Sunday, August 2, 2009

14 Pembaiatan Khalîfah ‘Umar Dan ‘Utsmân Pengangkatan ‘Umar bin Khaththâb

14

Pembaiatan Khalîfah ‘Umar Dan ‘Utsmân

Pengangkatan ‘Umar bin Khaththâb

S

etelah menjabat khalîfah lebih dari dua tahun, Abû Bakar jatuh sakit. Di atas tempat tidurnya, ia menyuruh orang memanggil ‘Abdurrahmân bin ‘Auf, dan kemudian ‘Utsmân bin ‘Affân, untuk menyampaikan keputusan menunjuk ‘Umar bin Khaththâb sebagai khalîfah yang akan menggantikannya. Mendengar hal ini, beberapa Sahabat yang terkemuka, dikepalai oleh Thalhah, mengirim delegasi menemui khalîfah Abû Bakar, dan berusaha meyakinkannya supaya tidak menunjuk ‘Umar bin Khaththâb untuk menggantikannya sebagai khalîfah.[1]

Abû Bakar tidak mengubah keputusannya; ia membuat surat wasiat yang berbunyi sebagai berikut:

“Dengan nama Allâh Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Ini adalah wasiat kepada kaum mu’minîn, dari saya, Abû Bakar bin Abî Quhâfah. Saya telah mengangkat ‘Umar bin Khaththâb sebagai khalîfah untuk kalian, maka dengarkanlah dan turutilah dia. Saya membuat dia menjadi penguasa atas kalian semata-mata untuk kebaikan kalian.”[2]

Catatan selengkapnya dimuat oleh Thabarî: “Abû Bakar, tatkala sedang sakit parah, menerima ‘Utsmân sendirian. Ia memerintahkan ‘Utsmân menulis:

“Dengan nama Allâh Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini adalah wasiat kepada kaum mu’minîn, dari saya, Abû Bakar bin Abî Quhâfah.”

Sampai di sini, Abû Bakar pingsan, dan ‘Utsmân melanjutkan menu­lis wasiat itu sebagai berikut:

“Saya telah mengangkat ‘Umar bin Khaththâb sebagai khalîfah untuk kalian”.

Abû Bakar sadar dari pingsannya, dan berkata:

“Bacalah kembali apa yang sudah ditulis.”

‘Utsmân membaca, dan Abû Bakar mengatakan:

“Allâhu Akbar. Anda takut saya mati dan kaum Muslimîn tidak memiliki seorang khalîfah dan tersesat.”

‘Utsmân membenarkan, lalu Abû Bakar berkata:

“Mudah-mudahan Allâh memberkati Anda atas pertolongan yang telah Anda berikan untuk Islam dan kaum Muslimîn. ‘Umar bin Khaththâb telah berpakaian rapi dikelilingi teman-temannya di rumahnya, sambil menunggu budak Abû Bakar datang membawa wasiat, yang kemudian dibacakannya secara resmi:

“Dengarkanlah, wahai rakyat; patuhilah apa yang dikatakan khalîfah. Khalîfah mengatakan bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk kalian.[3]

Tidak ada catatan sejarah bahwa Abû Bakar memusyawarahkannya dengan para Sahabat, dan tidak pula berdasarkan kemauan masyara­kat melalui tanya jawab dengan para anggota masyarakat. Penunju­kan ini semata-mata berdasarkan keputusan pribadi Abû Bakar. Suatu hal yang menarik adalah kesamaan keadaan Abû Bakar dan Rasûl Allâh tatkala membuat wasiat. Banyak ulama mempertanyakan sikap ‘Umar yang menerima wasiat Abû Bakar tetapi tidak memberi kesempatan Rasûl Allâh membuat wasiat.

Pengangkatan ‘Utsmân bin ‘Affân[4]

Ia termasuk pemeluk awal dan setelah jadi muslim kawin dengan Ruqayyah binti Rasûl Allâh. Dua kali Hijrah. Pertama ke Habasyah, dan setelah kembali ke Makkah hijrah lagi ke Madînah. Tidak ikur Perang Badar karena istrinya sakit. Dan setelah istrinya Ruqayyah meninggal ia kawin dengan putri Rasûl yang lain, Ummu Kaltsum, dan Ummu Kaltsum meninggal juga tatkala Rasûl masih hidup. Tidak punya keturunan dari kedua istrinya ini. Setelah ‘Umar terbunuh, ia dipilih ‘Umar jadi salah satu dari enam anggota syura.

Setelah menjabat khalîfah selama sepuluh tahun, ‘Umar bin Khaththâb mengangkat enam orang Sahabat dari kaum Muhâjirîn yang terkemuka untuk memilih di antara sesama mereka seorang khalîfah. Badan yang terdiri dari enam orang ini kemudian dinamakan Sûyrâ atau permusyawaratan, oleh para ulama di kemudian hari.

Sûyrâ ini terdiri dari: ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Abdurrahmân bin ‘Auf, Sa’d bin Abî Waqqâsh, ‘Alî bin Abî Thâlib, Zubair bin ‘Awwâm, Thalhah bin ‘Ubaidillâh, serta ‘Abdullâh bin ‘Umar (anak ‘Umar bin Khaththâb) yang hanya bertindak sebagai penasihat, dan tidak berfungsi sebagai calon.[5]

Dalam melakukan tugas pemilihan khalîfah penggantinya ‘Umar bin Khaththâb telah menetapkan tata tertib sebagai berikut:

1. Khalîfah yang akan dipilih haruslah anggota dari badan tersebut.

2. Bila dua calon mendapatkan dukungan yang sama besar, maka calon yang didukung oleh ‘Abdurrahmân bin ‘Auf yang dianggap menang.

3. Bila ada anggota dari badan ini yang tidak mau mengambil bagian dalam pemilihan, maka anggota tersebut harus segera dipenggal kepalanya.

4. Apabila seorang telah terpilih dan minoritas (satu atau dua orang) tidak mengakuinya, maka kepala mereka yang tidak mau mengakui ini harus dipenggal; apabila dua calon didukung oleh jumlah anggota yang sama besar, maka anggota yang menolak terha­dap pilihan ‘Abdurrahmân bin ‘Auf harus dipenggal kepalanya.

5. Apabila dalam waktu tiga hari tidak berhasil memilih khalîfah, maka keenam-enam anggota harus dipenggal kepalanya, dan menyerahkan kepada rakyat untuk mengambil keputusan.

‘Umar bin Khaththâb menunjuk Abû Thalhah al-Anshârî dari Banû Khazraj sebagai pelaksana perintahnya. Ia disuruh mengambil lima puluh orang anggota sukunya dan dengan pedang di tangan, menjaga di pintu majelis pertemuan yang dilangsungkan di Hujrah ‘Â’isyah,[6] untuk melaksanakan perintah ‘Umar.[7]

Sa’d bin Abî Waqqâsh memberikan suaranya pada ‘Abdurrahmân bin ‘Auf yang tidak mencalonkan diri, sehingga ‘Abdurrahmân bin ‘Auf memiliki dua suara yang menentukan.

‘Abdurrahmân bin ‘Auf lalu mengajukan syarat yang diketahuinya tidak mungkin diterima oleh ‘Alî bin Abî Thâlib, dan hanya forma­litas belaka. ‘Abdurrahmân bertanya kepada ‘Alî: “Apabila Anda terpilih sebagai khalîfah, dapatkah Anda berjanji bahwa Anda akan bertindak menurut Al-Qur’ân, Sunnah Rasûl dan mengikuti peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan Abû Bakar dan ‘Umar (sirah Abû Bakar wa ‘Umar)?”

‘Alî menjawab: “Mengenai Al-Qur’ân dan Sunnah Rasûl, saya akan mengikutinya dengan penuh keimanan dan kerendahan hati; namun, mengenai peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan Abû Bakar dan ‘Umar , apabila sesuai dengan al-Qur’ân dan Sunnah Rasûl, maka siapa yang dapat menolaknya! Tetapi, bila bertentan­gan dengan Al-Qur’ân dan Sunnah Rasûl, siapa yang akan menerima dan mengikutinya! Saya menolak peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tersebut.”[8]

Tatkala pertanyaan di atas itu diajukan kepada ‘Utsmân, ia mener­ima persyaratan itu.

‘Abdurrahmân bin ‘Auf , satu-satunya anggota syura yang bersen­jata, lalu berkata pada ‘Alî: ‘Baiatlah atau kupenggal lehermu!’ atau ‘Kami tidak akan memberi jalan lain kepadamu!’[9]

‘Utsmân dikenal sebagai orang yang lemah. Terlepas dari hubungan kekeluargaan, kelemahan ‘Utsmân ini dapat dimanfaatkan oleh para aristokrat dan hartawan Quraisy untuk melayani kepentingan mere­ka. ‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan anggota Sûyrâ lain adalah hartawan yang mewakili kaum aristokrat ini. Sedang ‘Alî yang hidup dalam kemiskinan dan zuhd , yang terkenal dengan kata-katanya: ‘Wahai emas dan perak, godalah orang lain, percuma menggoda diriku!’, tidaklah sesuai dengan selera kaum ‘konglomerat’ini.

Suatu kesimpulan lain yang dapat ditarik dari tanya jawab ini ialah kenyataan bahwa ada terdapat perbedaan-perbedaan pendapat yang jelas antara Abû Bakar dan ‘Umar di satu sisi, dan ‘Alî di sisi lainnya dengan adanya penolakan ‘Alî terhadap peraturan dan keputusan yang dibuat oleh para khalîfah yang sebelumnya.

Yang terakhir ini menerangkan mengapa kaum Syî’î menolak ijtihâd ketiga khalîfah Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân, yang dianggap banyak bertentangan dengan nash sedang kaum Sunnî mengikutinya.

1. Keenam anggota Sûyrâ tersebut diangkat sendiri oleh ‘Umar bin Khaththâb.

2. Tiada seorang pun Sahabat dari kaum Anshâr di antara anggota Sûyrâ tersebut.

3. Susunan anggota Sûyrâ dan syarat yang diajukan ‘Abdurrahmân bin ‘Auf, tidak memungkinkan ‘Alî terpilih.



[1] Thabarî, Târîkh, jilid 4, hlm. 52, dan selan­jutnya; Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 136; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 163.

[2] Thabarî, ibid, edisi M.J. de Goeje et al, Leiden, 1879-1901, jilid 1, hlm. 2138; Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Iqd al-Farîd, jilid 4, hlm. 267; Ya’qûbi, Târîkh jilid 2, hlm. 136.

[3] Bacalah tulisan lengkap Thabarî, Târîkh, jilid 4, hlm. 21 dan selanjutnya; atau edisi Leiden, 1879-1901, jilid 1, hlm. 2139

[4] Abû ‘Abdullâh atau Abû ‘Amr, ‘Utsmân bin ‘Affân bin Abî’l-’Âsh bin ‘Umayyah, dari klan Quraisy dan ibunya ‘Urwah binti Karîz bin Rabî’ah bin ‘Abd Syams. Ibu dari Urwah adalah Baidha’ binti ‘Abdul Muththalib, bibi Nabî

[5] Ibnu Sa’d, Thaba­qât, jilid 3, hlm. 61, 331; Balâdzurî, jilid 5, hlm. 16; Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 160; Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 74; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 163, 185; Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Iqd al-Farîd, jilid 4, hlm. 275

[6] Lihat denah Masjid Nabî, 3.

[7] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 3, hlm. 341; Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 18; Ya’qû­bi, Târîkh, jilid 2, hlm. 160; Thabarî, Târîkh, edisi Leiden, 1901, jilid 1, hlm. 2779; Mas’ûdî, Tanbîh wa’l-Asyrâf, hlm. 291; Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Iqd al-Farîd, jilid 4, hlm. 275; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 187

[8] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 1, hlm. 162; Thabarî, Târîkh, tatkala berbicara peristiwa tahun 23, jilid 3, hlm. 297; Ibnu al-Atsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 37; al-’Iqd al-Farîd, jilid 3, hlm. 76

[9] Shahîh Bukhârî, Bab Bagaimana membaiat Imâm, jilid 10, hlm. 208; Thabarî, Târîkh, jilid 5, hlm. 37, 40; Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 25; Ibnu Atsîr, al-Kâmil, jilid 3, hlm. 30; Shawâ’iq, hlm. 36; Fath al-Barî, jilid 13, hlm. 168; Suûythî, Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 102.

No comments:

Post a Comment