyah tidak lebih dari tali sebuah sandal. (Tapi banyak orang meragukan peristiwa Ifk yang diriwayatkan ‘Â’isyah ini. Dari mana misalnya orang mengetahui usul ‘Alî kepada Rasûl? Siapa yang membocorkannya?, pen.)

Di pihak lain Fâthimah melahirkan banyak anak lelaki dan perem­puan, sedang ‘Â’isyah tidak melahirkan seorang anak pun. Sedang­kan Rasûl Allâh saw. menyebut kedua anak lelaki Fâthimah, Hasan dan Husain sebagai anak-anaknya sendiri. Hal ini terbukti tatkala turun ayat mubâhalah[102]. Bagaimana perasaan seorang istri,yang tidak dapat melihat bahwa suaminya adalah seorang Rasûl Allâh, bila suaminya memperlakukan cucu tirinya sebagai anaknya sedangkan ia sendiri tidak punya anak?.

Kemudian Rasûl menutup pintu yang biasa digunakan ayahnya ke masjid dan membuka pintu untuk ‘Alî. Begitu pula tatkala Surat Bara’ah turun, Rasûl Allâh saw. menyuruh ‘Alî, yang disebutnya sebagai dari dirinya sendiri, untuk menyusul Abû Bakar dalam perjalanan haji pertama. Dan agar ‘Alî sendiri membacakan surat Bara’ah atau Surat Taubah kepada jemaah dan kaum musyrikin di Mina.

Kemudian Mariah, istri Rasûl, melahirkan Ibrâhîm dan ‘Alî menun­jukkan kegembiraannya, hal ini tentu menyakitkan hati ‘Â’isyah.

Yang jelas ‘Alî sama sekali tidak ragu lagi, sebagaimana kebanya­kan kaum Muhâjirîn dan Anshâr, bahwa ‘Alî akan jadi khalîfah sesudah Rasûl meninggal dan yakin tidak akan ada orang yang menentangnya. Tatkala pamannya ‘Abbâs berkata kepadanya: ‘Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu dan orang akan berkata ‘Paman Rasûl membaiat sepupu Rasûl, dan tidak akan ada yang berselisih dengan­mu!’’, ‘Alî menjawab: ‘Wahai paman, apakah ada orang lain yang menginginkannya?’. ‘Abbâs menjawab: ‘Kau akan tahu nanti!’, ‘Alî menjawab: ‘Sedang saya tidak menginginkan jabatan ini melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan secara terbuka’. ‘Abbâs lalu diam.

Tatkala penyakit Rasûl Allâh saw. semakin berat Rasûl berseru agar mempercepat pasukan Usâmah. Abû Bakar beserta tokoh-tokoh Muhâjirîn dan Anshâr lainnya diikutkan Rasûl dalam pasukan itu. Maka ‘Alî,yang tidak diikutkan Rasûl dalam pasukan Usâmah, dengan sendirinya akan menduduki jabatan khalîfah itu,bila saat Rasûl Allâh saw. tiba,karena Madînah akan bebas dari orang-orang yang akan menentang ‘Alî. Dan ia akan menerima jabatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan lengka­plah pembaiatan, dan tidak akan ada lawan yang menen­tangnya.

Itulah sebabnya ‘Â’isyah memanggil Abû Bakar dari pasukan Usâmah yang sedang berkemah di Jurf , pada pagi hari Senin, hari wafatnya Rasûl dan bukan pada siang hari, dan memberitahukannya bahwa Rasûl Allâh saw sedang sekarat, yamûtu.

Dan tentang mengimami salat, ‘Alî menyampaikan bahwa ‘Â’isyah-lah yang memerintahkan Bilal, maulâ ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami salat, karena Rasûl saw. sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: ‘Agar orang-orang salat sendiri-sendiri’, dan Rasûl tidak menun­juk seseorang untuk mengimami salat. Salat itu adalah salat subuh. Karena ulah ‘Â’isyah itu maka Rasûl memerlukan keluar, pada akhir hayatnya, dituntun oleh ‘Alî dan Fadhl bin ‘Abbâs sampai ia berdiri di mihrab seperti diriwayatkan...’.

Setelah Abû Bakar dibaiat, Fâthimah datang menuntut Fadak milik pribadi ayahnya tetapi Abû Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa Nabî tidak mewariskan. ‘Â’isyah membantu ayahnya dengan membe­narkan hadis tunggal yang disampaikan ayahnya bahwa ‘Nabî tidak mewariskan dan apa yang ia tinggalkan adalah sedekah’.

Kemudian Fâthimah meninggal dunia dan semua wanita melayat ke rumah Banû Hâsyim kecuali ‘Â’isyah. Ia tidak datang dan menyata­kan bahwa ia sakit. Dan sampai berita kepada ‘Alî bahwa ‘Â’isyah menunjukkan kegembiraan. Kemudian ‘Alî membaiat Abû Bakar dan ‘Â’isyah gembira. Sampai tiba berita ‘Utsmân dibunuh dan ‘Â’isyah orang yang paling getol menyuruh bunuh ‘Utsmân dengan mengatakan ‘Utsmân telah kafir. Mendengar demikian ia berseru: ‘Mampuslah ia!’ Dan ia mengharap Thalhah akan jadi khalîfah. Setelah menge­tahui ‘Alî telah dibaiat dan bukan Thalhah, ia berteriak: ‘Utsmân telah dibunuh secara kejam dan menuduh ‘Alî sebagai pembunuh dan meletuslah perang Jamal’.[103]

Demikian penjelasan Ibn Abîl-Hadîd.

Terror terhadap kaum Syî’î

Mu’âwiyah, yang juga seorang sahabat dan ipar Rasûl Allâh saw, disebut sebagai fi’ah al-baghiah atau kelompok pemberontak oleh Sunnî maupun Syî’î, karena ia memerangi Imâm ‘Alî yang telah dibaiat secara syah oleh kaum Anshâr dan Muhâjirîn. Hanya sekitar enam orang yang tidak membaiat ‘Alî tetapi ‘Alî mem­biarkan mereka. Di antara yang tidak membaiat ‘Alî bin Abî Thâlib adalah ‘Abdullâh bin ‘Umar dan Sa’d bin Abî Waqqâsh.

Mu’âwiyah memberontak terhadap ‘Alî. Sejak ‘Utsmân meninggal tahun 35 H,656 M.. Mu’âwiyah melakukan tiga cara untuk mela­wan ‘Alî bin Abî Thâlib:

1. Melakukan pembersihan etnik terhadap Syî’ah ‘Alî dengan mela­kukan jenayah ke wilayah ‘Alî. Pembunuhan terhadap Syî’ah ‘Alî dilakukan terhadap lelaki maupun anak-anak. Perempuan dijadikan budak. Menyuruh seseorang melaknat ‘Alî, dan bila ia menolak langsung dibunuh.

2. Melaknat ‘Alî dalam khotbah-khotbah Jum’at, Idul-Fithri dan Idul-Adha di seluruh negara. Juga pada musim haji di Makkah.

3.Membuat hadis-hadis palsu untuk menurunkan martabat ‘Alî seren­dah-rendahnya dan membesarkan dirinya serta ketiga khalîfah awal.

Membunuh, Sembelih Bayi, Perbudak Musli­mah

Tatkala khalîfah ‘Alî masih hidup, yaitu setelah tahkim, ia mengirim ‘mâlikil maut’ yang bernama Busr bin Arthât dengan 4.000 anggota pasukan berkeliling ke seluruh negeri untuk membunuh siapa saja pengikut dan sahabat ‘Alî yang ia temui termasuk perempuan dan anak-anak kemudian merampas harta bendanya. Perempuan Muslimah ditawan dan dijadikan budak untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Busr melakukannya dengan baik sepanjang perjalannnya sampai ia tiba di Madînah dan ia telah membunuh ribuan Syî’ah ‘Alî yang tidak bersalah. Abû Ayyûb al-Anshârî, rumahnya ditempati Rasûl Allâh saw. tatkala baru sampai di Madînah ketika hijrah,pejabat gubernur ‘Alî di Madînah, melarikan diri ke tempat ‘Alî di Kûfah. Kemudian Busr ke Makkah dan membunuh sejumlah keluarga Abî Lahab. Abû Mûsâ, gubernur ‘Alî juga melarikan diri. Ia lalu ke Sarat dan membunuh semua yang turut ‘Alî di perang Shiffîn, sampai di Najran ia membunuh ‘Abdullâh bin ‘Abdul Madân al-Harâ’î dan anaknya, ipar keluarga Banû ‘Abbâs yang ditunjuk ‘Alî sebagai gubernur. Kemudian ia sampai di Yaman. Pejabat di sana adalah ‘Ubaidi­llâh bin ‘Abbâs. ‘Ubaidillâh melarikan diri tatkala mengetahui kedatangan Busr. Busr menemukan kedua anaknya yang masih balita. Ia lalu menyembelih dengan tangannya sendiri kedua anak itu di hadapan ibunya. Kekejamannya sukar dilukiskan dengan kata-kata dan memerlukan buku tersendiri. Seorang dari Banû Kinânah berteriak tatkala Busr hendak membu­nuh kedua anak tersebut:

‘Jangan bunuh mereka! Keduanya adalah anak-anak yang tidak berdo­sa dan bila Anda hendak membunuhnya, bunuhlah saya bersama mere­ka’. Maka Busr bin Arthât membunuhnya kemudian menyembelih kedua anak yang berada di tangan ibunya, yaitu Qatsm dan ‘Abdurrahmân. Sang ibu, Juwairiah binti Khâlid bin Qârizh al-Kinânîah, istri ‘Ubaidillâh bin ‘Abbâs jadi linglung dan gila. Di musim haji ia berkeliling mencari kedua anaknya dan dengan menyayat hati ia bertanya tentang anaknya yang kemudian ditulis oleh penulis-penulis sejarah seperti yang tertulis dalam al-Kâmil berikut.

Siapa yang tahu di mana kedua anakku,

Dua mutiara, baru lepas dari kerang,

Sapa yang tahu di mana kedua bocahku,

Kuping dan jantunghatiku telah diculik orang,

Siapa yang tahu di mana kedua puteraku,

Sumsum tulang dan otakku disedot orang,

Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang,

Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan,

Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong?

Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang,

Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang,

Ia juga mengirim Sufyân bin ‘Auf al-Ghamidi dengan 6.000 prajurit menyerbu Hit[104], al-Anbar dan al-Mada’in. Disini mereka membunuh pejabat ‘Alî Hassân bin Hassân al-Bakrî dan orang-orangnya. Kemu­dian di Anbar mereka membunuh 30 dari seratus orang yang memper­tahankan kota ini, mengambil semua barang yang ada, membumihan­guskan kota al-Anbar sehingga kota itu hampir lenyap. Orang mengatakan bahwa pembumihangusan ini sama dengan pembunuhan, karena hati korban sangat pedih sekali. Kepedihan ‘Alî tidak terlukiskan sehingga ia tidak dapat membaca khotbahnya dan men­yuruh maulânya yang bernama Sa’d untuk membacakannya. Al-Aghânî melukiskan bahwa setelah Ghamidi sampai di kota Anbar ia membunuh pejabat ‘Alî dan juga membunuhi kaum lelaki maupun perempuan.

Mu’âwiyah juga mengirim Dhuhhâk bin Qays al-Fihrî dengan pasukan yang terdiri dari 4.000 orang ke kota Kûfah untuk membuat kekacauan dengan membunuh siapa saja yang ditemui sampai ke Tsa’labiah dan menyerang kafilah haji yang akan menunaikan haji ke Makkah serta merampok semua bawaan mere­ka. Kemudian ia menyerang al-Qutqutanah dan turut dibunuh kemana­kan Ibnu Mas’ûd, sahabat Rasûl, ‘Amr bin ‘Uwais bin Mas’ûd bersama pengikutnya. Fitnah di mana-mana. Di mana-mana bumi disiram dengan darah orang yang tidak berdosa. Pembersihan etnik terhadap Syî’ah ‘Alî berjalan dengan terencana dan mengenaskan.

Kemudian Mu’âwiyah mengirim Nu’mân bin Basyîr[105] pada tahun 39 H.,659 M. menyerang ‘Ain at-Tamr[106] dengan 1.000 prajurit dan menimbulkan bencana. Di sana hanya ada seratus prajurit ‘Alî. Perkelahian dahsyat terjadi. Untung, kebetulan ada sekitar 50 orang dari desa tetangga lewat. Pasukan Nu’mân mengira bantuan datang untuk menyerang dan mereka pergi.

Meracuni Hasan, Cucu Nabî, Berkali-kali

Setelah ‘Alî bin Abî Thâlib meninggal dibunuh oleh ‘Abdurrahmân bin Muljam dengan pedang pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H.,24 Januari 661 M., Hasan bin ‘Alî dibaiat dan pertempuran-pertempur­an dengan Mu’âwiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil Awal tahun 41 H.,16 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan bin ‘Alî dan Mu’âwiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut:

Bismillâhirrahmânirrahim.

Ini adalah pernyataan damai dari Hasan bin ‘Alî kepada Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, bahwa Hasan menyerahkan kepada Mu’âwiyah wilayah Muslimîn, dan Mu’âwiyah akan menjalankan Kitâb Allâh SWT dan Sunnah Rasûl Allâh saw. dan tatacara Khulafâ’ ur-Râsyidîn yang tertun­tun, dan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum Muslimîn dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allâh SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat-sahabat ‘Alî dan Syî’ah-nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan anak-anak mereka, dan bahwa Mu’âwiyah bin Abî Sufyân setuju dan berjanji dengan nama Allâh bahwa Mu’âwiyah tidak akan meng­ganggu atau menganiaya secara tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin ‘Alî atau saudaranya Husain bin ‘Alî atau salah seorang ahlu’l-bait Rasûl Allâh saw. dan tidak akan mengganggu mereka yang berada di seluruh penjuru..dan bahwa Mu’âwiyah akan menghentikan pelaknatan terhadap ‘Alî...[107]

Dan sebagaimana biasa Mu’âwiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin ‘Alî bin Abî Thâlib, dan setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti dilakukannya tatkala Imâm ‘Alî meninggal dunia.

Ibnu Sa’d menceritakan: ‘Mu’âwiyah meracuni Hasan berulang-ulang’. Wâqidî berkata: ‘Mu’âwiyah meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang-ulang mengatakan bahwa Hasan diracun orang. Adiknya Husain berkata: ‘Ya ayah Muhammad, berita­hukan saya, siapa yang meminumkan racun kepadamu?’. Hasan menja­wab: ‘Mengapa, wahai saudaraku?’. Husain: ‘Demi Allâh, aku akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berha­sil, akan aku meminta orang mencarinya’. Hasan berkata: ‘Wahai saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam-malam yang fana. Doakan dia, agar dia dan aku bertemu di sisi Allâh, dan aku melarang meracuninya’.[108]

Mas’ûdî mengatakan: ‘Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian, setelah sampai di rumah, ia berkata: ‘Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi’. Husain berkata: ‘Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?’. Hasan menjawab: ‘Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allâh-lah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku. Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra. akhirnya meninggal. Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan Mu’âwiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan ‘aku akan mengawinkan kau dengan Yazîd’. Ialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: ‘Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya’.[109]

Abû’l-Faraj al-Ishfahânî menulis: ‘Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’âwiyah: ‘Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya. Dan bila Mu’âwiyah akan mengangkat Yazîd, anaknya, jadi khalîfah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin ‘Alî dan Sa’d bin Abî Waqqâsh[110], maka Mu’âwiyah meracuni mereka berdua dan mereka mening­gal.Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: ‘Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazîd, bila kau racuni Hasan’, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya dengan Yazîd.[111]

Abul Hasan al-Madâ’inî berkata: ‘Hasan meninggal tahun 49 H., 669 M. setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’âwiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata-kata: ‘Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazîd, anakku’. Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazîd. Ia berkata: ‘Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasûl Allâh saw’[112]. Hushain bin Mundzir ar-Raqasyi berkata: ‘Demi Allâh Mu’âwiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazîd dan meracuni Hasan.[113]

Abû ‘Umar berkata dalam al-Istî’âb: ‘Qatâdah dan Abû Bakar bin Hafshah berkata: ‘Mu’âwiyah meracuni Hasan bin ‘Alî, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al-Kindî. Sebagian orang berkata: ‘Mu’âwiyah memaksanya, dan tidak member­inya apa-apa, hanya Allâh yang tahu!’. Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’ûdî.[114]

Ibnu al-Jauzî mengatakan dalam ‘at-Tadzkirah Khawâshsh’l-Ummah’: ‘Para ahli sejarah di antaranya ‘Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî.

As-Sûdî berkata: Yang memerintahkannya adalah Yazîd bin Mu’âwiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawi­ninya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah mengirim surat kepada Yazîd menagih janjinya. Dan Yazîd berkata: ‘Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allâh, aku tidak rela’. Asy-Sya’bî mengatakan: ‘Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’âwiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: ‘Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazîd dan memberimu 100.000 dirham. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’âwiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan : ‘Sesungguhnya aku mencintai Yazîd, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau den­gannya’.

Sya’bî berkata lagi: ‘Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: ‘Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’âwiyah: ‘Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allâh ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya’. Kemudian Sya’bî mengutip ath-Thabaqât dari Ibnu Sa’d: “Mu’âwiyah meracunin­ya berulang ulang’[115]

Ibnu ‘Asâkir berkata: ‘Ia diberi minum racun, berulang-ulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: Sesungguhnya Mu’âwiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali. Muhammad bin al-Mirzubân meriwayatkan: ‘Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazîd melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. ‘Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazîd dan Yazîd berkata: ‘Sesungguhnya, demi Allâh, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami’.[116]

Hasan bin ‘Alî sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’âwiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwân bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madînah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala datang berita bahwa Hasan telah mening­gal seluruh penduduk Syam bertakbir. Seorang wanita, Fakhîtah binti Quraidhah bertanya kepada Mu’â­wiyah: ‘Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fâthimah? Ya aku bertakbir karena hatiku gem­bira[117].. Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.[118]

Ia juga terkenal karena membunuh sahabat Rasûl Allâh saw. Hujur bin ‘Adî dan kawan-kawannya pada tahun 51 H.,671 M. karena tidak mau melaknat ‘Alî.

Membunuh Muhammad bin Abû Bakar

Mempermainkan Jenazah

Mu’âwiyah membunuh Muhammad bin Abû Bakar, anak khalîfah Abû Bakar. Mula-mula ia disiksa, tidak diberi minum, kemudian dima­sukkan ke dalam perut keledai dan dibakar.

Untuk pertama kali dalam sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh.Dan jenazah ini adalah jenazah kaum Muslimîn.

Penguasa memenggal kepala mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat-nyayat mayat, mengarak kepala-kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan akhirnya dikirim ke ‘khalîfah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus-ratus kilometer.

Cukup dengan sedikit curiga bahwa seorang itu Syî’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasûl saja maka ia akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan. Bencana makin bertambah dan makin menyayat hati. Sampai gubernur ‘Ubaidillâh bin Ziyâd membunuh Husain kemudian gubernur Hajjâj bin Yûsuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut. Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindîq atau kafir dari mendengar orang mengaku dirinya Syî’ah ‘Alî.

Abû al-Husain ‘Alî bin Muhammad bin Abî Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats, berkata: ‘Mu’âwiyah menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan ‘Alî dan keluarganya. Pidatokan dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan ‘Alî dan kucilkan dia dan keluarganya. Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syî’ah ‘Alî di Kûfah. Diangkatlah Ziyâd bin Sumayyah diangkat jadi gubernur Kûfah. Ia lalu memburu kaum Syî’ah. Ia sangat mengenal kaum Syî’ah karena ia pernah jadi pengikut ‘Alî. Dan ia lalu memburu dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar, membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata mereka, samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang-batang pohon korma. Ia memburu dan mengusir mereka ke luar dari ‘Irak dan tiada seorang pun yang mereka kenal, luput dari perburuan ini.[119]

Di samping itu istri dan putri-putri Syî’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’âwiyah dengan Busr bin Arthât pada akhir tahun 39 H.,660 M. Mereka memaksa kaum Syî’ah membaiat khalîfah yang sebenarnya adalah raja yang lalim. Setelah membaiat, biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi hanguskan desa mereka seperti diri­wayatkan Bukhârî dalam tarikhnya.

Mu’âwiyah melalui jenderalnya Busr bin Arthât tersebut membakar rumah-rumah Zarârah bin Khairun, Rifâqah bin Rafî’, ‘Abdullâh bin Sa’d dari Banû ‘Abdul Asyhal, semua adalah para sahabat kaum Anshâr. Celakanya Ziyâd bin Abih, yang mula-mula berpihak kepada ‘Alî bin Abî Thâlib, menyeberang ke Mu’âwiyah, karena pengakuan Abû Sufyân bahwa Ziyâd yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya. Mu’âwiyah yang melihat Ziyâd sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu Habîbah, istri Rasûl Allâh, saudara Mu’âwiyah tidak pernah mau mengakui Ziyâd sebagai saudaranya.

Karena pernah bersama ‘Alî maka Ziyâd mengenal semua pengikut ‘Alî dalam Perang Shiffîn dan dengan mudah memburu dan membunuhi mereka.

Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’âwiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syî’ah ‘Alî yang turut mengepung rumah ‘Utsmân dan dituduh membunuh ‘Utsmân dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Madâ’in bersama Rifâ’ah bin Syaddâd dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur ‘Utsmân mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’âwiyah. Mu’âwiyah menjawab seenaknya: ‘Ia membunuh ‘Utsmân dengan 9 tusukan dengan goloknya (masyâqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan’. Setelah ditusuk,baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati,kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’âwiyah dan Mu’âwiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Âminah binti al-Syarid yang sedang berada di penjara Mu’âwiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya dan berkata:

Mereka hilangkan dia dariku amat lama,

Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,

Selamat datang, wahai hadiah,

Selamat datang, wahai wajah tanpa roma.[120]

Siapa yang Menikam ‘Utsmân?

Mu’âwiyah mengatakan bahwa ‘Amr bin Hamaq membunuh ‘Utsmân? Tetapi penulis sejarah mengatakan bahwa orang yang membunuh ‘Utsmân tidaklah jelas. Walîd bin ‘Uqbah, keluarga dan pejabat ‘Utsmân misalnya mengatakan bahwa yang menikam ‘Utsmân adalah Kinânah bin Basyîr al-Tâjibî:

Bukankah orang terbaik setelah tiga,

Dibunuh al-Tâjibî yang datang dari Mesir?

Al-Hâkim mengatakan[121] yang berasal dari Kinânah al-’Adwî yang berkata: ‘Saya adalah salah seorang yang mengepung rumah ‘Utsmân. Aku bertanya: ‘Apakah Muhammad bin Abû Bakar yang membunuh ‘Utsmân?’. Ia menjawab: ‘Tidak, yang membunuhnya adalah Jabalah bin al-Aiham seorang lelaki Mesir’. Dan ada juga yang bilang pembunuhnya adalah Kabîrah al-Sukûnî. Ada juga yang mengatakan pembunuhnya adalah Kinânah bin Basyîr al-Tâjibî, atau mereka berserikat membunuhnya. Mudah-mudahan Allâh melaknat mereka. Walîd bin ‘Uqbah berkata:

Wahai, manusia terbaik sesudah Nabî,

Dibunuh al-Tâjibî yang datang dari Mesir.

Dalam Istî’âb[122]: ‘Orang pertama yang masuk ke rumah ‘Utsmân adalah Muhammad bin Abû Bakar dan ia memegang jenggot ‘Utsmân dan ‘Utsmân berkata: ‘Lepaslah wahai anak saudar­aku, demi Allâh ayahmu menghormatinya, Muhammad lalu pergi, kemudian masuk Rûmân bin Sarhân yang membawa pisau yang mendatanginya dan berkata: ‘Agama apa yang Anda anut wahai Na’tsal? ‘Utsmân menja­wab: ‘Aku bukan Na’tsal tetapi ‘Utsmân bin ‘Affân, dan aku menganut agama Ibrâhîm, hafif, Muslim dan bukan musyrik. Rûmân: ‘Bohong!’. Dan ia tikam ke pelipis kirinya dan meninggallah ‘Utsmân.

‘Dan diceritakan orang berselisih pendapat. Ada yang mengatakan Basyîr yang membunuhnya seorang diri. Ada yang mengatakan Muhammad bin Abû Bakar membunuhnya dengan golok[123], dan ada yang mengatakan Muhammad bin Abû Bakar membuka jalan dan orang lain yang membantunya. Ada yang mengatakan Sûdân bin Hamrân. Ada yang mengatakan Rûmân al-Yamamî. Ada yang menga­takan Rûmân dari Banû Asad bin Khuzai­mah. Ada lagi yang bilang Muhammad bin Abû Bakar memegang jenggotnya sambil menggoyang-goyangkannya dan berkata: ‘Mu’âwiyah tidak akan menolong engkau, tidak Abî Sarh dan tidak juga Amr’. ‘Utsmân berkata: ‘Ya, anak saudaraku. Tolong lepas, Anda memegang janggutku yang dihormati ayahmu, dan ayahmu tidak akan suka sikapmu padaku sekarang ini’. Dikatakan pada waktu itu Muhammad bin Abû Bakar me­ninggalkannya dan pergi. Dan ada yang mengatakan ia memberi isyarat kepada teman yang ada bersamanya dan seorang di antaranya membacoknya dan ‘Utsmân meninggal. Hanya Allâh yang Mahatahu’.

Dan dalam Mustadrak yang diceritakan oleh Muhammad bin Thalhah: ‘Aku bertanya kepada seorang dari Banû Kinânah: ‘Apakah Muhammad bin Abû Bakar bertanggung jawab terhadap darah ‘Utsmân?’. Ia menjawab: ‘Aku berlindung kepada Allâh. Ia masuk dan ‘Utsmân berkata: ‘Ya anak saudaraku, engkau bukan temanku’. Dan ia bicara dengan lemah lembut. Dan Muhammad bin Abû Bakar keluar dan ia tidak bertanggung jawab akan darah ‘Utsmân!’. Kemudian Muhammad bin Thalhah melanjutkan: ‘Aku bertanya kepada orang dari Banû Kinânah itu: ‘Siapa yang membu­nuhnya?’ Ia menjawab: ‘Yang membunuhnya adalah orang Mesir yang dipanggil dengan nama Jablah bin al-Aiham. Kemudian ia berkeliling Madînah selama tiga hari dan berkata: ‘Akulah yang membunuh Na’tsal’

Muhibbudîn Thabarî melaporkan[124] dengan mengutip al-Istî’âb. Muhammad bin Abû Bakar keluar dari rumah dan masuk Rûmân bin Sarhân yang lalu membunuh ‘Utsmân. Dikatakan yang pembunuhnya adalah Jablah bin al-Aiham. Ada yang mengatakan al-Aswad at-Tâjibî. Ada lagi yang mengatakan: Yasar bin Ghalyadh’.

Ibnu ‘Asâkir menyebut peritiwa yang diceritakan Ibnu Katsîr[125]. Seorang Kindah datang dari Mesir yang dipanggil Hamar, dengan kunyah[126] Abû Rûmân. Qatâdah menyebut namanya Rûmân. Yang lain Azraq Asyqar. Yang lain menyebutnya Sûdân bin Rûmân al-Muradî. Ibnu ‘Umar mengatakan nama pembunuh ‘Utsmân Aswad bin Hamrân. Ia menikamnya dengan anak panah dan ia juga memegang pisau.

Ibnu Katsîr menceritakan[127]: ‘Apa yang disebut sebagian orang bahwa sebagian sahabat dapat menerima dan senang dengan terbunuhnya ‘Utsmân adalah tidak benar. Tiada seorang sahabat pun yang suka terbunuhnya ‘Utsmân ra., meskipun semuanya juga membenci sebab-sebab terjadinya pembunuhan, termasuk ‘Ammâr bin Yâsir, Muhammad bin Abû Bakar dan ‘Amr bin Hamaq dan lain-lain.

Membunuh Husain, Cucu Rasûl

Membunuh Muhâjirîn dan Anshâr

Memperkosa Seribu Wanita

Gubernur Pembunuh 120.000 Orang

Di masa pemerintahan Yazîd bin Mu’âwiyah, tahun 61 H.,681 M. pasukan yang dipimpin oleh ‘Umar Sa’d bin Abî Waqqâsh yang berjumlah 4.000 orang telah membunuh Husain bin ‘Alî bin Abî Thâlib dan keluarga serta sahabat-sahabatnya yang berjumlah 72 orang. Mereka digiring ke daerah tandus Karbala dan dicegah mengambil air dari sungai Efrat untuk diminum. Sebelum dibunuh tenda mereka yang sedang kehausan itu dibakar. Mereka menginjak-injak tubuh Husain dengan kaki kuda sampai hancur. Semua kepala mereka di pancung dan diarak di kota Kûfah. Wanita-wanita diarak sebagai tawanan, milik mereka termasuk pakaian dirampas.

Yang mengherankan mereka membunuh keluarga Rasûl Allâh saw. ini dengan bangga sambil bersenandung.

Mas’ûdî melukiskan : Mereka membunuh dan membunuh sampai Husain terbunuh dan seorang lelaki dari suku Madzhaj memeng­gal kepalanya lepas dari tubuh sambil berteriak gembira:

Akulah pembunuh sang raja terselubung,

Putera terbaik telah luluh,

Turunan termulia telah kubunuh.

Setelah diarak sekeliling kota, Ziyâd, gubernur Kûfah mengirim kepala Husain ke Yazîd bin Mu’âwiyah di Damaskus. Bersama Yazîd ada Abû Burdah al-Islamî. Yazîd meletakkan kepala itu di depannya dan memukul-mukul mulut kepala itu dengan tongkat sambil bersenandung:

Pecah sudah bagian penting seorang tercinta,

Bagi kami mereka adalah lalim dan pemecah,

Abû Burdah lalu berkata:’Angkat tongkatmu. Demi Allâh, saya melihat Rasûl Allâh saw. menciumi bibir itu!’[128] Ada orang mengatakan bahwa Yazîd menyesali perbua­tannya, tetapi ia tidak pernah menghukum, memecat bahkan tidak pernah mengecam Ibnu Ziyâd, gubernur Kûfah sebagai penanggung jawab pembunuhan terhadap cucu, buah mata Rasûl Allâh saw.

Contoh lain, betapa ‘sifat jahiliah’ hampir melampaui keyakinan agama adalah apa yang dilakukan ‘Amr bin Sa’îd bin ‘Âsh.

‘Amr bin Sa’îd bin ‘Âsh menjabat gubernur Madînah tatkala Husain dibunuh. Ziyâd mengirim ‘Abdul Mâlik bin Abî Hârits al-Sulamî ke Madînah untuk mengabarkan berita kematian itu kepada ‘Amr bin Sa’îd. Salmi masuk dan ‘Amr bertanya: ‘Ada berita apa?’. Salmi: ‘Alangkah bahagianya wahai Pemimpin, Husain bin ‘Alî bin Abî Thâlib telah dibu­nuh’.’Amr: ‘Sebarkan berita kematiannya!’. Dan aku menyebarkan berita kematiannya dan demi Allâh aku belum pernah mendengar tangisan memilukan seperti tangisan kaum wanita Banû Hâsyim mendengar kematian Husain. Dan ‘Amr berkata sambil tertawa:

Bersoraklah hai Wanita Banû Ziyâd,

Bak sorakan wanita kami setelah perang Arnab.

Tangisan ini seperti tangisan untuk ‘Utsmân. Ia lalu naik mimbar dan memberi tahu jemaah akan kematian Husain. Kemudian ia menun­juk ke kubur Nabî dan berkata: “Ya Muhammad. Sebuah pembalasan untuk Perang Badr”. Dan orang-orang Anshâr mengingkarinya.

Ia juga memanggil Abû Rafi’, maulâ Rasûl Allâh: ‘Maulâ siapa engkau?’ Abû Rafi’: ‘Saya maulâ Rasûl Allâh saw.!’ Dan ia lalu meme­cutnya seratus kali. ‘Amr pergi. Setelah itu ia panggil lagi Abû Rafi’: ‘Maulâ siapa engkau?’ Abû Rafi’: ‘Maulâ Rasûl Allâh!’ Ia lalu dipecut seratus kali, dan pergi. Ia mengulanginya lagi sampai 500 kali cambukan. Akhirnya karena takut mati Abû Rafi’ berkata: ‘Aku maulâ paduka!’[129]

Hal serupa juga terjadi sebelum ini, yaitu pada Perang Shiffîn, dua orang yang membawa kepala ‘Ammâr bin Yâsir kepada Mu’âwiyah, bertengkar, masing-masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammâr yang oleh Rasûl dikatakan bahwa pembunuh ‘Ammâr adalah komplotan pemberontak.

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al-Ma’ârif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammâr yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abû al-Ghâdiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammâr dan me­menggalnya kepalanya. Kepala ‘Ammâr telah berubah rupa”. [130]

Abû ‘Umar menceriterakan ‘Ammâr dibunuh oleh Abû al-Ghâdiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz’a as-Saksakî.[131]

Yang lain lagi terjadi tahun 63 H.,683 M., pasukan Yazîd yang dipimpin Muslim bin ‘Uqbah menyerbu kota Madînah dengan 12.000 anggota pasukan, yang terkenal dengan perang Harrah. Yazîd menyerbu dari arah Timur Madînah, yang disebut Harrah Syarqiyah, agar orang Madînah silau oleh sinar matahari. Ia lalu membunuh 7.000 tokoh dan 10.000 rakyat jelata, di antaranya 80 sahabat pengikut Perang Badr, 1.000 orang Anshâr dan 800 kaum Quraisy. Ia membolehkan pasukannya menjarah dan merampok kota Madînah selama 3 hari dan menurut Ibnu Katsîr ada seribu gadis yang hamil akibat perkosaan pada masa itu.

Khalîfah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz, khalîfah berhati mulia, yang memerintah dua setengah tahun dari 92 tahun pemerintahan dinasti Umayyah, mengatakan: ‘Bila ada pertandingan kekejaman pemimpin, maka kita kaum Muslimîn pasti akan jadi juara bila kita kirim Hajjâj bin Yûsuf’.

Seperti dicatat oleh Tirmidzî, Ibnu ‘Asâkir, dalam 20 tahun sebagai gubernur ‘khalîfah’ ‘Abdul Mâlik bin Marwân di Iraq ia telah membunuh 120.000 Muslim dengan berdarah dingin, shabran[132], dan ditemukan dalam penjaranya 80.000 orang dan di antaranya 30.000 wanita yang dihukum tanpa diadili dan banyak yang sudah membusuk. Ia menembaki ka’bah dengan katapel (alat pelempar batu, manjaniq) pada musim haji dalam memerangi Ibnu Zubair. Ia melakukan tindakan kejam yang sukar dilukiskan, terutama terhadap pengikut-pengikut Imâm ‘Alî dan memerlukan buku tersendiri untuk menulis riwayat Hajjâj bin Yûsuf. Ketika ‘Abdul Mâlik akan meninggal ia berpesan agar berlaku baik terhadap Hajjâj bin Yûsuf ‘karena dia telah mengalahkan musuh-musuhmu’.[133]

Ia tidak segan menghina sahabat yang sudah meninggal sekalipun: ‘A’masy menceritakan: ‘Demi Allâh, aku mendengar Hajjâj bin Yûsuf berkata: ‘Mengherankan Abû Hudzail (maksudnya ‘Abdullâh bin Mas’ûd). Ia mengatakan ia membaca Al-Qur’ân, demi Allâh ia hanya kotoran dari kotoran-kotoran orang Badwi. Demi Allâh bila aku bisa menemuinya, akan aku tebas lehernya.[134] Di bagian lain, ia berkhotbah: ‘Demi Allâh, bertakwalah kepada Allâh sesanggupmu, tidak ada itu hari pembalasan. Dengar dan patuhlah kepada Amîru’l-mu’minîn ‘Abdul Mâlik karena ia dapat membalas. Demi Allâh bila aku suruh kamu keluar melalui pintu itu dan kamu keluar dari pintu lain, aku akan ambil darah dan harta­mu’[135]

Hâfizh Ibnu ‘Asâkir berkata: ‘ Hajjâj berkhotbah di Kûfah dan setelah menyebut orang-orang yang berziarah ke kubur Nabî saw. di Madînah, ia berkata: mengapa mereka tidak mengunjungi dan bertawaf di istana Amîru’l-mu’minîn’ ‘Abdul Mâlik, apakah mereka tidak tahu bahwa khalîfah ‘Abdul Mâlik adalah orang yang lebih baik dari Rasûlnya’[136]

Al-Hâfizh Ibnu ‘Asâkir mengatakan : ‘Suatu ketika ada dua orang berbeda pendapat tentang Hajjâj. Seorang mengatakan Hajjâj kafir, dan yang lain mengatakan ia mu’min yang tersesat. Mereka lalu menanyakan pada asy-Syu’bah yang berkata kepada keduanya: ‘Sesungguhnya ia Mu’min di jubahnya tetapi ia sebenarnya adalah thâghût dan kafir seka­fir-kafirnya’.

Tatkala Wâshil bin ‘Abdul A’la bertanya kepadanya tentang Hajjâj bin Yûsuf ia menjawab: ‘Anda menanyaiku tentang si kafir itu?’

Di zaman itu, memenggal kepala seorang muslim oleh penguasa dianggap sebagai permainan anak-anak. Menyayat dan menginjak-injak jenazah Muslim adalah perbuatan sehari-hari. Rata-rata Hajjâj bin Yûsuf selama 20 tahun jadi gubernur Iraq membunuh 7 orang sehari secara berdarah din­gin.

Di zaman itu, lebih baik orang mengaku zindîq atau kafir daripada mengaku Syî’ah. Dan orang-orang Syî’ah yang terancam nyawanya melakukan taqiyah.

Di zaman Banû ‘Abbâs kekejaman terhadap Syî’ah lebih parah. Orang-orang Syî’ah ingin kembali di zaman Banî ‘Umayyah.

Melaknat ‘Alî Dalam Khotbah

Mu’âwiyah memanfaatkan masjid untuk membentuk opini masyarakat. Dalam khotbah Jum’atnya ia selalu berdoa: ‘Allâhumma, ya Allâh. Sesungguhnya Abû Turâb (‘Alî bin Abî Thâlib) menghalang-halangi perkembangan agama-Mu, menyimpang dari jalan-Mu, maka laknati dia dengan laknat yang sebesar-besarnya dan siksalah dia dengan siksa yang seberat-beratnya!’[137]. Tatkala ia melaknat ‘Alî dalam khotbahnya di masjid Madînah ummu’l-mu’minîn Ummu Salamah menyurati Mu’âwiyah: ‘Sesungguhnya kamu telah melaknat Allâh dan Rasûl-Nya di atas mimbar-mimbarmu dan kamu melaknat ‘Alî bin Abî Thâlib dan yang mencintainya. Aku bersaksi bahwa Allâh dan Rasûl-Nya mencin­tainya’. Tetapi Mu’âwiyah tidak peduli dengan kata-kata istri Rasûl Ummu Salamah tersebut[138].

Az-Zamakhsyari dalam Rabî’ al-Abrâr dan Suyûthî menceritakan: ‘Di zaman Banû ‘Umayyah lebih dari 70.000 mimbar digunakan melaknat ‘Alî bin Abî Thâlib’. Mimbar-mimbar ini menyebar di seluruh wilayah dari ufuk Timur ke ufuk Barat. Al-Hamawî berkata: ‘ ‘Alî bin Abî Thâlib dilaknat di atas mimbar-mimbar masjid dari Timur sampai ke Barat kecuali masjid jami’ di Sijistan[139]. Di masjid ini hanya sekali terjadi khatib melaknat ‘Alî. Tetapi pelaknatan di mimbar haramain, Makkah dan Madînah, berjalan terus’.[140]

Mu’âwiyah juga memerintahkan untuk memakzulkan ‘Alî (bara’ah) dan menuduhnya sebagai pembunuh ‘Utsmân. Ia melanggar perjanjian dengan Hasan bin ‘Alî tahun 41 H.,661 M. untuk tidak membunuh Syî’ah ‘Alî dan tidak melaknat ‘Alî di masjid.

Abul Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Abî Saif al-Madani dalam kitabn­ya al-Ahdats menggambarkannya untuk kita: ‘Mu’âwiyah menulis dan mengirim satu naskah kepada gubernur-gubernurnya, sesudah ‘Tahun Persatuan’ (‘Am al-Jama’ah), agar memakzulkan siapa saja yang meriwayatkan hadis yang mengutamakan ‘Alî dan keluarganya (ahlu’l-bait). Dirikanlah khotbah-khotbah di seluruh desa dan di atas setiap mimbar yang melaknat ‘Alî dan memakzul­kannya (yabra’ûn minhu)’ kecilkan dia dan keluarganya.. Dan bila kamu telah menerima surat ini maka ajaklah manusia untuk mendengar riwayat keutamaan sahabat, dan khalîfah-khalîfah awal, yaitu Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân serta kabarkan kepadaku segera bila ada seorang saja yang meriwayatkan Abû Turâb (‘Alî, pen.) yang berarti menentang sahabat. Hal ini akan menyenangkan hati saya dan menyejukkan mata saya. Dan lumpuhkan hujjah, argumen, Abû Turâb dan Syî’ahnya, dan kuatkan puji-pujian keutamaan ‘Utsmân’..[141]

Waktu orang mengingatkan Mu’âwiyah agar memperlunak pelaknatan ‘terhadap lelaki itu’, Mu’âwiyah menjawab: ‘Tidak demi Allâh, kita teruskan sampai anak-anak menjadi tua dan orang tua menjadi renta. Jangan memberikan keutamaan kepadanya’

Khalîfah Walîd bin ‘Abdul Mâlik menga­jarkan khotbah berikut untuk melaknat ‘Alî: ‘Mudah-mudahan Allâh melaknatinya, dengan jerat, pencuri anak pencuri’ (lish ibnu lish). Orang-orang heran, seorang khalîfah bisa mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Arab yang buruk seperti itu terhadap ‘Alî.

Bunyi pelaknatan sering berubah-ubah. Khâlid bin ‘Abdullâh al-Qasri, yang diangkat sebagai gubernur Makkah dalam khotbahnya menyebut: ‘Allâhumma ya Allâh, laknatilah ‘Alî bin Abî Thâlib bin Hâsyim, menantu Rasûl Allâh saw., ayah Hasan dan Husain’.

Mughîrah bin Syu’bah Melaknat ‘Alî

Mughîrah bin Syu’bah yang jadi gubernur di Kûfah menyuruh jemaah masjid mengutuk ‘Alî dengan kata-kata: ‘Wahai manusia, pemimpinmu menyuruh kepadaku untuk melaknat ‘Alî, maka kamu laknatilah dia’. jemaah berteriak ‘Mudah-mudahan Allâh melaknati dia!’. Tetapi dalam hati, yang mereka maksudkan dengan ‘dia’ adalah Mughîrah. Pelaknatan Mughîrah terhadap Imâm ‘Alî dilakukan terus menerus. Sekali ia mengatakan dalam khotbahnya: ‘Sesungguhnya Rasûl Allâh saw. tidak menikahkan putrinya dengan ‘Alî karena Rasûl menyukai ‘Alî, tetapi untuk membaiki hubungannya dengan keluarga Abû Thâlib’. Pada suatu ketika ia ditegur sahabat Zaid bin Arqam : ‘Hai Mughîrah, apakah engkau tidak tahu bahwa Rasûl saw. melarang mencerca orang yang sudah mati? Tidakkah engkau melaknat ‘Alî dan ia sudah meninggal?[142]

‘Umar Selamatkan MughîrahMughîrah Berzina. Empat Sahabat Jadi Saksi

Mughîrah bin Syu’bah ini pun turut bersama Abû Bakar dan ‘Umar dalam peristiwa Saqîfah dan oleh ‘Umar ia diangkat sebagai guber­nur. Ia punya riwayat yang menarik dan ditulis serta dibahas oleh para ahli fiqih karena terbebasnya ia dari peristiwa rajam karena perzinaan pada masa kekhalifahan ‘Umar. Empat orang yang menyak­sikan perbuatannya dan semuanya adalah sahabat Rasûl Allâh saw.. Riwayat masuk Islamnya diceritakannya sendiri sebagaimana dimuat oleh Abû’l-Faraj ‘Alî ibnu Husain al-Ishfahânî dalam kitabnya al-Aghânî[143]. Ia berkata: ‘Aku pergi bersama kaum Banû Mâlik,dan kami berada dalam agama ‘jahiliah’, ke al-Maququs, raja Mesir. Kami masuk ke Iskan­dariah dan kami memberikan hadiah kepada raja tersebut dengan barang yang kami bawa. Dan milikku yang sangat sedikit itu aku titipkan pada mereka. Sang raja menerima hadiah mereka dan men­yuruh mereka mengambil hadiahnya secara bergantian. Mereka hanya memberiku sedikit. Kami keluar dan Banû Mâlik membeli hadiah-hadiah untuk keluarga mereka. Mereka sangat gem­bira dan mereka tidak menunjukkan kepada saya kemurahan hati mereka. Dan tatkala pergi mereka membawa khamr, minuman keras, dan kami minum bersama-sama... Akhirnya aku mengambil keputusan untuk membunuh mereka. Mereka menuangkan minuman dan mengajakku terus minum. Aku berkata: ‘Aku pening’. Dan aku mulai menuangkan minuman untuk mereka sehingga mereka tidak sadarkan diri. Aku lalu meloncat ke arah mereka, membunuh mereka semua dan mengambil semua yang mereka bawa. Aku datang ke Madînah dan menemui Nabî saw.. Nabî sedang duduk bersama Abû Bakar yang telah mengenalku. Dan tatkala melihatku, Abû Bakar bertan­ya: ‘Anak saudaraku ‘Urwah?’ Aku menjawab: ‘Ya, aku datang untuk mengucapkan ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah pesuruh-Nya’. Dan Rasûl Allâh saw. mengata­kan: ‘Alhamdulillâh’. Abû Bakar berkata: ‘Apakah engkau datang dari Mesir?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Dan Abû Bakar melanjutkan: ‘Dan apa yang dilakukan oleh kaum Banû Mâlik yang berjalan bersamamu?’. Aku menjawab: ‘Antara aku dan mereka tidak akan terjadi antara orang Arab, kami berada dalam agama syirk, aku telah membunuh mereka dan aku mengambil barang muatan mereka dan aku membawanya kepada Rasûl Allâh saw. agar Rasûl mengambil khumus, seperlimanya, yaitu barang rampasan dari kaum musyrikin. Rasûl Allâh saw. lalu ber­sabda: ‘Tentang engkau masuk Islam, aku terima, dan kami tidak akan mengambil dari barangmu sedikit pun jua apalagi seperliman­ya, karena barangmu itu adalah hasil pengkhianatan dan pengkhia­natan tiada sedikit pun mengandung kebaikan. Aku berkata: ‘Ya Rasûl Allâh, aku membunuh mereka sedang aku berada dalam agama kaumku!’ Kemudian aku telah menjadi Muslim sesaat setelah menemuimu’. Demikian Mughîrah. Ia ternyata telah membunuh 13 orang.

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrahmân bin Abî Bakrah: Abû Bakrah, Ziyâd, Nafi’ dan Syabl bin Ma’bad berada di sebuah kamar tingkat dua dan Mughîrah berada di kamar bawah yang berseberangan. Angin bertiup, pintu terbuka dan tirai terangkat. Dan mereka menyaksikan Mughîrah berada di antara kedua paha seorang perempuan. Dan mereka berkata satu dengan yang lain: Kami telah diberi percobaan oleh Mughîrah. ‘Abdurrahmân melanjutkan: Kemudian Abû Bakrah ra. dan Nafi’ ra. dan Syabl ra. memberi kesaksian, tetapi Nafi’ tidak mengungkapkan dengan pasti bahwa Mughîrah telah menzinai perempuan itu. Dan ‘Umar mencambuk mereka bertiga kecuali Ziyâd. Tetapi Abû Bakrah ra. tidak puas. Ia berkata: ‘Bukankah kamu telah mencambukku? ‘Umar menjawab: ‘Benar’. Abû Bakrah melanjutkan: ‘Dan aku bersaksi dengan nama Allâh, bahwa Mughîrah telah melakukannya’. ‘Umar mau mencambuknya sekali lagi. Namun ‘Alî berkata: ‘Bila penyaksian Abû Bakrah dijadikan penyaksian dua orang, maka rajamlah juga sahabatmu’.

Dan dalam lafal lain: ‘’Umar hendak mengulangi hukuman dan ‘Alî ra. menyelanya dengan berkata: ‘Bila engkau mencambuknya, maka rajamlah sahabatmu’. Maka pergikah ‘Umar tanpa mencambuknya. Dan dalam lafal lain lagi: ‘’Umar berniat memukulnya tetapi ‘Alî berkata: ‘Bila engkau memukul yang ini, maka rajamlah yang itu!’

Anas bin Mâlik menceritakan: ‘ Mughîrah bin Syu’bah keluar dari kantor gubernur pada tengah hari, dan bertemu dengan Abû Bakrah dan Nafî’ ats-Tsaqafî. Abû Bakrah menegur: ‘Hendak ke mana wahai gubernur?’ Mughîrah: ‘Ada keperluan!’ Abû Bakrah: ‘Ada keperluan apa?’ Mughîrah: ‘Pemi­mpin itu dikunjungi orang, bukan mengunjungi orang!’ Anas melan­jutkan: ‘Dan perempuan yang bernama Jamîl binti al-Afqâm yang dikunjungi Mughîrah, adalah tetangga bersebe­lahan dengan Abû Bakrah. Abû Bakrah berada di kamarnya bersama sahabat-sahabat dan dua orang saudar­anya, Nafî’ dan Ziyâd serta seorang lagi yang dipanggil orang Syabl bin Ma’bad; kamar perempuan itu berha­dapan dengan kamar Abû Bakrah. Angin meniup, pintu kamar perempuan itu terbuka dan mereka melihat Mughîrah sedang berhubungan seks dengannya. Abû Bakrah berkata: ‘Ini percobaan’. Mereka melihat sampai mereka yakin dan Abû Bakrah keluar rumah. Mughîrah keluar dari rumah perem­puan itu dan ia pergi untuk mengimami salat lohor dan Abû Bakrah menahannya dan berkata: ‘Demi Allâh, jangan menjadi imam kami setelah apa yang engkau lakukan!’. Jemaah berkata: ‘Panggil dia untuk mengimami salat, karena dia adalah pemimpin’. Maka dengan kejadian ini mereka membuat surat yang dikirim kepada khalîfah ‘Umar. Dan ‘Umar memerintahkan untuk menghadirkan Mughîrah dan para saksi.

Mush’ab bin Sa’d menceritakan: ‘ ‘Umar bin Khaththâb ra. sedang duduk dan ia memanggil Mughîrah dan para saksi. Abû Bakrah maju ke depan dan ‘Umar bertanya: ‘Apakah engkau melihat dia berada di antara kedua paha perempuan itu?’. Abû Bakrah: ‘Ya, demi Allâh, aku melihat dari celah dinding ia berada di antara kedua pahanya!’ Mughîrah: ‘Dia telah salah lihat!’. Abû Bakrah: ‘Apakah engkau tidak merasa aib bila dihina Allâh?’ “ ‘Umar: ‘Tidak, demi Allâh, sampai engkau menyaksikan bahwa engkau telah melihat seperti masuknya tangkai celak ke dalam botolnya’. Abû Bakrah: ‘Benar, aku menyaksikan demikian itu!’ ‘Umar: ‘Berangkat seperempat dirimu, hai Mughîrah!’. Kemudian Nafi’ dipanggil dan ‘Umar berka­ta: ‘Engkau menyaksikan apa?’ Nafi’: ‘Seperti yang disaksikan Abû Bakrah!’ ‘Umar: ‘Engkau tidak melihat seperti masuknya tangkai celak ke dalam botol!’ Nafi’: ‘Aku melihat pas seperti itu!’. ‘Umar: ‘Berangkat, hai Mughîrah setengah dirimu!’ Kemudian di­panggil saksi ketiga dan ‘Umar berkata: ‘Apa yang engkau saksi­kan?’ Dia berkata: ‘Seperti yang disaksikan kedua teman saya!’. ‘Umar: ‘Berangkat tiga perempat nyawamu, Mughîrah!’. Kemudian ‘Umar menulis surat kepada Ziyâd dan Ziyâd masuk untuk menghadap. Ia melihat ‘Umar sedang duduk di masjid dikerumuni tokoh-tokoh kaum Muhâjirîn dan Anshâr. Mughîrah lalu berkata kepadanya: ‘Berikan kepadaku kata-kata yang engkau pernah ucapkan untuk mengasihani suatu kaum!’. Tiba-tiba ‘Umar datang. Ia berkata: ‘Aku melihat lidah lelaki yang tidak akan pernah diper­malukan Allâh bila berbicara di hadapan kaum Muhâjirîn’. Ziyâd: ‘Ya, Amîru’l-mu’minîn, suatu kaum memiliki haq dan aku tidak memilikinya. Aku melihat majlis yang buruk dan aku mendengar suara yang makin cepat dan meninggi dan aku melihat ia menutupin­ya dengan tubuhnya!’. Maka ‘Umar berkata: ‘Apakah engkau meli­hatnya masuk seperti tangkai celak ke dalam botol?’ Ia berkata: ‘Tidak!’.

Dan dalam lafal lain, ia berkata: ‘Aku melihat ia di atas, di antara kedua kaki perempuan itu dan aku melihat kedua buah za­karnya maju mundur di antara kedua pahanya dan aku melihat gera­kan cepat serta aku mendengar suara napas yang meninggi’. Dalam lafal Thabarî, ia berkata: ‘Aku melihat dia duduk di antara kedua kaki perempuan itu dan melihat kedua buah zakarnya maju dan bergoyang dan bokongnya telanjang dan aku dengar suara gesekan’. Dan ‘Umar berkata: ‘Apakah engkau melihat ia memasukkannya seper­ti tangkai masuk kedalam botol celak?’. Ia berkata: ‘Tidak!’. Maka berkatalah ‘Umar: ‘Allâhu akbar, datangi mereka dan pukul mereka (bertiga). Maka ia pun mendatangi Abû Bakrah dan mencam­buknya 80 kali dan begitu pula dua yang lain. Mereka heran akan perkataan Ziyâd untuk menyelamatkan Mughîrah dari hukum rajam. Selesai dicambuk, Abû Bakrah berkata: ‘Aku benar-benar bersaksi bahwa Mughîrah melakukannya!’. ‘Umar hendak mencambuknya, tapi ‘Alî menyela: ‘Bila engkau mencambuknya maka sahabatmu harus dirajam!’. Dan ‘Umar tidak jadi mencambuknya[144].

Orang heran akan perkataan ‘Umar seperti ditulis dalam al-Aghânî: ‘Aku melihat seorang lelaki yang tidak akan dipermalukan Allâh lidahnya di hadapan kaum Muhâjirîn’ atau ‘Aku melihat wajah seorang lelaki yang mengharap tidak akan merajam seorang sahabat Rasûl Allâh, dan tidak mempermalukannya dengan penyaksiannya’ seperti yang tertulis dalam Futûh al-Buldân, atau kata-katanya ‘Aku melihat seorang lelaki cerdik yang tidak akan berkata kecua­li benar dan tidak akan menyembunyikan apa pun di hadapanku’ seperti dimuat dalam Sunan al-Baihaqî, atau kata-kata ‘Umar: ‘Aku melihat seorang lelaki cerdik, tidak akan bersaksi, insya Allâh, kecuali yang benar, seperti tertulis dalam Kanzu’l-’Ummâl. Orang berpendapat bahwa ‘Umar telah menyelamatkan Mughîrah dari hukum rajam.

Abû’l-Faraj al-Ishfahânî menceritakan dalam al-Aghânî bahwa Raqtha’, wanita yang berhubungan dengan Mughîrah di Bashrah tersebut, sering mengunjungi Mughîrah tatkala Mughîrah pindah jadi gubernur di Kûfah. ‘Umar dalam perjalanan haji, setelah peristiwa tersebut, melihat Raqtha’ dan Mughîrah di Makkah. ‘Umar bertanya pada Mughîrah apakah dia mengenal wanita itu. Mughîrah mengatakan bahwa dia adalah Ummu Kaltsum binti ‘Alî. ‘Umar yang mengenal Ummu Kaltsum menjawab: ‘Jahanam kau, engkau membohongiku. Demi Allâh, saya yakin Abû Bakrah benar dalam kesaksiannya. Saya khawatir bila saya melihatmu, batu akan jatuh ke kepalaku dari langit!’ Ya’qûbi menceritakan bahwa mulai saat itu, bila ‘Umar bertemu dengan Mughîrah ia mengatakan: ‘Hai Mughîrah, tiap kali aku melihatmu aku takut Allâh akan merajam aku dengan batu’.

Hassân bin Tsâbit membuat syair untuk Mughîrah seperti dimuat dalam al-Aghânî:

Andaikata ketercelaan bernasab insan,

Maka dialah si pecak bermuka buruk,

Kau tinggalkan agama, kau lepaskan Islam,

Menyusup di bawah selendang wanita,

Kau kira telah kembali muda remaja,

Bermain cinta dengan para budak atas nama istana. [145]

Mughîrah ini juga yang mengusulkan agar Mu’âwiyah menunjuk anakn­ya Yazîd jadi khalîfah: ‘Serahkan penduduk Kûfah kepadaku dan serahkan urusan Bashrah kepada Ziyâd dan setelah kedua daerah itu tak seorang pun akan menentang’ katanya pada Mu’âwiyah. Ia memberi 30.000 dirham untuk sepuluh tokoh Kûfah dan dengan dipimpin oleh Mûsâ bin Mughîrah bin Syu’bah mereka menghadap ke Mu’âwiyah dan menyatakan janji mereka. Waktu meninggal, ia meninggalkan 300 dan ada yang mengatakan 600 budak.

Sa’d Berdebat Dengan Mu’âwiyah

Pembangkangan untuk melaknat ‘Alî berarti fatal seperti yang dialami sahabat Rasûl Allâh saw. Hujur bin ‘Adî al-Kindî dan sahabat-sahabatnya yang dibunuh secara berdarah dingin, shabran. Pembunuhan ini terjadi tahun 51 H.,671 M.

Pelaknatan terhadap Imâm ‘Alî di atas mimbar di masjid Madînah oleh Marwân bin Hakam, gubernur Mu’âwiyah di Madînah, disaksikan oleh keluarga dan kerabat Rasûl Allâh saw.. Tidak banyak sahabat yang berani menegur Mu’âwiyah. Yang menarik adalah, Sa’d bin Mâlik atau lebih terkenal dengan nama Sa’d bin Abî Waqqâsh. Meskipun Sa’d bin Abî Waqqâsh dan ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khaththâb, tidak mau membaiat ‘Alî, tetapi mereka berdua, tidak dapat berdiam diri dan menegur Mu’âwiyah. Bila ada Sa’d, satu dari enam anggota Sûyrâ, ia tidak berani melaknat ‘Alî. Tatkala ia akan berkhotbah di masjid Nabî dan akan melaknat ‘Alî, Sa’d berkata: ‘Bila engkau melaknat ‘Alî aku pasti keluar dari masjid’[146]. Sa’d bin Abî Waqqâsh, setelah meninggalnya ‘Utsmân, hidup menyendiri. Pertemuannya dengan Mu’âwiyah hampir selalu terjadi di masjid. Ia memanggil Mu’âwiyah sebagai raja dan bukan khalîfah. Setelah ‘Alî meninggal, hanya ia seorang diri lagi yang anggota syura dan selalu mengatakan kesalahannya tidak membaiat ‘Alî. ‘Saya telah mengambil keputusan yang salah.[147] Dan tatkala orang menyalahkannya karena tidak mau mendukungnya memerangi ‘Alî ia berkata: ‘Saya menyesal tidak memerangi al-fi’ah al-bâghiah, kelompok pemberontak (yaitu Mu’âwiyah)’[148]. Sayang anaknya ‘Umar Sa’d bin Abî Waqqâsh telah memimpin pasukan Yazîd membunuh Husain di Karbala.

Muslim dan Tirmidzî meriwayatkan melalui jalur Amîr bin Sa’d bin Abî Waqqâsh yang berkata: ‘Mu’âwiyah berkata kepada Sa’d: ‘Apa yang menghalangimu melaknat Abû Turâb?’. Sa’d menjawab: ‘Ada tiga hal yang diucapkan Rasûl Allâh saw. sehingga aku tidak akan pernah mencacinya, karena bila saja aku mendapat satu dari tiga keuta­maan itu aku lebih suka dari pada memiliki harta apa saja yang paling berharga. Kemudian ia menyebut hadis al-Manzilah[149], ar-Râyah (bendera)[150] dan al-Mubâhalah[151] Al-Hâkim menambahkan: ‘Demi Allâh Mu’â­wiyah tidak bicara sepatah kata pun sampai ia meninggalkan Madî­nah.[152]

Dalam lafal Thabarî: ‘Tatkala Mu’âwiyah naik haji, ia berthawaf bersama Sa’d dan setelah selesai, Mu’âwiyah pergi ke Dar an-Nadwah dan mengajak Sa’d duduk bersama di ranjangnya (sarir) dan Mu’âwiyah mulai memaki ‘Alî dan Sa’d bangkit dan berkata: ‘Engkau mengajak aku duduk bersama di ranjangmu kemudian engkau memaki ‘Alî, demi Allâh bila aku dapat satu saja yang didapat ‘Alî aku lebih suka dari apa yang dapat didatangkan matahari; sampai ia selesai mengemukakan hadis dan Sa’d bicara: ‘Demi Allâh, aku tidak akan memasuki rumahmu!’

Mas’ûdî menceritakan setelah membawakan riwayat Thabarî: ‘Dan aku juga menemukan riwayat dari Kitâb ‘Alî bin Muhammad bin Sulaimân an-Naufali dalam ‘al-Akhbâr’ yang berasal dari Ibnu ‘Â’isyah dan lain-lain: ‘Bahwa Sa’d setelah menyampaikan kata-kata tersebut kepada Mu’âwiyah, ia lalu bangkit untuk pergi dan Mu’âwiyah berkata: ‘Duduk, sampai engkau dengar jawaban­ku, lalu mengapa tidak kau tolong ‘Alî, dan mengapa engkau tidak membaiatnya? Dan aku sendiri, bila aku telah mendengar dari Nabî saw. seperti yang kudengar tentangnya, maka aku akan menjadi pelayan ‘Alî selama hidupku!. Sa’d menjawab: ‘Demi Allâh aku lebih berhak terhadap kedudukanmu dari dirimu’. Mu’âwiyah menja­wab: ‘Banû ‘Adzrah menolakmu.[153]

Ibnu Katsîr[154] meriwayatkan: ‘Sa’d bin Abî Waqqâsh datang kepada Mu’âwiyah dan ia berkata: ‘Raja (Mâlik), mengapa engkau memerangi ‘Alî? Mu’âwiyah menjawab: ‘Aku bertemu angin gelap... Tidak ada dalam Kitâb Allâh, tetapi Allâh SWT berfirman: ‘Dan jika dua golongan orang beriman ber­tengkar, damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allâh.’.[155] Demi Allâh Aku bukanlah durjana terhadap keadilan dan bukanlah adil terhadap orang durhaka. Maka Sa’d berkata: ‘Aku tidak akan memerangi seseorang, kepada siapa Rasûl Allâh saw. berkata: ‘Kedudukanmu di sisiku seperti Hârûn di sisi Mûsâ, hanya saja tiada Nabî sesudahku!’. Mu’âwiyah berkata: ‘Siapa yang dengar bersama engkau?’. Dan Sa’d menyebut nama-nama, di antaranya Ummu Salamah[156] . Mu’âwiyah berkata: ‘Andaikata aku dengar dari Nabî, aku tidak akan perangi ‘Alî’.

Dan dalam riwayat lain: ‘Bahwa pembicaraan ini terjadi antara keduanya di Madînah tatkala Mu’âwiyah naik haji. Maka mereka berdua mendatangi Ummu Salamah dan mereka berdua menanyainya dan Ummu Salamah menyampaikan hadis seperti yang disampaikan Sa’d, maka berkatalah Mu’âwiyah: ‘Andaikata aku mendengarnya sebelum ini, maka aku akan jadi pelayannya sampai ‘Alî meninggal atau sampai saya meninggal’.

Setelah Sa’d meninggal, Mu’âwiyah tidak pernah meninggalkan pelak­natan terhadap ‘Alî dalam khotbahnya. Menurut sebagian penulis, ia dibunuh Mu’âwiyah melalui pasukan madunya (istilah pembunuhan dengan racun oleh Mu’âwiyah).

Demikian pula dengan ‘Abdullâh bin ‘Umar pada akhirnya berkata: ‘Saya tidak pernah menyesal hidup di dunia, kecuali tidak berperang bersama ‘Alî bin Abî Thâlib melawan kelompok pemberontak sebagaimana diperintahkan Allâh’[157] Pelaknatan terhadap ‘Alî dilanjutkan sampai berakhirnya pemerin­tahan Banû ‘Umayyah selama 92 tahun dan hanya diselingi dua setengah tahun pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul Azîz.

Pada masa itu hampir tidak ada orang tua yang menamakan anaknya ‘Alî. Seorang suami mengadu kepada Hajjâj, karena istrinya mema­kinya sebagai ‘Alî dan meskipun ia miskin, tapi ia merasa terhina disebut sebagai ‘Alî, ‘si pembunuh khalîfah ‘Utsmân’.

Membunuh Hujur Dan Kawan-kawan.

Membunuh Shaifi bin Fasil

Memerlukan beberapa buku untuk melukiskan pelaknatan, pembuatan hadis palsu dan kekejaman-kekejaman yang saling berkaitan yang terjadi di zaman para sahabat dan tâbi’în ini.

Tapi perlu rasanya dikemukakan disini peristiwa pembunuhan terhadap Shaifi bin Fasil yang disuruh Ziyâd bin Abih melaknat ‘Alî yang sudah lama meninggal.

“Ziyâd memburu sahabat Hujur dan mereka melarikan diri. Qais bin ‘Ubad datang melapor pada Ziyâd:

Ada seorang bernama Shaifi bin Fasil. Ia adalah sahabat Hujur’. Ziyâd menyuruh orang membawanya kepada Ziyâd: ‘Hai, musuh Allâh, apa pendapat Anda tentang Abû Turâb?’ Shaifi: ‘Aku tidak mengenal Abû Turâb’. Ziyâd: ‘Engkau tidak mengenalnya? Apakah engkau kenal ‘Alî bin Abî Thâlib? Shaifi: ‘Ya’. Ziyâd: ‘Dialah Abû Turâb!’ Shaifi: ‘Bukan, beliau adalah ayah dari Hasan dan Husain!’ Qais menyela: ‘Bukan­lah al-Amîr telah mengatakan ia Abû Turâb dan engkau berani mengatakan tidak? Shaifi: ‘Apakah bila al-Amîr berdusta, engkau mau aku berdusta juga? Dan aku bersaksi batil seperti dia? Ziyâd: ‘Ambil alat pemukul!’ dan seorang menyerahkannya. Ziyâd melanjut­kan: ‘Apa yang akan engkau katakan tentang ‘Alî?’ Shaifi: ‘Perkataan terbaik yang aku akan ucapkan bagi hamba dari hamba-hamba Allâh. Aku memanggilnya Amîru’l-mu’minîn. Ziyâd: ‘Kamu semua, pukullah dia di bahunya dengan tongkat ini sampai dia jatuh lengket ke bumi’. Dan mereka memukulnya sampai ia ambruk dan Ziyâd berkata: ‘Apa katamu ten­tang ‘Alî?’ Shaifi: ‘Demi Allâh, andaikata kau bilang apa pun, aku hanya akan mengatakan yang aku tahu tentangnya’. Ziyâd: ‘Engkau laknati dia atau kupenggal lehermu!’ Shaifi: ‘Demi Allâh bila kau lakukan lebih awal aku lebih senang dan engkau lebih susah!’ Ziyâd: ‘Tingkatkan pukulannya kemudian masukkan ke dalam penjara!’ Sesudah itu ia dikirim ke Damaskus dan dibunuh bersama-sama dengan Hujur dan teman-temannya’.

Sebenarnya Ziyâd dan Abû Burdah, anak Abû Mûsâ al-’Asy’arî, membuat pernyataan dengan mengumpul 70 tandatangan ‘tokoh tokoh’ Kûfah dengan penyaksian palsu, di antaranya anak-anak Thalhah, Sa’d bin Abî Waqqâsh dan Zubair bin ‘Awwâm. Hujur bin ‘Adî, sahabat Rasûl saw. yang terkenal sangat salih, dan 12 sahabatnya dikirim kepada Mu’âwiyah di Damaskus. Mereka lansung dibawa ke penjara Murj ‘Adzrâ’ di dekat Damaskus.

Contoh dialog dengan Mu’âwiyah:

‘Tatkala Al-Khats’imi dibawa masuk menghadap Mu’âwiyah ia berka­ta: ‘Allâh, Allâh wahai Mu’âwiyah, Engkau akan meninggalkan rumah yang fana ini menuju rumah yang baka dan akan ditanyai apa yang engkau inginkan sebenarnya dengan membunuh kami dengan mengu­curkan darah kami? Mu’âwiyah: ‘Apa yang akan kau katakan tentang ‘Alî? Al-Khats’imi: ‘Apakah aku harus mengikuti perkataanmu, apakah engkau membebaskan diri dari ‘agama ‘Alî’ yang sebenarnya adalah agama yang ditetapkan Allâh?’. Mu’âwiyah tidak menjawab. Ia dimakzulkan, dan tidak boleh masuk Kûfah dan meninggal di Mesir, sebulan sebelum Mu’âwiyah.

Kemudian maju ‘Abdurrahmân bin Hassân. Mu’âwiyah: ‘Apa yang akan engkau katakan tentang ‘Alî?’ ‘Abdurrahmân: ‘Bunuh saja saya dan jangan menanyai saya, karena ‘Alî lebih baik dari engkau’. Mu’âwiyah: ‘Demi Allâh, aku tidak akan membunuhmu sampai kau mengabarkan kepadaku tentangnya’. ‘Abdurrahmân: ‘Aku bersaksi bahwa ia adalah dari orang-orang yang banyak berzikir kepada Allâh dan yang mengajak kepada kebajikan dan menjauhi kejahatan[158], dan pemaaf’. Mu’âwiyah: ‘Dan apa pendapatmu tentang ‘Utsmân?’ ‘Abdurrahmân: ‘Ia adalah orang pertama yang membuka pintu kelaliman, dan menu­tup pintu-pintu ‘haq’. Mu’âwiyah: ‘Engkau membunuh dirimu sen­diri!’ ‘Abdurrahmân al-’Anzi: ‘Tidak, engkaulah yang membunuh orang yang bicara benar’. Dan Mu’âwiyah mengirimnya kepada Ziyâd dengan surat: ‘Amma ba’du. Aku kirim al-’Anzi ini kepadamu agar kau hukum dia dengan hukuman yang pantas baginya. Bunuhlah dia dengan cara yang seburuk-bur­uknya’. Tatkala tiba di Kûfah Ziyâd mengirimnya ke al-Nathif[159] kemudian ia dikubur hidup-hidup.

Sahabat-sahabat Hujur yang dibunuh adalah Syarîk bin Syaddâd al-Hadhramî, Shaifî bin Fasîl asy-Syaibânî, Qabîshah bin Dhâbi’ah al-’Abbasî, Mahrz bin Syahhâb al-Munqarî, Kadâm bin Hayyan al-’Anzî dan ‘Abdurrahmân bin Hassân al-’Anzî.[160]

Gubernur-gubernur biasanya mengumpulkan anggota masyarakat di masjid dan lapangan. Mereka lalu dibimbing untuk melaknat ‘Alî. Bila menolak, mereka lalu dipancung.

Ziyâd, gubernur Kûfah mengerahkan rakyat di depan pintu istananya dan memerintahkan mereka melaknat ‘Alî. Al-Baihaqî menceritakan: ‘Mereka diperintahkan untuk memakzulkan ‘Alî Karramallâhu wajha­hu, dan mereka lalu memenuhi masjid dan lapangan, dan yang menolak dipenggal kepalanya. Dan Ibnu al-Jauzî menceritakan: ‘Tatkala penduduk Kûfah melemparnya dengan batu kerikil waktu ia sedang khotbah ia memotong tangan 80 orang dari mereka. Dengan ancaman akan merobohkan rumah-rumah dan menebang pohon-pohon kurma mere­ka, ia mengumpulkan mereka sehingga masjid dan lapangan penuh dan menyuruh mereka memakzulkan ‘Alî serta memberi tahu bahwa bila mereka membangkang maka ia akan membasmi mereka dan menghancurkan kampung mereka. Di antara mereka terdapat kaum Anshâr.[161]

Khalîfah ‘Abdul ‘Azîz: ‘Melaknat ‘Alî demi Kekuasaan’

‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz yang kemudian menjadi satu-satunya khalîfah ‘Umayyah yang melarang pelaknatan terhadap ‘Alî menceritakan pengalamannya waktu ia masih seorang ‘pangeran’, masih anak-anak: ‘Saya masih anak-anak dan saya belajar mengaji pada salah seorang anak ‘Uqbah bin Mas’ûd. Suatu ketika ia berpapasan dengan saya yang sedang bermain dengan kawan-kawan dan sedang melaknat ‘Alî. Ia masuk ke masjid dan anak-anak teman saya itu pulang. Saya masuk ke masjid untuk belajar dari padanya. Saya melihat ia salat dan ia memperpanjang salatnya seperti ingin menunjukkan bahwa ia tidak senang. Aku mengerti. Tatkala selesai ia salat, wajahnya kelihatan merengut. Aku bertanya: ‘Bagaimana guru?’. Ia menjawab: ‘Wahai anakku, engkau melaknat ‘Alî sepanjang hari ini!’ Aku menjawab: ‘Benar!’ Ia melanjutkan: ‘Dan sejak kapan engkau tahu Allâh SWT membenci pengikut perang Badr setelah Ia rida akan mereka?’ Aku berkata: ‘Wahai guru, apakah ‘Alî itu pengikut perang Badr?’ Guru saya menjawab: ‘Astaghfirullâh, apa akan jadi dengan Perang Badr seluruhnya tanpa dia!’ Aku berkata: ‘Aku tidak akan mengulangi!’ Ia berkata: ‘Allâh menyaksikan bahwa engkau tidak akan ulangi!’. Aku menjawab: ‘Benar!’. Dan sejak itu aku tidak pernah melaknat ‘Alî. Sampai suatu ketika aku hadir di bawah mimbar masjid Madînah dan ayahku jadi khotib Jum’at. Pada waktu itu ayahku adalah gubernur di Makkah. Aku mendengar ayahku bicara lancar sampai pada saat ia melaknat ‘Alî dan suaranya jadi tidak jelas, terbata-bata dan menyesakkan, hanya Allâh yang tahu. Dan aku terheran-heran melihat yang demikian itu. Maka suatu hari aku bertanya kepadanya: ‘Wahai ayah, engkau berkhotbah begitu fasih dan lancar, belum pernah aku lihat engkau berkhotbah begitu baik, tetapi setelah engkau sampai pada melaknat lelaki itu engkau lalu tergagap-gagap tidak karuan.’ Ayahku menjawab: ‘Wahai anakku, andaikata orang Syam atau siapa saja yang berada di bawah mimbar mengetahui keutamaan lelaki ini seperti yang diketahui ayahmu ini, maka tiada seorang pun akan mengikuti kita’’. Demikian ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.[162] Suatu ketika Imâm Zainal ‘Âbidîn bin Husain bin ‘Alî bertanya kepada Marwân tatkala menyaksikan Marwân melaknat kakeknya yang sudah meninggal: ‘Mengapa engkau mencaci ‘Alî?’ Marwân menjawab: ‘Karena pemerintahan kami tidak akan tegak selain berbuat demikian!’

Membuat Hadis Palsu

Mu’âwiyah Mengorganisir Hadis Palsu

Di masa pemerintahan Banû ‘Umayyah selama 92 tahun[163], telah dibuat banyak sekali hadis palsu yang direncanakan untuk mengucilkan ‘Alî dan membesarkan ketiga khalîfah Râsyidûn yang lain, atas perintah Mu’âwiyah, raja pertama dalam sejarah Islam.

Para gubernur diwajibkan untuk mengkhotbahkan hadis-hadis terse­but di seluruh masjid-masjid dari ‘ufuk Timur ke ufuk Barat’.

Dengan demikian biarpun hadis ini jelas shahîh, karena rangkaian isnâdnya lengkap dan nama-nama penyalur dapat dipercaya, ‘peny­akit’ masih ada, yaitu yang bersumber dari kalangan sahabat sendiri atau tâbi’în sendiri.

Khotbah-khotbah itu, begitu besar pengaruhnya sehingga pernah terjadi seorang bapak mengadu kepada penguasa karena istrinya telah menghinanya dengan menamakannya ‘Alî.[164]

Hadis-hadis ini dapat disebut ‘hadis penguasa’ karena diorganisir oleh pelaksana pemerintahan demi mempertahankan kedudukannya dan bersumber dari para sahabat dan tâbi’în.

Untuk memahami timbulnya hadis-hadis palsu jenis ini, perlu kita memahami sifat-sifat jahiliah yang masih tersisa di zaman saha­bat. Sifat-sifat jahiliah ini tidak hanya mengakibatkan pembunu­han, pemerkosaan, pelecehan terhadap jenazah dengan mengarak kepala-kepala jenazah di jalan-jalan, perampokan, perbudakan terhadap wanita-wanita, pendongkelan mata yang dilakukan terhadap Syî’ah ‘Alî serta pelanggaran hak-hak azasi yang begitu dilindun­gi oleh Islam, tetapi juga pembuatan hadis palsu yang terencana.

Abû Ja’far Al-Iskâfî menceritakan: ‘Mu’âwiyah memerintahkan para sahabat dan tâbi’în untuk membuat riwayat yang memburuk-burukkan ‘Alî bin Abî Thâlib, menyerangnya dan memakzulkannya, di antaranya Abû Hurairah, ‘Amr bin ‘Âsh, Mughîrah bin Syu’bah dan di antara tabiin ‘Urwah bin Zubair.’[165]

‘Urwah bin Zubair Buat Hadis Palsu: ‘Alî Masuk Neraka

Marilah kita lihat beberapa contoh: Az-Zuhrî meriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair yang menyampaikan kepadanya: ‘’Â’isyah menyampaikan kepadaku dengan kata-kata: ‘Aku bersama Rasûl Allâh tatkala muncul ‘Abbâs dan ‘Alî bin Abî Thâlib, dan Rasûl bersabda: ‘Ya ‘Â’isyah, sesung­guhnya kedua orang itu akan mati di luar millatku atau di luar agamaku’.

Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazaq dari Ma’mar yang berkata: ‘Zuhrî mempunyai dua hadis yang berasal dari ‘Urwah dari ‘Â’isyah tentang ‘Alî; dan pada suatu hari aku bertanya kepadanya tentang mereka berdua dan ia berkata: ‘Apa yang engkau akan lakukan dengan mereka berdua dan kedua hadis tentang mereka berdua! Allâh mengetahui keduanya. Aku sendiri mendahulukan mereka berdua di antara Banû Hâsyim’. Selanjutnya ia berkata: ‘Tentang hadis pertama, telah kami beritahukan. Dan hadis kedua berasal dari ‘Urwah yang menyatakan bahwa hadis itu didengarnya dari ‘Â’isyah. ‘Â’isyah berkata: ‘Aku bersama Nabî saw. tatkala muncul ‘Abbâs dan ‘Alî dan Rasûl bersabda: ‘Ya ‘Â’isyah, bila menyenangkan hatimu untuk melihat kepada dua orang lelaki ahli neraka, maka lihatlah kepada kedua orang yang akan muncul’ dan aku melihat dan tiba-tiba muncul ‘Abbâs dan ‘Alî bin Abî Thâlib’.

‘Amr bin ‘Âsh Buat Hadis:

‘Alî Dengan Fâthimah:

Perkawinan Politik

Sedang ‘Amr bin ‘Âsh yang diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim dalam shahîh mereka yang berasal dari ‘Amr bin ‘Âsh yang berkata: ‘Aku mendengar Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Sesungguhnya keluarga Abî Thâlib, bukan wali-wali-ku. Sesungguhnya wali-ku adalah Allâh dan orang-orang mu’minîn yang shalih.’

Abû Hurairah Buat Hadis: ‘Agama Diamanatkan Pada Mu’âwiyah.

‘Alî Buat Bid’ah

Contoh lain adalah Abû Hurairah. Sesudah ‘Utsmân meninggal, Abû Hurairah membaiat Mu’âwiyah. Kepribadiannya yang piknikus itu dapat dilukiskan dengan kata-katanya sendiri: ‘Sesungguhnya semarak makan di meja Mu’âwiyah, dan sungguh sempurna salat di belakang ‘Alî bin Abî Thâlib’. Dan ia pun memilih makan di meja Mu’âwiyah. Ia membaiat Mu’âwiyah sebagai khalîfahnya. Lalu hadis-hadis pun mulai bermunculan. Yang pertama berbunyi: ‘Aku menden­gar Rasûl Allâh bersabda, ‘Sesungguhnya Allâh mengamanatkan wahyu-Nya kepada tiga oknum, yaitu saya, Jibril serta Mu’âwiyah’.[166].

Karena doyannya akan makanan kesukaan Mu’âwiyah maka orang menama­kannya Syaikh al-Mudhîrah. Seluruh hadisnya disampaikan di zaman Mu’âwiyah.

Mudhîrah berasal dari makanan yang disukai Mu’âwiyah yang terbuat dari daging dimasak dengan susu. Syaikh Muhammad ‘Abduh telah membuat sindiran tatkala ia menulis tentang Mudhîrah: ‘Dan Mu’âwiyah mengangkat dirinya menjadi khalîfah setelah pembaiatan ‘Alî bin Abî Thâlib dan tiada yang mengakuinya selama ‘Alî masih hidup kecuali pemburu kelezatan dan syahwat. Menikmati makanan Mu’âwiyah akan menyeretnya mengakui Mu’âwiyah sebagai khalîfah, sedang ‘Alî masih hidup dan telah dibaiat menurut syariat’.[167].

Abû Hurairah sekali menyaksikan ‘Â’isyah binti Thalhah yang terkenal cantik luar biasa (al-jamal al-fa’iq), maka ia berkata: “Mahasuci Allâh! Alangkah cantiknya. Demi Allâh aku tidak (pernah) menyaksikan wajah secan­tik wajahmu, kecuali wajah Mu’âwiyah (tatkala berada) di atas mimbar Rasûl Allâh!”.[168].

Tatkala Mu’âwiyah mendengar berita meninggalnya ‘Alî bin Abî Thâlib, ia demikian gembira, sehingga ia salat dhuha enam ra­ka’at. Kemudian Banû ‘Umayyah memerintahkan mengeluarkan hadis tentang kemuliaan salat dhuha enam raka’at meskipun salat demi­kian tidak pernah dilakukan oleh Nabî, tidak oleh Abû Bakar, tidak oleh ‘Umar dan tidak juga oleh Ibnu ‘Umar. Abû Hurairah lalu membuat hadis yang berbunyi :’Sahabatku mewasiatkan kepadaku agar tidak kutinggalkan tiga hal sampai aku mati. Puasa tiga hari tiap bulan, dan salat dhuha dan tidur sesudah salat witir’[169].

Dan A’masy meriwayatkan: ‘Tatkala Abû Hurairah sampai ke Iraq bersama Mu’âwiyah pada ‘Tahun Persatuan’ (‘am jama’ah, tahun 41 H.,661 M.), ia telah pergi ke Masjid al-Kûfah. Dan tatkala ia melihat banyak orang menyambutnya ia lalu duduk bersi­la, menepuk berkali-kali kepalanya yang botak, kemudian berka­ta: ‘Hai penduduk Irak ! Apakah kamu menganggap aku (berbohong) terhadap Rasûl Allâh? Biarlah aku dibakar di neraka (bila demi­kian) ! Demi Allâh aku telah mendengar Rasûl Allâh bersabda: ‘Sesungguhnya setiap Nabî mempunyai tempat suci. Dan sesungguhnya tempatku yang Suci (Haram) adalah Madînah yaitu antara bukit ‘Air dan Tsaur. Dan barang siapa melakukan bid’ah di dalamnya maka terlaknatlah dia oleh Allâh dan para malaikat serta seluruh manusia. Dan aku bersaksi bahwa ‘Alî telah melaku­kan bid’ah di dalamnya!’ Dan tatkala sampai berita ini kepada Mu’âwiyah, ia lalu membenarkan Abû Hurairah , menyambutnya dengan hormat dan mengangkatnya menjadi gubernur Madînah’.[170]

Begitu gembira ia menjadi gubernur Madînah sehingga diriwayatkan dalam khotbah pertamanya sebagai gubernur ia telah berkata: ‘Segala puji bagi Allâh yang telah menjadikan agama ini tegak teguh dan menjadikan Abû Hurairah sebagai imam’.[171].

Sufyân ats-Tsauri meriwayatkan dari ‘Abdurrahmân bin al-Qâsim dari ‘Umar bin ‘Abdul-Ghaffâr, bahwa suatu ketika Abû Hurairah datang ke Kûfah bersama rombongan Mu’âwiyah. Ia sekali duduk dikerumuni oleh jemaah. Lalu datang seorang pemuda Kûfah yang lansung duduk di dekatnya dan berkata: ‘Ya Abû Hurairah, apakah Anda mendengar Rasûl Allâh saw. bersabda mengenai ‘Alî bin Abî Thâlib: ‘Allâhum­ma, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya?’ Maka Abû Hurairah menjawab: ‘Allâhumma, benar!’. Dan pemuda itu melanjutkan: ‘Maka aku bersaksi dengan nama Allâh, Anda telah mencintai musuh-Nya dan telah memusuhi wali-Nya’. Kemudian ia bangkit dan pergi.

Samurah bin Jundab Jual Hadis Pada Mu’âwiyah.

Contoh lain adalah hadis oleh Samurah bin Jundab. Diriwayatkan di bagian lain bahwa Mu’âwiyah mengadakan tawar menawar dengan Samurah bin Jundab. Mu’âwiyah menawar 100.000 dirham bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan ‘Alî bin Abî Thâlib, yaitu ayat: ‘Dan di antara manusia ada orang yang menakjubkan kau. Karena perkataannya tentang kehidupan di dunia ini. Dan yang bersaksi kepada Allâh atas kandungan hatinya. Padahal ialah pembangkang yang paling keras. Dan bila ia berbalik, ia berusaha menebarkan kerusakan di muka bumi. Dan membinasakan tanam-tanaman dan ternak. Sedang Allâh tiada suka kerusakan’.[172] Dan ayat kedua berkenaan Ibnu Muljan[173]: ‘Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan jiwanya untuk mencari keridaan Allâh. Allâh Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya’[174] Dan Samurah bin Jundab tidak menerima. Mu’âwiyah menaikkan 200.000 dirham. Ia belum mau. Dan Mu’âwiyah menaikkan 300.000 dirham dan ia masih menolak. Mu’âwiyah naikkan 400.000 dirham baru diterima Samurah.[175] Samurah bin Jundab pernah sebentar jadi gubernur di Bashrah dan ia membunuh Syî’ah ‘Alî sebanyak 8.000 orang atas petunjuk Mu’âwiyah. Thabarî menceritakan dari jalur Muhammad bin Sâlim yang berkata: ‘Aku bertanya kepada Anas bin Sîrîn : ‘Apakah Samurah pernah membunuh seseorang?’. Anas menjawab: ‘Apakah kau tahu berapa jumlah orang yang dibunuh Samurah bin Jundab?’ Ia mengganti Ziyâd di Bashrah, kemudian Kûfah dan ia telah membunuh 8.000 orang’. Suatu ketika Ziyâd bertanya kepadanya: ‘Tidakkah engkau takut telah membunuh orang secara sewenang-wenang?’ Samurah menjawab: ‘Tidak, andaikata yang kubunuh seperti mereka, aku tidak takut!’ Abû Siwar al-’Adwi berkata: ‘Samurah telah membunuh dari kaumku dalam satu pagi hari 47 pemuka agama’.

Pada masa itu hadis-hadis palsu tak terhitung jumlahnya, dan dibacakan dalam khotbah-khotbah bersama pelaknatan terhadap ‘Alî. Hadis-hadis ini dikeluarkan oleh para sahabat sendiri.

Contoh lain lagi adalah ‘Abdullâh bin ‘Umar.

Ibnu ‘Umar: ‘Alî Tidak Masuk Khalîfah Râsyidûn.

‘Abdullâh bin ‘Umar, yang sering disebut Ibnu ‘Umar, anak khalîfah ‘Umar bin Khaththâb, tidak mau membaiat ‘Alî, tapi ia membaiat Mu’âwiyah setelah ‘Tahun Persatuan’, Yazîd dan ‘Abdul Mâlik. Ia juga salat di belakang Hajjâj bin Yûsuf, gubernur ‘Abdul Mâlik. Diceritakan tatkala ia mengulurkan tangan untuk membaiat Hajjâj, Hajjâj bin Yûsuf memberikan kakinya.

Ibnu ‘Umar adalah pembuat hadis terbanyak sesudah Abû Hurairah. Ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah nomor empat.[176] Ibnu ‘Umar juga dituduh menghidupkan ijtihâd ayahnya. Beberapa hadisnya mengenai keutamaan (fadhâ’il) akan dikemukakan disini:

Ibnu ‘Umar berkata: ‘Kami tidak memilih-milih antara sesama kami di zaman Rasûl saw. dan kami memilih Abû Bakar, kemu­dian ‘Umar bin Khaththâb kemudian ‘Utsmân bin ‘Affân ra’.[177]

Dan di bagian lain[178] : ‘Kami di zaman Nabî saw. tidak mendahulukan Abû Bakar dengan siapa pun, kemudian ‘Umar kemudian ‘Utsmân, kemudian kami meninggalkan sahabat Nabî yang lain, kami tidak saling mengutama­kan di antara mereka’ dan lain-lain.

Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan Thabrânî dari Ibnu ‘Umar: ‘Kami berbicara pada saat Rasûl Allâh saw. masih hidup: ‘Yang paling utama di antara manu­sia adalah Nabî saw., setelah beliau Abû Bakar, kemudian ‘Umar dan kemudian ‘Utsmân. Rasûl Allâh mendengarnya dan beliau tidak mengingkarinya.[179]

Sunnî menolak hadis ini, karena Sunnî juga mengakui ‘Alî sebagai khalîfah lurus yang keempat. Orang hanya mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar tidak menyebut ‘Alî karena ia tidak membaiat ‘Alî.

Ibnu ‘Umar baru berumur 15 tahun waktu pecah perang Khandaq. Oleh karena itu ‘Alî bin al-Ja’d misalnya mengatakan: ‘Lihat anak itu, mengurus istri saja tidak bisa, lalu dia berani mengatakan ‘Kami mengutamakan..!’[180]

Maka bila ada hadis yang berpasangan, misalnya, yang satu untuk ‘Alî dan yang satu lagi untuk ‘Abû Bakar atau ‘Umar atau ‘Utsmân maka telitilah. Lihatlah konteks keluarnya hadis itu.

Misalnya ada hadis ‘Rasûl menutup semua pintu kecuali pintu (bab) untuk ‘Alî. Tapi ada pula hadis serupa ‘Rasûl menutup semua pintu kecuali pintu (Khaukhah) untuk Abû Bakar.

Atau hadis yang diucapkan Rasûl pada saat akan wafat: ‘Bawalah kemari tinta dan kertas agar kutulis­kan bagimu surat agar kamu tidak akan pernah tersesat sepening­galku’.[181] Hadis di atas ada pasangannya yang dimuat dalam shahîh Bukhârî, Muslim dan shahîh-shahîh lain yang diriwayatkan ‘Â’isyah bahwa Rasûl saw. pada saat sakit berkata kepadanya: ‘Panggil ayahmu, aku akan menulis untuk Abû Bakar sebuah surat, karena aku takut seseorang akan mempertanyakan atau menginginkan (kekhalifahan), karena Allâh dan kaum mu’minîn menolaknya, kecuali Abû Bakar’.[182]

Atau untuk menerangkan keterlambatan penguburan Rasûl timbul sebuah hadis yang berasal dari ‘Â’isyah bahwa orang berselisih paham mengenai tempat penguburan Rasûl dan untung Abû Bakar ingat sabda Rasûl bahwa tiap Nabî dikuburkan di tempat ia wafat. Dan padanannya adalah hadis yang berbunyi: “Antara kamarku dan mim­barku adalah taman dari taman-taman di surga’. Dan penguburan dilakukan oleh keluarga Rasûl saw. dan tidak dihadiri Abû Bakar yang diakui oleh ‘Â’isyah.

Hadis Sepuluh Masuk Surga

Hadis ini menyangkut sepuluh orang yang telah dinyatakan akan masuk surga (sepuluh yang mendapat kabar gembira masuk surga), yang dilaporkan oleh Sa’îd bin Zaid, ipar ‘Umar bin Khaththâb, di zaman Mu’âwiyah. Baiklah kita ikuti riwayat munculnya hadis ini di zaman ‘pengucilan’ ‘Alî bin Abî Thâlib ini..

Sa’îd meninggal dunia tahun 51 H.,671 M. Di tahun itu juga Mu’âwiyah membunuh Hujur bin ‘Adî bersama dua belas kawan-kawannya. Ibnu Atsîr meriwayatkan bahwa pemulanya ialah Mughîrah bin Syu’bah,gubernur yang diangkat Mu’âwiyah di Kûfah, melaknat ‘Alî dan Hujur membantahnya. Pada tahun 40 H.,660 M., Mughîrah bin Syu’bah digantikan oleh Ziyâd bin Abih yang mengejar dan menganiaya siapa saja yang tidak mau mencerca ‘Alî bin Abî Thâlib.

Hadis ini timbul pada masa itu, dengan lafal: ‘Pada suatu ketika, di masjid (Kûfah), seseorang telah menyebut (melaknat pen.) ‘Alî bin Abî Thâlib. Maka berdirilah Sa’îd bin Zaid seraya berkata: ‘Aku bersaksi dengan nama Rasûl Allâh saw. bahwa sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, ‘Sepuluh orang masuk surga: Nabî, Abû Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Abî Waqqâsh dan ‘Abdurrahmân bin ‘Auf’. Kemudian orang bertanya, ‘Siapa yang kesepuluh?’ Setelah ditanyakan berkali-kali, ‘Sa’îd bin Zaid’ menjawab, ‘Aku’. Dalam lafal yang lain, nama Abû ‘Ubaidah bin al’Jarrâh disebut, sedang Nabî tidak dimasukkan.[183].

Dalam kemelut seperti itu, ‘Sa’îd bin Zaid’ telah bertindak sangat berani. Orang-orang yang disebut oleh ‘Sa’îd bin Zaid’ sudah tepat. Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah pernah bergesekan dengan ‘Alî, mengepung dan hendak membakar rumah ‘penghulu wanita mu’minîn’ Fâthimah, ‘meskipun Fâthimah ada di dalam’, sebagaimana nanti akan terbaca dalam peristiwa Saqîfah. ‘Utsmân adalah dari marga Umayyah, marganya Mu’âwiyah. Thalhah dan Zubair memerangi ‘Alî dalam perang Jamal. ‘Alî menyebut mereka sebagai kelompok Nâkitsûn, yaitu kelompok yang membatalkan baiat, karena mereka berdua merupakan orang-orang pertama yang membaiat ‘Alî, tetapi kemudian berbalik memeranginya. Sa’d bin Abî Waqqâsh tidak mau membaiat ‘Alî setelah ‘Utsmân meninggal dunia. ‘Abdurrahmân bin ‘Auf,meskipun kemudian menyesal, pernah mengancam akan membunuh ‘Alî dengan pedang, bila ‘Alî tidak membaiat ‘Utsmân dalam Sûyrâ yang dibentuk oleh ‘Umar. Dengan cerdiknya, ‘Sa’îd’ memasukkan nama ‘Alî untuk mencegah para penguasa mengutuk ‘Alî di mimbar-mimbar di seluruh desa dan kota dan secara tidak lansung berusaha menyelamatkan kaum Syî’ah agar tidak dibantai seperti Hujur. Dan untuk menyelamatkan dirinya, ‘ia’ memasukkan namanya pula. Hadis ini, ditinjau dari segi sejarah, tidak dapat ditafsirkan lain dari itu. Hadis yang merupakan ‘pemberontakan’ terhadap penguasa yang zalim seperti ini, tidak dapat dikatakan salah, tetapi tidak juga dapat dikatakan benar. Riwayat di atas kemungkinan besar dibuat orang dengan mengatasnamakan Sai’id bin Zaid.

Imâm Mâlik, misalnya, meriwayatkan: Rasûl Allâh saw. bersab­da kepada para Syuhada’ Perang Uhud: ‘Aku menjadi saksi mereka (bahwa mereka telah mengorbankan nyawa mereka) di jalan Allâh’. Dan berkatalah Abû Bakar ash-Shiddîq: ‘Wahai Rasûl Allâh, bukan­kah kami saudara-saudara mereka? Kami memeluk Islam seperti mereka, dan kami berjihad seperti mereka berjihad!’. Dan Rasûl Allâh menjawab: ‘Ya, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kamu lakukan sesudahku’. Dan menangislah Abû Bakar sambil berkata: ‘Apakah kami akan masih hidup sesudahmu?’[184]

Perawi ‘sepuluh orang masuk surga’ tidak menceritakan kepada kita dalam hubungan apa Rasûl Allâh saw. menyampaikan hadis ini, dan siapa saja yang ikut mendengarkan.

Dan mengapa Sa’îd, misalnya, tidak berdiri di depan massa yang sedang mengepung rumah ‘Utsmân yang berakhir dengan pembunuhan khalîfah ketiga itu dan mengatakan kepada mereka hadis yang penting ini?

Mengapa Sa’îd bin Zaid, misalnya, tidak menasihati ‘Abdullâh bin ‘Umar agar membaiat ‘Alî tatkala terjadi pembaiatan terhadap ‘Alî sesudah ‘Utsmân terbunuh, karena bagaimanapun juga ‘Alî termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasûl Allâh? Malah membaiat Mu’âwiyah, Yazîd dan ‘Abdul Mâlik serta Hajjâj bin Yûsuf?

Mengapa tidak menasihati ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah dan menyampaikan hadis itu agar ia tidak memerangi ‘Alî dan agar menetap di ru­mahnya sebagaimana diperintahkan Al-Qur’ân?

Mengapa pula Thalhah dan Zubair dimasukkan ke dalam sepuluh masuk surga dan bukan, misalnya, Abû Dzarr al-Ghifârî dan Hamzah paman Rasûl? Mengapa pula Sa’d bin Abî Waqqâsh dimasukkan ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan misalnya Miqdâd atau Abû Ayyûb al-Anshârî?

Begitu pula Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh, seorang penggali kubur di Madînah dimasukkan pula ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan, misalnya Salmân al-Fârisî?

Meskipun menyesal di kemudian hari Sa’d bin Abî Waqqâsh tidak mau membaiat Imâm ‘Alî sedang Rasûl mengatakan bahwa ‘barangsiapa tidak mengenal imam pada zamannya ia mati dalam keadaan jahiliah’. Dan hadis ini diakui sebagai hadis shahîh di semua mazhab?

Apakah surga ini hanya diperuntukkan bagi para khalîfah dan mereka yang ikut dalam pergolakan kekuasaan dan bukan orang-orang seperti ‘Ammâr bin Yâsir, Miqdâd, Abû Dzarr al-Ghifârî, Salmân al-Fârisî?

Lagi pula dalam Al-Qur’ân, Allâh SWT telah berfirman: Dan barang­siapa melalukan amal kebajikan, laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, mereka itu masuk surga.[185]

Rasûl Allâh juga telah bersabda: Jibril datang kepadaku dan berkata: ‘Sampaikanlah kabar gembira kepada umatmu, bahwa barang siapa meninggal dunia tanpa menyerikatkan sesuatu kepada Allâh SWT, maka ia akan masuk surga’. Aku bertanya: ‘Hai, Jibril, meski-pun ia pernah mencuri dan berzina?’ Jibril menjawab, ‘Be­tul’. (sampai tiga kali). Akhirnya Jibril menjawab, ‘Betul, meskipun ia peminum minuman keras.[186]

Nabî juga bersabda: Sampaikanlah kabar gembira, bahwa barangsiapa mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allâh secara tulus, maka ia akan masuk surga.[187]

Nabî juga bersabda: “Sesungguhnya Allâh SWT telah menjanjikan kepadaku, bahwa Ia akan memasukkan ke dalam surga 70.000 (ada yang mengatakan 700.000) orang dari umat-Ku tanpa hisab.”[188]

Rasûl Allâh juga berkata: Ali dan Syî’ahnya masuk surga”[189]

Hadis seperti ini banyak diriwayatkan[190]. Juga hadis shahîh lainnya, seperti Shuhaib, Shahabat Rasûl yang orang Roma, masuk surga, Bilal Sahabat dari Habasyah, masuk surga, Salmân yang dari Persia masuk surga, Hasan dan Husain masuk surga, ‘Amr bin Tsâbit masuk surga, Tsâbit bin Qais dan berpuluh-puluh lainnya yang tidak mungkin disebut disini. Yang masuk surga tidak dapat dibatasi pada mereka yang berhasil menduduki kekhali­fahan atau yang ikut dalam pergolakan politik dan tidak dapat dibatasi pada sepuluh orang. Alangkah banyaknya umat Muhammad yang akan masuk surga.

Lalu, dapatkah orang-orang yang akan masuk surga ini, termasuk para Sahabat, berbuat salah? Tidak ada satu ayat pun yang menga­takan sebaliknya. Tiada sebuah hadis pun yang mengatakan bahwa para Sahabat atau Ibu-ibu Kaum Mu’minîn (ummahât al-mu’minîn) tidak dapat berbuat salah. Kemudian, apakah penghormatan kita kepada para Sahabat atau para Ibu Kaum Mu’minîn akan berkurang dengan menulis sejarah sebagaimana adanya? Tidak, kita akan tetap menghormati para Sahabat dan para Ibu Kaum Mu’minîn sebagaimana mestinya. Ibu kita adalah tetap ibu yang kita hormati, andaikata pun dia berbuat salah kepada anaknya sendiri. ‘Alî bin Abî Thâlib mengatakan demikian terhadap ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah. Hisab dan pengampunan ada pada Allâh.

Hadis-Hadis Keutamaan

Hampir pada semua pengantar buku tentang Saqîfah, para penulis sejarah tradisional memulai dengan hadis tentang keutamaan Abû Bakar dan ‘Umar. Misalnya, tulisan Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah (M.270 H.,883 M.) dalam kitab tarikhnya al-Imâmah wa’s-Siyâsah yang terkenal dengan Târîkh Khulafâ’ur-Râsyidîn wa Daulah Banû Umayyah jilid pertama. Dalam kata pengantarnya yang berjudul “Keutamaan Abû Bakar dan ‘Umar”, ia mengemukakan empat hadis tentang keutamaan Abû Bakar dan ‘Umar, dengan rangkaian isnâd yang lengkap. Hadis yang pertama dilaporkan oleh ‘Alî bin Abî Thâlib, kedua oleh ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, ketiga oleh ‘Alî lagi, sedang yang keempat oleh Qâsim bin ‘Abdurrahmân.

Sebagai contoh, baiklah kita ikuti hadis pertama secara lengkap, sekaligus sebagai contoh bagaimana pencatat sejarah zaman dulu merangkaikan isnâd atau jalur pelapor[191]: “Telah disampaikan kepada kami oleh Abî Mariam yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Asad bin Mûsâ yang berkata: telah disampai­kan kepada kami oleh Waqi’ dari Yunus bin Abî Ishâq, dari Asy-Sya’bî, dari ‘Alî bin Abî Thâlib, karramallâhu wajhahu; “Aku sedang duduk bersama Rasûl Allâh saw. ketika datang Abû Bakar dan ‘Umar maka bersabdalah Rasûl Allâh saw. kepadaku: ‘Mereka berdua itulah penghulu orang dewasa di surga, sejak orang terdahulu sampai pada orang terakhir, kecuali para Nabî dan para Rasûl as.; dan jangan­lah engkau sampaikan berita ini kepada mereka berdua, wahai ‘Alî.” Lafal ketiga hadis lainnya sejenis itu pula.

Hadis seperti ini sangat banyak. Para penulis itu ingin menunjuk­kan bahwa pengangkatan Abû Bakar menjadi khalîfah pertama ber­langsung secara lancar dan wajar, karena yang berhak menjadi khalîfah, sekurang-kurangnya menurut penulis itu,adalah Sahabat paling utama; dan yang paling utama di antara seluruh umat manusia, selain para Nabî dan Rasûl, adalah Abû Bakar dan ‘Umar. Karena itu maka merekalah yang paling pantas menjadi khalîfah; dan ‘Alî sendiri konon mendengar hal ini lansung dari Rasûl.

Tetapi, dalam bab ‘Bagaimana Baiat ‘Alî bin Abî Thâlib karrama-llâhu wajhahu’, Ibnu Qutaibah memulai dengan kalimat-kalimat berikut: “Sesungguhnya Abû Bakar merasa kehilangan suatu kaum yang enggan membaiatnya, yang sedang berkumpul di rumah ‘Alî. Mereka tidak mau keluar untuk membaiat Abû Bakar. ‘Umar lalu mengumpul kayu bakar, seraya berkata: ‘Demi Allâh, Pemilik jiwa ‘Umar, kalau kalian tidak segera keluar, aku akan bakar rumah ini dengan seluruh isinya’. Orang lalu berkata kepada ‘Umar: ‘Wahai, Ayah Hafshah (‘Umar), Fâthimah (puteri Rasûl Allâh) ada di dalam!’ Dan ‘Umar menjawab: Sekalipun!”[192]

Hadis-hadis keutamaan seperti itu sungguh sangat tidak adil, bertentangan dengan fakta sejarah. Sekiranya benar ‘Alî bin Abî Tahlib pernah mendengar Rasûl Allâh bersabda demikian, jalannya sejarah tidak akan seperti itu. Dalam kumpulan khotbah, ucapan dan tulisan ‘Alî yang dikumpulkan dalam Nahju’l-Balâghah, tidak ditemukan hadis semacam itu. Bila kita hendak berlaku jujur, hadis begini haruslah dianggap sebagai “hadis-hadis politik” yang muncul untuk membenarkan kekuasaan de facto. Ini merupakan preseden timbulnya kebiasaan mendukung pemerintahan de facto oleh kebanyakan ulama Sunnî, seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman.[193]

Riwayat dan Hadis Abû Hurairah

Ada beberapa riwayat yang disampaikan Abû Hurairah sebagai saksi pelapor dalam peristiwa Saqîfah. Abû Hurairah pun telah menyam­paikan keutamaan-keutamaan Abû Bakar dan ‘Umar yang melebihi keutamaan para Sahabat lain. Tetapi sehubungan dengan peristiwa Saqîfah, riwayat dan hadis yang disampaikan Abû Hurairah, harus dipandang dengan kritis.

Asal-usul Abû Hurairah

Hanya 1 Tahun 9 Bulan di Shuffah

Abû Hurairah datang kepada Rasûl Allâh pada bulan Safar tahun 7 Hijriah ,Juni 628 M., setelah Perang Khaibar. Kaum dari klan ad-Daus, klan Abû Hurairah, dan kaum al-’Asy’arî mendatangi Rasûl Allâh tatkala Rasul berada di Khaibar. Kaum ‘Asy’arî terlambat mengunjungi Rasul, seperti diceriterakan Abû Mûsâ al-’Asy’arî, karena sedang berperang dengan kaum kafir. Tentang Abû Hurairah biarlah ia sendiri yang menceriterakan:

Aku mendatangi Rasûl Allâh yang pada waktu itu berada di Khaibar, setelah Khaibar ditaklukkan, dan aku berkata: “Ya Rasûl Allâh adakah bagian untukku? Tolong bicarakan dengan kaum Muslimîn itu untuk membagikan bagian mereka dengan kami.” [194]

Ia kemudian tinggal di emperan Masjid Madînah (Shuffah) sampai bulan Dzulkaidah tahun 8 Hijriah , Maret 630 M., karena pada bulan itu ia disuruh Rasûl ke Bahrain menemani al-’Ala’ al-Hadhrami sebagai mu’azin. Sedang peristiwa Saqîfah terjadi pada tahun 11 H ,8 Juni 632 M.. Dengan demi­kian ia tinggal di Shuffah selama 1 tahun 9 bulan. Ia meninggal tahun 59 Hijriah. Dan ummat Islam kehilangan sahabat yang paling banyak menyampaikan hadis. Abû Muhammad bin Hâzm meriwayatkan dari Abû ‘Abdurrahmân Baqî Ibnu Mukhallad al-Andalusî yang mencatat dalam “Musnad”nya bahwa Abû Hurairah meriwayatkan 5374 hadis di antaranya Bukhârî meriwayatkan 446 hadis.

Berbeda dengan para sahabat lain para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama yang sebenarnya dari Abû Hurairah, namanya di zaman jahiliah maupun di zaman Islam. Begitu pula asal usulnya. Abû Hurairah adalah nama julukan yang berarti Ayah Anak Kucing. Menurut ceritanya ia pernah bekerja sebagai buruh pengembala dan sering membawa anak kucing bersamanya. Dari situlah ia diberi gelar Abû Hurairah.[195]

Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasûl bukan karena ia mendapat hidayat atau karena kecintaannya kepada Nabî saw. seper­ti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan.

Dalam riwayat Ahmad, Bukhârî dan Muslim, Abû Hurairah berkata: ‘Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasûl Allâh untuk mengisi perutku’. Dan dalam riwayat lain: ‘untuk memenuhi perutku yang lapar’. Dalam riwayat Muslim: ‘Aku melayani Rasûl Allâh untuk mengisi perutku’, atau ‘Aku menetap dengan Rasûl Allâh untuk mengisi perutku’.

Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abû Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat al-Qur’ân, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawarkan makanan, tetapi tiada seorang sahabat pun menawarkan makanan kepadanya kecuali Ja’far bin Abî Thâlib yang langsung mengajak Abû Hurairah ke rumahnya.

Bukhârî meriwayatkan dari Abû Hurairah: ‘Demi Allâh, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari mesjid. Aku bertemu dengan Abû Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat Kitâb Allâh, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melaku­kannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat Kitâb Allâh, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya’.[196]

Bukhârî: ‘Aku, bila bertanya mengenai sebuah ayat (al-Qur’ân) kepada Ja’far (bin Abî Thâlib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya’. Di bagian lain: ‘Aku meminta kepada Ja’far bin Abî Thâlib untuk membacakan kepadaku ayat (Al-Qur’ân), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin, Ja’far bin Abî Thâlib. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya’.[197]

Tirmidzî meriwayatkan: ‘Dan bila aku bertanya kepada Ja’far mengenai ayat, ia tidak menjawab (pertanyaanku) sampai ia tiba di rumahn­ya’. Menurut Abû Hurairah, Ja’far-lah yang ter­baik di kalangan sahabat. Hadis mengenai ‘laparnya’ Abû Hurairah ini, banyak jumlahnya. Lalu di mana ‘pundi-pundinya’? (Lihat hadis ‘mizwad’ atau pundi-pundi)

Kepribadian Abû Hurairah

Kepribadian Abû Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, ‘Umar bin Khaththâb mencurigainya menggelapkan uang baitul mâl. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri, dan menyebutnya sebagai musuh Allâh dan musuh kaum Muslimîn, dalam riwayat lain, musuh Kitâb Allâh atau musuh Islam.[198]

Abû Hurairah pada masa itu menjadi gubernur ketiga di Bahrain sesudah al-’Alâ’ al-Hadramî dan Qudâmah bin Mazh’ûn.

Jarud al-’Aqdî datang kepada ‘Umar dari Bahrain dan melaporkan bahwa Qudâmah bin Mazh’ûn minum minuman keras dan mabuk. ‘Umar bertanya: ‘Siapa yang menyaksikan bersama Anda?’ Jarud: ‘Abû Hurairah!’. ‘Umar memanggil Abû Hurairah. Abû Hurairah berkata: ‘Aku tidak melihatnya minum, tetapi aku melihatnya mabuk dan muntah-muntah’. ‘Umar berkata: ‘Engkau telah mengubah kesaksian!’ Dan ‘Umar menyuruh panggil isteri Qudamah yang bernama Hindun binti al-Walîd, dan Hindun memberikan kesaksian yang benar dan member­atkan suaminya... ‘ Qudamah adalah pengikut Perang Badr satu-satunya yang dihukum ‘Umar karena minum minuman keras’[199].

Ia juga punya hobi makan. Karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka ia sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’[200]

Karena seringnya ia meriwayatkan hadis, ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai ‘berbicara tak karuan’ (mazzâh), ‘berbohong’ (kadzdzâb) dan lain-lain.

‘Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadis. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadis pun di zaman ‘Umar. Ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasûl bercerita seper­ti yang disampaikan Abû Hurairah. ‘Alî menama­kannya pembohong umat. Demikian pula tokoh-tokoh yang terdahulu. Sayid Muhammad Rasyîd Ridhâ mengatakan bahwa andaikata Abû Hurairah meninggal sebelum ‘Umar maka umat Islam tidak akan mewarisi hadis-hadis yang penuh khurâfât, isykâlât, dan isrâ’îliyât.

Banyaknya Hadis Abû Hurairah

Hadis-hadis yang disampaikan Abû Hurairah, menurut Abû Muhammad bin Hâzm berjumlah 5.374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadis yang disampaikan oleh keempat Khulafâ’ur-Râsyidîn, jumlah ini sangat banyak. Abû Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadis (yang dimasukkan dalam Bukhârî 22), ‘Umar 537 hadis (yang dianggap shahîh 50), ‘Utsmân 146 (Bukhârî memasukkan 9 hadis, Muslim 5), dan ‘Alî 586 hadis (yang dianggap shahîh 50); semuanya hanya 1.411 hadis, dan itu berarti cuma 21% dari jumlah hadis yang disampaikan Abû Hurairah seor­ang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat al-Qur’ân. Sebagai perbandingan, maka seluruh hadis yang disampaikan Abû Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasûl, hanya diperoleh Abû Hurairah dalam 16.7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63.1 hari, ‘Utsmân dalam 17.1 hari, ‘Alî dalam 68.9 hari, Thalhah bin ‘Ubaidillâh dalam 4,4 hari, Salmân al-Fârisî dalam 7 hari, Zubair bin ‘Awwâm dalam 1.1 hari, ‘Abdurrahmân bin ‘Auf dalam 1 hari.

Penghuni shuffah yang lain seperti Hajjah bin Amr al-Mâzinî al-Anshârî Hajjah bin Amr al-Mâzinî al-Anshârî, Hâzib bin Armalah, Tink­hafah bin al-Qais al-Ghifârî, Zaid bin Khaththâb al-Adawî, ‘Abdullâh bin Qaridzah al-Tumalî dan Furât bin Hayyan bin al-’Alî masing-masing hanya meriwayatkan 1 (satu) hadis. Safînah, sahaya Rasûl Allâh saw. meriwayatkan 14 hadis, satu hadis diri­wayatkan oleh Muslim. Syarqân, juga sahaya Rasûl Allâh saw. hanya meriwayatkan 1 (satu) hadis dan diriwayatkan oleh Tirmidzî.

Dan seluruh hadis-hadisnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasûl Allâh saw. wafat sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral hadisnya.

Tidak Hadir, Bilang Hadir

Abû Hurairah sering menjadi saksi pelapor dari suatu kejadian padahal dia tidak hadir di tempat tersebut. Sebagaimana dikatakan di atas ia hanya tinggal selama satu tahun sembilan bulan di shuffah Masjid Nabî di Madînah, yaitu antara bulan Safar tahun tujuh Hijriah, sampai bulan Zulkaidah tahun delapan. Setelah itu ia berada jauh di Bahrain. Tetapi, ia telah menyampaikan laporan-laporan sebagai saksi mata tentang hal-hal yang terjadi pada masa-masa sebelum dan sesudahnya. Bukhârî menulis bahwa Abû Hurairah telah berkata: ‘Kami membuka (menaklukkan) Khaibar dan kami tidak mendapat rampasan perang berupa emas atau perak. Yang kami dapat adalah lembu, unta dan alat-alat rumah tangga (mata’)’. Hadis serupa disampaikan juga oleh Muslim. Sedang Abû Hurairah masuk Islam sesudah Perang Khaibar tersebut.

Begitu pula Abû Hurairah mengatakan bahwa dia berada dalam perja­lanan haji Abû Bakar sebagaimana diceritakan oleh Bukhârî, Muslim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Baihaqî dari Abû Hurairah: ‘ Abû Bakar ra mengutusku,pada musim haji tersebut, untuk menyampaikan kepada penyeru-penyeru yang dikirimkannya pada hari an-Nahr di Mina agar mengumumkan bahwa kaum musyrikin tidak boleh naik haji sesudah tahun itu, dan tidak boleh melakukan thawwafdi Bait Allâh dalam keadaan telanjang. Kemudian Nabî saw. menyusul­kan ‘Alî bin Abî Thâlib ra dan menyuruhnya untuk mengumumkan Surat al-Bara’ah[201] dan ‘Alî bersama kami mengumumkan Surat al-Bara’ah ) kepada orang-orang yang berkumpul di Mina pada hari An-Nahr dan agar kaum Musyrikin tidak naik haji sesudah tahun itu dan tidak boleh ber-thawwaf di Bait Allâh dalam keadaan telanjang’.

Ibnu Ishâq dalam Sîrah menulis:’ Rasûl Allâh mengutus Abû Bakar sebagai pemimpin (Amîr) haji tahun sembilan Hijriah. Dan tatkala Abû Bakar keluar dari Madînah, turunlah Surat al-Bara’ah dan orang bertanya kepada Rasûl Allâh. ‘Bagaimana kiranya kalau Anda mengirimnya bersama Abû Bakar?[202] Maka Rasûl Allâh menjawab :’Tidak boleh orang lain menyampaikannya atas namaku kecuali seorang dari ahli bait-ku’. Kemudian Rasûl Allâh memang­gil ‘Alî dan bersabda kepadanya: ‘Pergilah kamu dengan membawa Surat Bara’ah dan umumkan kepada orang-orang di hari an-nahr pada waktu mereka berkumpul di Mina... Maka berangkatlah ‘Alî menyusul Abû Bakar dan bertemu dengannya di perjalanan dan sete­lah Abû Bakar melihat ‘Alî ia berkata: ‘Amîr atau makmur?’[203] ‘Alî menjawab : ‘Makmur’. Sampai tiba Hari An-Nahr ‘Alî ra berdiri dan mengumumkan kepada orang-orang apa yang diperintahkan oleh Rasûl Allâh. Dan yang diumumkan ‘Alî adalah :’Bahwa orang kafir tidak akan masuk surga, dan orang musyrik tidak boleh naik haji sesudah musim haji tahun itu, dan tidak boleh ber-thawwaf sekeliling Bait Allâh dengan telanjang dan barang siapa ada perjanjian dengan Rasûl Allâh maka dia mendapat tenggang waktu’. Hadis ini diperkuat oleh Imâm Ahmad yang bersumber dari ‘Alî dan Abû Bakar.

Di bagian lain ia berkata: ‘ Aku masuk (ke rumah) Ruqayah anak Nabî Allâh, isteri ‘Utsmân yang sedang memegang sisir : Rasûl Allâh keluar lebih dulu dari aku. Rambutnya terurai. Rasûl Allâh bertanya kepada Ruqayah: ‘Bagaimana keadaan Abû ‘Abdullâh (‘Utsmân, pen.)? Ruqayah menjawab : ‘Baik !’ Rasûl Allâh berkata : ‘Hormatilah dia karena dia adalah sahabat yang diciptakan paling menyerupaiku !”[204]

Al-Hâkim berkata: ‘Hadis ini isnâdnya shahîh tapi matan-nya lemah. Karena Abû Hurairah memeluk Islam sesudah Perang Khaibar tahun tujuh Hijriah (setelah Ruqayah meninggal). Tetapi dasarnya Abû Hurairah!’

Di bagian lain Abû Hurairah berkata: ‘Rasûl Allâh jadi imam kami dalam salat lohor atau asar dan ia mengucapkan salam (baru) salat dua raka’at. Dan berkata Dzul Yadain: ‘Anda mempersingkat salat atau Anda lupa?’. Sedang Dzul Yadain syahid pada Perang Badr jauh sebelum Abû Hurairah masuk Islam. Di bagian lain Abû Hurairah berkata ‘salat bersama kami pada suatu salat Îsâ, lohor atau asar’. Di bagian lain lagi ia berkata :’Ia jadi Imâm kami salat asar’ dan di bagian lain lagi : ‘Sedang aku salat bersama Rasûl Allâh salat lohor !’ Dan semua riwayat ini dimuat dalam Bukhârî dan Muslim.

Di bagian lain lagi. ‘Rasûl Allâh bersabda kepada pamannya Abû Thâlib: ‘Katakanlah ‘La ilâha ilallâh’ dan dengan ini aku akan menjadi saksi di hari kiamat’. Abû Thâlib menjawab:’ Andaikata saja kaum Quraisy tidak mengejekku dan mengatakan : ‘Dia dipaksa melakukannya !’ maka aku akan mengucapkan perintahmu ‘. Maka Allâh SWT menurunkan ayat :”Engkau tidak dapat memberi hidayat kepada siapa yang engkau sukai, tapi Allâh-lah yang memberi petunjuk kepada siapa Ia berkenan’.[205]

Dan di bagian lain: ‘Rasûl Allâh bersabda kepada pamannya tatkala ia sedang sekarat: ‘Ucapkan ‘La ilâha ilallâh’, aku akan menjadi­kannya saksi bagimu di hari kiamat’, dan Abû Thâlib menolak. Dan Allâh SWT menurunkan ayat...dst’ Diriwayatkan oleh Muslim.

Abû Thâlib meninggal di Makkah 3 tahun sebelum Hijrah dan Abû Hurairah masuk Islam 7 tahun sesudah Hijrah, yaitu sesudah Perang Khaibar. Dengan kata lain ia baru datang dari Yaman sepuluh tahun setelah Abû Thâlib meninggal. Dan ia menyampaikan hadis ini sebagai saksi mata.

Abû Thâlib, Mu’min atau Kafir?

Anak cucu ‘Alî dan Fâthimah serta keluarga Rasûl Allâh saw. tidak pernah meragukan keimanan Abû Thâlib. Selain Mazhab Imâmiah, juga kebanyakan penga­nut Mazhab Zaidiyah dan Mazhab Mu’tazilah menganggap Abû Thâlib sebagai seorang Mu’min. Di dalam Mazhab Ahli Sunnah dapat dibilang satu-satunya hadis shahîh yang meriwayatkan ‘kekafiran’ Abû Thâlib adalah Abû Hurairah. Tetapi bagaimana ia dapat menyaksikan peristiwa meninggalnya Abû Thâlib sedang ia pada waktu itu berada di desa Daus, Yaman, dan baru muncul di Madînah dan masuk Islam sepuluh tahun kemudian? Lagi pula para Sahabat besar menganggap Abû Hurairah sebagai pembohong (lihat pembicaraan di bagian lain mengenai Abû Hurairah), maka Abû Hurairah haruslah dicurigai seperti dikatakan oleh Imâm Ibnu Qutaibah. Hal ini disebabkan kaum Muslimîn lebih percaya kepada para Sahabat seperti ‘Umar, ‘Utsmân, ‘Alî serta ‘Â’isyah ketimbang Abû Hur­airah. Abû Hurairah bukan Sahabat besar, bukan dari kaum Muhâjirîn, bukan ‘Anshâr, bukan penyair Rasûl, bukan keluarga Rasûl, malah asal usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinya pun tidak diketahui orang. Dan secara moral, orang akan mempertimbangkan keyakinan keluarganya yang tentunya lebih mengetahui Abû Thâlib ketimbang orang luar seperti Abû Hurairah yang sama sekali tidak mengenal, melihat apalagi menyelami pribadinya. Lagi pula orang mengetahui bahwa Mu’âwiyah ingin melenyapkan keutamaan ‘Alî bin Abî Thâlib untuk memelihara kekuasaannya, dan Abû Hurairah adalah salah seorang yang menye­diakan perangkat lunak-nya. Ia tidak membuang kesempatan membuat hadis mengenai Abû Thâlib, ayah ‘Alî, paman Rasûl Allâh, yang dikatakannya sebagai kafir yang tentunya sangat menggemaskan keluarga ahlu’l-bait. Haruslah diakui betapa susahnya anggota keluarga seperti keluarga Nabî ini mem­buktikan keislaman Abû Thâlib setelah hadis Abû Hurairah muncul lebih dari empat puluh tahun sesudah wafatnya Abû Thâlib, yang didukung oleh penguasa yang menganggap hadis-hadis seperti kekafiran Abû Thâlib sangat penting untuk mereka. Betul, pada masa tertentu, Abû Hurairah merasa dongkol kepada Mu’âwiyah, yaitu tatkala Mu’âwiyah memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Madînah,Mu’âwiyah juga yang mengangkatnya menjadi gubernur, lihat pembicaraan di bagian lain mengenai Abû Hurairah, dan menggantikannya dengan Marwân bin Hakam, tetapi untuk itu tentu saja ia tidak menarik lagi riwayat dan hadis-hadisnya terdahulu, tetapi mem­buat riwayat-riwayat dan hadis baru.

Ada hadis yang diriwayatkan oleh murid dan menantu Abû Hurairah yang bernama Sa’îd bin Musayyib yang dikatakan didengarnya dari ayahnya yang mengatakan bahwa Abû Thâlib tidak mau membaca syaha­dat pada saat sekarat. Tetapi orang mengetahui Sa’îd bin Musayyib adalah seorang yang sangat memusuhi ‘Alî bin Abî Thâlib sebagaima­na dapat diikuti dalam kisah percekcokan antara Sa’îd bin Musayyib dan salah seorang anak ‘Alî.[206]

Lama kemudian, tatkala ia ditegur karena tidak mau mensalati jenazah ‘Alî bin Husain bin ‘Alî, cucu ‘Alî bin Abî Thâlib, ia mengatakan ‘Saya lebih suka salat dua raka’at dari pada mensalati jenazahnya’ seperti dicatat oleh Wâqidî.

Dari segi matan, hadis ini pun jelas dikarang secara tergesa-gesa. Diceritakan bahwa tatkala Abû Thâlib tidak mau mengucapkan La ilâha ilallâh , Rasûl Allâh hendak memohon agar Allâh SWT mengampuni Abû Thâlib lalu turunlah ayat Surat Taubah: Tiadalah pantas bagi Nabî dan orang-orang yang beriman bahwa mereka meminta ampun bagi orang yang musyrik, sekalipun mereka kaum kerabat setelah nyata padanya bahwa mereka penghuni neraka.[207]

Sesudah itu baru turun ayat Surat Qashash: Kau tiada dapat memberi hidayah siapa (saja) yang engkau cintai. Tapi Allâh-lah yang memberi Hidayah siapa yang Ia berkenan. Dan Allâh lebih mengetahui orang yang menerima petunjuk.[208]

Sedang Surat at-Taubah termasuk surat-surat Madaniah terakhir[209] sekitar sepuluh tahun sesudah Abû Thâlib meninggal.

Di samping itu ada hadis yang dikatakan diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Abbâs , yang tentu saja diragukan. Hadis ini disampaikan oleh Ibnu Mardawaih dan lain-lain melalui jalur Abû as-Sûrî bin Sahl dari ‘Abdul Quddûs dari Abû Shâlih dari Ibnu ‘Abbâs . Di dalam rangkaian isnâdnya terdapat orang-orang seperti Abû Sahl As-Sûrî yang dikenal sebagai pembohong, pencipta hadis palsu dan pencuri hadis,[210] dan ‘Abdul Quddûs Abû Sa’îd ad-Damasyqi yang merupakan mata rantai yang lain, juga dituduh sebagai pembohong[211].

Lalu mengapa pula memanfaatkan para pembohong seperti Abû Sahl As-Sûrî meriwayatkan juga dari pembohong ‘Abdul Quddûs di atas dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar mengenai hadis yang di dalamnya menceritakan turunnya Surat At-Taubah sekitar sepuluh tahun sesudah Abû Thâlib meninggal untuk menopang hadis Sa’îd bin Musayyib yang jelas tidak his­toris itu atau hadis Abû Hurairah yang merupakan hadis yang memperdayakan orang dan mengorbankan tokoh seperti Abû Thâlib yang peranannya dalam membela Rasûl tidak terlukiskan dengan kata-kata?

Hadis lain dikatakan berasal dari Qatâdah yang dimuat dalam tafsir Thabarî, juga hadis yang dikatakan berasal dari Ibnu ‘Abbâs melalui jalur ‘Athiyyah al-’Aufi dari Ibnu ‘Abbâs . Hadis-hadis ini ditolak karena juga memuat Surah At-Taubah yang secara jumhûr diakui sebagai Surat yang turun pada akhir kurun Madînah. Bukhârî, misalnya meriwayatkan bahwa ayat ini turun sesudah pembukaan Makkah sedang sebagian lagi sesudah Perang Tabuk.[212]

Abû Thâlib merupakan pasukan satu orang yang melindungi Rasûl Allâh saw. selama sepuluh tahun kenabiannya di Makkah, sama seperti yang dilakukan dalam kurun waktu yang sama oleh kaum ‘Anshâr dan Muhâjirîn di Madî­nah. Seperti isterinya Fâthimah binti Asad yang sejak awal telah memeluk Islam, ia memerintahkan anak-anakn­ya untuk mengikuti Muhammad saw.. Ia dengan tulusnya melindungi Rasûl.

Marilah kita ikuti hadis yang lain. Ibn Abîl-Hadîd meriwayatkan dari banyak jalur, dari ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, dan sebagian lagi dari Abû Bakar bin Abî Quhâfah:

‘Sesungguhnya Abû Thâlib sebelum meninggal berkata: ‘La ilâha ilallâh, Muhammad Rasûl Allâh’ ‘.

Dan yang termasyhur adalah bahwa Abû Thâlib tatkala sedang sekarat kelihatan berbicara pelan. Dan melihat bibir yang berger­ak, ‘Abbâs, saudaranya, mendekatkan kupingnya dan mendengar Abû Thâlib membaca syahadat.[213]

Abu’l-Fidâ’ dan Sya’rani meriwayatkan dari ‘Abbâs:

‘Sesungguhnya, tatkala penyakit Abû Thâlib bertambah parah, Rasûl Allâh bersabda kepadanya: ‘Wahai paman! Ucapkanlah syahadat agar melapangkan aku memohon syafâ’at untukmu pada hari kiamat’. Dan Abû Thâlib menjawab: ‘Wahai anak paman! Andaikata aku tidak takut orang Quraisy mencelaku karena mengira aku takut akan mati, maka aku akan melakukannya’. Dan tatkala maut makin mendekat, bibirnya bergerak-gerak, ‘Abbâs lalu mende katkan kupingnya dan ‘Abbâs berkata kepada Rasûl Allâh: ‘Demi Allâh, wahai anak saudar­aku, ia telah mengucapkan kalimat yang engkau perintahkan kepa­danya untuk diucapkan!’. Dan Rasûl Allâh saw. bersabda :’Segala syukur bagi Dia yang memberi hidayat kepadamu, wahai paman! ‘.[214]

Ahmad Zainî Dahlân berkata dalam tafsirnya:[215].

Asy-Syaikh As-Suhaimi dalam bukunya ‘Syarh Jauharah serta lain-lain berkata bahwa hadis ‘Abbâs memperkuat keyakinan sebagian peneliti (ahlul kasyf) bahwa ia (Abû Thâlib) adalah seorang Muslim’.

Umumnya orang berpendapat, seperti dikatakan oleh Ibn Abîl-Hadîd[216] bahwa syair-syair Abû Thâlib jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang Mu’min. Dan memang, tidak ada sumber yang lebih jelas untuk menilai seseorang seperti Abû Thâlib dari karyanya sendiri, yaitu syairnya yang sangat banyak, dan tercatat dengan baik dalam buku-buku sejarah.

Beberapa pidatonya yang terkenal di dunia Islam:

Syair yang ditujukan kepada Muhammad saw. [217].:

Demi Allâh, Anda tak akan pernah mereka jamah,

Sampai aku terkubur di dalam tanah,

Teruskanlah misimu, Anda sungguh tiada bercacat,

Sebarkanlah ajaranmu, dan bahagia akan mencuat

Aku Anda ajak, dan andalah penasihatku

Anda mengajakku dan Anda adalah al-amîn

Dan aku tahu agama Muhammad yang terbaik’

Ibnu Hajar meriwayatkan[218] dari jalur Ishâq bin ‘Îsâ al-Hâsyimi dari Abî Rafiq:

‘Aku mendengar Abû Thâlib berkata: ‘Aku dengar anak saudaraku, Muhammad bin ‘Abdullâh, berkata bahwa Tuhannya mengu­tusnya untuk memperkuat silaturahmî dan agar menyembah hanya kepada Allâh yang Mahaesa, dan jangan menyembah kepada yang lain selain Dia, dan Muhammad adalah orang terpercaya dan memegang amanat (ash-shadûq al-amîn)’.

Dan nasihat-nasihatnya kepada keluarga Banû Hâsyim menjelang wafatnya, seperti:

‘Aku mewasiatkan kepadamu agar memperlakukan Muhammad secara baik-baik, karena dia adalah al-amîn bagi kaum Quraisy dan ash-shiddîq dalam masyarakat Arab’.[219]

Kepada saudara-saudaranya ia berkata:

‘Hai keluarga Banû Hâsyim! Patuhlah kepada Muham­mad dan terimalah kebenaran yang dibawanya (shaddiqûhu) niscaya kamu jaya (tuflihû) dan mengikuti jalan yang lurus (tarsyadû)’.[220]

Haruslah diakui bahwa catatan sejarah dalam kurun Makkah sangat sedikit dibandingkan dengan kurun Madînah. Tetapi tatkala timbul surat-menyurat antara ‘Alî dan Mu’âwiyah di kemudian hari, ‘Alî telah menyebut-nyebut Mu’âwiyah dan ayahnya sebagai orang-orang baru dalam Islam, baru masuk Islam setelah pembukaan Makkah, karena terpaksa (yang disebut thulaqâ’, yang dibebaskan). Bila Abû Thâlib adalah seor­ang musyrik, maka pasti Mu’âwiyah akan menyebutnya dalam suratn­ya. Sebab bagaimanapun juga, Abû Sufyân, ayah Mu’âwiyah adalah Muslim, meskipun tidak dengan sepenuh hati, karena banyak catatan yang menyebut bahwa ia sesudah menjadi Muslim pun masih sering mengejek agama Islam dan Nabî Muhammad. Dalam al-Istî’âb diriwayatkan: ‘Sekali Abû Sufyân memasuki rumah ‘Utsmân bin ‘Affân tatkala ia menjadi khalîfah. Khalîfah telah beralih kepadamu sesudah Banû Taim dan Banû ‘Adî maka gulirkan dia seperti bola dalam lingkungan Banû ‘Umayyah. Sesungguhnya Muhammad itu adalah raja, dan saya tidak percaya akan adanya surga maupun neraka’[221]

Abû Thâlib adalah seorang pemberani yang bertindak sesuai dengan ucapannya. Ia membela Muhammad dengan kata-kata dan perbuatan, dan untuk itu dia pertaruhkan jiwa raganya. Tapi ia juga bijak. Ia mengetahui bagaimana menempatkan dirinya ditengah masyarakat Jahiliah yang mengepung kemanakannya yang diyakininya sebagai orang jujur, dapat dipercaya, yang harus diikuti oleh seluruh keluarganya, malah seluruh bangsa Arab. Ia bisa menjaga kewiba­waannya ditengah masyarakat yang menghormati kejantanan dan kegagahan yang terkenal dengan istilah muru’ah. Ia tegak seperti batu karang melindungi Muhammad, bukan sebagai pelindung kemana­kan, tetapi sebagai pembela kebenaran.

Kita tidak mempunyai catatan apakah 120.000 Sahabat Rasûl membaca syahadat pada waktu sekarat. Kita juga mengetahui bahwa pengakuan pada saat sekarat tidak menentukan seseorang beriman atau tidak.[222] Melihat ayat-ayat ini Rasûl Allâh saw. tidak akan mengukur keimanan orang dengan syahadat akhir.

Kalau keislaman seseorang diukur dengan membaca syahadat, marilah kita ikuti syairnya yang lain:

Serbuan terhadap kami, tanpa hasil,

Pukulan dan tikaman yang disatukan,

Mendesak kami membunuh Muhammad,

Janganlah mewarnai hari cerah dengan darah,

Kamu berdusta dan demi Bait Allâh kamu ‘kan terpecah ,

Pikiran kacau, akal tak bersemi,

Silaturahmi diputus, isteri lupakan suami,

Dan yang haram datang berganti-ganti,

Kebencian, ingkar, dosa kamu semai,

Watak masa lalu, muncul lagi,

Kamu berlaku kejam kepada Nabî,

Pembawa tuntunan pengemban amanah,

Pemikul tugas dari Dia, Penguasa ‘Arsy’[223]

Dan syairnya yang berisi pesan untuk Negus, menggugahnya agar memelihara hubungan bertetangga baik dan agar Negus melindungi kaum Muslimîn yang berhijrah ke Habasyah, Ethiopia:

‘Agar ia tahu, insan terbaik, adalah Muhammad,

Wakil Mûsâ dan Îsâ, pembawa amanat,

Seperti mereka, ialah pandu yang cermat,

Tuntunan dan lindungan ia lakukan dengan tepat,

Atas perintah dan kuasa Allâh Mahakuat.

Kamu temukan dia dalam Kitâb Sucimu, jelas amat,

Riwayatnya tertulis dengan lengkap’.[224]

Dan syairnya yang lain, yang memuji Muhammad saw:

Allâh telah memuliakan An-Nabî Muhammad,

Dan makhluk paling mulia ialah Ahmad,

Dia membagi nama-Nya untuk memuliakannya,

Pemilik ‘Arsy Maha Terpuji,

Dan yang ini adalah yang dipuji.[225]

Sedikit petikan dari demikian banyak syair-syairnya yang selamat dari perusakan, menunjukkan keimanannya kepada Allâh SWT dan pengakuannya akan kenabian Muhammad saw.

Hadis Isrâ’îlyiât dan Khurâfât Abû Hurairah

Abû Hurairah banyak meriwayatkan hadis-hadis isrâ’îliyât, seperti Âdam yang diciptakan seperti bentuk Allâh, setan lari sambil kentut mendengar suara azan, Nabî Sulaimân yang mengancam akan membelah bayi yang diperebutkan dua orang ibu, Allâh menaruh kakinya ke neraka, Nabî Sulaimân yang meniduri 70 wanita dalam semalam tapi hanya melahirkan seorang bayi separuh manusia, Nabî yang membakar sarang semut karena digigit seekor semut. Nabî Îsâ akan turun membunuh babi (apa salahnya babi?), awan yang bicara, sapi dan serigala berbicara bahasa Arab, Allâh yang marah sekali dan tidak akan pernah lebih marah lagi seperti itu, yang diucap­kan Âdam karena dia melanggar perintah Allâh.. Sedikit di antaranya yang merupakan cuplikan dari buku Mahmûd Abû Rayyah, Syaikh al-Mudhîrah, Abû Hurairah, dan beberapa buku lain perlu dikemukakan disini.

Bentuk Âdam Seperti Allâh

Bukhârî dan Muslim dalam Shahîh-nya meriwayatkan dari Abû Hurairah: “Allâh menciptakan Âdam seperti bentuk (shurah) Allâh, dengan panjang badan enam puluh hasta (27 meter).” Dan jalur Sa’îd bin Musayyib, lebar badan Âdam tujuh hasta (dzira’), yakni 3,15 meter.[226]

Melalui jalur lain, dengan lafal yang lain, “Bila dua orang berkelahi, maka hindarilah memukul wajahnya, karena Allâh memben­tuk Âdam menurut bentuk-Nya.” Melalui jalur lain lagi, ada yang berbunyi: “Bila memukul orang, hindarilah menampar wajahnya, dan janganlah berkata, ‘Mudah-mudahan Allâh memburukkan wajahmu!’ sebab wajah Allâh adalah sama dengan wajahmu, sebab sesungguhnya Allâh membentuk Âdam menurut bentuk-Nya”[227].

Mûsâ as Menampar Malaikat

Bukhârî dan Muslim meriwayatkan dalam Shahîh-nya dari Abû Hurairah: “Rasûl bersabda: Malaikat Maut datang kepada Mûsâ dan bersab­da: ‘Penuhilah kehendak Tuhanmu!’ Maka Nabî Mûsâ pun menampar mata Malaikat Maut, sehingga biji mata Malaikat Maut keluar dari rongganya. Maka Malaikat Maut kembali kepada Allâh dan berkata: ‘Sesungguhnya Engkau mengutusku kepada hamba-Mu yang tiada menghendaki kematian, dan ia mencopot mataku’. Maka Allâh mengem­balikan biji mata Malaikat Maut ke dalam tempatnya semula, dan berfirman: ‘Kembalilah, dan katakanlah kepadanya agar ia meletak­kan tangannya di atas punggung seekor sapi, maka umurnya akan bertambah satu tahun untuk setiap bulu sapi yang melekat di tangannya’. Nabî Mûsâ lalu bertanya kepada Allâh: ‘Sesudah itu bagaimana?’ Allâh menjawab: ‘Sesudah itu mati’. Maka Mûsâ berka­ta: ‘Jika demikian, maka lebih baik aku mati sekarang saja’. Ia lalu memohon kepada Allâh, agar ia didekatkan ke tanah suci, sejauh lemparan batu”.[228]

Nabî Mûsâ as Telanjang Mengejar Batu yang Lari

Bukhârî dan Muslim menulis dalam Shahîhnya yang berasal dari Abû Hurairah: “Rasûl bersabda: Banû Isra’il, suatu ketika, sedang mandi telanjang, dan saling melihat aurat mereka. Dan Nabî Mûsâ AS. sedang mandi sendirian. Dan mereka berkata: ‘Demi Allâh Mûsâ tidak akan mandi bersama kami, karena kemaluannya besar; ia menderita burut’. Suatu ketika Mûsâ pergi mandi dan meletakkan bajunya di atas batu, maka batu itu pun larilah membawa bajunya. Dan setelah Mûsâ menjamah bekas tempat batu itu, baru ia sadar dan melihat batu yang lari. Ia pun keluar dari tempat perma­ndiannya dengan telanjang bulat mengejar batu itu, sambil berter­iak: ‘Wahai batu, bajuku! Wahai batu, bajuku!’ Maka orang Isra’il pun melihat ke arah kemaluan Mûsâ dan berkata: ‘Demi Allâh, Mûsâ tidak menderita penyakit’. Maka batu itu pun muncul kembali dari persembunyiannya, sehingga terlihat oleh Mûsâ, dan Mûsâ lalu mengambil pakaiannya. Ia kemudian menampar batu itu, sehingga meninggalkan bekas, pada enam atau tujuh tempat”.[229]

Allâh Mencipta Âdam Hari Jum’at Sesudah Asar

Muslim meriwayatkan dalam Shahîh-nya dari Abû Hurairah: “Allâh menciptakan bumi pada hari Sabtu, dan menciptakan gunung pada hari Minggu, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan yang jelek-jelek pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan hewan-hewan pada hari Kamis, dan menciptakan Âdam as pada hari Jumat, sesudah waktu asar, sebagai ciptaan terakhir dan pada hari terakhir, serta saat yang terakhir, yaitu di antara waktu asar dan malam”.[230]

Keutamaan Sahabat

Neraka Berdebat Dengan Surga

Abû Bakar Penghias Surga

Tulisan di Langit:

‘Muhammad Rasûl Allâh, Abû Bakar Shiddîq’

Abû’l-Faraj Ibnu Jauzî meriwayatkan dari Abû Hurairah: ‘Rasûl Allâh menceritakan kepada saya: Surga dan neraka saling membang­gakan diri. Neraka berkata kepada surga: ‘Kedudukanku lebih agung dari kedudukanmu. Di tempatku berdiam Fir’aun, raja-raja dan penguasa yang jahat serta keluarga mereka’. Lalu Allâh mewa­hyukan kepada surga, agar mengatakan kepada neraka: ‘Tetapi keagungan itu ada padaku, karena Allâh telah menghiasi aku dengan Abû Bakar”

Abul ‘Abbâs al-Walîd bin Ahmad al-Jauzinî menyampaikan dari Abû Hur­airah: ‘Saya mendengar Rasûl Allâh bersabda bahwa Abû Bakar memiliki sebuah kubah dari permata putih, berpin­tu empat. Melalui pintu-pintu itu, berhembus angin rahmat. Di luar kubah terdapat pengampunan Allâh, dan di dalam kubah terda­pat keridaan Allâh. Setiap kali Abû Bakar merindukan Allâh, maka pintu akan terbuka, dan dia dapat melihat Allâh’.

Ibnu Habban meriwayatkan dari Abû Hurairah: ‘Aku mendengar Rasûl Allâh bersabda: ‘Tatkala aku mikraj ke langit, aku tiada menemui sesuatu di langit, kecuali aku bertemu dengan tulisan: ‘Muhammad Rasûl Allâh, Abû Bakar Shiddîq’.

Sapi dan Serigala Berbahasa Arab

Bukhârî dan Muslim meriwayatkan dari Abû Hurairah: ‘Setelah salat subuh, Rasûl Allâh menghadap orang banyak lalu bersabda: ‘Tatkala seorang sedang menggembalakan sapinya, ia telah menunggangi dan memukulnya dan tiba-tiba sapi itu berkata: ‘Kami tidak diciptakan untuk diperlakukan seperti ini. Kami diciptakan untuk membajak’. Maka orang-orang berkata: ‘SubhanAllâh! Sapi bicara (bahasa Arab)’. Maka Rasûl saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku percaya akan hal ini, juga Abû Bakar dan ‘Umar’. Padahal (lanjut Abû Hurairah) Abû Bakar dan ‘Umar tidak hadir di antara kami. Lalu Rasûl Allâh saw. bersabda (lagi): ‘Dan tatkala seseorang sedang meng­gembalakan kambingnya, ia bertemu dengan seekor serigala yang melarikan seekor kambingnya. Ia lalu mengejar dan hampir dapat merebutnya dari serigala, tapi tiba-tiba serigala itu berkata; ‘Ini, engkau hendak merebutnya dari aku? Bukankah hari ini hari binatang buas,(sabu’), hari yang tiada orang boleh menggembala, kecuali diriku?’ Maka orang-orang pun berkata: ‘Mahasuci Allâh. Serigala bicara’. Maka Rasûl bersabda: ‘Sesungguhnya aku percaya akan cerita ini; aku, Abû Bakar dan ‘Umar’. Padahal mereka berdua, Abû Bakar dan ‘Umar, (kata Abû Hurairah), tidak hadir di antara kami’.[231]

Hadis Syair Atau Sajak Abû Hurair­ah

Abû Hurairah berkata: ‘Rasûl Allâh bersabda: ‘Adalah lebih baik mengisi perut seorang dengan nanah daripada mengisinya dengan syair’ ‘. (Bukhârî dan Muslim). Hadis ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasûl menyukai syair. Ubay bin Ka’b menyampaikan bahwa Rasûl Allâh bersabda :’ Dalam syair terdapat hikmah’. Dan riwayat dari Abî Dâwud : ‘..ada hikmah dalam syair ‘. Dan dalam riwayat lain: ‘ Sesungguhnya dalam syair itu terdapat hikmah’. Dan Rasûl meminta diperdengarkan syair Umayyah bin Abî ash-Shalt, seperti diceritakan oleh ‘Amr bin Syarid dari ayahnya yang berkata: ‘Suatu ketika aku mengikuti Rasûl Allâh dan ia bersabda : ‘Apakah Anda menyim­pan syair Umayyah Ibnu Abî Ash-Shallt?” Dan aku menjawab :’Ya’. Dan Rasûl Allâh bersabda: ‘Coba !’ Dan aku memperdengarkan kepada beliau seratus bait (syair)”. Dan diriwayatkan oleh Muslim , tatkala Rasûl Allâh mendengar bagian syair yang terkenal:

Derita di padang pasir akan datang karena kau bebal

Berita ‘kan datang padamu dari kelana tak berbekal

Beliau bersabda bahwa dalam syair di atas terkandung kalimah nubuat. Dan diriwayatkan oleh Bukhârî bahwa Nabî bersabda: ‘Benar dalam kata-kata penyair ini terdapat hikmah:

Bukankah segala, selain Dia, lenyap selalu

Dan segala nikmat sekejap pasti ‘kan berlalu’.

Dan Rasûl Allâh mengizinkan penyair Hassân bin Tsâbit untuk berhujah dengan kaum musyrikin dengan kata-kata: ‘Sesungguhnya Roh Suci selalu akan memberi inspirasi kepadamu selama engkau membela (keagungan) Allâh dan Rasûlnya’ (Muslim). Dan diriwayat­kan oleh Bukhârî: ‘Berhujahlah dengan mereka dan Jibril bersama­mu’. Dan puluhan ayat Al-Qur’ân menyerupai syair-syair yang indah, seperti ayat-ayat berikut:

Fa man tazakkâ fa innamâ

yatazakkâ li nafsihi

Barang siapa bersuci diri

Ia hanya bersuci dirinya sendiri[232].

Wa jifânin kal jawâbi

wa qudûrin râsiyâtin

Dan piring-piring sebesar anak tambak

serta periuk-periuk yang tidak beranjak[233].

Allâh SWT Turun ke Langit Dunia (?)

Abû Hurairah : Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Allâh ta’ala tiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga akhir malam dan ber­seru: ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan, dan barangsiapa yang meminta akan Kuberikan, dan barangsiapa yang memohon pengam­punan akan Kuampuni. “(Bukhârî dan Muslim).

Karena tiap detik dimuka bumi ini separuh bola bumi melewati malam hari, maka Tuhan selalu berada di ‘langit dunia’ (as-Samâ’ ad-dunya) dan selalu berfirman seperti dikatakan oleh Abû Hurairah.

Sungai Nil Dan Efrat Adalah Sungai dari Surga

Diriwayatkan oleh Muslim dan Imâm Ahmad dari Abû Hurairah bahwa Rasûl Allâh saw. bersabda ‘Sungai Nil dan Sihan dan Jihan dan Furat adalah sungai-sungai di Surga’ dan riwayat ini disampaikan juga oleh Ka’b al-Ahbar yang berbunyi: ‘Ada empat sungai di Surga yang diletakkan di dunia oleh Allâh yang Maha Perkasa dan Maha­tinggi, yaitu Nil, Sungai Madu di Surga, dan Furât, Sungai Minu­man Keras, dan Sihân, Sungai Air, serta Jihan, Sungai Susu di dunia !’[234]

Hadis ‘Tiada Penyakit Menular’ dari Abû Hurairah

Abû Hurairah berkata: Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Tidak ada tular menular, tidak ada shafar (penyakit kuning) dan tidak juga ada hama. Maka bertanyalah seorang Arab : ‘Ya Rasûl Allâh, mengapa untaku yang berada di lapangan (yang sehat dan gesit) seperti kijang, tiba-tiba menderita penyakit setelah unta yang berpenya­kit masuk di tengah unta-untaku?’. Nabî saw. bertanya: ‘Lalu siapakah yang menulari unta yang pertama (tadi)?’ (Bukhârî dan Muslim).

Sedang di pihak lain para ulama mengenal hadis termasyhur dari Usâmah bin Zaid, bahwa Rasûl Allâh telah bersabda:’Bila kamu mendengar adanya wabah penyakit pes (tha’un) di suatu daerah, maka jangan masuki daerah itu ; dan bila telah terjadi (wabah) dan kamu berada di dalamnya maka janganlah kamu keluar (dari daerah tersebut)!’ Hadis di atas telah disampaikan juga oleh ‘Abdurrahmân bin ‘Auf. Dan karena kedua hadis tersebut, ‘Umar bin Khaththâb, tatkala suatu ketika pergi ke Syam dan mengetahui bahwa negeri tersebut terserang wabah, ia segera kembali bersama rombongannya.

Hadis Abû Hurairah Tentang Lalat, Perang lalat

Diriwayatkan oleh Bukhârî dan Ibnu Mâjah dari Abû Hurairah bahwa Nabî saw. bersabda : ‘Bila lalat jatuh ke dalam bejana maka benamkanlah seluruhnya karena sayapnya yang sebuah mengandung penyakit (da’) dan yang satu lagi mengandung obat (syifa’)’. Di tempat lain : ‘yang sebelah mengandung racun (samm) dan yang satu lagi obat (syifa’), dan ia mendahulukan (sayap yang mengandung) racun dan mengakhirkan (sayap yang mengandung) obat’. Dan di bagian lain ‘di bawah sayap kanan lalat terdapat obat dan di bawah sayap kiri terdapat racun, dan bila jatuh ke dalam bejana (inâ’) atau ke dalam minuman (syarâb) atau ke dalam kuah (maraq) maka benam­kanlah karena dengan demikian ia akan mengangkat sayap yang di bawahnya mengandung obat dan melindungi sayap yang di bawahnya mengandung racun’.

Hadis ini telah menyusahkan para dâ’î yang membaca hadis Bukhârî, karena tidak ada orang yang mengerti ilmu kesehatan yang akan menerima hadis ini tanpa menimbulkan pertentangan dalam dirinya.

Penolakan terhadap hadis ini telah menimbulkan perdebatan sengit dalam majalah ‘Liwa’ al-Islam ‘ di Mesir pada masa lalu. Perdeba­tan tentang ‘Hadis Lalat’ ini terkenal dengan nama ‘Perang Lalat’ (Ma ‘rikah az-Dzubâb). Yang membela hadis ini memperkuat dalilnya dengan mengatakan bahwa hadis ini shahîh karena dimuat dalam Bukhârî, dan yang lain beralasan bahwa hadis mengenai ‘kerakusan’ seperti itu yang bertentangan dengan ilmu dan karena lalat yang menjadi sumber penularan banyak penyakit.

Hadis Pundi-pundi Abû Hurairah

Abû Hurairah berkata: ‘Aku tertimpa tiga musibah dalam Islam. Tiada peristiwa yang menimpaku seperti itu. Wafatnya Rasûl Allâh dan aku adalah sahabatnya, dibunuhnya ‘Utsmân dan al-mizwad’. Orang-orang bertanya: ‘Dan apa itu ‘al-mizwad’ ya Abû Hurairah?’ Abû Hurairah menjawab: ‘Kami bersama Rasûl Allâh dalam perjalanan dan Rasûl Allâh bersabda: ‘Ya Abû Hurairah! Adakah sesuatu pada­mu?’. Aku berkata: ‘Ada kurma dalam pundi-pundi (mizwad)!’. ‘Bawa kemari !’ sabda Rasûl Allâh. Dan tatkala aku mengeluarkan kurma dari dalam pundi-pundi, ia mengusap dan berdoa ke dalamnya kemu­dian bersabda: ‘Panggilkan sepuluh orang !’ Dan orang-orang makan sampai kenyang dan demikianlah seterusnya sehingga seluruh pasukan (kenyang dengan kurma). Dan masih ada kurmaku dalam pundi-pundi. Dan Rasûl Allâh bersabda: ‘ Bila engkau ingin men­gambil sesuatu dari dalamnya, masukkanlah tanganmu dan jangan engkau membocorkannya’. Abû Hurairah berkata: ‘Dan aku makan dari pundi-pundi tersebut selama Rasûl Allâh hidup dan aku makan dari dalamnya selama seluruh hidup Abû Bakar dan aku makan dari isinya selama seluruh hidup ‘Umar, dan aku makan dari dalamnya selama seluruh hidup ‘Utsmân dan tatkala ‘Utsmân dibunuh hilanglah milikku dan hilanglah juga pundi-pundi itu’. Tahukah kamu berapa banyak aku makan dari dalamnya? Aku telah makan dari dalamnya berlipat ganda dari enam puluh gantang’.

Dalam hadis ini Abû Hurairah menceritakan bahwa Rasûl Allâh makan dari pundi-pundinya setelah mengusapnya dan memberi makan seluruh anggota pasukannya. Dalam riwayatnya yang lain yang dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal yang dimiliki Abû Hurairah bukanlah pundi-pundi atau kantong makanan (mizwad), tetapi miktal (keranjang). ‘Rasûl Allâh memberikan sedikit kurma kepadaku dan aku memasukkannya ke dalam keranjang dan kami menggantungnya di loteng rumah dan kami terus makan dari dalamn­ya sampai berakhir tatkala keranjang itu dibinasakan oleh pendu­duk Syam yang menyerbu Madînah, yaitu pasukan Busr bin Arthât yang dikirim Mu’âwiyah menakut-nakuti penduduk Madînah dan Makkah dan selama pasukan Mu’âwiyah menyer­ang pundi-pundi ini Mu’âwiyah harus menggantinya dan telah ter­laksana. Dan Mu’âwiyah mengganti dengan sesuatu yang banyak’.

Bila dalam riwayat Ahmad bin Hanbal Abû Hurairah menceritakan tentang pundi-pundi atau keranjang yang digantung di loteng rumah, maka riwayat Abû Hurairah yang dicatat oleh Dzahabî dalam Sair al-A’lam pundi-pundi itu tergan­tung di pinggangnya: ‘Abû Hurairah berkata: Aku mendatangi Rasûl Allâh dengan membawa beberapa butir kurma dan aku berkata: ‘Berkatilah kurma ini, ya Rasûl Allâh !’. Maka dia bersabda: ‘Ambillah kurma-kurma itu dan masukkanlah ke dalam pundi-pundi, dan andaikata engkau ingin mengambilnya masukkanlah tanganmu ke dalamnya dan jangan sekali-kali membuatnya berserakan !’. Abû Hurairah berkata: ‘Dan aku mengambil dari kurma tersebut sejumlah wasaq (wasaq = yang mampu diangkut seekor unta = enam puluh gantang) untuk keperluan agama (fi sabîlillâh). Dan dari situlah kami makan dan menikmatinya dan pundi-pundi itu tergantung di pinggangku dan tidak terpisah dari pinggangku sampai ‘Utsmân terbunuh’.

Lalu tatkala Abû Hurairah kelaparan di Shuffah sebagaimana diceritakannya sendiri dan diceritakan ummu’l-mu’mi­nîn ‘Â’isyah tatkala ia mendatangi para sahabat dari rumah ke rumah untuk minta makan, di manakah pundi-pundi Abû Hurairah itu?

Hadis Membentangkan Baju

Abû Hurairah mengeluarkan hadis ini untuk membela diri tatkala orang mempertanyakan banyaknya hadis yang disampaikannya. Bukhârî dan lain-lain meriwayatkan dari Abû Hurairah: ‘Kamu menyatakan bahwa Abû Hurairah banyak meriwayatkan hadis Rasûl Allâh. Dan mereka berkata: ‘Kaum Muhâjirîn dan ‘Anshâr tidak menyampaikan hadis sebanyak yang disampaikan Abû Hurairah. Sebenarnya ikhwanku kaum Muhâjirîn sibuk jual beli di pasar. Dan aku menetap dengan Rasûl Allâh untuk mengisi perutku maka aku hadir tatkala mereka tidak hadir dan aku menghapal tatkala mereka lupa. Dan ikhwanku kaum ‘Anshâr mengurus hartanya, dan aku seorang miskin dari orang-orang miskin yang tinggal di Shuffah. Aku menghapal tatkala mereka tidur. Dan Rasûl Allâh saw. (sekali) telah bersabda: ‘Siapa yang mengbentangkan bajunya setelah aku selesai bicara, kemudian melipatnya maka ia tidak akan lupa apa yang aku katakan, maka aku bentangkan serban yang aku pakai dan aku lipat ke dadaku, maka aku tidak lupa sedikit pun apa yang disabdakan Rasûl Allâh saw’[235] Abû Hurairah di bagian lain dilaporkan mengatakan bahwa bukan ia yang menghamparkan serbannya. Dzahabî melaporkan bahwa Rasûl Allâh sendiri yang melepaskan serbannya dari punggung Abû Hurairah dan membentangkannya antara Nabî dan Abû Hurairah:

Dari hadis Sa’d bin Abî Hindun dari Abû Hurairah bahwa Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Bukankah engkau meminta bagian dari rampa­san perang yang diminta (juga) oleh sahabat-sahabatmu? Aku berka­ta : ‘Aku mohon Anda mengajarkan aku ilmu yang diajarkan Allâh kepadamu. Dan ia menanggalkan serban yang berada di punggungku dan ia membentangkannya antara diriku dan dirinya sehingga sea­kan-akan aku melihat kutu merayap di atas serban dan ia menyampaikan dan menerangkan hadisnya kepadaku. Dia berkata: ‘Lipatlah !’ dan sejak itu aku tidak melupakan satu kata pun dari apa yang beliau sabdakan’.[236]

Dan dari al-Maqribi dari Abû Hurairah yang berkata: ‘ Aku berkata kepada Rasûl Allâh : ‘Aku mendengar hadis banyak darimu dan aku lupa (akan hadis-hadis itu)’. Dan Rasûl Allâh bersabda :’Bentan­gkanlah serbanmu dan aku membentangkannya, dan beliau menciduk ke dalamnya dengan kedua belah tangannya, kemudian bersabda: ‘Lipatlah !’ dan aku melipatnya dan sejak itu aku tidak melupakan sebuah hadis pun”.[237]

Abû Hurairah mengatakan bahwa kaum Muhâjirîn jauh dari Rasûl Allâh karena sibuk dengan berdagang di pasar dan kaum Anshâr sibuk dengan urusan mereka. Dengan kata lain setiap orang dari kaum Muhâjirîn yang awal dan terdahulu serta setiap orang dari kaum Anshâr sedang sibuk berdagang atau mengurus harta mereka. Lalu bagaimana dengan peringatan Allâh kepada manusia dengan firman-Nya yang berbunyi: ‘Orang-orang laki-laki yang tiada menjadi lalai mengingat Allâh oleh perniagaan atau bertukar barang dagangan’..[238]

Tuduhan Para Shahabat

Ibnu Qutaibah berkata dalam Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts :

‘Tatkala Abû Hurairah meriwayatkan hadis Rasûl Allâh, tidak ada shahabat besar yang terdahulu (sâbiqûn) ataupun yang awal (awwalûn) yang menyampaikan riwayat seperti dia. Mereka menyampaikan dakwaan dan mengingkarinya serta bertanya: ‘Bagaima­na (mungkin) engkau mendengar hadis itu sendirian? Siapa yang mendengar bersamamu?’ ‘Â’isyah ra paling getol di antara mereka yang mengingkarinya, karena ‘Â’isyah paling lama hidup di zaman Abû Hurairah mengeluarkan hadis-hadisnya”.[239]

Selanjutnya Ibnu Qutaibah menulis : ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis); mereka menyebut Abû Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abû Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahyâ bin Mu’in dan ‘Alî Ibnu al-Madini dan orang-orang seperti mereka menolak hadis Abû Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abû Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para shahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Â’isyah’[240].

Ibnu Qutaibah menyebut Abû Hurairah sebagai ‘Perawi pertama dalam Islam yang harus dituduh’.

‘Alî bin Abî Thâlib Dan Abû Hurairah

Tatkala ‘Alî bin Abî Thâlib mendengar Abû Hurairah berkata ten­tang Rasûl Allâh :’Telah bersabda sahabatku’, ‘Telah menyampaikan kepadaku sahabatku’, ‘Aku melihat sahabatku’, ‘Alî berkata : ‘Sejak kapan (Rasûl Allâh saw. menja­di sahabatmu) ya Abû Hurairah?’[241]

‘Alî bin Abî Thâlib menyebut Abû Hurairah ad-Dausi ini sebagai pembohong yang paling berat dari umat ini ( akdzabu an-nâs’). Pada kesempatan lain ‘Alî berkata: ‘Di antara orang hidup yang paling membohongi Rasûl Allâh adalah Abû Hurairah ad-Dausi. ‘Alî juga menamakan Ka’b al-Ahbar sebagai pembohong.[242]

‘Â’isyah Dan Abû Hurairah

Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan ‘Â’isyah dengan Abû Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabî saw’..Demikianlah kata-kata ‘Â’isyah yang ditujukan kepada Abû Hurairah. Abû Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhârî, Ibnu Sa’d, Ibnu Katsîr dan lain-lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada ‘Â’isyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabî bahwa ‘Â’isyah berkata kepada Abû Hurairah : ‘Keterlaluan Abû Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasûl Allâh !’. Dan Abû Hurairah menjawab :’Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasûl Allâh) !’

Dan ‘Â’isyah menjawab : ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit-birit pergi dari Rasûl Allâh dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang-orang, menge­tuk rumah meminta-minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak-injak lehermu.[243]

Ummu-l-mu’minîn ‘Â’isyah sering bertengkar dengan Abû Hurairah bila yang terakhir ini men­yampaikan hadis. Sekali ia menyampaikan hadis yang berbunyi :’Barangsiapa bangun pagi dalam keadaan junub, maka tidak ada puasa baginya’. ‘Â’isyah mengingkari hadis ini dan mengatakan bahwa Rasûl Allâh suatu ketika sampai fajar berada dalam keadaan junub yang bukan disebabkan mimpi dan beliau mandi dan berpuasa dan ‘Â’isyah menyampaikan pesan kepada Abû Hurairah untuk tidak menyampai­kan hadis tersebut. Kemudian Abû Hurairah menga­kui bahwa dia tidak mendengar dari Rasûl Allâh saw. tetapi dari Fadhl bin ‘Abbâs yang telah meninggal. Dan Ibnu Qutaibah berkata tentang masalah ini: ‘ Ia menjadikan mayat sebagai saksi dan mengelabui orang bahwa ia mendengar dari Rasûl Allâh sedang dia tidak men­dengar dari Rasûl!’[244]

‘Â’isyah juga menuduhnya sebagai pembohong tatkala Abû Hurairah menyampaikan hadis dari Rasûl Allâh bahwa pada perempuan, rumah dan binatang melata terdapat pertanda sial (thirah, evil omen).[245]

Dan tatkala ‘Â’isyah mendengar hadis Abû Hurairah :’Tidak akan masuk surga anak haram ‘, ‘Â’isyah menjawab: ‘Dia tidak memikul dosa ayahnya’ lalu ‘Â’isyah menyampaikan ayat al-Qur’ân: ‘Pemikul beban tidaklah memikul beban orang lain’.[246]

Ibnu ‘Umar Dan Abû Hurairah

‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khaththâb menuduh Abû Hurairah sebagai pembohong. Misalnya tatkala Abû Hurairah menyam­paikan hadis tentang salat witir.[247]

Atau tatkala Abû Hurairah menyampaikan hadis tentang anjing. Ibnu ‘Umar menuduhnya membuat hadis untuk kepentingan Abû Hurairah sendiri dan dikatakannya didengarnya dari Rasûl Allâh.[248]

Zubair bin ‘Awwâm Dan Abû Hurairah

Tatkala mendengar hadis Abû Hurairah, Zubair berkata ‘Bohong’[249].

‘Umar bin Khaththâb Dan Abû Hurairah

‘Umar adalah orang pertama yang melihat bahaya hadis-hadis Abû Hurairah yang dikatakan didengarnya dari Rasûl Allâh. ‘Umar menghalangi Abû Hurairah menyampaikan hadis tatkala ia pulang dari Bahrain. ‘Umar mengancam akan mencambuknya andaikata ia menyampaikan hadisnya sebelum ‘penyakit menyebar dan kuman menjadi kebal’. Ibnu ‘Asâkir meri­wayatkan dari Sa’ib bin Yazîd yang mendengar ‘Umar berkata kepada Abû Hurairah: ‘Engkau harus berhenti menyampaikan hadis Rasûl Allâh atau engkau akan aku asingkan ke daerah Daus’.[250]

Dan kepada Ka’b al-Ahbar ‘Umar berkata: ‘Engkau harus mening­galkan penyampaian hadis atau engkau akan diasingkan ke daerah al-Qurdah’. Di bagian lain, ‘Umar berkata kepada Abû Hurairah: ‘Terlalu banyak ya Abû Hurairah dan aku akan memukulmu bila engkau berbicara bohong tentang Rasûl Allâh’.[251]

Meskipun ‘Utsmân tidak sekeras ‘Umar tetapi kemarahan serupa telah disampaikan juga oleh ‘Utsmân kepada Abû Hurairah dan Ka’b al-Ahbar[252].

Di samping itu ‘Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai guber­nur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu ‘Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al-Farîd : ‘ ‘Umar kemudian memanggil Abû Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda-kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abû Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. ‘Umar: ‘Aku telah perhitungkan pengha­silanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abû Hurairah:’Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. ‘Umar: ‘Ya, demi Allâh aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah!’ ‘Kemudian ‘Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abû Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu di jalan Allâh!’ ‘Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan di jalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allâh dan bukan untuk kaum Muslimîn? Kau tidak punya keahlian apa-apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abû Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abû Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhen­tikan oleh ‘Umar dari Bahrain, ‘Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allâh dan musuh Kitâb-Nya, engkau mencuri harta Allâh?’ Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allâh dan musuh Kitâb-Nya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allâh!’ ‘Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abû Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, ‘Umar menyitanya dariku! Dan setelah salat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amîru’l-mu’minîn!’

Tâbi’în Menolak Hadis Abû Hurair­ah

Ibrâhîm Nakha’i Dan Kawan-kawan

Sebagai contoh dapat dikemukakan disini Ibrâhîm Nakha’i. Ia lahir tahun 50 H.,670 M. dan pernah melihat ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah. ‘Â’isyah me­ninggal satu tahun sebelum Abû Hurairah mening­gal, maka dia mungkin juga pernah melihat Abû Hurairah. Sahabat-sahabatnya meriwayatkan dari Mughîrah yang didengarnya dari Ibrâhîm: ‘ Sahabat-sahabat kami menolak hadis Abû Hurairah’. Juga diriwayatkan oleh A’masy dari Ibrâhîm : ‘Mereka tidak mengambil semua hadis Abû Hurairah’. Dan diriwayatkan oleh ats-Tsauri dari Manshûr dari Ibrâhîm :’ Mereka melihat ‘sesuatu’ pada hadis Abû Hurairah, dan mereka tidak mengambil seluruh hadis Abû Hurairah kecuali mengenai sifat surga dan neraka, atau ajakan kepada amal salih atau menolak kemungkaran seperti tersebut dalam al-Qur’ân’. Atau diriwayatkan oleh Abû Usâmah yang didengarnya dari A’masy: ‘Ibrâhîm, adalah seorang ahli hadis. Dan aku sendiri bila aku mendengar sebuah hadis aku segera mendatanginya dan menyampaikan hadis tersebut. Maka pada suatu hari aku menyampaikan hadis-hadis Abî Shalih yang berasal dari Abû Hurairah dan dia berkata: ‘Jauhkan aku dari Abû Hurairah! Sungguh mereka meninggalkan banyak sekali hadis-hadisnya’[253].

Sikap Imâm Abû Hanîfah Dan Kawan-kawan

Sikap Imâm Abû Hanîfah dan sahabat-sahabatnya para ahli fiqih yang terkenal dalam dunia Islam adalah bahwa mereka dan para penganut madzhabnya tidak menghargakan hadis-hadis Abû Hurairah dan berbeda dengan Ibrâhîm Nakha’i dan sahabat-sahabatnya yang masih menerima hadis Abû Hurairah tentang surga dan neraka, mereka menolak semua hadis Abû Hurairah. Diriwayatkan oleh Muham­mad bin al-Hasan, seorang sahabat Abû Hanîfah yang mendengar Abû Hanîfah berkata: ‘ Aku mengikuti pendapat para Sahabat seperti Abû Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî serta ketiga ‘Abdullâh dan aku tidak melihat perbedaan di antara mereka. Kecuali tiga orang’. Dan dalam riwayat lain: ‘Aku mengikuti semua Sahabat dan aku tidak melihat perbedaan di antara mereka kecuali tiga orang (Anas bin Mâlik, Abû Hurairah dan Samurah)...Tentang Anas, ia mulai pikun pada akhir umurnya dan ia mengeluarkan fatwa menurut akaln­ya dan aku tidak bertaklid pada akalnya. Dan tentang Abû Hurairah, ia telah meriwayatkan semua yang didengarnya tanpa memi­kirkan artinya dan tidak membedakan naskh dari mansukh’[254].

Dan Abû Yûsuf meriwayatkan : ‘Aku berkata kepada Abû Hanîfah: ‘Apabila kabar yang sampai kepadaku dari Rasûl Allâh berbeda dengan pandangan kita, maka apa yang akan kita lakukan?’. Ia menjawab: ‘Bila datang berita yang meyakinkan maka tinggalkan pandanganku’. Dan aku berkata: ‘Apa pendapat Anda tentang riwayat yang disampaikan Abû Bakar dan ‘Umar?’ Ia menjawab: ‘Aku menerima keduanya!’. Dan aku bertanya: ‘Dan ‘Alî serta ‘Utsmân?’. Ia menjawab: ‘Demikian pula!’.Kemudian ia menyebut sejumlah Sahabat. Ia berkata: ‘Semua Sahabat dapat dipercaya, adil, kecuali dua orang. Yang seorang adalah Abû Hurairah dan orang meragukannya karena (hadisnya) yang banyak’.[255]

Dan dalam al-Ahkâm al-Hâmidî :’Para Sahabat mengingkari Abû Hurairah karena hadis yang diri­wayatkan olehnya terlalu banyak, sehingga ‘Â’isyah ra berkata : ‘Mudah-mudahan Allâh SWT mengasihi Abû Hurairah. Ia adalah seorang pengoceh [256] tentang hadis le­sung’.

Pada suatu ketika dalam majelis Hârûn al-Rasyîd orang-orang sedang berdebat dan nada suara mereka makin meninggi. Sebagian orang berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan Abû Hurairah dan yang lain menolak hadis tersebut dengan kata-kata: ‘Riwayat Abû Hurairah harus dicurigai (muttaham) !’[257]

Kaum Mu’tazilah Dan Abû Hurairah

Kaum Mu’tazilah tidak memercayai hadis-hadis Abû Hurairah dan tidak berpegang pada hadis-hadisnya. Abû Ja’far al-Iskâfî berkata: ‘Dan Abû Hurairah dianggap cacat (madkhûl) oleh tokoh kami (yakni tokoh-tokoh Mu’tazilah) dan riwayatnya tidak terpakai. ‘Umar memukulnya dan berkata: ‘Engkau terlalu banyak membawa riwayat, dan aku akan memukulmu kalau engkau terus membohongi Rasûl Allâh’.[258]

Abû Hurairah ‘Pemerdaya’

Seseorang dikatakan telah memperdaya, bila ia bertemu dengan seseorang pada suatu kesempatan dan tidak mendengar perkataan orang tersebut tapi mengatakan bahwa ia telah mendengarnya. Atau menyampaikan berita tentang seseorang yang hidup sezaman den­gannya, yang tidak ia temui, tetapi ia mengatakan telah mendengar pembicaraan orang tersebut.

Abû Hurairah meriwayatkan semua yang didengarnya sebagai sabda Rasûl Allâh, tidak peduli apakah ia mendengarnya lansung dari Rasûl Allâh atau dari para Sahabat atau dari generasi sesudah sahabat yaitu para tâbi’în dan dia tidak mengatakan sumbernya dan memberi kesan kepada orang bahwa dia lansung mendengar dari Nabî. Di kalangan para ahli hadis digunakan istilah tadlîs.

Ibnu Qutaibah menulis dalam Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts: ‘Abû Hurairah berkata: ‘Rasûl Allâh bersabda demikian! padahal ia sebenarnya mendengar dari ‘orang yang dipercayainya’ dan kemudian meriwayatkannya.[259]

Ibnu Qutaibah sengaja menyebut bahwa Abû Hurairah menggunakan istilah ‘orang yang dipercayainya’ dan tidak orang yang dapat dipercaya, karena Abû Hurairah tidak menyebut nama orang yang meriwayatkan kepadanya.

Dzahabî meriwayatkan dalam ‘Sair al-A’lam an-Nubala’ : ‘ Telah berkata Yazîd bin Ibrâhîm: ‘Aku mendengar Syu’bah berkata: ‘Abû Hurairah memperdayakan orang’. Dan Dzahabî menghubungkan berita ini dengan kata-katanya: ‘Ia memperdayakan tentang Sahabat dan tidak merasa aib’. Dan Yazîd bin Hârûn berkata dalam ‘al-Bidâyah wa’n-Nihâyah’: ‘Aku mendengar Syu’bah berkata: ‘Abû Hurairah memperdayakan orang, yakni ia meriwayatkan apa yang didengarnya dari Ka’b al-Ahbar dan tidak didengarnya dari Rasûl Allâh, dan dia tidak memisahkan yang satu dari yang lain! Ibnu ‘Asâkir berkata: ‘Dan Syu’bah menghubungkan ini dengan hadis Abû Hurairah ‘Barang siapa bangun pagi dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya’ dan tatkala didesak ia mengatakan ‘seorang telah menyampaikannya kepadaku dan aku tidak mendengar dari Rasûl Allâh’ ‘.(Hadis yang dibantah oleh ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah dan setelah didesak Abû Hurairah mengatakan ia mendengarnya dari Fadhl bin ‘Abbâs yang telah meninggal dan tidak dapat dijadikan mitra bicara, lihat di atas, pen.)

Al-Hâkim[260] berkata: ‘Hadis bagi kami terbagi dalam enam jenis’. Kemudian ia berbicara tentang jenis yang kedua : Adalah mereka yang mengeluarkan hadis dengan memperdayakan orang. Dan mereka berkata: ‘Si polan berkata (kepadaku)!’ dan bila dibantah orang dan merasa terdesak serta gagal mempertahankan kesaksian pendengaran mereka, mereka lalu mengubah sumber mereka’. Mahmûd Abû Rayyah memasukkan Abû Hurairah dalam kategori ini. Nawawî berkata dalam At-Taqrîb: ‘Dikatakan memperdayakan karena perawi meriwayatkan tentang orang sezamannya, tapi tidak mendengar lansung darinya. Ia berkata: ‘Si polan berkata’ atau ‘Berasal si polan”. Dan ini cocok sekali dengan Abû Hurairah, karena ia dalam kebanyakan hadisnya berkata: ‘Rasûl Allâh bersabda’ (qâla Rasûl Allâh), atau ‘Dari Rasûl Allâh’ (‘an Rasûl Allâh) dan dia tidak mendengar dari Rasûl Allâh.

‘At-tadlîs’ hukumnya adalah penolakan (madzmûm) seluruhnya secara mutlak sebagaimana dikemukakan oleh Syu’bah bin al-Hajjâj, Imâm ahli cacat atau tidaknya suatu hadis (Ahlu al-Jarh wa at-Ta’dîl) dengan kata-katanya: ‘Berzina lebih aku sukai dari memperdayakan’ dan: ‘Memperdayakan orang adalah saudara dari bohong’.[261]

Abû Hurairah Berbeda Dengan Saha­bat lain

Kedudukannya Khusus

Kedudukan Abû Hurairah adalah khusus karena dia dicerca dan dikritik oleh Para Sahabat Besar secara susul menyusul yang tidak pernah terjadi pada para Sahabat lain. Ia dituduh sebagai ‘pembohong’ dan ‘pengoceh’ oleh para Sahabat Besar. Dan anehnya orang suka kepada hadisnya tentang Tuhan yang turun ke ‘langit dunia’, Tuhan yang menciptakan Âdam seperti wajah Tuhan dengan tinggi enam puluh hasta, Tuhan yang menaruh kaki di neraka, Nabî Mûsâ yang mengejar batu dengan telanjang bulat, Nabî yang menghancurkan seluruh sarang semut karena digigit oleh seekor semut, sapi dan serigala yang berbicara bahasa Arab, pundi-pundi ajaib yang diikat di pinggangnya dan mengeluarkan kurma selama dua puluh tahun, hadis membenamkan lalat ke dalam minuman, hadis tidak ada penyakit menular dan ratusan hadis lain yang tidak mungkin dimasukkan ke dalam buku kecil ini.

Ahli sejarah tidak mudah menerima hadis Abû Hurairah. Mereka berkata:’Mudah orang berbohong tetapi sukar mempertahankan kebo­hongan sesudah dituturkan’. Abû Hurairah mestinya menceritakan kepada kita, di mana berada pundi-pundinya tatkala ia kelaparan di Shuffah. Dalam perang yang mana Rasûl Allâh menanyakan pundi-pundinya, mengusap dan memberi makan seluruh pasukan. Bagaimana rasa kurma mukjizat tersebut dan berapa banyak yang dimakan Abû Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî. Dan mengapa dari puluhan ribu Sahabat tidak ada satu pun menceritakan pundi-pundi Abû Hurairah yang merupakan suatu mukjizat besar.

Mengapa ‘Alî mengatakannya sebagai anggota umat yang paling pembohong? Mengapa ummu’l-mu’minîn menamakan Abû Hurairah sebagai ‘pengoceh tidak karuan’. Mengapa ia mengatakan bahwa ‘Alî dilak­nat Allâh dan para malaikat serta seluruh ummat manusia di Masjid Kûfah? Bid’ah apa yang dilakukan oleh ‘Alî? Mengapa ia mengatakan bahwa ‘Â’isyah hanya sibuk dengan cermin dan tempat celak dan pemoles? Lalu mengapa orang membiarkan ‘Abû Hurairah’ memasuki rumah orang dan mengatakan bahwa seorang anggota keluarganya ‘mati dalam keadaan kafir’ sedang seluruh keluarganya tidak sedikit pun meragukan keislamannya, seperti kisah Abû Hurairah tentang Abû Thâlib?

Tatkala ia dikritik karena membawa begitu banyak hadis, ia men­ceritakan bahwa Rasûl Allâh membentangkan bajunya dan Abû Hurairah tidak lupa akan hadis-hadis Rasûl Allâh. Kalau demikian ia mestinya menceritakan mengapa Rasûl mengirimnya ke Bahrain dan tidak menahannya di Madînah untuk mendengarkan hadis-hadis Rasûl Allâh yang lain, karena sesudah itu Rasûl Allâh masih hidup selama dua tahun lagi? Dan mengapa ‘Umar tidak mendudukkannya dalam majelisnya sebagai guru? Mengapa ‘Umar mengatakan ‘Kalau tiada ‘Alî, maka celakalah ‘Umar?’ Dan bukan ‘Kalau tiada Abû Hurairah maka celakalah ummat Islam?’

Abû Hurairah mengatakan bahwa kaum Muhâjirîn jauh dari Rasûl Allâh karena sibuk dengan perdagangan mereka di pasar dan kaum Anshâr sibuk dengan urusan mereka. Dengan kata lain setiap orang dari kaum Muhâjirîn yang awal dan terdahulu serta setiap orang dari kaum Anshâr sedang sibuk berdagang atau mengurus harta mereka. Orang meragukan hadis Abû Hurairah ini karena Allâh telah memberi peringatan kepada umat manusia dengan firman-Nya yang berbunyi: ‘Orang-orang laki-laki yang tiada menjadi lalai mengin­gat Allâh oleh perniagaan atau bertukar barang dagangan.’.. Dan orang yakin bahwa para Sahabat tidak akan lalai terhadap firman Allâh SWT tersebut. Abû Hurairah seharusnya menceritakan di mana ‘Umar, ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, Zubair, Salmân al-Fârisî, ‘Ammâr bin Yâsir, Miqdâd , Abû Dzarr dan lain-lain? Apakah mereka juga sedang sibuk berdagang? Bukankah hari pasar adalah hari Kamis dan hanya sedikit yang berdagang? Dan bukankah paling sedikit Abû Dzarr, Miqdâd dan ‘Ammâr bin Yâsir hampir selalu berada di mas­jid? Dan bukankah Abû Hurairah sendiri mengatakan bahwa di Shuf­fah saja sudah berdiam tujuh puluh orang, lalu sedang di mana mereka itu? Dan seperti dikatakannya sendiri bahwa mereka, termasuk Abû Hurairah, ‘tidak ada yang mengenakan jubah (ridâ’, baju luar yang lepas), tapi hanya mengenakan iâzr (semacam selendang) atau kisâ’ (baju) yang dili­ngkarkan ke leher mereka’, lalu mengapa yang lain-lain tidak membentangkan baju-baju mereka?

Dan catatan yang kuat menunjukkan bahwa tidak semua Sahabat sibuk dengan harta milik mereka. Misalnya Salmân al-Fârisî yang oleh Rasûl Allâh disebut sebagai anggota ahlu’l-bait ( ia tinggal bersama keluarga Rasûl dan masuk keluar rumah bebas seperti rumahnya sendiri, pen). Dan Rasûl pernah berkata mengenai Salmân : ‘Andaikata ad-dîn berada di bintang kejora (tsurayya) akan dapat dicapai oleh Salmân dan kaumnya’ Dan ‘Â’isyah berkata tentang Salmân: ‘Salmân selalu duduk bersama Rasûl Allâh, sendir­ian ia menemani Rasûl Allâh sampai malam dan hampir saja ia mengalahkan kami’. Dan berkata ‘Alî :’Sesungguhnya Salmân al-Fârisî seperti Luqman al-Hâkim, ia mengetahui ilmu dari awal sampai akhir. Lautan ilmu yang tidak mengering’.

Bila ada perintah Rasûl Allâh agar jemaah membentangkan bajunya maka semua orang yang hadir di masjid, paling sedikit para penghuni Shuffah akan berebut membentangkan baju mereka untuk mendapatkan kemuliaan dari Rasûl Allâh saw. Ia mengatakan bahwa ia miskin dan hanya memiliki sepasang baju, tentu banyak orang lain yang mempunyai lebih banyak baju akan mendahuluinya.

Abû Hurairah seharusnya menceritakan kepada kita bagaimana dengan hadis Rasûl Allâh yang didengarnya sebelum peristiwa tersebut, yang menurut Abû Hurairah tidak dapat diingatnya karena dia pelupa. Lalu bagaimana ia mengetahui hadis dan peris­tiwa yang terjadi dari tahun 8 H.,629 M. sampai wafatnya Rasûl Allâh dan peristiwa yang terjadi selama dua puluh tahun sebelum ia bertemu dengan Rasûl?

Abû Hurairah seharusnya menceritakan kepada kita mengapa Abû Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî tidak mendudukkan Abû Hurairah di dalam majelis mereka sebagai tempat bertanya tentang hadis? Malah mencercanya dan ‘Umar mengancam akan memukulnya bila ia meri­wayatkan hadis?

Ia seharusnya menceritakan juga apakah ingatannya khusus diberi­kan Allâh untuk mengingat hadis dan tidak untuk mengingat ayat Al-Qur’ân. Kalau daya ingat bersifat umum, dan memang seharusnya demikian, mengapa ‘Utsmân tidak memasukkannya sebagai salah seor­ang penghimpun lembaran-lembaran catatan Al-Qur’ân? Hal-hal seperti ini seharusnya diterangkan oleh Abû Hurairah.

Lalu mengapa orang mempertahankan hadis Abû Hurairah? Hal ini merupakan misteri dan terjadi juga pada agama lain. Sukar juga dipahami sebagaimana manusia itu sendiri adalah makhluk yang sukar dipahami.

Abû Hurairah Dan Ka’b al-Ahbar

Ibnu Katsîr berkata dalam al-Bidâyah wa’n-Nihâyah: ‘Muslim bin al-Hajjâj mendengar dari Busr bin Sa’îd yang berkata: ‘Bertakwalah kepada Allâh dan lindungi hadis Nabî, demi Allâh kami telah melihat tatkala kami duduk bersama Abû Hurairah dan ia telah menyam­paikan hadis tentang Rasûl Allâh sedangkan sebenarnya ia sedang menyampaikan riwayat yang berasal dari Ka’b al-Ahbar, kemudian seorang di antara kami berdiri dan mengatakan bahwa apa yang didengar Abû Hurairah dari Ka’b al-Ahbar dijadi­kannya hadis Rasûl Allâh’. Dan dalam riwayat lain: ‘Ia menjadikan apa yang dikatakan Ka’b al-Ahbar sebagai hadis Rasûl Allâh dan apa yang dikatakan Rasûl Allâh dikatakan dari Ka’b. Maka bertak­walah kepada Allâh dan peliharalah hadis-hadis’. Yazîd bin Hârûn berkata: ‘Aku mendengar Syu’bah berkata: ‘Abû Hurairah memper­dayakan orang (yudallisu) yaitu dengan mengacaukan apa yang didengarnya dari Ka’b dengan apa yang didengarnya dari Rasûl dan ia tidak memisahkan yang satu dengan yang lain’.[262]

Abû Hurairah segera pergi ke Madînah dari Bahrain setelah ia mendapat kabar tentang Ka’b al-Ahbar sang Yahudi yang kemudian mengajari Abû Hurairah ajaran-ajaran Yahudi, isrâ’îliyât, dan ia memperdaya kaum Muslimîn dengan khurâfât-nya, dan kaum Muslimîn yang tidak mengerti mengambil dari Abû Hurairah. Seperti yang dikatakannya kepada Qais bin Ibnu Kharsyah: ‘Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tidak tertulis dalam Taurat yang diturunkan kepada Mûsâ’.

Ibnu Sa’d meriwayatkan dalam bukunya Ath-Thabaqât al-Kubrâ dari ‘Abdullâh bin Syaqiq bahwa Abû Hurairah mencari dan mendatangi Ka’b al-Ahbar. Ka’b waktu itu berada di tengah sekelompok orang. Ka’b bertanya: ‘Apa yang kau kehendaki dari Ka’b?’ Abû Hurairah menja­wab: ‘Aku sesungguhnya tidak mengetahui seorang pun dari Sahabat Rasûl Allâh yang lebih menghapal hadis Rasûl Allâh dari diriku!’ Maka Ka’b menjawab: ‘Engkau sama sekali tidak hendak menjadi murid dengan hanya mengisi perutmu tiap hari dari Ka’b dan tidak belajar; dengan kata lain engkau tidak boleh hanya mengejar dunia’. Dan Abû Hurairah bertanya: ‘Engkaukah Ka’b?’. Ka’b menja­wab ‘Ya’. Abû Hurairah berkata: ‘Untuk inilah aku datang kepadamu !’[263] Al-Hâkim berkata bahwa riwayat ini shahîh menurut syarat Bukhârî-Muslim [264].

Ahmad Amîn dalam mengulas Thabaqât dari Ibnu Sa’d ini menceritakan dalam Fajar al-Islam bahwa Ka’b pada masa itu menyampaikan pelajarannya di dalam masjid. Tentang seorang laki-laki tatkala memasuki masjid telah melihat Amîr bin ‘Abdullâh bin ‘Abdul Qais sedang duduk di samping buku-buku dan di antaranya terdapat Kitâb Taurat, dan Ka’b sedang membacanya’[265]

Para ahli hadis tahu bahwa Abû Hurairah mengambil pelajaran dari Ka’b al-Ahbar.[266].

Ahmad Syâkir berkata: “Dan dari jenis ini terda­pat riwayat para Sahabat yang mereka dengar dari para tâbi’în seperti riwayat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, ‘Abdullâh-’Abdullâh yang lain, Abû Hurairah, Anas (bin Mâlik) dan lain-lainnya yang mendengar dari Ka’b al-Ahbar’.

Dan jelas Abû Hurairah merupakan Sahabat yang paling banyak tertipu oleh dan percaya kepada, serta membuat riwayat dari Ka’b dengan memperdaya orang. Abû Hurairah adalah yang terbanyak meriwayatkan hadis Rasûl Allâh , padahal riwayatnya terbukti berasal dari apa yang dibacakan kepadanya oleh Ka’b al-Ahbar.

Dzahabî berkata dalam Thabaqât al-Huffâzh dan dalam Sair A’lam an-Nubala’ dalam membicarakan Abû Hurairah bahwa Ka’b al-Ahbar telah berkata: ‘Bukan main Abû Hurairah ! Aku belum pernah meli­hat seseorang yang tidak membaca Taurat lebih mengetahui isinya dari Abû Hurairah’.[267]

Dzahabî berkata di bagian lain: ‘Abû Hurairah mengambil dari Ka’b al-Ahbar’.[268]

Dan Baihaqî dalam al-Madkhal dari jalur Bakar bin ‘Abdullâh dari Abî Rafi’ dari Abû Hurairah yang berkata: ‘Bila Abû Hurairah bertemu dengan Ka’b maka ia akan meminta Ka’b menyampaikan ri­wayat. Dan Ka’b kemudian berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang tidak membaca Taurat lebih mengetahui isi Taurat dari Abû Hurairah’[269].

Abû Hurairah adalah seorang buta huruf, bukan hanya tidak membaca bahasa Ibrani, malah ia tidak bisa mengeja huruf Arab. “Ia berka­ta: ‘Tidak ada seorang sahabat Nabî saw. pun yang demikian banyak membawakan hadis Nabî kecuali Ibnu ‘Umar. Hanya saja ia (bisa baca) tulis, sedang saya tidak’.”[270] Dan pada masa itu tidak ada Muslim yang mengerti Taurat. Ka’b al-Ahbar adalah orang Yahudi dari Yaman yang baru masuk Islam di zaman para Sahabat dan belum pernah bertemu dengan Rasûl Allâh, oleh karena itu dia termasuk generasi tâbi’în.

Thaha Husain berkata: ‘Ka’b al-Ahbar adalah seorang eksentrik (gharib al-athwar), mengetahui bagaimana menipu banyak orang Islam dan di antaranya ‘Umar bin Khaththâb, dialah Ka’b al-Ahbar, seorang Yahudi dari Yaman. Ia menyatakan bahwa ia bertanya kepada ‘Alî, mudah-mudahan Allâh memberi rahmat kepadanya, yaitu tatkala ‘Alî diutus Rasûl Allâh ke Yaman dan tatkala ‘Alî menga­barkan kepadanya sifat Nabî, ia mengatakan ia telah mengetahui sifat Nabî yang diceritakan ‘Alî dari dalam Taurat. Dan ia tidak datang ke Madînah pada masa Nabî masih hidup. Dia tetap dalam agama Yahudinya di Yaman. Tapi ia mengatakan bahwa pada masa itu ia telah masuk Islam dan berdakwah di Yaman. Ia datang ke Madînah pada masa ‘Umar menjadi khalîfah.

Ia menjadi maulâ (di bawah perlindungan, pen.) ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, mudah-mudahan Allâh memberi rahmat kepadanya, dan Ka’b dengan ahlinya membohongi kaum Muslimîn dengan mengatakan bahwa ia menemukan sifat-sifat mereka dalam Kitâb Taurat. Dan kaum Muslimîn mengagumi hal demikian itu dan dengan demikian mengagumi dirinya juga. Dan ia tidak segan-segan membohongi ‘Umar bin Khaththâb sendiri dengan mengatakan bahwa ia mendapatkan sifat ‘Umar dalam Taurat dan ‘Umar terheran-heran. ‘Umar bertan­ya: ‘Engkau menemukan namaku dalam Taurat?’. Ka’b menjawab :’Aku tidak mendapatkan namamu dalam Taurat, tetapi aku mendapatkan sifatmu!’.

Al-Ustadz Sa’îd al-Afghani menulis dalam majalah Risalah al-Mishriyah: ‘Bahwa Wahb bin Munabbih adalah Zionis pertama telah saya koreksi dalam artikel yang dimuat dalam edisi nomor 656 majalah ini, dengan bukti yang kuat bahwa Ka’b al-Ahbar-lah sebenarnya Zionis yang pertama..’.

Para penulis Muslim di zaman dahulu telah melihat kelemahan-kelemahan hadis Abû Hurairah. Para peneliti sudah tahu pasti bahwa Abû Hurairah mendapatkan kisah-kisah Perjanjian Lama dari Ka’b al-Ahbar, sebelum ia menyampaikan hadis-hadisnya di zaman Mu’âwiyah.

Para peneliti juga mengetahui bahwa Mu’âwiyah, politikus yang ulung itu, telah memerintahkan untuk mengumpul ‘para Sahabat’, agar menyampaikan hadis-hadis yang mengutamakan para Sahabat Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân untuk mengimbangi keutamaan Abû Turâb (‘Alî bin Abî Thâlib). Untuk itu, Mu’âwiyah memberikan imbalan berupa uang dan kedudukan kepada mereka. Abul Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Abî Saif al-Madâ’inî, dalam bukunya, al-Ahdats, mengutip sepucuk surat Mu’âwiyah kepada bawahannya: ‘Segera setelah menerima surat ini, kamu harus memanggil orang-orang, agar menyediakan hadis-hadis tentang para Sahabat dan khalîfah; perhatikanlah, apabila seseorang Muslim menyampaikan hadis tentang Abû Turâb (‘Alî), maka kamu pun harus menyediakan hadis yang sama tentang Sahabat lain untuk mengimbanginya. Hal ini sangat menyenangkan saya, dan mendinginkan hati saya dan akan melemahkan kedudukan Abû Turâb dan Syî’ah-nya’. Ia juga memerin­tahkan untuk mengkhotbahkannya di semua desa dan mimbar (fî kulli kuratin wa’alâ kulli minbarin).

Keutamaan para Sahabat ini menjadi topik terpenting di kalangan para Sahabat, beberapa jam setelah Rasûl wafat, sebelum lagi beliau dimakamkan. Keutamaan ini juga menjadi alat untuk menuntut kekuasaan dan setelah peristiwa Saqîfah topik ini masih terus berkelanjutan. Para penguasa dan para pendukungnya membawa hadis-hadis tentang keutamaan penguasa untuk ‘membungkam’ kaum oposisi, dan demikian pula sebaliknya.

Dalam menulis buku sejarah, seperti tentang peristiwa Saqîfah, yang hanya berlangsung beberapa jam setelah wafatnya Rasûl Allâh saw., harus pula diadakan penelitian terhadap para pelapor, prasangka-prasangkanya, keterlibatannya dalam kemelut politik, derajat intelektualitas, latar belakang kebudayaannya, sifat-sifat pribadinya, dengan melihat bahan-bahan sejarah tradisional yang telah dicatat para penulis Muslim sebelum dan setelah peris­tiwa itu terjadi. Tulisan sejarah menjadi tidak bermutu apabila penulisnya terseret pada satu pihak, dan memilih laporan-laporan tertentu untuk membenarkan keyakinannya. Sebagai contoh, hadis-hadis dan laporan lainnya dari Abû Hurairah. Laporannya sangat berharga untuk memahami kemelut politik pada zaman itu, bagaimana sikap masa bodoh penguasa terhadap agama setelah Khulafâ’ur-Râsyidîn dan pengaruhnya terhadap perkembangan keagamaan. Tetapi mutu laporannya sendiri terhadap suatu peristiwa ‘politik’, haruslah diragukan.

Hadis-hadis Ramalan Politik

Masalah lain yang harus dipertimbangkan dalam menulis peristiwa Saqîfah, adalah riwayat atau hadis berupa nubuat susunan khalîfah sesudah Rasûl”. Riwayat dan hadis-hadis ini menceritakan “rama­lan” dengan menyebut nama para Sahabat yang menggantikan Rasûl setelah wafatnya. Misalnya, sebuah riwayat Shahîh Muslim yang berasal dari Ibnu Abî Mulaikah: “Orang bertanya kepada ‘Â’isyah: ‘Siapa yang akan ditunjuk Rasûl Allâh untuk menjadi khalîfahnya andaikata Rasûl Allâh akan menunjuk penggantinya?’ ‘Â’isyah menjawab, ‘Abû Bakar’. Dan ditanyakan lagi kepadanya, ‘Siapa sesudah Abû Bakar?’ ‘Â’isyah menjawab, ‘Umar’. Kemudian ditanya­kan lagi, ‘Siapa sesudah ‘Umar?’ ‘Â’isyah menjawab, ‘Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh,’ Ia tidak meneruskan”.[271]

Sebuah hadis diriwayatkan juga oleh ‘Â’isyah: ‘Rasûl membawa batu pertama untuk membangun masjid, kemudian Abû Bakar, lalu ‘Umar; ‘Utsmân membawa batu terakhir. Dan aku bertanya ‘Ya, Rasûl Allâh, apakah Anda melihat bagaimana mereka membantu?’ Dan Rasûl berka­ta: ‘Wahai ‘Â’isyah, demikianlah (urutan) khalîfah sesudahku”.[272]

Hadis dan riwayat seperti ini puluhan jumlahnya. Contoh di atas menunjukkan bahwa Rasûl Allâh mengucapkan kata-kata tersebut kepada ‘Â’isyah sendiri, dan tidak diumumkan kepada jemaah atau di depan para Sahabat.

Hadis yang pertama, dalam kenyataannya, tidak terjadi; Abû ‘Ubai­dah tidak menjadi khalîfah. Hadis yang kedua sangat meragukan, karena tatkala Masjid Madînah mulai dibangun, Rasûl Allâh belum kumpul dengan ‘Â’isyah yang waktu itu baru berusia delapan tahun. Tidak ada pula catatan bahwa ‘Â’isyah berada di sana tatkala Masjid Nabî dibangun. Lagi pula pada waktu itu ‘Utsmân yang hijrah ke Habasyah belum pulang ke Madînah.Dari segi sejarah, hanyalah dapat dikatakan bahwa hadis yang pertama diucapkan di zaman ‘Umar, sedang hadis yang kedua diucapkan di zaman ‘Utsmân atau di zaman ‘Alî.

Lagi pula, tidaklah adil membawa hadis-hadis ‘Â’isyah dalam hubungan dengan ‘kemelut politik’ setelah wafatnya Rasûl, karena orang mengetahui ‘kebencian’ ‘Â’isyah kepada ‘Alî.[273] Beberapa contoh, misalnya, terasa perlu dikemu­kakan di sini. Tatkala sakit Rasûl Allâh bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththa­lib, dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin ‘Utbah, dari ‘Â’isyah. ‘Ubaidillâh kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh ‘Â’isyah kepadaku, kusampaikan kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh ‘Â’isyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, ‘Â’isyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai ‘Alî’ ‘[274].

Imâm Ahmad, dalam Musnad-nya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada ‘Â’isyah dengan mencaci ‘Alî bin Abî Thâlib dan ‘Ammâr bin Yâsir, ‘Â’isyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai ‘Alî, sedang mengenai ‘Ammâr aku telah mendengar Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus”’

‘Â’isyah mengatakan Rasûl wafat sambil bersandar ke dada ‘Â’isyah, dan tidak menyampaikan wasiat apa-apa. Ibnu Sa’d meriwayat­kan dari Imâm ‘Alî bahwa tatkala Rasûl wafat kepala beliau berada di pangkuan ‘Alî:

‘ ‘Alî berkata: ‘Rasûl Allâh saw. bersabda tatkala beliau sedang sakit: ‘Panggilkan untukku saudaraku!’. Dan mereka memanggil ‘Alî. Dan beliau bersabda: ‘Dekatlah kepadaku!’. Dan aku mendeka­tinya. Dan beliau terus bersandar dan berkata-kata kepadaku .. sampai penyakitnya menjadi berat di pangkuanku!’

Abi Ghatfan berkata:

‘Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbâs , apakah engkau melihat bahwa Rasûl Allâh saw. wafat dan kepalanya berada dipangkuan seseorang?’ Ibnu ‘Abbâs menjawab: ‘Rasûl Allâh wafat sambil ber­sandar pada ‘Alî!’; dan aku bertanya: ‘ ‘Urwah menceritakan kepadaku yang didengarnya dari ‘Â’isyah yang berkata: ‘Rasûl Allâh saw. wafat sedang kepalanya berada antara dada dan leherku (baina sahrî wa nahrî)! Ibnu ‘Abbâs menjawab: ‘Apakah engkau berakal? Demi Allâh, sungguh Rasûl Allâh saw. wafat sambil bersandar ke dada ‘Alî dan ‘Alî memandikan beliau..!’

Dan Jâbir bin ‘Abdullâh al-Anshârî berkata: ‘Di zaman ‘Umar, suatu ketika Ka’b al-Ahbar berdiri dan kami sedang duduk. Ia bertanya kepada ‘Umar, kata-kata apa yang disabdakan Rasûl Allâh saw. pada akhir hidupnya?’ ‘Umar menjawab: ‘Tanyakan kepada ‘Alî!’ Ka’b: ‘Di mana dia?’ ‘Umar: ‘Dia berada disini!’ Maka Ka’b bertanya kepadanya dan ‘Alî menjawab: ‘Ia bersandar ke dadaku dan kepalanya berada di pundak­ku sambil berkata: ‘(Jangan tinggalkan) salat, salat!’ Kemudian Ka’b berkata: ‘Demikianlah akhir kehidupan para Nabî dan demikianlah mereka diperintahkan dan di utus!’ Dan ia melanjutkan: ‘Dan siapa yang memandikan wahai Amîru’l-mu’minîn?’ ‘Umar menjawab: ‘Tanyakan pada ‘Alî!’ Dan Ka’b lalu bertan­ya kepada ‘Alî. ‘Alî menjawab: ‘Akulah yang memandikannya, dan ‘Abbâs pada waktu itu sedang duduk tatkala Usâmah serta Syuqran bergantian menyiramkan air!’

Tatkala sedang berlangsung Perang Jamal, seorang prajurit terher­an-heran melihat betapa para Sahabat yang pada waktu lalu telah berjuang tanpa pamrih untuk Islam, sekarang saling membunuh. Ia kemudian mendatangi ‘Alî bin Abî Thâlib lalu bertanya, Apakah mungkin Thalhah dan Zubair serta ‘Â’isyah berkumpul bersama-sama untuk memperjuangkan kepalsuan? Apakah hal itu mungkin terjadi? ‘Alî menjawab: Anda tertipu. Kebenaran dan kepalsuan tidak akan diketahui dari ukuran kekuatan dari pribadi orang. Tidaklah benar bila Anda menetapkan kebenaran berdasarkan tindakan pribadi tersebut. Ini benar, karena sesuai dengan tinda­kannya, dan itu salah, karena tidak sesuai dengan tindakannya. Tidak, manusia tidak boleh menjadi ukuran kebenaran dan kepal­suan. Kebenaranlah yang harus menjadi tolok ukur bagi orang dan pribadi.” Dengan demikian, hadis-hadis politik seperti itu ditinjau dari berbagai segi, haruslah diragukan. Dan mengemu­kakan data sejarah tidaklah akan mengurangi penghormatan kita kepada ummu’l-mu’minîn dan para Sahabat.

Buku ini ditulis setelah mempertimbangkan hal-hal di atas. Sum­ber-sumber utama buku ini, dimuat dalam satu bab tersendiri. Kecuali seorang dua, yang penulis sebutkan latar belakang mazhab yang dianutnya, semua sumber yang dipetik dalam buku ini adalah para sejarahwan Sunnî.
Dalam buku ini juga penulis memuat peta wilayah kota Madînah dan denah Masjid Nabî. Denah Masjid Nabî ini penulis buat berdasarkan beberapa buku, yang terpenting di antaranya ialah Fushûl min Târîkh al-Madînah al-Munawwarah oleh ‘Alî Hâfizh, Madînah, Saudi Arabia. Keterangan peta dan denah itu, dalam hubungan dengan peristiwa Saqîfah, penulis muat dalam bab ‘Madînah al-Munawwarah pada saat wafatnya Rasûl’. Ukuran panjang untuk mengu­kur masjid dan kamar Rasûl, penulis buat berdasarkan pengukuran dengan hasta oleh Sayyid Samhûdî. Penulis mengubah dari hasta (dzira’) ke meter dengan mengalikan 0.45; sebagai contoh, 1 hasta tambah 1/3 hasta (kebiasaan orang dahulu mengukur jarak) adalah (1+1/3) x 0.45 = 0.825 meter, dibulat­kan jadi 0,83 meter.



[1] Bai’at dalam bahasa Arab berarti “penepukan tangan ke tangan seseorang sebagai pengukuhan (îjâb) penjualan”. Biasanya dilakukan dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan pembaiat menepuk dan menjabatnya, tetap dalam posisi demikian. Saling membaiat dilakukan dengan saling menepuk tangan (tashâfaqû) atau saling menjual (tabâya’û). Berasal dari kata menjual (bâ’a, yabî’u, bai’, bai’ah) Dalam Islam baiat artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat kontrak jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah diputuskan keduanya. Seorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji kepada seseorang. Di zaman Nabî, baiat merupakan lembaga pengukuhan. Dalam peristiwa pengangkatan Abû Bakar sebagai khalîfah ini lembaga baiat untuk pertama kali digunakan sebagai lembaga pemilihan

[2] Faltah, menurut kamus al-Mu’jam al-Wasîth adalah ‘suatu peristiwa yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan tanpa memakai pikiran dan kearifan’, (al-amr yahdutsu min ghair rawiyyah wa ihkâm). ‘Umar bin Khaththâb mengancam, bahwa bila ada yang melakukan hal serupa agar dibunuh. Ibnu al-Atsîr tatkala meriwayatkan peristiwa Saqîfah menyamakan faltah dengan fitnah, lihat Târîkh al-Kâmil, jilid 2, hlm. 157; Syaikh Muhammad al-Hasan mengatakan bahwa faltah adalah dasar dan kepala dari semua fitnah, asâs al-fitan wa ra’suhâ; Lihat Dalâ’il Shidq, jilid 3, hlm. 21.

[3] Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar, As-Saqîfah , penerbit Mu’assasah al-A’lamiy li’l-Mathbû’ah, Cetakan keempat, Beirut, 1973; ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshûd, As-Saqîfah wa’l-Khilâfah, Maktabah Gharib, Kairo, tak bertahun

[4] Tabi’īn, generasi sesudah generasi sahabat Rasûl Allâh saw

[5] Lihat Bab 9: ‘Apendiks’, sub bab ‘Sikap Muslim Terhadap Sahabat’

[6] Al-Bukhârî, jilid 1 hlm. 38, jilid 2, hlm. 102, jilid 4, hlm. 207, jilid 8, hlm. 54; Muslim, jilid 8, hlm. 229; Abû Dâwud, jilid 3, hlm. 319-320; at-Tirmidzî, jilid 4, hlm. 524, jilid 5, hlm. 35-36, 40, 199, 634; Ibnu Mâjah, jilid 1, hlm. 13-15

[7] H. Fuad Hashem, Sîrah Muhammad Rasûlullâh, Penerbit Mizan, 1989, Bandung, hlm. 24-26.

[8] Târîkh Baghdâd, jilid 2, hlm. 8; Al-Irsyâd as-Sârî, jilid 1, hlm. 28; Shifâtu’s-Shafwah, jilid 4, hlm. 143

[9] Târîkh Baghdâd, jilid 13, hlm. 101; al-Muntazam, jilid 5, hlm. 32; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 151, 157; Wafayât al-A’yân, jilid 5, hlm. 194

[10] Târîkh Baghdâd, jilid 9, hlm. 57; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 154; al-Muntazam jilid 5, hlm. 97; Wafayât al-A’yân, jilid 2, hlm. 404

[11] Târîkh Baghdâd, jilid 4, hlm. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 17; Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 1, hlm. 74; Wafayât al-A’yân, jilid 1, hlm. 64

[12] Menurut metode pengelompokan, hadis-hadis dibagi dalam Musnad, Shahîh, Jâmi’, Sunan, Mu’jam dan Zawâ’id

[13] zuhd = orang yang menjauhi kesenangan duniawi dan memilih kehidupan akhirat

[14] Al-Amînî, al-Ghadîr, Beirut, 1976, jilid 5, hlm. 209-375

[15] Al-Amînî, al-Ghadîr, jilid 5, hlm. 266

[16] Con­toh-contoh Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl: Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî, Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl (Ahli Cacat dan Pelurusan); Syamsuddîn Az-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl (Timbangan Kejujuran); Ibnu Hajar al-’Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb (Pembetulan bagi Pembetulan) dan Lisân al-Mîzân (Kata-kata Timbangan); ‘Imâduddîn ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah (Awal dan Akhir), Jalâluddîn As-Suûythî, al-La’â­lî’ul-Mashnû’ah (Mutiara-mutiara buatan), Ibnu Khalikân, Wafayât al-A’yân wa Anbâ’ Abnâ az-Zamân (Meninggalnya Para Tokoh dan Berita Anak-anak Zaman). Dan masih banyak lagi.

[17] Lihat Al-Muhibb Thabarî, Riyâdh an-Nadhirah, jilid 1, hlm. 30

[18] Lihat Bab 19: ‘Tiga dan Tiga’ sub bab Sahabat Rasûl

[19] Seratus lima puluh

[20] Murtadhâ al-’Askarî, Khamsûn wa Mi’ah Shahabî Mukhtalaq, Beirut, 1968.

[21] Dibicarakan di bab 10, ‘Pengepungan Rumah Fâthimah’..

[22] Sejak Rasûl wafat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah, 12-3-11 H., sampai meninggalnya ‘Utsman tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 Hijriah, 18-12-35 H.

[23] Bacalah ‘Abdul Husain Syarafuddîn Al-Mûsâwî, Ajwibah Masâ’il Jârallâh, hlm. 71-72

[24] Lihat Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-examination, Delhi, 1979.

[25] H. Fuad Hashem, Sîrah Muhammad Rasûlullâh, Penerbit Mizan, Bandung, 1989, hlm. 65, 66, 67.

[26] Al-Qur’ân 48:26; Lihat juga Al-Qur’ân 3:148, 154; 5:55, 50; 33:33

[27] Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 2, hlm. 283.

[28] Bacalah Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 4, hlm. 53-57; Ibnu Sa’d, Thabaqât, hlm. 659, Bukhârî dalam Kitâb al-Maghâzî, bab pengiriman Khâlid ke Banû Jadzîmah, Târîkh Abu’l-Fidâ’, jilid 1, hlm. 145, Usdu’l-Ghâbah, jilid 3, hlm. 102; al-Ishâbah, jilid 1, hlm. 318; jilid 2, hlm. 81

[29] Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 209; Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 5, hlm. 30; Khazanah al-Adab, jilid 2, hlm. 8.

[30] Hadis ini berasal dari ‘Abdullâh bin Buraidah. Lihat Imâm Ahmad, Musnad, jilid 5, hlm. 347

[31] Nasâ’î, al-Khashâ’ish al-’Alawiyah’ hlm. 17. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarîr, Thabrânî dan lain-lain

[32] Akan dibicarakan di Bab 12, ‘Reaksi terhadap Peristiwa Saqîfah’

[33] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 254; Târîkh al-Khamîs, jilid 3, hlm. 343

[34] Sebagaimana biasa, banyak perdebatan telah terjadi mengenai kata-kata ‘Umar ini. Bukankah ‘Umar mengatakan bahwa Rasûl Allâh saw. rida kepada mereka berenam?

[35] Al-Qur’ân, al-Ahâzb (33), ayat 53

[36] Lihat Tafsîr al-Qurthubî, jilid 14, hlm. 228; Faidh al-Qadîr, jilid 4, hlm. 290; Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 3, hlm. 506; Tafsîr Baqawî, jilid 5, hlm. 225; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 185, 186, jilid 12, hlm. 259 dan lain-lain

[37] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 175.

[38] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 12, hlm. 259

[39] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Ba­lâghah, jilid 1, hlm. 186

[40] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 16.

[41] Abû ûysuf dalam al-Âtsâr, hlm. 215

[42] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 3, hlm. 247; Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 16; Muhibbuddîn Thabarî, Ar-Riyâdh an-Nadhirah, jilid 2, hlm. 76

[43] Lihat Bab 15, ‘Sikap ‘Alî terhadap Peristiwa Saqîfah’ dan Bab 14: ‘Pembaiatan ‘Umar dan ‘Utsmân’.

[44] Yang dibebaskan, baru memeluk Islam setelah penaklukan Makkah.

[45] Ba­lâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 30.

[46] Menurut Mas’ûdî, ‘Utsmân dikepung selama 49 hari, Thabari 40 hari, dan ada yang mengatakan lebih dari itu. Ia dibunuh malam Jumat 3 hari sebelum berakhir bulan Dzul Hijjah, tahun 34 H ,8 Juli 655 M.. Lihat Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 431-432

[47] Dengan lafal yang sedikit berbeda lihatlah Shahîh Bukhârî, jilid 5, hlm. 17; Sunan Abî Dâwud, jilid 2, hlm. 25

[48] Shahîh Bukhârî, Kitâb Jihâd, jilid 5, hlm. 21 dll.

[49] Lihat Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 424

[50] Nama lelaki asal Mesir dan berjenggot panjang menyeru­pai ‘Utsmân. Dalam al-Lisân al-’Arab Abû ‘Ubaid berkata: ‘Orang mencerca ‘Utsmân dengan nama Na’tsal ini’. Ada yang mengatakan Na’tsal ini orang Yahudi

[51] Ada yang mengatakan hanya 400 orang, 500 orang, 700 orang atau 600 orang. Menurut Ibn Abîl-Hadîd 2.000 orang.

[52] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 3, hlm. 49; Balâdzurî, al-Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 26, 59; Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 34; Ibnu Qutaibah, al-Ma’ârif, hlm. 84; Thabarî, Târîkh, jilid 5, hlm. 116; Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 441; Ibnu ‘Abd Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 262, 263, 269; Muhibbuddîn Thabarî, Ar-Riyâdh an-Nadhirah, jilid 2, hlm. 123, 124; Ibnu Atsîr, al-Kâmil, jilid 3, hlm. 66 dan lain-lain

[53] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 35-36

[54] Agaknya Ibnu Mas’ûd sengaja menye­but kalimat ini, karena ‘Utsmân tidak hadir pada kedua peristiwa tersebut, pen.

[55] Ibnu ‘Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb fî Ma’rifati’l-Ashhâb, dalam pembicaraan Ibnu Mas’ûd; al-Balâd­zurî, Ahmad bin Yahyâ bin Jâbir, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 35)

[56] Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, al-Aghânî, jilid 4, hlm. 18

[57] Al-Qur’ân, al-Ahâzb (XXXIII): 33, pen

[58] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 33.

[59] Thabarî, Târîkh, jilid 5, hlm. 166

[60] Dzû’l-’Ishba’, gelar Thalhah bin ‘Ubaidil­lâh, karena beberapa jarinya buntung di perang Uhud, pen.

[61] Sarif, suatu tempat sekitar 10 km dari Makkah arah ke Madinah, pen

[62] Abû Syibl, nama julukan lain Thalhah yang berarti ‘ayah dari anak singa’, pen.

[63] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 215, 216)

[64] Ubaid bin Umm Kilab adalah orang yang sama dengan ‘Ubaid bin Abî Salmah al-Laitsî, pen.

[65] Waihaka = kata kata sayang, kebalikan dari wailaka!, pen

[66] Fa minki’l badâ’, wa minki’l-ghiyâr,Wa minki’r-riyâh, wa minki’l-mathâr,Wa anti amarti bi qatli’l-imâm. Wa qulti lanâ innahu qad kafara

[67] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 9

[68] Minki’l bukâ’ wa minki’l-’awîl, Wa minki’r-riyâh wa minki’l-mathârWa anti amarti bi qatli’l-imâm, Wa qâtilhu ‘indanâ man amara

[69] Lihat Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 71

[70] Al-Qur’ân (33), ayat 33

[71] Ibnu Thaifur, Balâghât an-Nisâ’, hlm. 8; Mengenai nasihat Ummu Salamah kepada ‘Â’isyah, lihat juga Zamakhsyari, al-Fâ’iq, jilid 1, hlm. 290; Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqd al-Farîd, jilid 3, hlm. 69; Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 79

[72] Dzi Qar = Sebuah mata air dekat Kûfah, pen.

[73] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 157

[74] Usdu’l-Ghâbah, jilid 2, hlm. 309-310

[75] Haudaj adalah tandu yang dipasang di punggung unta, pen.

[76] Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqd al-Farîd, jilid 4, hlm. 294

[77] Al-Qur’ân, al-Ahâzb (XXXIII):6

[78] Abdullâh bin Zubair

[79] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 166.

[80] Lihat Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 178-179

[81] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 3 hlm. 370.

[82] Ibnu Sa’d, ibid., jilid 8, hlm. 67; Zarkasyi, al-Ijâbah, hlm. 71, 75; Kanzu’l-’Ummâl, jilid 7, hlm. 116; Muntakhab, jilid 5, hlm. 118; al-Ishâbah, jilid 4, hlm. 349; Thabarî, ibid., jilid 4, hlm. 161; Ibnu Atsîr, jilid 2, hlm. 247; Al-Hâkim Al-Nîsâbûrî, al-Mustadrak, jilid 4, hlm. 8; Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 3, hlm. 154; al-Balâdzurî, Futûh al-Buldân, hlm. 449, 454, 455; An-Nubalâ’, jilid 2, hlm. 132, 138.

[83] Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm. 43

[84] Abû Turâb atau ‘Alî bin Abî Thâlib

[85] Thabarî, Târîkh, tatkala membicarakan sebab pembunuhan ‘Alî; Ibnu Sa’d, Thabaqât al-Kubrâ, jilid 3, hlm. 27; Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil at-Thâlibiyîn, hlm. 42

[86] Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil at-Thâlibiyîn, hlm. 42

[87] Al-Bukhârî, jilid 2, hlm. 277 dalam Bab Kecemburuan Wanita, Kitâb Nikah..

[88] Al-Bukhârî, jilid 2, hlm. 210, pada Bab Manâqib Khadîjah

[89] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 150, 154

[90] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 117; Sunan Tirmidzî, jilid 1, hlm. 247; Shahîh Bukhârî, jilid 2, hlm. 177, jilid 4, hlm. 36, 195; Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 58, 102, 202, 279; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 128; al-Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 224

[91] Musnad Ahmad, jilid 4, hlm. 275

[92] Al-Qur’ân, an-Najm (LIII), 3}

[93] Maksud Ibn Abin Hadîd adalah Khotbah 155 dalam Nahjul Balâghah tatkala ‘Alî berkata tentang ‘Â’isyah: ‘Kebencian mendidih dalam dadanya, sepanas tungku pandai besi. Bila ia diajak melakukan kepada orang lain seperti yang ia lakukan kepadaku, ia akan menolak. Tetapi hormatku kepa­danya, setelah kejadian ini pun, tetap seperti semula

[94] Tirmidzî, al-Jâmi’ ash-Shahîh, jilid 5, hlm. 656, 661; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 3, hlm. 62, 64, 82, jilid 5, hlm. 391, 392; Ibnu Mâjah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 56; Al-Hâkim An-Nîsâbûrî, al-Mustadrak ash-Shahîhain, jilid 3, hlm. 167; Majma’ az-Zawâ’id, jilid 9, hlm. 183; al-Muttaqî, Kanz al-Ummâl, jilid 13, hlm. 127, 128; al-Istî’âb, jilid 4, hlm. 1495; Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 574; Târîkh Baghdâd, jilid 1, hlm. 140, jilid 6, hlm. 372, jilid 10, hlm. 230; Ibnu ‘Asâkir, at-Târîkh, jilid 7, hlm. 362.

[95] Shahîh Bukhârî, jilid 8, hlm. 79; Shahîh Muslim, jilid 7, hlm. 142-144; Ibnu Mâjah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 518; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 6, hlm. 282; al-Hâkim an-Nîsâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain,jilid 3, hlm. 136

[96] Lihat juga Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 219

[97] Lihat juga Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 219

[98] Lihat juga al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 153, 156; Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 218

[99] Lihat catatan kaki di atas.

[100] Lihat Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 220

[101] Al-Qur’ân 33:33; Lihat hadis Kisâ’ yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, dalam Bab ‘Nash Bagi ‘Alî’.

[102] Al-Qur’ân, Âli Imrân (III): 61

[103] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2 hlm. 192-197

[104] Hit adalah kota di tepi sungai Efrat, dekat Baghdâd, utara Anbar.

[105] Nu’mân bin Basyîr al-Anshârî al-Khazrajî, tatkala Rasûl wafat berumar delapan tahun tujuh bulan. Ia adalah anak Basyir bin Sa’d, teman Abu Bakar; lihat Bab 8, Pembaiatan Abû Bakar. Ia yang membawa baju gamis ‘Utsmân yang penuh darah serta potongan jari istri ‘Utsmân, Nailah, ke Damaskus untuk dipamerkan dan membangkitkan emosi untuk memerangi ‘Alî. Ia akhirnya dibunuh di zaman Marwân, dipenggal lehernya oleh Banû ‘Umayyah yang dibe­lanya dan kepalanya dilemparkan kepangkuan istrinya.

[106]Ain at-Tamr, sebuah kota dekat al-Anbar, sebelah Barat Kûfah

[107] Ibnu Hajar, Shawâ’iq, hlm. 81

[108] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 43

[109] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 50

[110] Sa’d adalah satu-satunya anggota Syûrâ yang dibentuk ‘Umar yang masih hidup, pen.

[111] Al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm. 29; Diriwayatkan Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 11, 17

[112] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 4.

[113] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 7.

[114] Ibnu ‘Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 1, hlm. 141

[115] Ibnu al-Jauzî, ‘al-Tadzkirah’, hlm. 121

[116] Ibnu ‘Asâ­kir, Târîkh, jilid 4, hlm. 229.

[117] Ad-Damîrî, Hayât al-Hayawân, jilid 1, hlm. 58; Diyâr Bakrî, Tarikh Yaum al-Khamîs, jilid 2, hlm. 294

[118] Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 144; Ibnu ‘Abdu Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 298; ar-Raghib al-Ishfahânî, Al-Muhâdharât, jilid 2, hlm. 224 dll.

[119] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 11, hlm. 43, 44

[120] ‘Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 127; Al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 404; Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 48

[121] Al-Hâkim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 106.

[122] Ibnu ‘Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 477-478

[123] Misyqash, semacam anak panah bermata lebar

[124] Muhibuddîn Thabarî, Riyâdhah an-Nadhirah, jilid 2, hlm. 130

[125] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 7, hlm. 175.

[126] Nama panggilan dengan awal Abû, ayah dari seseorang, seperti Abû Thâlib, ayah dari Thâlib atau Ummu,ibu dari seseorang, seperti Ummu Salamah..

[127] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 7, hlm. 198

[128] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 90-91. Dengan sedikit berbeda, lihat juga Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 371; Dinawari, Kitâb al-Akhbâr at-Tiwal, hlm. 259; Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, jilid 7, hlm. 190.

[129] Al-Ishâbah, jilid 4, hlm. 68

[130] Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 112

[131] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 10, hlm. 105

[132] Shahîh Tirmidzî, jilid 9, hlm. 64; Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 80; Tafsîr al-Wushûl, jilid 4, hlm. 36

[133] Ibnu Atsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 103, Ibnu Khaldûn, Târîkh, jilid 3, hlm. 58.

[134] Al-Hâkim, Mustadrak, jilid 2, hlm. 556; Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 69

[135] Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 69

[136] Ibnu Aqil, an-Nashâyih, hlm. 81

[137] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 56, 57.

[138] Ibnu ‘Abd Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 301, jilid 3, hlm. 127.

[139] Sijistan adalah wilayah di perbatasan Iran dan Afghanistan sekarang.

[140] Al-Hamawî, Mu’jam al-Buldân, jilid 5, hlm. 38

[141] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 11, hlm. 44, 45.

[142] Musnad Imâm Ahmad, jilid 1, hlm. 188; Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, al-Aghânî, jilid 12, hlm. 2; al-Mustadrak, jilid 1, hlm. 385

[143] Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, al-Aghânî, jilid 16, hlm. 80-82

[144] Ibnu Faraj al-Ishfahânî, al-Aghânî, jilid 14, hlm. 146; Thabarî, Târîkh, jilid 4, hlm. 207; al-Balâdzurî, Futûh al-Buldân, hlm. 302; Ibnu Atsîr, Târîkh al-Kâmil, jilid 2, hlm. 228; Ibnu Khalikân, Târîkh, jilid 2, hlm. 455; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 7, hlm. 81; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 12, hlm. 237-246; ‘Umdatu’l-Qârî’, jilid 6, hlm. 34

[145] Pecak, a’war, julukan Mughîrah bin Syu’bah karena ia memang bermata satu.

[146] Ibnu ‘Abd Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 301, jilid 3, hlm. 127.

[147] Al-Hâkim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 116.

[148] Al-Jassâs al-Hanafî, Ahkâm Al-Qur’ân, jilid 2, hlm. 224-224

[149] Hadis Kedudukan, lihat Bab ‘Nash Bagi ‘Alî.

[150] Hadis ar-Rayyah, atau Hadis Bndera adalah hadis yang diucapkan Rasûl Allâh saw. pada Perang Khaibar dengan kata-kata: ‘Aku akan memberikan bendera besok pagi kepada seorang lelaki yang mencintai Allâh dan Rasûl-Nya, dan Allâh serta Rasûl-Nya mencintainya’

[151] Mubâhalah = saling memohon kepada Allâh supaya menjatuhkan laknat kepada pihak yang bersa­lah; Lihat Al-Qur’ân, Âli ‘Imrân (III), ayat 59-61. Setelah turun ayat ini untuk bermubâhalah dengan orang Kristen Najran, Rasûl memanggil ‘Alî, Fâthimah, Hasan dan Husain seraya mengatakan: ‘Tuhan, inilah ahlu’l-baitku’

[152] Shahîh Muslim, jilid 7, hlm. 120; Shahîh Tirmidzî, jilid 13, hlm. 171; al-Hâkim, Musnad.

[153] Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 61. Lihat juga Ibnu al-Jauzî dalam Tadzkirah hlm. 12.

[154] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 77

[155] Al-Qur’ân, al-Hujurât (XLIX), ayat 9

[156] Ummu Salamah, istri Rasûl, waktu itu masih hidup.

[157] Al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 115, 116; al-Baihaqî, Sunan al-Kubrâ, jilid 8, hlm. 172; Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 4, hlm. 136, 137; al-Istî’âb, jilid 3, hlm. 932; Usdu’l-Ghâbah, jilid 3, hlm. 229; Nuruddîn al-Haitsami, Majma’ az-Zawâ’id, jilid 3, hlm. 182, jilid 7, hlm. 242; al-Furu’, jilid 3, hlm. 543; al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, jilid 26, hlm. 151

[158] Dalam al-Aghânî ‘mengajak kepada yang ‘haq’ dan menegakkan keadilan, qisthu

[159] Suatu tempat dekat Kûfah, di tepi Timur sungai Efrat.

[160] Bacalah Abul-Faraj al-Ishfahânî, al-Aghânî jilid 16, hlm. 2-11; Ibnu Qutaibah, ‘Uyûn al-Akhbâr, jilid 1, hlm. 147; Thabarî, Târîkh, jilid 6, hlm. 141-156; Ibnu Atsîr, al-Kâmil, jilid 3, hlm. 202-208; al-Hâkim, Mustadrak, jilid 2, hlm. 468; Ibnu ‘Asâkir, Târ­îkh, jilid 4, hlm. 84, jilid 6, hlm. 459; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 49-55

[161] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 69; Baihaqî, Kitâb al-Mahâsin wa al-Musâwî, jilid 1, hlm. 39.

[162] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 58-59

[163] Kecuali di zaman pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz yang 2 ½ tahun.

[164] Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa hukum fiqih yang berkembang di lemba­ga-lembaga pemerintahan dan masyarakat didominir oleh keputusan-keputusan hukum ‘Umar, Abû Bakar dan ‘Utsmân. Dan sama sekali tidak memberi tempat kepada pikiran-pikiran ‘Alî. Buah pikiran ‘Alî hanya berkembang dan diikuti oleh keluarga dan pengikut-pengikutnya. Sebagai ilustrasi dapat diikuti dialog antara guber­nur Hajjâj bin ûysuf dan kadinya. Hajjâj bertanya kepada Sya’bî tentang warisan seorang (yang tidak punya anak) kepada ibu, saudara perempuan dan kakeknya. Hajjâj: ‘Bagaimana pendapat Amîru’l-mu’minîn ‘Utsmân?’ Sya’bî: ‘Tiap orang 1/3 bagian!’. Hajjâj: ‘Bagaimana pendapat ‘Alî?’ Sya’bî: ‘Saudara perempuan 3/6, 2/6 untuk ibu dan 1/6 bagian untuk kakek!’ Hajjâj memegang-megang hidungnya. ‘Yang pasti, kita tidak boleh mengikuti putusan ‘Alî’. Ia lalu menyuruh hakim memutuskan sesuai dengan pendapat ‘Utsmân. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan ini, bacalah al-Imâm ‘Abdul Husain Syarafuddîn al-Mûsâwî, Nash wa’l-Ijtihâd.

[165] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 63

[166] Hadis Abû Hurairah ini sangat kuat; diriwayatkan oleh Ibnu Katsîr melalui dua jalur, Ibnu ‘Adî melalui dua jalur; Muhammad bin ‘A’id melalui lima jalur, Muhammad bin ‘Abdu as-Samarqandi melalui enam jalur, Muhammad bin Mubarrak ash-Shuri melalui tujuh jalur, Khatîb Baghdâdi melalui sembilan jalur, semuanya berasal dari Abû Hurairah. Lihat pula Abû Hurairah, oleh Syarafud­dîn al-Mûsâwî, Beirut, 1977, hlm. 38

[167] Mahmûd Abû Rayyah, Syaikh al-Mudhîrah, Abû Hurairah, Darul Ma’ârif, Mesir, hlm. 57

[168] Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqd al-Farîd, jilid 6, hlm. 101

[169] Bukhârî, Muslim; lihat juga Mahmûd Abû Rayyah, Syaikh al-Mudhîrah, hlm. 236

[170] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 67

[171] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 69.

[172] Al-Qur’ân, al-Baqarah (II), 204-205

[173] Pembunuh Imâm ‘Alî

[174] Al-Qur’ân, al-Baqarah (II), 207.

[175] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 73.

[176] Abû Hurairah menyampaikan 5374 hadis, Ibnu ‘Umar 2630, Anas bin Mâlik 2286 dan ‘Â’isyah 2210.

[177] Shahîh Bukhârî dalam Kitâb al-Manâqib, bab Keutamaan Abû Bakar sesudah Nabî, dari jalur ‘Abdullâh bin ‘Umar, jilid 5, hlm. 243

[178] Shahîh Bukhârî dalam Kitâb al-Manâqib, bab Keutamaan ‘Utsmân, dari jalur ‘Abdullâh bin ‘Umar, jilid 5, hlm. 262

[179] Fat’h al-Bârî, jilid 7, hlm. 13

[180] Khatîb, Târîkh, jilid 11, hlm. 363.

[181] Akan dibicarakan di bagian lain

[182] Lihat juga Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 13.

[183] Tirmidzî, dalam Jâmi’-nya, hlm. 13, 183, 186, dan lain-lain. Hadis ini melalui ‘Abdurrahmân al-Akhnas, yang didengarnya sendiri di masjid Kûfah. Jalur lain melalui ‘Abdurrahmân bin Hâmid yang didengarnya dari ayahnya; ayahnya mendengar dari ‘Abdurrahmân bin ‘Auf. Hadis yang disebut ini dianggap batil, karena ayah ‘Abdurrahmân bin Hâmid, yang bernama az-Zuhrî, adalah seorang tabi’î (generasi kedua), bukan Sahabat. Ia lahir 32 H.,653 M. dan meninggal 105 H.,723 M. dalam usia 73 tahun, sedang ‘Abdurra­hmân bin ‘Auf meninggal 31 ,652 M.atau 32 H.,653 M. Dengan kata lain, Zuri lahir pada saat ‘Abdurrahmân bin ‘Auf meninggal atau setahun sesudahnya. Dengan demikian maka satu-satunya jalur adalah yang melalui Sa’îd bin Zaid

[184] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 15, hlm. 37, al-Wâqidî, Maghâzî, jilid 1, hlm. 310; berasal dari Thalhah bin ‘Ubaidillâh, Ibnu ‘Abbâs dan Jâbir bin ‘Abdullâh.

[185] Al-Qur’ân, s. an-Nisâ’ (IV), 124; lihat juga, s. al-Baqarah (II), 25; at-Taubah (IX), 21; Hûd (XI), 23; al-Hajj (XXII), 14; as-Sajdah (îII), 19; al-Fat’h (XLVIII), 5; ath-Thalâq (LXV), 11; at-Taubah (IX), 72

[186] Hadis ini sangat terkenal, diriwayatkan oleh Imâm Ahmad bin Hanbal, Tirmidzî, Nasâ’î Ibnu Habban, yang berasal dari Abû Dzarr al-Ghifârî.

[187] Diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dan Thabrânî, melalui jalur Abû Mûsâ al-Asy’arî

[188] Diri­wayatkan oleh Bukhârî dan Muslim dalam Shahîh mereka

[189] Rasûl bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, dan ‘Alî adalah pintunya.” Orang menganggap ‘Alî sebagai tempat bertanya sesudah Rasûl. Teman-teman ‘Alî ini disebut Syî’ah ‘Alî. Dalam menafsirkan ayat, “Sungguh orang-orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan, merekalah makhluk yang sebaik-baiknya.” (Al-Qur’ân, 97:7) Suûythî meri­wayatkan dari Ibnu Mardawaih dari ‘Alî bin Abî Thâlib yang berkata: ‘Rasûl Allâh saw. bersabda kepadaku: “Apakah engkau tidak mengetahui firman Allâh SWT: ‘Sungguh orang-orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan, merekalah makhluk yang sebaik-baiknya? (Mereka itu adalah) engkau dan Syî’ahmu. Aku dan kamu telah dijanjikan tempat di Haudh’. Juga Suûythî dari Ibnu ‘Asâkir yang berasal dari Jâbir dari Ibnu ‘Abbâs : “Kami berada bersama An-Nabî dan muncullah ‘Alî dan Nabî bersabda: ‘Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya. (Yang datang) ini, beserta Syî’ahnya, merekalah yang menang pada hari kiamat’. Dan turunlah ayat: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan amal kebaji­kan, merekalah makhluk yang sebaik-baiknya. Demikianlah para Sahabat Nabî bila (melihat) ‘Alî muncul, mereka berkata: “Telah datang khairul Bariyyah”.

[190] Lihat Khwarizmî dalam Manâqib, hlm. 66; Suûythî dalam ad-Durru’l-Mantsûr, jilid 6, hlm. 379; 392; Syablanji dalam Nûru’l Abshar, hlm. 78 dan 112; Ibnu Hajar dalam Shawâ’iq dan lain-lain

[191] Ibnu Qutaibah, Târîkh al-Khulafâ’ur Râsyidîn, Mesir, tanpa tahun, hlm. 1-2

[192] Ibnu Qutaibah, Târîkh, ibid., hlm. 12.

[193] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, 1984. Pada hlm. 137, ia menulis, “Orang-orang Sunnî hampir selalu menjadi pendukung setiap pemimpin negara.”

[194] Fat’hu’l-Bârî, jilid 6, hlm. 31, jilid 7, hlm. 393.

[195] “Ada sekitar 30 nama Abû Hurairah dan ayahnya”, kata an-Nawawî. Al-Halabî mengatakan sekitar 40 nama. Demikian pula al-Hâkim dan Ibnu Hajar, al-Ishâ­bah, jilid 7, hlm. 199. Ibnu ‘Abdi’l-Barr mengatakan dalam al-Istî’âb bahwa demikian banyak perselisihan tentang namanya maka ia harus dipanggil dengan kunya “Ayah Anak Kucing” saja. Demikian pula yang tertera dalam Usdu’l Ghâbah dan kitab-kitab lain

[196] Fat’h al-Bârî, jilid 11, hlm. 236, 237

[197] Fat’h al-Bârî, jilid 7, hlm. 61, 62

[198] Ibnu Sa’d dalam Thabaqât, jilid 4, hlm. 59-60; juga oleh Balâdzurî dan lain-lain

[199] Ibnu ‘Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 548; Fat’h al-Bârî, jilid 7, hlm. 255

[200] lesung = al-mihrâs = alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihatlah ‘Hadis Lalat’ dan ‘Hadis Pundi-pundi’

[201] Juga disebut Surat At-Taubah (IX), sebagaimana diketahui Surat Bara’ah merupakan pemutusan hubungan kaum Muslimîn dari keterikatan dengan kaum musyrikin, pen.

[202] Surat untuk dibacakan kepada kaum musyrikin di Mina pada hari an-Nahr, pen.

[203] ‘Pemimpin atau dipimpin?’.

[204] Al-Hâkim dalam al-Mustadrak

[205] Al-Qur’ân, al-Qashash (XXVIII), 56

[206] Lihat Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 3, hlm. 370

[207] Al-Qur’ân, At-Taubah (IX), 113

[208] Al-Qur’ân, al-Qashash (XXVIII), 56

[209] Shahîh Bukhârî jilid 7, hlm. 67; Tafsîr Qurthubî jilid 8, hlm. 273; Tafsîr Syaukani, jilid 3, hlm. 316; Muslim, Irsyâd as Sarîy fî Syarh al-Bukhârî, jilid 7, hlm. 101; juga Thabarî, al-Hâkim, Ibnu Abî Hâtim, dan Baihaqî yang menyampaikan hadis yang berasal dari Ibnu Mas’ûd dan Buraidah; Thabrânî dan Ibnu Mardawaih melalui jalur ‘Ikramah yang berasal dari Ibnu ‘Abbâs ; lihat Tafsîr ath-Thabarî, jilid 2, hlm. 31; Irsyâd as-Sarîy, jilid 7, hlm. 270; ad-Durru’l-Mantsûr jilid 3, hlm. 273. Dan Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyf jilid 2, hlm. 49 menceritakan bahwa hadis di atas turun berkenaan dengan Abû Thâlib, kemudian menambahkan : “Benar, karena Abû Thâlib meninggal sebelum Hijrah, sedang ayat ini turun pada akhir kurun Madînah”.

[210] Al-Bidâyah wa’n-Nihâyah jilid 5, hlm. 354; Mîzân al-I’tidâl, jilid 1, hlm. 370; al-La’âlî’ul Mashnû’ah, jilid 2, hlm. 80

[211] Lisân al-Mîzân, jilid 4, hlm. 46; Târîkh Baghdâd jilid 2, hlm. 127; Mîzân al-I’tidâl, jilid 2, hlm. 143; al-La’âlî’ul Mashnû’ah, jilid 1, hlm. 207

[212] Thabarî, al-Hâkim, Ibnu Abî Hâtim, Baihaqî dan Ibnu Mardawaih

[213] Sîrah Ibnu Hisyâm, jilid 2 hlm. 27; Tharikh Ibnu Katsîr, jilid 2, hlm. 123; Ibnu Sayyid An-Nâs, ‘Uûyn al-Âtsâr, jilid 1, hlm. 131; al-Ishâbah, jilid 4, hlm. 116; al-Mawâhib Dîniyyah, jilid 1, hlm. 71; As-Sîrah al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 372; As-Sîrah ad-Dahlaniyyah Hâmisy al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 89; Asnâ al-Muthâlib hlm. 20

[214] Târîkh Abû’l-Fidâ’, jilid 1, hlm. 120; Sya’rani, Kasyf al-Ghummah, jilid 2, hlm. 144.

[215] Al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 194

[216] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 14, hlm. 71.

[217] Tsa’labî dalam tafsirnya mengatakan bahwa syair ini telah disepakati berasal dari Abû Thâlib. Lihat juga Baghdâdi, Khazanah al-Adab, jilid 1 hlm. 261; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 42; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 3, hlm. 306; Abu’l-Fidâ’, Târîkh, jilid 1, hlm. 120; Fat’h al-Bârî, jilid 5, hlm. 153, 155; Sîrah al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 305; Diwan Abî Thâlib, hlm. 12

[218] Ishâbah, jilid 4, hlm. 116

[219] Ar-Raudh al-Anf, jilid 1 hlm. 259; al-Mawâhib, jilid 1, hlm. 72; Târîkh Khamîs, jilid 1, hlm. 339; Tsamarât al-Auraq Hâmisy al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 93; Asnâ al-Muthâlib, hlm. 5

[220] Lihat Khashâ’ish al-Kubrâ, jilid 1, hlm. 87; As-Sîrah al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 372, 370; Sîrah Zainî Dahlân Hâmisy, al-Halabiyah, jilid 1, hlm. 92, 293; Asnâ al-Muthâlib, hlm. 10

[221] Ibnu ‘Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 690; Lihat juga Thabarî, Târîkh, jilid 11, hlm. 357; Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 440

[222] Bacalah Al-Qur’ân, Surah Yûnus (X), ayat 90, 91, 92; Surat An-Nisâ’ (IV), ayat 18, 159.

[223] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 14, hlm. 71.

[224] Al-Hâkim, al-Mustadrak, jilid 2, hlm. 623, berasal dari rangkaian yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq.

[225] Bukhârî dalam At-Târîkh Ash-Shaghîr dari jalur ‘Alî bin Yazîd; Abû Nu’aim, Dala’il An-Nubuwwah, jilid 1 hlm. 6; Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh-nya, jilid 1, hlm. 275; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 3, hlm. 315; Ibnu Katsîr dalam Târîkh-nya, jilid 1, hlm. 266; Ibnu Hajar, ‘Ishâbah, jilid 4, hlm. 115; al-Qasthalani, al-Mawahib ad-Diniyyah, jilid 1, hlm. 518 yang dipetik dari Târîkh Bukhârî; Diyâr Bakrî, Târîkh al-Khamîs, jilid 1, hlm. 254

[226] Bukhârî, Shahîh, kitab “ I’tizam, jilid 4, hlm. 57; Muslim, Shahîh, bab “Masuk Surga”, jilid 2, hlm. 481

[227] Bandingkan, misalnya, dengan ayat Al-Qur­’ân, Tiada sesuatu serupa Ia (Al-Qur’ân, 42.11); Tiada Ia terca­pai oleh penglihatan mata (Al-Qur’ân, 6:103); Mahasuci Allâh dari apa yang mereka sifatkan. ( Al-Qur’ân, 37:159)

[228] Muslim dalam Shahîh, melalui banyak jalur, yang berasal dari Abû Hurairah, dalam bab “Keutamaan Mûsâ.” dari Kitâb “Fadhâ’il”, jilid 2, hlm. 309; Bukhârî dalam Shahîh-nya, bab “Wafatnya Mûsâ”, dalam kitab “Penciptaan”, jilid 2, hlm. 163

[229] Muslim dalam Shahîh-nya, yang berasal dari Abû Hurairah, dengan banyak jalur, bab Fadhâ’il Mûsâ, jilid 2, hlm. 308; Bukhârî, dalam Shahîh-nya, jilid 2, hlm. 163

[230] Juga diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dan Nasâ’î diriwayatkan yang berasal dari Abû Hurairah: “Sesungguhnya Allâh SWT menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antar­anya dalam enam hari. Kemudian Allâh beristirahat di atas ‘Arsy pada hari ketujuh. Padahal dalam Al-Qur’ân, yaum (hari) di sini bermakna kurun waktu; ada yang bermakna seribu tahun (Al-Qur’ân, 22:47; 32:5), ada yang menunjukkan lima puluh ribu tahun (Al-Qur’ân, 70:4)

[231] Bukhârî, dalam Shahîh-nya, jilid 3, hlm. 316

[232] Al-Qur’ân, Fâthir (XXXV), 18

[233] Al-Qur’ân, Saba’ (XXXIV), 13

[234] Lihat “An-Nujûm az-Zahîrah, jilid 1, hlm. 34, Mahmûd Abû Rayyah, Syaikh al-Mudhîrah, Abû Hurairah, hlm. 94, lihat juga Perjanjian Lama, Kejadian (Genesis), ayat 10

[235] Fat’h al-Bârî, jilid 4, hlm. 231..

[236] Sair A’lam an-Nubala’, jilid 2, hlm. 429

[237] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 4, hlm. 56

[238] Al-Qur’ân, an-Nûr (XXIV), 37

[239] Ibnu Qutai­bah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts, hlm. 48

[240] Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts, hlm. 10,11.

[241] Ibnu Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, hlm. 51.

[242] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 68

[243] Dzahabî: Sair al-A’lam, jilid 2, hlm. 435

[244] Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadîts, hlm. 28

[245] Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, hlm. 126, 127

[246] Al-Qur’ân, al-An’âm (VI): 164.

[247] Ibnu ‘Abdil Barr, Jâmi’ bayan al-’ilm wa fadhluhu, jilid 2, hlm. 154.

[248] Lihat Mahmûd Abû Rayyah, Syaikh al-Mudhîrah Abû Hurairah, hlm. 142, 143

[249] Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, hlm. 109

[250] Dzahabî: A’lam an-Nubala’ jilid 2, hlm. 433; al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, jilid 8, hlm. 106

[251] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 67, 68

[252] Mahmûd Abû Rayyah, ibid, hlm. 104.

[253] Lihat Sair A’lam an-Nubala’ jilid 2, hlm. 348; al-Bidâyah wa’n-Nihâyah oleh Ibnu Katsîr jilid 8, hlm. 109 dll

[254] Mahmûd Abû Rayyah , Syaikh al-Mudhîrah, Abû Hurairah, hlm. 146

[255] Mahmûd Abû Rayyah, Ibid, hlm. 147

[256] mihdzar, berbicara tidak karuan

[257] Mahmûd Abû Rayyah, ibid, hlm. 147,148

[258] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 68

[259] Ibnu Qutaibah, Ibid, hlm. 50

[260] Bab 6 bukunya Ma’rifah ‘ulûm al-Hadîts

[261] Mahmûd Abû Rayyah, ibid, hlm. 115

[262] Ibnu Katsîr :al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, jilid 8, hlm. 109

[263] Ibnu Sa’d, at-Thabaqât al-Kubrâ , jilid 4, hlm. 58.

[264] Al-Hâkim, al-Mustadrak, jilid 1, hlm. 92

[265] Lihat juga Thabaqât, jilid 7, hlm. 79

[266] Suûythî, Alfiat, bab “Riwayat Orang-orang Besar dari Orang-orang Kecil, atau “Riwayat Sahabat yang berasal dari Tabi’in”, hlm. 237, 238

[267] Sair A’lam an-Nubala’, jilid 2, hlm. 432

[268] Dzahabî, ibid, jilid 2, hlm. 417.

[269] Al-Ishâbah, jilid 5, hlm. 205

[270] Shahîh Bukhârî, jilid 1, hlm. 23

[271] Muslim dalam Shahîh-nya, jilid 7, hlm. 110; Ibnu Sa’d dalam Thabaqât al-Kubrâ, jilid 2, bab 2, hlm. 128; Imâm Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad; Hâkim dalam Mustadrak, jilid 3, hlm. 78; Muttaqî al-Hindî dalam Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 428. Dalam Mustadrak tidak disebutkan nama Abû ‘Ubaidah.

[272] Diriwayatkan oleh Hâkim dalam Mustadrak, jilid 5, hlm. 97

[273] Mengenai gambaran ‘Alî tentang kebencian ‘Â’isyah kepadanya, lihat Khotbah 155 Nahjul Balâghah. Lihat juga catatan kaki sebelumnya.

[274] Imâm Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad-nya, jilid VI, hlm. 23 dan 238, Ibnu Sa’d dalam Thabaqât, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabarî, dalam Târîkh-nya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 1800-1801; Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 544-545; Baihaqî, Sunan, jilid 2, hlm. 396 dll