Sunday, August 2, 2009

10 Pengepungan Rumah Fâthimah

10

Pengepungan Rumah Fâthimah

P

erdebatan di Saqîfah Bani Sâ’idah, yang berak­hir dengan pembaiatan Abû Bakar, berekor panjang. Petang hari itu juga, setelah selesai pembaiatan, rombongan yang dipim­pin oleh Abû Bakar dan ‘Umar beramai-ramai datang ke Masjid Madînah. Dan beberapa puluh meter dari Masjid, di rumah Fâthimah, ‘Alî dan ‘Abbâs masih sedang mengurus jenazah Rasûl.

Penulis-penulis sejarah menyebut nama-nama para Sahabat yang pada waktu itu berlindung di rumah Fâthimah. Mereka itu adalah:

Thalhah bin ‘Ubaidillâh, Zubair bin ‘Awwâm, ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ammâr bin Yâsir, ‘Utbah bin Abî Lahab, Salmân al-Fârisî, Abû Dzarr al-Ghifârî, Miqdâd bin Aswad, Barâ’ bin ‘Âzib, ‘Ubay bin Ka’b dan Sa’d bin Abî Waqqâsh

Dan keluarga Banû Hâsyim yang lain serta sekelompok orang Quraisy dan Anshâr.

Inilah yang dimaksudkan ‘Umar tatkala ia mengatakan bahwa ‘Alî dan Zubair serta pendukung-pendukungnya memisahkan diri dari kami dan berkumpul di rumah Fâthimah’.

Abû Bakar dan ‘Umar menyadari sepenuhnya akan tuntutan ‘Alî bin Abî Thâlib, yang sepanjang hidup Rasûl dianggap sebagai saudara Rasûl dalam pengertian yang luas, yang kedudukannya di samping Rasûl sebagai Hârûn bagi Mûsâ, telah memerintahkan serombongan Sahabat memanggil ‘Alî untuk membaiat Abû Bakar di Masjid. Sete­lah ‘Alî menolak, ‘Umar menasihatkan Abû Bakar untuk segera bertindak agar tidak terlambat. ‘Umar lalu mengepung rumah ‘Alî dengan serombongan orang bersenjata, dan mengancam akan membakar rumah itu.[1]

Abû Bakar dan ‘Umar merasakan pentingnya baiat ‘Alî sebagai calon terkuat dari Banû Hâsyim, dan mengetahui kemungkinan akan timbulnya perlawanan dari kelompok ‘Alî, apabila mereka tidak lekas bertindak. Mereka lalu mengepung rumah ‘Alî dengan pasukan bersenjata, yang terdiri dari:

‘Umar bin Khaththâb,Khâlid bin Walîd[2] , ‘Abdurrahmân bin ‘Auf, Ziyâd bin Labîd[3], Tsâbit bin Qais bin Syammâs[4], Muhammad bin Maslamah[5], Salamah bin Sâlim bin Waqasy[6], Salamah bin Aslam, [7] Zaid bin Tsâbit dan Usaid bin Hudhair.

Riwayat tentang pengepungan terhadap rumah Fâthimah ini sangatlah kuat dan tercatat dalam kitab-kitab siyâr (bentuk jamak dari sîrah, biografi Rasûl), kitab-kitab hadis shahîh, masânid.[8]

E.V. Vaglieri, setelah melakukan penelitian yang mendalam menge­nai masalah ini mengatakan dalam Encyclopedia of Islam, artikel ‘Fâthimah’:’ Meskipun para penulis menambahkan detil-detil, tetapi peristiwa penyerbuan ini berdasarkan fakta’.

Ibnu Qutaibah menuliskan peringatan anggota rombongan kepada ‘Umar yang membawa kayu bakar dan mengancam hendak membakar rumah: Ya abâ Hafshah, inna fîhâ Fâthimah, Wahai ayah Hafshah, sesungguhnya Fâthimah berada di dalam rumah, dan ‘Umar menjawab, Wa in! (Sekalipun).[9]

Mendengar suara di luar, agaknya Zubair keluar sambil menghunus pedang.

Marilah kita ikuti tulisan Ibn Abîl-Hadîd dari suatu rangkaian isnâd yang berasal dari Abû Bakar Ahmad bin ‘Abdul Azîz: “Abû Bakar berkata pada ‘Umar: ‘Dimana Khâlid bin Walîd?’[10] ‘Umar menjawab: ‘Ini dia!’. Maka berkatalah Abû Bakar: ‘Pergilah kamu berdua ke tempat mereka berdua, ‘Alî dan Zubair, dan bawa kemari mereka berdua’. ‘Umar dan Khâlid bin Walîd lalu mendekat ke rumah Fâthimah. ‘Umar masuk ke dalam rumah, dan Khâlid berdiri di dekat pintu keluar. Zubair,sepupu Rasûl, memegang pedang terhu­nus. ‘Umar berkata kepada Zubair: ‘Untuk apa pedang ini?’ Zubair menjawab: ‘Untuk membaiat ‘Alî’. Di dalam rumah terdapat banyak orang, di antaranya Miqdâd dan keluarga Banû Hâsyim. ‘Umar merampas pedang Zubair lalu mematahkannya dengan memapaskannya ke batu. Zubair dikeluarkan dari rumah dan diserah­kan kepada Khâlid dan rombongannya. Melihat banyak orang di dalam rumah, ‘Umar mengatakan kepada Khâlid agar melaporkan keadaan itu kepada Abû Bakar, dan Abû Bakar lalu mengirim rombongan besar untuk membantu ‘Umar dan Khâlid. ‘Umar berkata kepada ‘Alî: ‘Mari, baiatlah Abû Bakar!’ Kalau tidak akan kami penggal lehermu ‘Alî tidak mau; maka ia lalu diseret dan diserahkan kepada Khâlid, sebagaimana Zubair. Maka orang-orang pun berkumpul untuk menonton, dan penuhlah jalan-jalan Madînah dengan kerumunan orang. Setelah Fâthimah melihat apa yang diperbuat ‘Umar, ia menjerit, sehingga berkumpullah wanita Banû Hâsyim dan lain-lain. Fâthimah lalu keluar dari pintu dan berseru: ‘Hai, Abû Bakar! Alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasûl. Demi Allâh, saya tidak akan berbicara dengan ‘Umar sampai saya menemui Allâh... Kalian telah membiarkan jenazah Rasûl Allâh bersama kami, dan kalian telah mengambil keputusan antara kalian sendiri, tanpa bermusyawarah dengan kami dan tanpa menghormati hak-hak kami. Demi Allâh, aku katakan, keluarlah kalian dari sini, dengan segera! Kalau tidak, dengan rambut yang kusut ini, aku akan meminta keputusan dari Allâh!’[11] Dengan munculnya Fâthimah ini, maka rombongan itu pun bubarlah, tanpa mendapatkan baiat dari ‘Alî bin Abî Thâlib.

Banyak penulis juga menceritakan adanya dialog antara ‘Umar dan Abû Bakar di satu pihak, dan ‘Alî di pihak lainnya, sebelum Fâthimah keluar. Pada garis besarnya ‘Alî menyatakan haknya terhadap kekhalifahan. Tatkala ia diseret, mereka berkata:’baiatlah kalau tidak akan kami penggal kepalamu’. ‘Alî mengatakan, ‘Kamu akan memeng­gal kepala hamba Allâh dan saudara Rasûl?’[12]. ‘Umar menjawab, ‘Mengenai hamba Allâh, ya, tetapi mengenai saudara Rasûl, tidak’. ‘Umar juga mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan ‘Alî, sebelum ‘Alî mengikutinya. ‘Alî menjawab: ‘Engkau sedang memerah susu untuk Abû Bakar dan dirimu sendiri. Engkau bekerja untuknya hari ini, dan besok ia akan mengangkat engkau menjadi penggantinya. Demi Allâh, saya tak akan mendengar kata-katamu, hai ‘Umar, dan saya tidak akan membaiat Abû Bakar’. Abû Bakar kemudian berkata, ‘Saya tidak akan memaksa Anda menyetujui saya’.

Bagaimanapun juga, ‘Alî tidak pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Abû Bakar, ‘Umar maupun ‘Utsmân. Tetapi penyerbuan ke rumah Fâthimah, bagi ‘Umar, adalah penting sekali. ‘Umar menganggap, dengan tindakannya ini, ia telah menggeser ‘Alî dari kedudukannya sebagai orang pertama yang berhak memimpin umat sesudah wafatnya Rasûl.

Marilah kita ikuti dialog yang terjadi antara ‘Umar dan ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Siapa ‘Abdullâh bin ‘Abbâs?

‘Abdullâh bin ‘Abbâs lahir tiga tahun menjelang Hijrah, dan meninggal tahun 70 H,689 M.. Saudara misan Rasûl dan ‘Alî. Ia berusia tiga belas tahun tatkala Abû Bakar menjadi khalîfah. Dalam usianya lima belas, ‘Umar menjadi khalîfah. Ia sangat dihormati Abû Bakar, dan menjadi sahabat ‘Umar. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs selalu terlibat perdebatan yang menarik dengan ‘Umar, Mu’awiah, ‘Abdullâh bin Zubair dan lain-lain tokoh. Ia berdebat dengan ‘Umar misalnya karena ia berpendapat bahwa khilâfah adalah hak ‘Alî. Ibnu ‘Abbâs diakui sebagai seorang jenius, yang mendapat julukan Hibr al-Ummah, tinta umat. Di zaman para Saha­bat, ia adalah ahli tafsir Al-Qur’ân yang terbaik, selain ‘Alî yang menjadi gurunya; ia ahli syair, ahli sejarah Rasûl dan para Sahabat, ahli sejarah peperangan yang terjadi di zaman jahiliah Ayyam al-Arab), ahli hadis, dan dikatakan bahwa ia mengetahui sebab-sebab turunnya hampir setiap ayat Al-Qur’ân. Hampir tidak ada kitab Tafsir, peperangan di zaman Rasûl (maghâzî), fiqih, silsilah atau ansâb atau riwayat daerah-daerah yang ditaklukkan (futûh), yang tidak memuat namanya sebagai sumber berita. Malah dikatakan bahwa ia mengeta­hui dengan baik riwayat hidup dan silsilah hampir setiap Sahabat. ‘Abdullâh bin Zubair sangat memusuhi ‘Abdullâh bin ‘Abbâs dan pernah hendak membakar-nya hidup-hidup.

“Pada suatu ketika”, kata Ibn Abîl-Hadîd, ‘Abdullâh bin Zubair sedang berkhotbah di atas mimbar di Makkah. Dan Ibnu ‘Abbâs sedang duduk bersama orang banyak di dekat mimbar. Ibnu Zubair berkata: ‘Disini berada seorang laki-laki yang telah dibutakan Allâh hatinya seperti telah dibutakan Allâh matanya. Ia menyatakan bahwa kawin mut’ah (mut’atun-Nisâ’) dihalalkan Allâh dan Rasûl-Nya...Ia memerangi ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah dan pengawalnya.’

Ibnu ‘Abbâs berkata kepada penuntunnya yang bernama Sa’d bin Jubair bin Hisyâm maulâ Banû Asad bin Huzainah : ‘Hadapkan wajah saya kepada Ibnu Zubair dan tegakkan dada saya!’ Waktu itu Ibnu ‘Abbâs sudah buta. Penuntunnya lalu menghadap­kan wajah Ibnu ‘Abbâs kepada Ibnu Zubair. Setelah membawakan sebuah syair ia berkata:

‘Ya Ibnu Zubair, tentang kebutaan, Allâh SWT berfirman: ‘Sungguh bukanlah matanya yang buta. Tapi yang buta ialah hatinya yang ada dalam rongga dadanya’ [13]. Dan tentang mut’ah tanyalah kepada ibumu di rumah tentang ‘burdah ‘Ausajah’.. Dan mengenai kami memerangi ummu’l mu’minîn, kamu keliru, kami sangat menghormatinya. Tetapi kamu­lah yang melakukan agresi, dan bila kami kafir, maka kamu juga kafir karena melarikan diri dari peperangan, dan bila kami Mu’min maka kafirlah kamu karena memerangi kami..” Tatkala Ibnu Zubair pulang ke rumahnya dan bertanya kepada ibunya tentang burdah ‘Ausajah ibunya berkata: ‘Bukankah kau telah berdebat dengan Ibnu ‘Abbâs dan Banû Hâsyim?.’. ‘Abdullâh menjawab: ‘Benar! dan dia menuduhmu!’ Berka­talah Asmâ’ binti Abû Bakar:”Wahaianakku, hati-hati terha­dap orang buta itu, manusia dan jin tidak akan dapat mengalah­kannya berdebat, dan ketahuilah bahwa ia mengetahui ‘aib dan keburukan serta rahasia orang-orang Quraisy”[14]. Sebab, memang ‘Abdul­lâh dan ‘Urwah bin Zubair adalah hasil perkawinan Mut’ah.” Dalam Sîrah Ibnu Ishâq, namanya ‘Abdullâh bin ‘Abbâs tercatat sebanyak 39 kali dalam rangkaian isnâd; Wâqidî dalam 58 tempat; Thabarî dalam 313 tempat. Dikatakan bahwa Rasûl pernah memegang dahinya dan berdoa, tatkala ia masih kecil, “Ya, Allâh berikanlah dia pemahaman dalam agama!” [15]

Perdebatan ini terjadi beberapa waktu kemudian, yang diceritakan sendiri oleh ‘Abdullâh bin ‘Abbâs: ‘Suatu ketika, ‘Umar lewat sementara ‘Alî sedang bersama saya di halaman rumahnya, dan ia memberi salam. ‘Alî bertanya, ‘Hendak ke mana?’ ‘Umar menjawab, ‘Hendak ke Baqî’ ‘ (pekuburan kaum Muslimîn, di sebelah timur Masjid Madînah). ‘Alî bertanya, ‘Apakah Anda menghendaki sahabat Anda menemani Anda?’ ‘Umar menjawab, ‘Ya’.Maka ‘Alî berkata kepada saya, ‘Pergilah Anda bersamanya’. Maka saya pun bangkit lalu pergi berdampingan dengan dia. Ia memegang tangan saya, lalu kami berjalan bergandengan. Sejenak kemudian setelah meninggalkan al-Baqî’, ia berkata kepada saya: ‘Hai Ibnu ‘Abbâs , demi Allâh, sesungguhnya sahabatmu itu (maksudnya ‘Alî bin Abî Thâlib) adalah orang pertama yang berhak memerintah sesudah Rasûl Allâh saw.; sayang kami melihat dua kelemahannya..’. Maka saya berkata: ‘Apa saja kedua kelemahannya itu, ya Amîru’l-mu’minîn?’ Maka ‘Umar pun berkata: ‘Kami melihat kekurangannya pada usia yang muda, dan cintanya kepada keluarga ‘Abdul Muththalib’.[16]

Pengepungan dan ancaman pembakaran rumah Fâthimah untuk mendapat­kan baiat dari ‘Alî bin Abî Thâlib sebagai rentetan pertemuan di Saqîfah Banî Sâ’idah, barangkali bukanlah berdasarkan pertimban­gan rasional semata-mata. Agaknya, ‘Api kebencian’ dalam hati sebagian kaum Quraisy yang lama terpendam sejak zaman jahiliah, mulai menjalar bersama wafatnya Rasûl Allâh. Ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah, putri Abû Bakar, dan Hafshah putri ‘Umar bin Khaththâb, yang menyimpan kebencian terhadap Fâthimah dan ‘Alî di zaman Rasûl, tidak dapat menahan diri lagi. Di kemudian hari, meskipun Allâh SWT telah melarang para istri Nabî untuk keluar rumah, ‘Â’isyah bersama ‘Abdullâh bin Zubair, kemenakan dan anak angkatnya, memerangi ‘Alî bin Abî Thâlib dengan alasan untuk menuntut darah ‘Utsmân, meskipun sebelumnya ‘Â’isyah adalah orang pertama yang menganjurkan membunuh ‘Utsmân, karena ‘Utsmân ‘telah kafir’.[17] Kalau tidak dicegah oleh ‘Abdullâh bin ‘Umar, maka Hafshah juga hendak ikut bersama pasukan ‘Â’isyah.

Api kebencian ini menjalar cepat, dan bertahan sangat lama. Tindakan ‘Umar bin Khaththâb adalah ‘contoh’ dan dasar pembenaran suatu rentetan tindakan yang menyusul kemudian. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini perbuatan ‘Abdullâh bin Zubair yang hendak membakar keluarga ahlu’l-bait.

‘Abdullâh bin Zubair bin ‘Awwâm (10 tahun sebelum H.-71 H.,612-690 M.) adalah anak Asmâ’ binti Abû Bakar , saudara ‘Â’isyah, putri Abû Bakar. Ia sangat membenci ‘Alî bin Abî Thâlib. Zubair dan ‘Alî adalah sepupu; ayah Zubair bersaudara dengan ibu ‘Alî. Zubair, yang mula-mula berpihak kepada ‘Alî, sangat terpen­garuh oleh anaknya ini. ‘Alî mengatakannya: ‘Zubair selalu bersa­ma kami, sampai anaknya yang durhaka itu menjadi besar.’ Demikian pula Thalhah, paman ‘Abdullâh dari pihak ibunya. ‘Abdullâh bin Zubair sangat disayangi oleh ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah, seperti anak dan ibu. Kemenakanya, Hisyâm bin ‘Urwah bin Zubair, mengatakan, bahwa ia belum pernah mendengar ‘Â’isyah mendoakan keselamatan orang lain, kecuali ‘Abdullâh bin Zubair. Ialah yang sebe­narnya pencetus Perang Jamal, ditemani ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah, ayahnya Zubair, dan pamannya Thal­hah. Para pencatat sejarah melukiskan kebencian ‘Abdullâh kepada Banû Hâsyim sedemikian rupa, sehingga ketika ia menjadi khalîfah di Makkah, ia tidak pernah membaca shalawat atas Nabî selama empat puluh hari dalam khotbahnya Jum’atnya: “Tiada seorang pun yang dapat mencegah saya menyebut nama Nabî, kecuali orang-orang tertentu (Banû Hâsyim) yang merasa bangga bila namanya disebut.” Tidak segan-segan juga ia menghina dan mengutuk ‘Alî.[18] .

Tatkala menjadi ‘khalîfah’ di Makkah itu, ia, suatu ketika, mengumpul Muhammad Ibnu Hanafîah putra ‘Alî, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs dan tujuh belas orang keluarga Banû Hâsyim dalam gua Syi’b Arîm. Ia menumpuk kayu bakar pada pintu gua kecil itu untuk membakar mereka. Pada saat itu pasukannya menyerbu Mokhtar ats-Tsaqafi dengan empat ribu anggota pasukannya menyerbu Makkah, dan keluar­ga Banû Hâsyim itu dapat diselamatkan.

‘Urwah bin Zubair membela perbuatan saudaranya ‘Abdullâh dengan mengatakan bahwa tindakan ‘Abdullâh adalah sama dengan tidakan ‘Umar bin Khaththâb terhadap Banû Hâsyim, karena mereka tidak mau membaiat Abû Bakar, yakni tatkala ‘Umar membawa obor untuk membakar rumah Fâthimah.[19]

Pemburuan terhadap para pengikut ‘Alî serta anak cucunya, seperti yang dilakukan oleh Mu’awiah serta anaknya Yazîd, juga membe­narkan perbuatannya dengan alasan bahwa mereka hanya melanjutkan perbuatan-perbuatan sebelumnya. Mengenai pembakaran rumah ‘Alî bin Abî Tahlib, seorang penyair Mesir, Hâfizh Ibrâhîm, menulis:

Kepada ‘Alî, berkata ‘Umar

‘Rumahmu akan kubakar!

Bila tidak kau baiat Abû Bakar’

Meskipun Fâthimah putri Musthafâ ada di dalam

‘Umar bin Khaththâb tidak segan

Melawan ‘Alî, pahlawan Adnan[20].

Beberapa Catatan Sejarah

Ibnu ‘Abd Rabbih menulis::

Abbas dan ‘Alî mendengar suara takbîr di Masjid sedang mereka belum lagi selesai mengurus jenazah Rasûl Allâh.

‘Alî berkata: ‘Ada apa!?’

Abbas: ‘Belum pernah ada kejadian seperti ini! Apa yang kukatakan padamu!’[21]

Ya’qûbi:

“Pada saat itu datanglah Barâ’ bin ‘Âzib. Ia mengetuk pintu rumah ‘Alî sambil berseru: ‘Hai kaum Banû Hâsyim, Abû Bakar telah dibaiat! Mereka lalu saling berbincang:

‘Tidak pernah kaum Muslimîn membuat sesuatu yang baru bila kita tidak ada! Dan kita adalah orang-orang yang pertama hadir di masjid!’

Dan ‘Abbâs berteriak:

‘Mereka melakukannya! Demi Tuhan Pelindung Ka’bah!’

Dan kaum Anshâr serta Muhâjirîn tidak ragu akan ‘Alî “[22]

Barâ’ bin ‘Âzib bergabung dengan Banû Hâsyim. Dan para Sahabat yang tidak hadir di Saqîfah lalu berkumpul di rumah ‘Alî.

Para penulis melukiskan bagaimana mereka memasuki rumah Fâthimah:

“Beberapa orang Muhâjirîn marah akan pembaiatan Abû Bakar, di antaranya ‘Alî dan Zubair dan mereka masuk ke rumah Fâthimah dan keduanya bersenjata”[23]

“Maka sampailah berita kepada Abû Bakar dan ‘Umar bahwa sekumpu­lan kaum Muhâjirîn dan Anshâr telah berkumpul bersama ‘Alî bin Abî Thâlib di rumah Fâthimah binti Rasûl Allâh”[24]

“Dan mereka berkumpul semata-mata untuk membaiat ‘Alî”.[25]

“‘Umar bin Khaththâb mendatangi rumah ‘Alî dan di dalamnya berada Fâthimah dan Zubair dan orang-orang dari kaum Muhâjirîn, dan Zubair keluar dengan pedang terhunus. Pedangnya terlepas jatuh dari tangan dan mereka meloncat menerkam dan mengambilnya” [26]

Agaknya pada waktu itu Fâthimah lalu keluar:

“Maka Abû Bakar lalu mengirim ‘Umar bin Khaththâb untuk menge­luarkan mereka dari rumah Fâthimah, dan Abû Bakar berpesan: ‘Bila mereka menolak, maka perangi mereka!’. Mereka lalu pergi dengan membawa kayu bakar yang sedang menyala (bi qabasin min nâr) untuk membakar rumah yang akan membuat mereka kepanasan (an yudhrima ‘alaihim ad-dâr) dan mereka bertemu dengan Fâthimah dan ia berseru: “Ya Ibnu Khaththâb, apakah kau datang untuk membakar rumah kami?” ‘Umar menjawab: “Ya benar! bila kamu tidak mau masuk ke tempat di mana umat telah masuk!”[27]

Dan dalam Ansâb al-Asyrâf:

Dan ia bertemu dengan Fâthimah di depan pintu, maka Fâthimah berseru: “Ya Ibnu Khaththâb apakah akan kau bakar pintu rumahku?” Ia menjawab:”Ya!.[28]

Dari peristiwa ini ‘Urwah bin Zubair membela kakaknya ‘Abdullâh bin Zubair,tatkala ‘Abdullâh bin Zubair berkuasa di kemudian hari ,yang mengepung Banû Hâsyim dalam sebuah lembah (sy’ib) dan mengumpulkan kayu api di depan lembah tersebut untuk membakar mereka bila mereka tidak patuh kepadanya. Menurut ‘Urwah kakaknya hanyalah meniru apa yang dilakukan oleh mereka yang terdahulu,yaitu tatkala Abû Bakar dan ‘Umar melakukan teror (arhaba) dengan mengumpulkan kayu bakar untuk membakar mereka bila mereka menolak untuk membaiat Abû Bakar.[29]

Ya’qûbi menulis:

“Dan mereka mendatangi jemaah yang ada di dalam rumah dan mereka menyerbu (hâjamu) melalui pintu sampai patah pedang ‘Alî dan mereka lalu memasuki rumahnya..” [30]

Dan ‘Alî berkata:

‘Aku adalah hamba Allâh dan saudara Rasûl Allâh!’

Ia kemudian dibawa menghadap Abû Bakar dan Abû Bakar berkata kepada ‘Alî: ‘Baiat!’

‘Alî menjawab:

‘Aku lebih berhak akan kepemimpinan ini dari kamu! Aku tidak akan membaiat dirimu dan kamulah yang pertama harus membaiatku. Kamu mengambil kepemimpinan ini dari kaum Anshâr dan kamu berhujah terhadap mereka dengan kekerabatanmu dengan Rasûl. Kamu memberi­kan pengarahan, mereka memberikan kepadamu pemerintahan. Aku mengajukan kepadamu hujah serupa yang kamu ajukan kepada kaum Anshâr, maka Anda haruslah memperlakukan kami dengan adil bila kamu takut kepada Allâh dan bila kami benar, berikanlah pengakuan yang serupa sebagaimana kaum Anshâr melakukannya terhadapmu; kalau tidak, maka kamu telah berlaku zalim dan kamu mengetahuin­ya!’ ‘Umar menjawab:

Engkau tidak boleh pergi sebelum membaiat’.

‘Alî:

‘Bagianmu, hai ‘Umar, memerah susu untuknya hari ini, agar dia mengembalikannya untukmu besok. Tidak, demi Allâh, aku tidak akan menerima perkataanmu dan dan tidak akan mengikutimu’.

Abû Bakar:

‘Bila engkau tidak membaiatku, aku tidak memaksa!’

Abû ‘Ubaidah lalu berkata:

‘Hai ayah Hasan, engkau masih muda, dan orang-orang ini adalah tokoh-tokoh Quraisy dari kaummu, engkau tidak berpengalaman dan berilmu seperti mereka dalam pemerintahan, dan aku melihat Abû Bakar lebih kuat darimu. Ia sangat kuat dan terampil untuk memi­kul beban ini, maka serahkanlah padanya. Sedang engkau, bila berumur panjang, maka engkaulah yang paling cocok (khalîq) dan tepat (khaqîq) memegang pemerintahan ini karena keutamaan dan jihadmu bersama Rasûl, kekerabatanmu dengan Rasûl serta keterdahuluanmu dalam Islam!’

Dan ‘Alî menjawab: ‘Hai kaum Muhâjirîn, demi Allâh, jangan kamu memindahkan pemerin­tahan Muhammad dari tempat tinggal dan rumahnya ke rumah dan tempat tinggalmu dan janganlah kamu keluarkan keluarganya dari kedudukan dan haknya di kalangan manusia, karena demi Allâh, hai kaum Muhâjirîn, kami ahlu’l-bait lebih berhak akan urusan ini dari kamu. Pada kamilah terdapat pembaca Kitâb Allâh, ahli ilmu agama Allâh, ‘alîm dalam Sunnah dan dengan demikian paling terampil mengurus pengembalaan. Demi Allâh, ini semua terdapat pada kami! Maka janganlah mengikuti hawa nafsu dan jangan pulalah kamu rakus akan hak orang lain!’ Maka berkatalah Basyîr bin Sa’d:

‘Kami orang-orang Anshâr, ya ‘Alî, andaikata kami dengar darimu kata-kata ini sebelum kami baiat Abû Bakar, maka di antara kami, tidak ada dua orang yang berbeda pendapat. Tetapi sayang, kaum Anshâr telah membaiatnya’. Maka ‘Alî lalu kembali ke rumahnya tanpa membaiat. [31]

Ibnu Qutaibah menulis:

“Abû Bakar r.a. merasa kehilangan satu kaum yang tidak mau mem­baiatnya yang berkumpul di rumah ‘Alî karramallâhu wajhahu maka ia lalu mengirim ‘Umar dan ‘Umar pergi dan memanggil mereka dan mereka berada di rumah ‘Alî dan mereka tidak mau keluar dan ia mengancam dengan obor kayu api (hathab) sambil berkata: ‘Demi Dia yang menguasai jiwa ‘Umar, kamu keluar atau kubakar semua yang ada di rumah. Dan seorang berkata kepadanya: ‘Ya ayah dari Hafshah, di dalamnya ada Fâthimah.’ Dan ‘Umar berkata: ‘Biar!’[32]

“Kemudian ‘Alî, karramallâhu wajhahu, mendatangi Abû Bakar dan berkata: ‘Saya adalah Hamba Allâh dan saudara Rasûlullâh!’ Dan orang (‘Umar, pen.) mengatakan kepadanya: ‘Baiatlah Abû Bakar!’ Dan ‘Alî berkata: ‘Saya lebih berhak terhadap pemerintahan ini dari engkau! Aku tidak akan membaiat kamu dan kamulah seharusnya yang pertama membaiatku. Kamu mengambil kekuasaan ini dari Anshâr, dan kamu berhujah dengan kekerabatanmu dengan Rasûl Allâh SAW. dan kamu mengambilnya dari kami, ahlu’l-bait dengan kekerasan (ghashaban). Bukankah kamu berdebat dengan kaum Anshâr bahwa kamu yang lebih berhak terhadap pemerintahan ini dari mereka, dengan alasan Nabî Muhammad dari keluargamu dan mereka menyerahkan kepada kamu kekuasaan dan imarah, maka aku berhujah terhadapmu dengan dalil yang sama yang kamu lakukan terhadap kaum Anshâr. Kami lebih dekat dengan Rasûl Allâh selama hidupnya dan setelah beliau wafat[33]



[1] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 585; Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 126; Thabarî, Târîkh, jilid 1, hlm. 18; al-Jauharî, Saqîfah, yang dicatat oleh Ibn Abîl-Hadîd dalam Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 47-52; Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s Siyâsah, pada bagian “Bagaimana Baiat pada ‘Alî bin Abî Thâlib”, Muttaqî, Kanzu’l-’Ummâl, jilid 2, hlm. 140.

[2] Abû Sulaimân Khâlid bin Walîd bin Mughîrah bin ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Makhzum, dari Banî Quraisy. Ibunya Lababah binti al-Khârits bin al-Hazn al-Halaliah. Saudara perempuannya Maimunah kawin dengan Rasûl. Berhijrah setelah Perang Hudaibiyah. Ikut dalam Penaklukan Makkah. Abû Bakar menugaskannya dalam ekspedisi-ekspedisi militer, diberi gelar Saifullâh, Pedang Allâh, dan meninggal di Himsh atau di Madînah tahun 21 atau 22 H.,642 atau 643 M. Lihat Bab 1: “Pengantar”, Sifat Jahiliah di kalangan para sahabat”; Bab 12: “Reaksi terhadap Saqîfah”, Bab 19: “Ri­wayat Tiga dan Tiga”

[3] Ziyâd bin Labîd bin Tsa’labah bin Sînân bin ‘Âmir bin ‘Adî bin Umayyah bin Bayadhah dari kaum Al-Anshârî. Disamping termasuk Anshâr ia juga termasuk dari Muhâjirîn. Ia pergi ke Makkah dan menemui dan tinggal bersama Rasûl di Makkah. Akhirnya Hijrah bersama Nabî ke Madînah, tempat asalnya. Ikut Baiat Aqabah dan ikut Perang Badr dan perang-perang bersama Rasûl sesudah itu. Meninggal pada awal khilâfah Mu’â­wiyah

[4] Tsâbit bin Qays bin Syammâs bin Zuhair bin Mâlik bin Imra’ul Qays bin Mâlik bin Tsa’labah bin Ka’b bin Khazraj, dari kaum Anshâr. Ikut Perang Uhud dan perang-perang sesudahnya. Meninggal sebagai prajurit Khâlid di Yamamah.

[5] Muhammad bin Maslamah bin Salmah bin Khâlid bin ‘Adî bin Majda’ah bin Hâritsah bin Hârits bin Khazraj bin ‘Amr bin Mâlik bin ‘Aus, dari kaum Anshâr. Ikut Perang Badr dan perang-perang sesudahnya. Ia di kemudian hari termasuk tidak membaiat ‘Alî bin Abî Thâlib dan tidak ikut dalam perang bersama ‘Alî. Meninggal tahun 43 H. atau 46 H. atau 47 H,665 atau 666 atau 667 M..

[6] Abû ‘Auf Salmah bin Sâlim bin Waqasy bin Zaghbah bin Zu’urâ’ bin ‘Abdul Asyhal al-Anshârî. Ikut Baiat Aqabah pertama dan Aqabah kedua, ikut Perang Badr dan perang-perang sesudahnya. Meninggal di Madînah tahun 45 H. 665 M. .

[7] Abû Sa’îd Salamah bin Aslam bin Hârisy bin ‘Adî bin Majda’ah bin Hâritsah bin Hârits bin Khazraj bin ‘Amr bin Mâlik bin ‘Aus, dari kaum Anshâr. Ikut Perang Badr dan perang-perang sesudahnya. Ia terbunuh pada perang Jisr Abû ‘Ubaid tahun 41 H. 661 M.

[8] Masânid = bentuk jamak dari musnad, berasal dari kata sanada yang berarti menunjang, menopang atau mendukung; musnad adalah (kitab yang memuat) hadis yang dapat dijajaki tanpa terputus-putus sampai ke sumber pertama, misalnya Musnad Ahmad yang ditulis oleh Imâm Ahmad..

[9] Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s Siyâsah, pada bagian “Bagaimana Baiat ‘Alî”

[10] Sebelumn­ya, dalam Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, halaman 20, Ibn Abîl-Hadîd meriwayatkan dari Zubair bin Bakkâr bahwa ‘Khâlid bin Walîd adalah Syî’ah Abû Bakar dan sangat memusuhi ‘Alî bin Abî Thâlib’. Lihat juga bab ‘Pengantar’.

[11] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 48-49. Mengenai kata-kata Fâthimah ini, lihatlah pula Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 585; Thabarî, Târîkh, jilid 1, hlm. 18; Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 126

[12] Lihat Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, hlm. 13.

[13] Al-Qur’ân, Al-Hajj (XXII):46.

[14] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, ibid.,jilid 20, hlm. 129-131

[15] Lihat Encyclopedia of Islam, artikel ‘Abdullâh bin ‘Abbâs

[16] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 50-51

[17] Dalam karyanya, Syarh Nahju’l-Balâghah, Muhammad ‘Abduh menulis, “Suatu ketika, tatkala ‘Utsmân sedang berkhotbah di atas mimbar. Ummul mu’minîn ‘Â’isyah mengambil sepatu dan baju Nabî saw. dari dalam jilbabnya, lalu berkata: ‘Ini adalah sepatu dan baju Rasûl Allâh; belum lagi sepatu dan baju ini rusak, engkau sudah mengubah agamanya dan Sunnahnya.” Setelah itu, terjadi perdebatan antara keduanya, dan ‘Â’isyah berkata: “Bunuhlah Na’tsal ini”, yang menggambarkan ‘Utsmân sebagai seorang Yahudi berjenggot panjang yang bernama Na’tsal. Muhammad ‘Abduh, Nah­ju’l-Balâghah, edisi Mesir, jilid 2, hlm. 3; juga Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 88).

[18] Lihat Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn,, hlm. 474; Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hlm. 79; Ya’qûbi, Târîkh, jilid II, hlm. 261

[19] Ibnu Khaldûn, Târîkh, jilid 3, hlm. 26-28; Ibnu Atsîr, al-Khamîs, jilid 4, hlm. 249-254; Thabarî, Târîkh, jilid 2 hlm. 693-695; Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 5, hlm. 73-81; Ibnu ‘Abd Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, jilid 4, hlm. 413; Ibnu Asâkir, jilid 7, hlm. 408; Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 261; Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab , jilid 3, hlm. 76-77

[20] Hâfizh Ibrâhîm adalah penyair Mesir yang terkenal dengan julukan ‘Penyair Lembah Nil’. Lihat Diwan Hâfizh Ibrâhîm, Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, 1937, di bawah judul ‘Umar wa ‘Alî, jilid 1, hlm. 82

[21] Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Iqd al-Farîd, jilid 3, hlm. 63; Abû Bakar Jauharî dalam Saqîfah sebagaimana dituturkan Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 133

[22] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 103; Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 1, hlm. 74.

[23] Muhibbuddîn Thabarî, Ar-Riyâdh an-Nadhirah, jilid 1, hlm. 167; Abû Bakar Jauharî, Saqîfah, dituturkan oleh Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 1, hlm. 132, jilid 6, hlm. 293..

[24] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105

[25] Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 1, hlm. 134.

[26] Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 443, 446; bahwa pedang Zubair dipatahkan, bacalah Muhibbuddîn Thabarî, Ar-Riyâdh an-Nadhirah, jilid 1, hlm. 167, al-Khamîs, jilid 1, hlm. 188; Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 1, hlm. 122, 132, 134, 87, Kanzu’l-’Ummâl, jilid 3, hlm. 128

[27] Ibnu ‘Abd Rabbih, ibid., jilid 3, hlm. 64; Abu’l-Fidâ’, ibid., jilid 1, hlm. 156

[28] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 586; Kanzu’l-’Ummâl, jilid 3, hlm. 140; Muhibbuddîn Thabarî, Ar-Riyâdh an-Nadhirah, jilid 1, hlm. 167; al-Khamîs, jilid 1, hlm. 178; Abû Bakar Jauharî, dituturkan oleh Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 1, hlm. 132, 134.

[29] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 100; Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 20, hlm. 481

[30] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105.

[31] Abû Bakar Jauharî dalam Saqîfah sebagaimana dituturkan oleh Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 6, hlm. 285)

[32] Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 12

[33] Ibnu Qutaibah, al-Imâmah was-Siyasah, jilid 1, hlm. 11

No comments:

Post a Comment