Sunday, August 2, 2009

13 Kapan ‘Alî Baiat Abû Bakar?

13

Kapan ‘Alî Baiat Abû Bakar?

A

lî membaiat Abû Bakar enam bulan kemudian, sesudah Fâthimah meninggal dunia. Mu’Ammâr meriwayatkan dari az-Zuhrî dari ‘Â’isyah, tatkala ‘Â’isyah berbicara tentang kejadian antara Fâthimah dan Abû Bakar mengenai warisan Nabî saw. :

‘Fâthimah meninggalkan Abû Bakar dan tidak berbicara dengannya sampai ia meninggal enam bulan setelah Rasûl saw. wafat, dan tatkala ia meninggal suaminyalah yang menguburkannya. Fâthimah tidak mengizinkan Abû Bakar menyembahyangkan jena­zahnya. Orang memandang ‘Alî karena Fâthimah, tetapi setelah Fâthimah meninggal orang berpaling dari ‘Alî. Fâthimah hidup enam bulan lagi setelah Rasûl saw. wafat’[1] Mu’ammâr berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada az-Zuhrî: ‘Dan ‘Alî tidak membaiat Abû Bakar dalam enam bulan itu? Zuhrî menjawab: ‘Tidak, dan tidak seorang pun dari Banû Hâsyim membaiat Abû Bakar sampai ‘Alî membaiatnya’. Tatkala ‘Alî melihat orang-orang berpaling dari dirinya, ia lalu bergabung dengan Abû Bakar.[2]

Ibnu ‘Abdil Barr dalam Usdu’l-Ghâbah menulis:

‘Kaum oposan menyetujui menerima Abû Bakar enam bulan setelah baiat umum kepadanya’[3]

Ya’qûbi: ‘Alî membaiat Abû Bakar 6 bulan setelah baiat umum.’[4] Dalam Istî’âb dan Tanbîh wa’l-Asyrâf: “ ‘Alî tidak membaiat Abû Bakar sampai Fâthimah meninggal dunia.”[5]

Dalam Tafsîr al-Wushûl Az-Zuhrî berkata:’Demi Allâh, tidak ada seorang pun dari Banû Hâsyim membaiat Abû Bakar sampai 6 bulan.’[6]

Balâdzurî dalam Ansâb al-Asyrâf berkata: ‘Tatkala orang-orang Arab menolak Islam dan menjadi murtad, ‘Utsmân mendatangi ‘Alî dan membujuknya membaiat Abû Bakar untuk membesarkan hati kaum Muslimîn memerangi kaum ‘murtad’ di zaman Abû Bakar. ‘Alî membaiat Abû Bakar dan keresa­han umat Islam terselesaikan. Kaum Muslimîn lalu mempersiapkan diri memerangi apa yang dinamakan kaum ‘murtad ‘[7]

Marilah kita ikuti dialog antara ‘Alî dan Abû Bakar tatkala ‘Alî akan membaiat Abû Bakar menurut Ibnu Qutaibah:

Ibnu Qutaibah menulis: “Dan ‘Alî tidak membaiat Abû Bakar sampai Fâthimah meninggal, yaitu tujuh puluh lima hari setelah Rasûl wafat. Dan ‘Alî mengirim utusan kepada Abû Bakar agar Abû Bakar datang ke rumah ‘Alî. Maka Abû Bakar pun datang dan masuk ke rumah ‘Alî dan dirumah itu telah berkumpul Banû Hâsyim. Kemudian setelah memuji Allâh dan Rasûl Allâh sebagaimana lazimnya, ‘Alî berkata: “Amma ba’du, wahai Abû Bakar, kami tidak membaiat Anda karena mengingkari keutamaan Anda melainkan kami benar-benar yakin bahwa kekhalifahan itu adalah hak kami dan Anda telah merampasnya dari kami. Kemudian ia menyampaikan kedekatannya dengan Rasûl Allâh. Ia terus menyebut kedekatannya dengan Rasûl sampai Abû Bakar menangis. Abû Bakar lalu berkata: ‘Kerabat Rasûl Allâh lebih aku cintai dari kerabatku sendiri. Aku akan menuruti apa yang dilakukan Rasûl insya Allâh. ‘Alî lalu berkata: Aku berjanji akan membaiatmu besok di masjid, insya Allâh.”’[8] . Besoknya ‘Alî datang ke masjid dan membaiat Abû Bakar. Sayang sekali Ibnu Qutai­bah tidak menyebut pidato ‘Alî itu secara lengkap, karena ‘Alî tentu menyampaikan hadis-hadis Rasûl mengenai keutamaannya.

Baiat ‘Alî Berdasarkan Ketaatan, Bukan Pengakuan.

Dari petikan tulisan Ibnu Qutaibah tersebut jelas bahwa pembaia­tan ‘Alî bukanlah pengakuan akan keabsahan khilâfah Abû Bakar. Dan ‘Alî mengatakannya secara terus terang.

‘Alî membaiat Abû Bakar, seperti nanti akan di bicarakan pada bab Sikap ‘Alî Terhadap Peristiwa Saqîfah dan bab Nas bagi ‘Alî jelas seperti dilaporkan Balâdzurî adalah untuk membesarkan hati kaum Muslimîn dan menyelesaikan keresahan kaum Muslimîn yang sedang menghadapi musibah murtadnya sebagaian kabilah Arab.

Sejak awal ‘Alî tidak punya ambisi akan kekuasaan, tetapi ‘Alî tetap berkeyakinan bahwa Imâmah adalah haknya.

Ia selalu menghindarkan diri dari perlawanan fisik. Pada saat rumahnya hendak dibakar bersama anak istrinya dan teman-temannya ia tidak melawan. Ini mungkin untuk sebagian ia lalukan demi keselamatan keluarganya sebagaimana pernah diucapkannya. Ketaku­tannya akan keselamatan anak-anaknya menjadi kenyataan bertahun tahun kemudian tatkala Mu’âwiyah meracuni Hasan dan Yazîd bin Mu’âwiyah membantai Husain dan keluarganya di Karbala yang kese­muanya menyatakan bahwa mereka hanyalah meniru apa yang dilakukan oleh ‘Umar. Ia barangkali juga sadar bahwa sekarang ia menghadapi ‘politik kekuasaan’.

Tiga hari sesudah itu Abû Sufyân menawarkan bantuan untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan tapi ditolaknya.

Dengan kata lain, membaiat atau tidak, bagi ‘Alî adalah sama saja. Ia tidak punya pikiran untuk ‘memberontak’ terhadap Abû Bakar.

Untuk menenteramkan Abû Sufyân, pemimpin Banû ‘Umayyah, ‘Umar mengangkat Mu’awiah sebagai gubernur di Syam. Di Syam Mu’awiah bergabung dengan keturunan ‘Abdu Syams lainnya yang sejak seratus tahun yang lalu menyingkir dari Makkah dalam perselisihannya dengan Banû Hâsyim, ‘yang kelak menjadi kasak kusuk terbesar dalam sejarah Islam; perebutan kekuasaan atas ‘Alî’.[9]

Tetapi ‘Umar tetap tidak hendak mengangkat keluarga Banû Hâsyim sebagai gubernur.

Tatkala ‘Umar sedang mencari seorang yang pantas jadi gubernur di Himsh, ia telah berkata pada Ibnu ‘Abbâs bahwa bila ia menunjuk Ibnu ‘Abbâs sebagai gubernur ia khawatir Ibnu ‘Abbâs akan menghimpun kekuatan untuk Banû Hâsyim dengan mengajak orang berkumpul pada mereka. ‘Rasûl sendiri tidak pernah mengangkat keluarga Banû Hâsyim sebagai pejabat’.[10] Demikian ‘Umar berkata.

‘’Alî tetap berkeyakinan bahwa jabatan kekhalifahan adalah hakn­ya. Hal ini dapat dilihat setelah ia dibaiat 25 tahun kemudian dalam sebuah pidatonya yang terkenal dengan asy-Syiqsyiqiyyah,:

“Demi Allâh, putra Abû Quhâfah (Abû Bakar) telah mengenakan busana (kekhalifahan) itu, padahal ia mengetahui dengan yakinnya bahwa kedudukan saya sehubungan (kekhalifahan) itu sama seperti hubungan sumbu dengan roda ..Saya menyaksikan perampasan akan warisan saya. Tatkala yang pertama (Abû Bakar) meninggal ia menyodorkan kekhalifahan itu kepada Ibnu Khaththâb sendiri.”.

Ia juga mengingatkan para sahabat, yang ia kumpulkan di pekarangan mesjid, akan pidato Rasûlullâh di Ghadîr Khumm yang berbunyi: ‘Barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ‘Alî juga adalah pemimpinnya. Ya Allâh cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya’. Abû Bakar dan ‘Umar pada waktu itu datang memberi selamat kepadanya’.[11]

‘Umar Mengakui ‘Alî Sebagai Imâm atau Faqih.

Meskipun mencegah ‘Alî jadi khalîfah, ‘Umar mengakui ‘Alî sebagai imam atau faqih dan paling pantas untuk kedudukan khilafat. ‘Umar mencegahnya jadi khalîfah dengan alasan ‘Alî masih mudah, ‘Alî cinta pada keluarga Abû Thâlib, suka bergurau dan lain-lain.

‘Alî sendiri yakin bahwa ia adalah imam dan faqîh, paling sedikit di kalangan keluarga dan Syî’ahnya.

Pada kenyataannya ‘Umar sendiri sering bertanya kepada ‘Alî dalam masalah-masalah keagamaan yang sulit sebagaimana sering dikata­kannya. Pengakuan ‘Umar bahwa ‘Alî adalah faqîh umat, dapat disimak dari ceritera berikut.

Abû Bakar al-Anbari meriwayatkan dalam Amaliah:

“Pada suatu ketika ‘Alî duduk dekat ‘Umar di Masjid. Setelah ‘Alî pergi seseorang mengatakan kepada ‘Umar bahwa ‘lelaki itu’ tampak bangga akan dirinya. ‘Umar menjawab: ‘Orang seperti dia berhak bangga! Demi Allâh kalau tidak oleh pedangnya tidak akan tegak tonggak Islam. Ia juga faqîh dari umat ini[12], terdahulu dalam Islam dan agung’. Orang tersebut lalu berkata: ‘Dan apa yang menyebabkan engkau menghalanginya, ya Amîru’l-mu’minîn untuk memegang jabatan kekhalifahan?’ ‘Umar menjawab: ‘Kami menghalan­ginya karena umurnya yang muda dan cintanya kepada Banû ‘Abdul Muththalib.’[13]

Karena keyakinannya ini, Sa’d bin Abî Waqqâsh pernah berkata kepada ‘Alî pada pertemuan Sûyrâ setelah ‘Umar terbunuh: ‘Wahai ‘Alî, engkau amat rakus akan kekhalifahan ini’. ‘Alî menjawab: ‘Orang menuntut haknya tidak dapat dikatakan rakus, tetapi yang dapat dikatakan rakus justru orang yang mence­gah orang lain untuk mendapatkan hak dan berusaha merampasnya meskipun ia tidak cocok untuk itu’.[14] Sa’d bin Abî Waqqâsh diam. Setelah ‘Alî meninggal di kemu­dian hari, Sa’d sering membela ‘Alî dalam perdebatan dengan Mu’âwiyah dengan menyebut hadis manzilah dan lain-lain.[15] Kemampuan ‘Alî dalam bidang ilmu agama ini telah disabdakan Rasûl Allâh saw..

‘Aku adalah gudang ilmu dan ‘Alî adalah pintunya. Mereka yang ingin mendapatkan ilmu(ku), hendaknya datang melalui pintu nya’[16].

Rasûl Allâh saw. juga bersabda: ‘Yang paling berilmu dari umat­ku, sesudahku, adalah ‘Alî bin Abî Thâlib’.[17] ‘Yang paling bisa membuat keputusan hukum dari umatku adalah ‘Alî’.[18] ‘ ‘Alî adalah paling bisa membuat keputusan dari kamu sekalian’.[19]

Orang meragukan sampai di mana ketulusan ‘Umar tatkala ia mengata­kan bahwa ‘kalau tiada ‘Alî maka celakalah ‘Umar’. Hal ini dapat dipahami dengan jelas tatkala ‘Alî dengan tegas menolak keputu­san-keputusan hukum Abû Bakar dan ‘Umar sebagaimana akan dibicarakan pada bab berikut. Dan orang mengetahui ijtihâd-ijtihâd ‘Umar yang kontroversial itu.

Banyak sahabat yang menunda pembaiatan kepada Abû Bakar, karena kesetiaan kepada ‘Alî bin Abî Thâlib. Di antara mereka dapat disebutkan:

1. Abû Dzarr al-Ghifârî, salah seorang di antara peme­luk Islam yang pertama, terkenal karena kesalehannya, pembela fakir miskin dan kaum tertindas, penentang penindasan yang ulet.

2. ‘Ammâr bin Yâsir, salah seorang pemeluk Islam yang pertama. Ayah bundanya mati syahid teraniaya oleh kalangan jahi­liah Quraisy di Makkah. Dalam usia tuanya, ‘Ammâr berperang bersama ‘Alî melawan Mu’âwiyah dalam peperangan Shiffîn. Di sana ‘Ammâr gugur. Rasûl Allâh telah meramalkan bahwa ‘Ammâr akan mati terbunuh oleh kalangan pendurhaka.

3. Salmân al-Fârisî, orang Persia, Iran, yang oleh Rasûl dianggap sebagai anggota keluarga beliau. Ia juga disebut sebagai teknikus Muslim yang pertama.

4. Bilal, seorang Habsyi berkulit hitam, bekas budak yang kemudian menjadi Sahabat dan terkenal sebagai Mu’azzinur-Rasûl.

5. ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabî.

6. Zubair bin ‘Awwâm, Sahabat dan sepupu Nabî

7. Abû Ayyûb al-Anshârî, Saha­bat Rasûl yang paling utama di kalangan kaum Anshâr. Rumahnya ditempati Rasûl tatkala beliau hijrah ke Madînah. Di kemudian hari ia berjuang bersama khalîfah ‘Alî di peperangan Jamal, Shiffîn dan Nahrawan.

8. Hudzaifah bin al-Yaman. Meskipun membaiat Abû Bakar, ia berpesan kepada kedua orang putranya untuk menyokong ‘Alî. Kedua putranya meninggal dalam peperangan Shiffîn di pihak ‘Alî.

9. Khuzaimah bin Tsâbit, yang oleh Rasûl diberi gelar Dzusysyahadatain, yang kesaksiannya sama dengan kesaksian dua orang. Ia gugur dalam peperangan Shiffîn melawan Mu’âwiyah.

10. ‘Utsmân bin Hunaif, saudara Sahl.

11. Sahl bin Hunaif, yang kemudian diangkat ‘Alî seba­gai gubernur di Iran.

12. Al-Bara’a bin ‘Azib al-Anshârî; ia turut berperang bersama ‘Alî dalam perang Jamal, perang Shiffîn dan perang Nahra­wan.

13. ‘Ubay bin Ka’b, seorang ahli fiqih dan ahli baca Al-Qur’ân, dari kaum Anshâr.

14. Al-Miqdâd bin ‘Amr, Sahabat yang termasuk di antara tujuh pemeluk Islam yang pertama.



[1] ‘Â’isyah, puteri khalîfah pertama, Abû Bakar ‘Abdullâh bin Abî Quhâfah ‘Utsaman bin ‘Âmir bin Ka’ab bin Sa’d bin Tail, dari Banî Quraisy. Dila­hirkan 4 tahun sesudah bi’tsah. Sembilan tahun sebelum tahun 1 Hijriah. Wanita pertama yang dikawini Rasûl sesudah wafatnya Khadîjah , dua tahun sebelum Hijrah, tatkala ia berumur 6 tahun. Rasûl berkumpul dengannya bulan Syawal 18 bulan setelah Hijrah ke Madînah, setelah Perang Badar Besar, Ghazwah Badr Al-Kubrâ. Tatkala Rasûl wafat, ia berumur 18 tahun. Berkumpul dengan Rasûl selama 8 tahun 5 bulan. Ia hidup tenteram di zaman khalîfah Abû Bakar, ‘Umar dan bagian awal khalîfah ‘Utsmân dan kemudian mulai bertengkar dengan khalîfah ‘Utsmân yang berakhir dengan mening­galnya ‘Utsmân. Tatkala ‘Alî dibaiat, ‘Â’isyah memerangi ‘Alî dalam perang Unta atau Perang Jamal. Dinamakan demikian karena dalam perang tersebut ‘Â’isyah menunggangi unta. yang ber­langsung di Bashrah dan setelah kalah perang ia dihantar ke Madînah atas perintah khalîfah ‘Alî bin Abî Thâlib. Ummu’l-mu’mi­nîn ‘Â’isyah tidak dapat menahan diri untuk memasukkan pera­saan pribadinya yang keterlaluan dalam laporan ini. Bacalah Bab 1: “Pengantar” sub bab “Mengapa ‘A’isayh Benci Fâthimah dan ‘Alî.”

[2] Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 448; Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s Siyasah, jilid I, hlm. 18: Mas’ûdî, Murûj adz-Dza­hab, jilid 2, hlm. 414; Ibnu ‘Abd Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, jilid 3, hlm. 64; Shahîh Bukhârî dan Kitâb Maghâzî bab Ghazwah Khaibar, jilid 3, hlm. 37; Shahîh Muslim, jilid 1, hlm. 72, jilid 5, hlm. 153 bab Rasûl bersabda ‘Kami para Nabî tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah’; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 5, hlm. 285-286; Ibnu Atsîr, Târîkh, jilid 2, hlm. 126; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 122; Shawâ’iq, jilid 1, hlm. 12; Târîkh al-Khamîs, jilid 1, hlm. 193

[3] Ibnu ‘Abdil Barr, Usdu’l-Ghâbah, jilid 3, hlm. 222.

[4] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105.

[5] Istî’âb, jilid 2, hlm. 244; Tanbîh wa’l-Asyrâf, hlm. 250

[6] Tafsîr al-Wushûl, jilid 2, hlm. 46

[7] Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 587

[8] Ibnu Qutaibah, Al-Imâmah wa’s-Siyâsah, hlm. 14

[9] Lihat Fuad Hashem, ibid. hlm 48.

[10] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 427.

[11] Lihat bab Nas Bagi ‘Alî.

[12] aqdhâ al-ummah

[13] Ibn Abîl-Hadîd, Ibid, jilid 12, hlm. 82; Mengenai perkataan ‘Umar bahwa ‘Alî adalah paling menguasai hukum fiqih dan paling bisa memutuskan,faqîh, lihat juga Shahîh Bukhârî, jilid 6, hlm. 23; Musnad Ahmad, jilid 5, hlm. 113; al-Mustadrak al-Hâkim, jilid 3, hlm. 305; Ibnu Sa’d, at-Tabaqat, jilid 2, hlm. 102; al-Istî’âb, jilid 3, hlm. 1102. Mengenai alasan ‘Umar bahwa ‘Alî terlalu muda, lihat Bab 15: ‘Alî Dan Peristiwa Saqifah’, sub bab ‘Umar: Alî masih muda.

[14] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 9, hlm. 305-306

[15] Lihat bab ‘Nas Bagi ‘Alî’

[16] Lihat al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 126-127; al-Istî’âb, jilid 3, hlm. 1102; Usdu’l-Ghâbah, jilid 4, hlm. 22; Târîkh Baghdâd, jilid 2, hlm. 377, jilid 4, hlm. 348, jilid 7, hlm. 172, jilid 11, hlm. 48-50; Tadzkirah al-Huffâzh, jilid 4, hlm. 28; Majma’az-Zawâ’id, jilid 9, hlm. 114; Tahdzîb at-Tahdzîb, jilid 6, hlm. 320, jilid 7, hlm. 337; Lisân al-Mîzân, jilid 2, hlm. 122-123; Târîkh Khulafâ’, hlm. 170; Kanzu’l-Ummâl, jilid 6, hlm. 152, 156, 401; ‘Umdatu’l-Qârî’, jilid 7, hlm. 631

[17] Kifâyah ath-Thâlib, hlm. 332; Al-Khwarizmî, al-Manâqib, hlm. 39, 40; Al-Khwarizmî, Maqâtil al-Husain, jilid 1, hlm. 43; Kanzu’l-‘Ummâl, jilid 6, hlm. 153, 156, al-Ghadîr, jilid 3, hlm. 96

[18] Al-Ghadîr, jilid 3, hlm. 96; al-Khwarizmî, al-Manâqib, hlm. 41; Muhibuddîn Thabarî, ar-Riyâdh an-Nadhirah, jilid 2, hlm. 198; Fat’h al-Bârî, jilid 8, hlm. 136.

[19] Al-Ghadîr, jilid 3, hlm. 96; al-Ishâbah, jilid 3, hlm. 38;dll

No comments:

Post a Comment