Sunday, August 2, 2009

11 Abû Bakar dan Fâthimah

11

Abû Bakar dan Fâthimah

S

eperti diketahui, Fâthimah az-Zahrâ’, putri Rasûl, juga digelari Sayyidâtun-nisâ’ al-mu’minîn[1], salah seorang dari empat wanita sempur­na, wanita utama, wanita teladan. Tiga yang lainnya ialah ‘Asiyah istri Fir’aun[2], Mariam binti ‘Imrân, ibu ‘Îsâ A.S., dan Khadîjah Al-Kubrâ, istri Nabî Muhammad saw., ibu dari Fâthimah ra..

Rasûl Allâh saw. pernah bersabda: “Fâthimah dari diri saya, barangsiapa membuat Fâthimah marah, atau mengganggunya, menghalangi atau membohonginya, sama seperti ia melakukannya terhadap saya, dan mencintainya sama seperti ia mencintai saya”.[3]

Fâthimah telah terlibat dalam perdebatan dengan Abû Bakar, sede­mikian hebatnya, sehingga ia menyatakan kemarahannya kepada Abû Bakar dan ‘Umar, serta tidak mau lagi berbicara dengan mereka selama sisa hidupnya. Fâthimah bahkan berpesan agar ia dikuburkan secara diam-diam pada tengah malam, dan tidak boleh dihadiri oleh Abû Bakar maupun ‘Umar.

Itulah sebabnya, tatkala Fâthimah meninggal enam bulan kemudian, ia telah dikuburkan pada malam hari oleh ‘Alî, keluarga Banû Hâsyim serta sahabat-sahabat ‘Alî seperti Salmân al-Fârisî, Miqdâd, Abû Dzarr al-Ghifârî dan ‘Ammâr bin Yâsir. ‘Alî bin Abî Thâlib mengimami salat jenazah[4]

Fâthimah berpendapat bahwa Abû Bakar telah bertindak secara berlebihan dengan meninggalkan jenazah Rasûl karena kepergiannya ke Saqîfah Banî Sâ’idah; ia pun telah bertindak kelewat batas dengan memerintahkan penyerbuan rumah Fâthimah. Fâthimah telah menyatakan kemarahannya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan berbicara baik-baik lagi kepada ‘Umar dan Abû Bakar.

Malah Fâthimah berpendapat bahwa Abû Bakar telah merebut kekua­saan secara tidak sah.

Ia telah pergi bersama ‘Alî mendatangi rumah-rumah kaum Anshâr, dan mengajak mereka agar mau membaiat kepada ‘Alî. Kaum Anshâr yang didatangi Fâthimah menunjukkan penyesalan mereka dan menyayangkan tidak hadirnya ‘Alî di Saqîfah, dan mereka telah terlanjur membaiat Abû Bakar.

Fâthimah sendiri membenarkan keterlambatan ‘Alî bertindak, dengan mengata­kan bahwa ‘Alî tidak dapat meninggalkan jenazah Rasûl pada saat itu. Hanya empat atau lima orang yang belum membaiat Abû Bakar, sedang ‘Alî mengatakan bahwa ia hanya bertindak melawan Abû Bakar apabila ada empat puluh orang, sebagaimana dikatakannya pada Abû Sufyân[5].

Jauharî menulis:

“Tatkala Fâthimah melihat apa yang mereka lakukan terhadap ‘Alî dan Zubair ia lalu berdiri dan berkata di depan pintu rumahnya: “Ya Abû Bakar , alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasûl Allâh, demi Allâh aku tidak akan berbicara dengan ‘Umar sampai aku menemui Allâh”[6]

Dan dalam riwayat lain lagi:

“Fâthimah keluar sambil menangis, berteriak-teriak kemudian terisak-isak karena berusaha menahan tangis di depan orang-orang!”.[7]

Ya’qûbi menulis:

“Fâthimah keluar dan berkata: ‘Demi Allâh, kamu keluar dari sini! Kalau tidak aku akan membuka tutup kepalaku dan aku akan berter­iak mengadu kepada Allâh!’ Maka mereka pun keluarlah dan keluar pulalah orang-orang yang ada dalam rumah.”[8]

Mas’ûdî:

“Tatkala Abû Bakar dibaiat di Saqîfah dan diulangi lagi hari ke tiga, ‘Alî keluar menemui mereka dan berkata: ‘Anda menggagalkan wilayah kami, tidak bermusyawarat dengan kami dan tidak menghor­mati hak kami!’ Dan Abû Bakar menjawab: ‘Tetapi aku takut akan fitnah!’ “[9]

Ya’qûbi:

“Dan sekelompok orang berkumpul kepada ‘Alî bin Abî Thâlib dan mereka memintanya agar ia mau dibaiat dan ‘Alî berkata kepada mereka: ‘Kembalilah kamu besok pagi dengan kepala dicukur!’ Dan yang kembali hanyalah tiga orang.”[10]

Kemudian ‘Alî membawa Fâthimah menunggang keledai malam hari ke rumah-rumah kaum Anshâr. ‘Alî memohon bantuan mereka dan Fâthimah meminta kaum Anshâr agar membantu ‘Alî dan mereka berkata: ‘Ya puteri Rasûl Allâh, kami telah membaiat lelaki itu, bila anak pamanmu (‘Alî, pen.) lebih dulu mendatangi kami dari Abû Bakar, maka kami tidak akan ragu membaiatnya.[11]

Sepuluh hari setelah Abû Bakar dibaiat di Saqîfah, Fâthimah mendatangi Abû Bakar untuk menagih Fadak, sebidang kebun di luar kota Madînah, yang oleh Fâthimah dikatakan telah diberikan Rasûl kepadanya tatkala beliau masih hidup.[12]

Suyûthî dalam ad-Durru’l-Mantsûr, tatkala menafsirkan ayat Beri­kan kepada kerabat haknya, (Surat al-Isra’, 26), mengatakan bahwa tatkala ayat tersebut turun, Rasûl memanggil Fâthimah dan memberikan Fadak kepadanya.

Riwayat ini berasal dari Abû Sa’îd; Muttaqî al-Hindî, dalam Kan­zu’l-’Ummâl, jilid 2, hlm. 108 mengatakan hal yang sama. Demikian juga al-Hâkim dan Ibnu an-Najjâr, dan adz-Dzahabî dalam bukunya Mîzân al-I’tidâl, jilid 2, hlm. 207.

Tuntutan Fâthimah kepada Abû Bakar menyangkut tiga hal.

Pertama hibah atau pemberian Rasûl Allâh, berupa kebun Fadak.

Kedua Sahm dzil Qurbâ (bagian ‘zakat’ untuk keluarga Rasûl, berupa khumus) seperti disebut dalam Al-Qur’ân.

Ketiga adalah warisan dari Rasûl.

Dan Abû Bakar menolak ketiganya..

Abû Bakar meminta saksi bahwa Rasûl telah menghibahkan kebun Fadak itu kepada Fâthimah.

Fâthimah pun membawa Ummu ‘Aiman, yang oleh Rasûl disebut sebagai ibu beliau yang kedua sesudah ibu kandung beliau Âminah.[13] Fâthimah juga membawa ‘Alî bin Abî Thâlib sebagai saksi yang kedua. Namun Abû Bakar menolak kesak­sian ini dengan mengatakan bahwa kesaksian hanya dianggap sah apabila terdiri dari dua laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.[14]

Fâthimah menjadi sangat marah atas jawaban Abû Bakar ini. Apabila Khuzaimah bin Tsâbit disebut Rasûl sebagai dzusy-syahâdatain atau orang yang kesak­siannya dianggap sebagai kesaksian dua orang, maka kesaksian ‘Alî yang dipandang sebagai saudara Rasûl seharusnya sudah lebih dari cukup.[15]

Dalam kedudukan sebagai wanita utama kaum mu’minîn, dapatlah dipahami betapa terpukulnya perasaan Fâthimah.

Penolakan Abû Bakar untuk menyerahkan kebun Fadak, yang dianggap Fâthimah sebagai milik pribadinya, pemberian almarhum ayahnya selagi beliau masih hidup, menyebabkan Fâthimah mengirim utusan kepada Abû Bakar untuk meminta bagian warisan dari Fadak dan seperlima dari kebun Khaibar, yang menjadi milik Rasûl, ayah Fâthimah, sebelum wafat beliau. Para istri Rasûl pun, kecuali ‘Â’isyah, mewakilkan kepada ‘Utsmân bin ‘Affân untuk menuntut hak yang sama. Permintaan ini pun ditolak oleh Abû Bakar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasûl Allâh berkata bahwa “para Nabî tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah sedekah”.[16]

Maka terjadilah perdebatan yang hangat dan mengharukan. Al-Jauharî memuat perdebatan itu secara lengkap dalam Saqîfah. Marilah kita ikuti catatan Jauharî:

“Dan tatkala sampai kepada Fâthimah bahwa Abû Bakar menolak haknya atas Fadak, maka Fâthimah lalu memakai jilbabnya dan datanglah ia mengahadap Abû Bakar, disertai para pembantu dan kaum wanita Banû Hâsyim yang mengikutinya dari belakang. Fâthimah berjalan dengan jejak langkah seperti jejak langkah Rasûl. Ia lalu memasuki majelis yang dihadiri Abû Bakar dan penuh dengan kaum Muhâjirîn dan Anshâr. Fâthimah membentangkan tirai antara dia dan kaum wanita yang menemaninya di satu sisi, dan majelis yang terdiri dari kaum pria pada sisi lain. Ia masuk sambil menangis tersedu, dan seluruh hadirin turut menangis. Maka gem­parlah pertemuan itu.

Setelah suasana makin tenang, Fâthimah pun bicara: “Saya mulai dengan memuji Allâh Yang Patut Dipuji. Segala Puji bagi Allâh atas segala nikmat-Nya, dan terhadap apa yang diberikan-Nya...” dan setelah mengucapkan khotbahnya yang sungguh indah, ia lalu berkata:

(Fâthimah): “Apabila Anda mati, wahai Abû Bakar, siapakah yang akan menerima warisan Anda?”

Abû Bakar: “Anakku dan keluargaku.”

Fâthimah: “Mengapa maka Anda mengambil warisan Rasûl yang menjadi hak anak dan keluarga beliau?”

Abû Bakar: “Saya tidak berbuat begitu, wahai putri Rasûl.”

Fâthimah:

“Tetapi Anda mengambil Fadak, hak Rasûl Allâh yang telah beliau berikan kepada saya semasa beliau masih hidup...

Apakah Anda dengan sengaja meninggalkan Kitâb Allâh dan membela­kanginya, serta mengabaikan firman Allâh yang mengatakan, ‘Sulaimân menerima warisan dari Dâwud’[17], dan ketika Allâh mengisahkan tentang Zakaria[18]. serta firman Allâh, Dan keluarga sedarah lebih berhak waris mewarisi menurut Kitâb Allâh’?[19].

Dan Allâh berwasiat, ‘Bahwa anak laki-lakimu mendapat warisan seperti dua anak perempuan’[20].

Dan firman Allâh, ‘Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta, bahwa ia membuat wasiat bagi kedua orang tua dan keluarganya dengan cara yang baik, itu adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa’[21].

Apakah Allâh mengkhususkan ayat-ayat tersebut kepada Anda dan mengecualikan ayah saya daripadanya? Apakah Anda lebih mengetahui ayat-ayat yang khusus dan umum lebih dari ayah saya dan anak pamannya?[22]

Apakah Anda menganggap bahwa ayah saya berlainan agama dengan saya, dan oleh karena itu maka saya tidak berhak menerima wari­san?[23]

Diriwayatkan bahwa setelah perdebatan ini Abû Bakar lalu menulis surat yang berisi penyerahan Fadak kepada Fâthimah tetapi disobek oleh ‘Umar[24]

Ibnu Qutaibah menceritakan kepada kita pertemuan yang agaknya merupakan pertemuan yang terakhir antara Abû Bakar dan Fâthimah az-Zahrâ’. Marilah kita ikuti:

“‘Umar bin Khaththâb berkata kepada Abû Bakar: “Marilah kita pergi kepada Fâthimah; sesungguhnya kita telah menyakiti hatin­ya’. Maka keduanya pun pergilah kepada Fâthimah, dan lalu memohon kepada ‘Alî bin Abî Thâlib, lalu ‘Alî memperkenankan mereka masuk ke rumah.

“Tatkala keduanya duduk dekat Fâthimah, Fâthimah memalingkan wajahnya ke arah dinding rumah. Salam Abû Bakar dan ‘Umar tidak dijawabnya.

Fâthimah kemudian berkata: ‘Apakah Anda mau mendengar apabila saya katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasûl Allâh saw. yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?’

Keduanya menjawab: ‘Ya’.

Kemudian Fâthimah berkata: ‘Apakah Anda tidak mendengar Rasûl Allâh saw. bersabda, ‘Keridaan Fâthimah adalah keridaan saya, dan kemurkaan Fâthimah adalah kemurkaan saya. Barangsiapa mencintai Fâthimah, puteriku, berarti mencintai saya; dan barangsiapa membuat Fâthimah murka, berarti ia membuat saya murka’?

Mereka berdua menjawab: ‘Ya, kami telah mendengarnya dari Rasûl Allâh saw.’.

Fâthimah berkata: ‘Aku bersaksi kepada Allâh dan malaikat-malaikat-Nya, sesungguhnya kamu berdua telah membuat aku marah dan kamu berdua tidak membuat aku rida. Sean­dainya aku bertemu dengan Nabî saw., aku akan mengadu kepada beliau tentang kamu berdua.

Abû Bakar berkata: ‘Sesungguhnya saya berlindung kepada Allâh dari kemurkaan-Nya dan dari kemurkaan Anda, wahai Fâthimah’.

Kemudian Abû Bakar menangis, hampir-hampir jiwanya menjadi gon­cang.

Fâthimah lalu berkata: ‘Demi Allâh, selalu saya akan mendoakan kejelekan terhadap Anda dalam setiap salat saya’.

Kemudian Abû Bakar keluar sambil menangis...[25]

Tidak ada orang yang dapat menyangkal bahwa perkebunan Fadak tersebut memang milik Rasûl yang diserahkan oleh Banû Nadhîr.[26] ‘Umar bin Khaththâb sendiri mengakuinya,[27] dan tidak dapat disangkal pula bahwa Rasûl telah memberikannya kepada putri beliau Fâthimah tatkala beliau masih hidup.

Suatu hal yang sering dipertanyakan orang adalah keanehan sikap Abû Bakar, yang memenuhi tuntutan orang lain tanpa meminta saksi. Diriwayatkan, Jâbir bin ‘Abdillâh al-Anshârî mengatakan bahwa Rasûl Allâh telah menjanjikan, apabila tiba rampasan perang dari Bahrain, Rasûl akan mengizinkan dia mengambil sesuatu dari harta rampasan itu, tetapi harta rampasan itu baru tiba setelah Rasûl wafat. Tatkala Abû Bakar menjadi khalîfah, tibalah barang tersebut. Khalifah Abû Bakar membuat pengumuman bahwa barangsiapa hendak menuntut janji Rasûl Allâh, supaya datang kepadanya. Maka Jâbir pun datang kepadanya dan mengatakan bahwa Rasûl telah berjanji akan memberikan semua barang yang katanya telah dijanjikan itu.[28]

Dari pengalaman Jâbir ini, para ulama seperti Syihabuddîn Ahmad bin ‘Alî al-Atsqalani asy-Syâfi’î, dan Badruddîn Mahmûd bin Ahmad al-’Aini al-Hanafî, menulis: “Dari peristiwa ini dapat diambil kesimpulan bahwa kesaksian seorang Sahabat saja sudah cukup dianggap sebagai kesaksian yang sempurna, sekalipun kesaksian ini untuk kepentin­gan pribadi sendiri, karena Abû Bakar tidak meminta Jâbir untuk mengajukan saksi sebagai bukti atas tuntutannya.”[29]

Dan setelah Abû Bakar menolak kesaksian Fâthimah dan ‘Alî, Fâthimah mendatangi Abû Bakar sambil berkata: “Kalau Anda tidak setuju bahwa Rasûl telah memberikan Fadak kepada saya, sekurang-kurangnya Anda tidak dapat menyangkal bahwa Fadak dan sebagian dari Khaibar adalah milik pribadi Nabî, dan saya adalah pewaris beliau.” Abû Bakar lalu menjawab, “Para Nabî tidak mewariskan, dan apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah.” Adalah suatu hal yang menarik bahwa Abû Bakar meru­pakan satu-satunya orang yang membawa sabda Nabî tersebut. Dan ini pun bertentangan dengan ayat al-Qur’ân. Ada riwayat lain yang disampaikan Abû Bakar Jauharî yang terjadi di zaman ‘Umar bin Khaththâb: “ Telah disampaikan kepada kami oleh Abû Zaid yang berkata: telah disam­paikan kepada kami oleh Abî Syaibah yang berkata: telah disampai­kan kepada kami oleh Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyûb dari ‘Ikramah dari Mâlik bin Aus, dua buah riwayat: ‘Abbâs dan ‘Alî datang kepada ‘Umar dan ‘Abbâs berkata: ‘Berikanlah keputusan hukum antara aku dan yang ini (‘Alî, pen.), tentang (harta peninggalan Rasûl) ini dan itu!’, yaitu harta yang mereka pertengkarkan. Maka orang-orang berkata: ‘Bagilah antara mereka berdua!’ ‘Umar menjawab: ‘Aku tidak akan membagi untuk mereka berdua! Kita telah mengeta­hui bahwa Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah!’.

Tetapi Ibn Abîl-Hadîd menulis dengan tepat tentang hadis ini: ‘Ini musykil, karena yang mereka perebutkan sebenarnya bukanlah warisan harta tetapi wilayah atau pemerintahan yang ditinggalkan Rasûl Allâh saw. dan bukan harta warisan! Dan bagaimana mungkin mereka menuntut harta warisan itu andaikata mereka telah menden­gar hadis tersebut dari Rasûl dan mereka juga mengetahui sejak dulu bahwa Abû Bakar telah menolak tuntutan Fâthimah dengan menyampaikan hadis bahwa Rasûl telah bersabda: ‘Kami para Nabî tidaklah mewariskan!’

Ada lagi riwayat lain dari Abû Bakar Jauharî: ‘Telah disampaikan kepada kami oleh Abû Yazîd yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Yahyâ bin Katsîr Abû Khassan yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Su’bah bin ‘Umar bin Murrah dari Abî Bakhtari yang berkata: ‘Alî dan ‘Abbâs datang kepada ‘Umar tatkala keduanya sedang bertengkar (mengenai wari­san Rasûl), dan ‘Umar berkata kepada Thalhah (bin ‘Ubaidillâh, pen.), Zubair (bin ‘Awwâm, pen.), ‘Abdurrahmân (bin ‘Auf, pen.) dan Sa’d (bin Abî Waqqâsh, pen.): ‘Aku ajukan pertanyaan kepadamu dengan nama Allâh, tidakkah kamu mendengar bahwa Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Setiap harta Nabî adalah sedekah kecuali yang untuk memberi makan keluarganya. Dan bahwa kami tidak mewariskan !’ Dan mereka menjawab: ‘Betul!’ Dan ‘Umar berkata: ‘Dan Rasûl Allâh menyedekahkannya. Kemudian setelah Rasûl Allâh wafat dan Abû Bakar memerintah selama dua tahun dan dia telah memper­lakukannya sama seperti yang dilakukan Rasûl Allâh saw.!’ Dan mereka berdua (Abbas dan ‘Alî, pen) berkata: ‘Kami berdua telah salah dan telah berlaku zalim dalam hal ini!’

Dan Ibn Abîl-Hadîd berkata tentang riwayat ini: ‘Ini juga musy­kil, karena kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa hadis ‘Kami tidak mewariskan) ini hanya disampaikan oleh Abû Bakar seorang diri sedang ahli-ahli asal usul fiqih menolak berhujah dengan hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang Sahabat!. Dan tokoh kita Abû ‘Alî mengatakan: ‘Janganlah diterima suatu riwayat kecuali disampaikan oleh dua orang, seperti keadaannya pada saksi!’

Riwayat serupa disampaikan juga oleh Bukhârî dan Muslim. Malah Abû Hurairah juga ikut meriwayatkan hadis ‘Kami para Nabî tidak mewariskan!’ yang tentu saja tidak dapat diterima oleh kebanyakan ahli seperti Ibn Abîl-Hadîd, karena Abû Hurairah meriwayatkan apa saja yang ia dengar dari para sahabat, tâbi’în malah dari orang-orang seperti Ka’b Ahbar dan Hurairah memberi kesan seakan-akan ia mendengar lansung dari Rasûl Allâh. Lihat kata pengantar buku ini.

Bagaimana mungkin suatu peristiwa sejarah yang panjang dan jelas akan dibuang begitu saja dengan penyisipan sebuah riwayat yang musykil seperti itu untuk membela kesaksian satu orang seperti Abû Bakar yang jelas bertentangan dengan Al-Qur’ân. Al-Qur’ân jelas menyebutkan bahwa para Nabî juga memiliki harta pribadi dan juga mewariskan. Dan hadis Abû Bakar ini sukar dipahami, sebab sejarah mencatat bahwa melalui Fâthimah sebagai penerima warisan ‘Alî mendapatkan pedang, bagal, sandal dan serban Rasûl Allâh. Juga para isteri Rasûl seperti ‘Â’isyah mewarisi rumah-rumah dengan segala isinya. Sedang Abû Bakar mengatakan bahwa Rasûl Allâh bersabda: ‘Kami tidak mewariskan!’ dan bukan :’Kami tidak mewariskan ini atau itu!’ Demikian juga keluarga Rasûl yang tetap menyampaikan tuntutannya sampai masa sesudah ‘Umar meninggal seperti tercatat dalam sejarah.

Dan andaikata ‘Alî mendengar ucapan “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah!” dari Rasûl Allâh saw. maka tidak mungkin ia membiarkan isterinya pergi ke masjid dan menuntut Abû Bakar di depan jemaah masjid. Memang sukarlah dipahami bahwa Rasûl Allâh saw. menyampaikan hadis tersebut kepada orang lain dan tidak memberitahukan kepada anak isterinya yang justru berkepentingan dengan warisan tersebut.(Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid, 12, hlm. 220-229)..

Fâthimah memang memerlukan Fadak untuk keperluan keluarga. Sua­minya, ‘Alî bin Abî Thâlib terkenal sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa. Dari keluarga Banû Hâsyim, hanya ‘Abbâs, paman Rasûl yang pedagang itu yang berharta. Mertua Fâthimah, Abû Thâlib, begitu miskinnya, sehingga diberikannya anaknya Thâlib untuk dipelihara oleh ‘Abbâs; Ja’far diserahkannya kepada Hamzah, sedang ‘Alî diserahkannya kepada Muhammad saw.. Hanya ‘Aqil yang tetap dipelihara oleh Abû Thâlib.

Tatkala ‘Utsmân menjadi khalîfah, ia memberikan kebun Fadak kepada Marwân bin Hakam, sepupunya. Ibn Abîl-Hadîd mengatakan bahwa Marwân menjual hasil Fadak,paling sedikit,sepuluh ribu dinar setahun.

Pada zaman Mu’awiah, anggota dinasti Banû ‘Umayyah yang pertama ini membagi-bagikan penghasilan kebun itu: sepertiga untuk Marwân, sepertiga untuk ‘Amr bin ‘Utsmân bin ‘Affân, dan sepertiga untuk anaknya Yazîd. Ya’qûbi menulis, “Untuk menyakitkan keluarga Nabî.”

Pada waktu Marwân menjadi khalîfah, ia memberikan Fadak kepada kedua orang putranya, ‘Abdul Mâlik dan ‘Abdul Azîz. ‘Abdul ‘Azîz kemudian memberikan bagiannya kepada anaknya, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.

Tatkala ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz menjadi khalîfah menjelang akhir abad pertama hijriah, kebun itu dikembalikannya kepada keturunan Rasûl. Khalîfah yang saleh itu berkata: “Saksikanlah, saya men­gembalikannya kepada pemilik yang aslinya.”

Tatkala Yazîd bin ‘Abdul Mâlik berkuasa, ia mengambil lagi Fadak dari ahlu’l-bait Nabî. Khalîfah pertama Banû ‘Abbâs, ‘Abdul ‘Abbâs ‘Abdullâh ash-Shaffah mengembalikan lagi Fadak kepada anak cucuk Fâthimah. Khalîfah Abû Ja’far ‘Abdullâh al-Manshûr mengambilnya kembali dari anak cucu Fâthimah. Muhammad al-Mahdî Ibnu al-Manshûr, tatkala menjadi khalîfah, menyerahkan lagi Fadak kepada keturunan Fâthimah. Mûsâ al-Hadi, al-Mahdî, dan saudaranya Hârûn al-Rasyîd mengambilnya kembali. Ja’far al-Mutawakkil mere­but Fadak dengan kekerasan. Anaknya, Muntasir, yang mengganti­kannya sebagai khalîfah, menyerahkan lagi kebun Fadak itu kepada ahlu’l-bait Rasûl, keturunan Fâthimah, kemudian direbut kembali.

Pada akhir hayatnya, Abû Bakar menyatakan penyesalannya atas pengepungan rumah Fâthimah, dan tidak diserahkannya Fadak kepada putri Rasûl itu.[30] Tetapi, peristiwa Fadak hanyalah suatu akibat dari perebutan kekuasaan setelah wafatnya Rasûl Allâh saw., barangkali, suatu arena pertempuran antara agama dan kekuasaan.

Ibn Abîl-Hadîd bercerita:

“Suatu ketika aku bertanya kepada Syaikh ‘Alî bin al-Fâriqî, guru besar ‘al-Madrasah al Maghribiyah’ di Baghdâd:

‘Apakah Fâthimah jujur dan berkata benar?’

Ia menjawab: ‘Ya’.

Aku melanjutkan:

‘Kalau begitu mengapa Abû Bakar tidak memberikan Fadak kepadanya sedang ia berkata benar?’.

Ia tersenyum dan berkata dengan lembut, tanpa prasangka, meyakinkan, penuh hormat dan bersungguh-sungguh:

‘Bila Abû Bakar menyerahkan Fadak kepadanya hari ini, untuk memenuhi tuntutannya, maka ia akan kembali besok dan menuntut kekhalifahan bagi suamin­ya, ‘Alî bin Abî Thâlib, yang akan meng­goyahkan kedudukan Abû Bakar sebagai khalîfah.[31] Dengan sendirinya Abû Bakar tidak dapat menolak dan harus konsis­ten pada pendirian bahwa Fâthimah jujur dan berkata benar. Dan dengan demikian ia juga tidak akan minta Fâthimah membawa bukti maupun saksi-saksi’. Kata-kata ini benar, biarpun disampaikan dengan senda gurau”.[32]



[1] Lihat Shahîh Buk­hârî, jilid 6, hlm. 64; Shahîh Muslim, jilid 3, bab Fadhâ’il Fâthimah; Shahîh Tirmidzî; Nabî bersabda kepada Fâthimah: “Wahai, Fâthimah, apakah engkau tidak senang menjadi pemimpin wanita-wanita Mu’min, Sayyidâtunnisâ’ al-mu’minîn, atau ‘Sayyidâtun-nisâ’ dari umat ini?’

[2] Al-Qur’ân, Surah 66 ayat 11

[3] Shahîh Bukhârî, kitab Bad’ul Khalq, bab Manâqib Qarâbah Rasûl; Muttaqî; Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 220; Nabî berkata: “Fâthimah adalah bagian dari saya; barangsiapa membuat ia marah, berarti juga menyakiti saya.” Lihat juga, Manawi, Faidh al-Qadîr, jilid 4, hlm. 421; Nasâ’î, Khashâ’ish al-’Alawiyah, hlm. 35, dengan lafal, “Mengganggu Fâthimah berar­ti mengganggu aku.”Shahîh Bukhârî, kitab Nikâh, bab Dzabb ar-Rajulî, Nabî bersabda: “Sesungguhnya Fâthimah sebagian dari aku; barangsiapa ragu terha­dapnya, berarti ia ragu terhadap aku, dan membohonginya adalah membohongi aku. Shahîh Muslim, kitab Fadhâ’il ash-Shahâbah, dan Tirmidzî dalam Shahîh-nya, jilid 2, Shahîh Abû Dâwud, jilid 12, Imâm Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, jilid 4; Abû Nu’aim al-Ishfahânî dalam bukunya Hilyat al-Auliyâ; jilid 2 menggunakan istilah, “Siapa yang mengekang Fâthimah, dia mengekangku”. Demikian juga al-Hâkim dalam Mustadrak Shahîhain, jilid 7; Mutta­qî al-Hindî, dalam Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6; dll.

[4] Shahîh Bukhârî dalam kitab Bad’ul Khalq Perang Khaibar, mengatakan bahwa Fâthimah tidak berbicara dengan Abû Bakar sampai wafatnya. Juga dalam kitabnya, Farâidh bab “Nabî Bersabda: Kami Tidak Mewariskan”. Juga Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, jilid 1, hlm. 9; Baihaqî dalam Sunan-nya, jilid 2, hlm. 300; Shahîh Muslim, kitab “al-Jihâd wal-Sair” dalam bab “Nabî bersabda: Kami para Nabî tidak Mewariskan”; Juga al-Hâkim dalam Mustadrak, jilid 3, tatkala menceritakan wafatnya Fâthimah; Thahawi dalam Musykil al-Âtsâr, jilid 1, hlm. 48; Ibnu Sa’d dalam Thabaqât jilid 2, bab 2, hlm. 84; Muttaqî al-Hindî dalam Kanzu’l-’Ummâl jilid 3, hlm. 129. Dua kitab yang disebut terakhir tidak menceritakan penguburan pada malam hari. Bahwa Fâthimah bersumpah tidak akan berbicara selama-lamanya dengan Abû Bakar dan ‘Umar, lihat juga Shahîh Tirmidzî, jilid 1, bab mengenai “Peninggalan Rasûl”..

[5] Bacalah catatan-catatan yang menunjukkan kemarahan Fâthimah, puteri Rasûl, kepada Abû Bakar dan ‘Umar yang tidak pernah dimaafkannya sampai wafatnya.

[6] Ibn Abîl-Hadîd, ibid, jilid 6, hlm. 286.

[7] Ibn Abîl-Hadîd, ibid, jilid 1, hlm. 134

[8] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105

[9] Lihat juga Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 414; Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 12-14 dengan sedikit perbedaan

[10] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105, Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 2, hlm. 4.

[11] Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 6, hlm. 28; Ibnu Qutaibah, Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 12

[12] Bahwa Rasûl Allâh memiliki sumber khusus untuk kehidupan keluarganya, berdasarkan firman Allâh: ‘Dan apa yang diberikan Allâh kepada Rasûl-Nya sebagai harta rampasan (yang diambil-Nya) dari mereka. Kamu tiada menggerakkan kuda maupun unta untuk mendapatkannya. Tapi Allâh memberi kekua­saan kepada Rasûl-rasûl-Nya, atau siapa yang Ia berkenan. Dan Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu. Apa yang diberikan Allâh kepada Rasûl-Nya sebagai harta rampasan (yang diambil-Nya) dari penduduk kota adalah untuk Allâh, untuk Rasûl-Nya, kaum keluarga (Rasûl Allâh) dan anak yatim, orang miskin dan orang (terlantar) dalam perjalanan, supaya jangan hanya beredar antara orang kaya di antara kamu. Apa yang diberikan Rasûl kepadamu, ambillah. Dan apa yang Ia larang bagimu tinggalkanlah. Takwalah kepada Allâh. Sungguh Allâh amat dahsyat azab-Nya’ (Al-Qur’ân, Surat al-Hasyr (LIX), ayat 6 dan 7). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa harta rampasan yang diserahkan musuh kepada Rasûl tanpa peperangan seperti yang diperoleh dari Banû Nadhîr dan lain-lain adalah milik Rasûl. Keluarga Rasûl yang memang tidak meneri­ma zakat dari kaum Muslimîn dan hidup dari pemilikan ini. Salah satunya adalah perkebunan yang diberikan Allâh SWT kepada Rasûl adalah Fadak

[13] Ummu Aiman adalah bekas budak dan perawat Rasûl Allâh pada masa kecil. Ia adalah ibu ‘Usâmah bin Zaid bin Hâritsah. Rasûl sering menga­takan, “Ummu Aiman adalah ibuku sesudah ibuku.” (Mustadrak, jilid 4, hlm. 63; Thabarî, Târîkh, edisi Leiden, jilid 3, hlm. 3460, Ibnu ‘Abdil Barr, Istî’âb, jilid 4, hlm. 1793, Ibnu Atsîr, Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 567

[14] Balâdzurî dalam Futûh al-Buldân, bab Fadak, jilid 1, hlm. 30; Ya’qûbi dalam Târîkh-nya, jilid 3, hlm. 195, Mas’ûdî dalam Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hlm. 237; Abû Hilal al-Askarî dalam Al-Awâ’il, hlm. 209; Samhûdî dalam Wafâ’ al-Wafâ’, jilid 3, hlm. 999-1001; Mu’jam al-Buldân oleh Yaqut al-Hamawi jilid 4 hlm. 239; Ibn Abîl-Hadîd dalam Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 16,hlm. 216;Ibnu Hâzm dalam al-Muhalla jilid 6 hlm. 507; As-Sîrah al-Halabiyah jilid 3 hlm. 361; Fakhruddîn al-Râzî dalam Tafsîr-nya jilid 29, hlm. 204. Diceritakan juga bahwa Rabah, pelayan keluarga Rasûl, datang memberikan kesaksian, tetapi ditolak

[15] Shahîh Bukhârî, Shahîh Muslim, Tirmidzî, Ibnu Mâjah, Musnad Ahmad, Mustadrak ash-Shahîhain, Thabaqât Ibnu Sa’d, Târîkh Baghdâdi, Târîkh Thabarî, Usdu’l-Ghâbah oleh Ibnu Atsîr dan Kanzu’l-’Ummâl oleh Muttaqî al-Hindî; semua memuat perkataan Rasûl: “Kedudukanmu di sisiku seperti Hârûn terhadap Mûsâ hanya saja, sesudahku tiada lagi Nabî.” Demikian pula Shahîh Tirmidzî, jilid 2, hlm. 297; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hlm. 437, dan jilid 5 hlm. 357; Sunan Abû Dâwud, jilid 3, hlm. 111, dan lain-lain. Nabî bersabda: “Sesung­guhnya ‘Alî dari diriku dan aku dari dirinya; dan dia adalah penguasa semua kaum mu’minîn”

[16] Shahîh Bukhârî, jilid 3, tentang perang Khaibar; Shahîh Muslim, jilid 2, hlm. 72, dalam bab Nabî bersab­da: “Kami tidak mewariskan, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”; Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 6

[17] Al-Qur’ân, s. an-Naml (XXVII), 16.

[18] Al-Qur’ân, Mariam (XIX), bagian awal. Pada ayat 4-6 disebutkan kata-kata Zakaria: ....Ya, Tuhan, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mewaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewar­isi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qûb; dan jadikanlah ia, ya Tuhan, seorang yang diridai!(Q. 19:4).

[19] Al-Qur’ân, s. Ahâzb (îIII), 6. Maksud Fâthimah, ayat ini bersifat umum; yang sedarah dengan Rasûl lebih berhak atas warisan beliau.

[20] Al-Qur’ân, s. an-Nisâ’ (IV), 11. Menurut Fâthimah, ayat ini juga bersi­fat umum; termasuk warisan dari Rasûl.

[21] Al-Qur’ân, al-Baqarah (II), 80. Menurut Fâthimah, Rasûl sudah pasti mewariskan Fadak kepadanya

[22] “Anak paman saya” ialah ‘Alî bin Abî Thâlib, suami Fâthimah.

[23] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 16, hlm. 249.

[24] Fâthimah binti Rasûl Allâh saw. pergi kepada Abû Bakar dan ia (Abû Bakar, pen.) berada di atas mimbar dan Fâthimah berkata: ‘Hai Abû Bakar, apakah ada dalam Kitâb Allâh bahwa Anda mewariskan kepada puteri Anda dan ayah saya tidak mewariskan?’ Abû Bakar menangis. Setelah turun ia menulis surat menyerahkan Fadak kepada Fâthimah. Tiba-tiba ‘Umar masuk dan bertanya: ‘Apa itu?’ Abû Bakar menjawab: ‘Surat yang kutulis untuk Fâthimah untuk warisannya dari ayahnya’. ‘Umar menjawab: ‘Dengan apa Anda membiayai kaum Muslimîn yang berperang untukmu melawan orang-orang Arab seperti yang engkau saksikan (maksudnya perang-perang terhadap orang murtad, pen.)?’. Kemudian ‘Umar mengambil surat itu dan merobeknya.”(Sîrah al-Halabiyah, jilid 3, hlm. 391 dll).

[25] Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s Siyâsah, dalam bab mengenai Bagaimana baiat ‘Alî bin Abî Thâlib; Ibnu Qutaibah, Khulafâ’ ar-Râsyidîn, hlm. 13-14

[26] Thabarî, Târîkh ar-Rusul wa’l Mulûk, edisi M.Y. Goeje et al’ Leiden 1870-1901, jilid 1, hlm. 1582-1583, 1589; Ibnu Atsîr dalam al-Kâmil, jilid 2, hlm. 224-225; Ibnu Hisyâm dalam Sîrah Nabawiyyah, jilid 3, hlm. 368; Ibnu Khaldûn, dalam Târîkh-nya, jilid 2, bab 2, hlm. 40; Târîkh al-Khamîs oleh Diyâr Bakrî, jilid 2, hlm. 58; Sîrah al-Halabiyah, jilid 3, hlm. 50

[27] Shahîh Bukhârî, jilid 4, hlm. 46; jilid 7, hlm. 82; jilid 9, hlm. 121-122; Shahîh Muslim, jilid 5, hlm. 151; Sunan Abû Dâwud, jilid 3, jilid 1, hlm. 24, 48, 60, 208; Sunan Baihaqî, jilid 6, hlm. 296-299

[28] Shahîh Bukhârî, jilid 3, hlm. 119, 209, 239; jilid 4, hlm. 75-76; Tirmidzî dalam Jâmi’ ash-Shahîh, jilid 5, hlm. 129; Musnad Imâm Ahmad, jilid 3, hlm. 307-308; Thabaqât Ibnu Sa’d, jilid 2, bab 2, hlm. 88-89

[29] Fat’hul Bârî fî Syarh Bukhârî, jilid 5, hlm. 380; ‘Umdatu’l-Qârî’ fî Syarh Shahîh Bukhârî, jilid 12, hlm. 121

[30] Lihat Bab 19: ‘Riwayat Tiga dan Tiga’

[31] Barangkali yang dimaksudkan guru Ibn Abîl-Hadîd di atas adalah adanya hadis-hadis seperti Hadis Da’wah Pada Keluarga Dekat, Hadis Kedudukan dan Hadis Al-Ghadîr, lihat Bab 18: ‘Nas Bagi ‘Alî’ sub bab Hadis al-Ghadîr. Dengan hadis seperti ini Fâthimah akan kembali ‘menuntut kekhalifahan bagi suaminya’. Di Ghadîr Khumm, misalnya, 82 hari [Lihat ‘Hadis al-Ghadîr’ dalam bab ‘Nas Bagi ‘Alî. Peristiwa Al-Ghadîr terjadi tanggal 18 Dzu’l Hijjah tahun 10 H., Rasûl wafat tanggal 12 Rabî’u’l Awwal tahun 11. H.] sebelum Rasûl saw. wafat, jadi baru sekitar 2 ½ bulan yang lalu, di hadapan lebih dari 100.000 sahabat, Rasûl saw. mengatakan: ‘Ba­rangsiapa menganggap aku sebagai maulânya, maka ‘Alî adalah maulânya juga. Ya, Allâh, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya’ dan Abû Bakar serta ‘Umar ikut memberi selamat kepada ‘Alî dengan mengatakan bahwa mulai hari itu ‘Alî adalah maulâ mereka dan kaum Muslimîn serta Muslimat’

[32] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 16, hlm. 284

No comments:

Post a Comment