Sunday, August 2, 2009

15 ‘Alî Dan Peristiwa Saqîfah Pernyataan Langsung dari ‘Alî ‘Umar Dan Abû Bakar Tahu Betul Hak ‘Alî

15

‘Alî Dan Peristiwa Saqîfah

Pernyataan Langsung dari ‘Alî

‘Umar Dan Abû Bakar Tahu Betul Hak ‘Alî

S

ikap ‘Alî terhadap pengangkatan Abû Bakar di Saqîfah, diucapakan sekaligus dengan sikapnya terhadap pengangkatan ‘Umar dan ‘Utsmân, dalam khotbahnya yang terkenal sebagai asy-Syiqsyiqiyyah, yang diucapkannya di ar-Rahbah. Khotbah ini dicatat oleh Syarif ar-Radhî dalam Nahju’l-Balâghah yang terkenal itu, yang memuat khotbah-khotbah, pidato-pidato, surat-surat serta ungkapan-ungkapan ‘Alî bin Abî Thâlib. Khotbah itu sebagai berikut:

Demi Allâh, putra Abû Quhâfah (Abû Bakar) telah mengenakan busana (kekhalifahan) itu, padahal ia mengetahui dengan yakinnya bahwa kedudukan saya sehubungan (kekhalifahan) itu sama seperti hubungan sumbu dengan roda. Air bah (kebijaksa­naan) mengalir ke bawah saya, dan burung (siapa pun) tidak dapat melampaui (ilmu) saya. Saya memasang tirai terhadap kekhalifahan itu dan melepaskan diri daripadanya.

Saya pun mulai berpikir, apakah saya akan menyerangnya ataukah saya harus menanggung cobaan sengsara kegelapan yang membutakan itu sampai orang dewasa menjadi daif, orang muda menjadi tua, dan Mu’min yang saleh hidup dalam kungkungan sampai ia menemui Allâh (di saat kematiannya). Saya pun berpendapat bahwa adalah lebih bijaksana untuk menanggungnya dengan tabah. Saya lalu menempuh jalan kesabaran, kendati pun mata rasa tertusuk-tusuk dan kerong­kongan rasa tercekik. Saya menyaksikan perampasan terhadap wari­san saya hingga yang pertama (Abû Bakar) sampai pada ajalnya; namun ia menyodorkan kekhalifahan itu kepada Ibnu Khaththâb sen­diri. (Lalu ‘Alî mengutip syair A’sya:)

‘Hari-hariku kini dilewatkan (dalam keresahan) di atas punggung unta, sedang dahulu hari-hari (kesenangan) kunikmati sambil berkawan dengan Hayyan, saudara Jâbir’.

Aneh, semasa hidupnya ia ingin terbebas dari jabatan khalîfah, tetapi ia mengukuhkannya kepada yang lain itu (‘Umar) setelah kematiannya. Tidak syak, kedua orang ini hanya berbagi tetek susu di antara keduanya saja. Yang satu ini (‘Umar) mengungkung kekhalifahan itu rapat-rapat, ucapannya congkak dan sentuhannya kasar. Kekeliruan sangat banyak, dan karena itu maka dalihnya pun sangat banyak. Orang yang berhubungan dengan kekhalifahan itu ibarat penunggang unta binal. Apabila ia menarik kekangnya, moncongnya akan robek; tetapi apabila ia membiarkannya maka ia akan jatuh terlempar. Sebagai akibatnya, demi Allâh, rakyat terjerumus dalam kesembronoan, kelicikan, kegoyahan dan penyelewengan. Sekalipun demikian, saya tetap sabar dalam waktu yang lama dengan cobaan yang keras, sampai, ketika ia (‘Umar) menemui ajalnya ia menaruh urusan (kekhalifahan) itu pada satu kelompok dan menganggap saya sebagai salah seorang daripadanya.

Tetapi, ya Allâh! apa urusan saya dengan ‘musyawarah’ ini? Di manakah keraguan tentang saya dibanding dengan yang pertama dari antara mereka (Abû Bakar) sehingga sekarang saya harus dipandang sama dengan orang-orang ini? Namun saya terus merendah sementara mereka merendah, dan membubung tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka berpaling menentang saya karena hubungan kekeluargaannya, sedang yang lainnya cenderung memihak ke jalan lain karena hubungan iparnya, dan ini, dan itu, sampai yang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung di antara kotoran dan makanannya. Bersama dia, anak-anak dari ka­keknya (Banû ‘Umayyah) pun bangkit menelan harta Allâh, bagaikan unta melahap dedaunan musim semi, sampai talinya putus, tindak tanduk menyelesaikannya, dan keserakahannya menyebabkan ia ter­guling.[1]

Khotbah asy-Syiqsyiqiyyah, selain dihimpun oleh Syarif al-Radhî, juga banyak dilaporkan oleh penulis-penulis lain, seperti Ibn Abîl-Hadîd dalam Syarh Nahju’l-Balâghah, Abû Ja’far Ahmad bin Muhammad (meninggal 274 H.,887 M.) dalam Kitâb al-Mahâsin, Ibrâhîm bin Muhammad ats-Tsaqafî (meninggal 283 H.,896 M.) dalam kitabnya al-Ghârât, Abî ‘Alî Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb al-Jubâ’î (meninggal 303 H.,915 M.) dan ‘Abdul Qâsim al-Balkhî (meninggal 502 H.,1108 M.) dalam kitabnya al-Inshah,; Lihat Sadûq (meninggal 381 H.,991 M.) dalam ‘Ilal asy-Syara’î, hlm. 68, Ma’âni, Al-Akhbâr, hlm. 132, Mufîd, Irsyâd, hlm. 166 dan Thûsi, Amâlî, hlm. 237.

Meskipun Nahju’l-Balâghah dihimpun Syarif ar-Radhî (meninggal 406 H.,1115 M.), tetapi, tulisan ini terdapat pada naskah-naskah yang lebih lama, seperti Nashr bin Muzahim al-Minqari dalam bukunya Waq’ah Shiffîn, Ya’qûbi dalam Târîkh-nya, Jahizh dalam Ansâb al-Bayân wa at-Tabyîn, Mubarrat dalam bukunya Kâmil, Balâdzurî dalam Ansâb al-Asyrâf dan buku-buku standar dari abad kedua, ketiga dan keempat.

Tatkala ‘Alî mendengar dibentuknya dewan oleh ‘Umar, dan syarat-syarat pemilihan serta penunjuk ‘Abdurrahmân bin ‘Auf sebagai suara yang menentukan, ia berkata:

‘Demi Allâh, kekhalifahan sekali lagi diambil dari kami, karena suara yang memutuskan terletak di tangan ‘Abdurrahmân, seorang sahabat lama ipar ‘Utsmân, sedang Sa’d bin Waqqâsh adalah kemena­kan ‘Abdurrahmân dari Banû Zuhrah; tentu saja ketiganya saling mendukung, dan andai kata Zubair dan Thalhah memilih saya, tidak akan ada gunanya’.[2]

‘Alî mengatakan bahwa Abû Bakar dan ‘Umar ‘merampas’ haknya. Ia juga mengatakan bahwa “Umar memerah susu untuk ‘Umar dan Abû Bakar berdua sekaligus’, yang dimaksudkannya bahwa ‘Umar memper­juangkan kekhalifahan Abû Bakar sambil mengharapkan bahwa Abû Bakar kelak akan menghibahkan kekhalifahan itu kepada ‘Umar. ‘Alî juga menuduh bahwa tindakan ‘Umar mengangkat enam orang Ahlul hall wal aqd yang kemudian terkenal sebagai Sûyrâ, telah direnca­nakan untuk menyingkirkan ‘Alî dan memenangkan ‘Utsmân.

‘Alî berpendapat bahwa Abû Bakar dan ‘Umar mengetahui betul bahwa kekhalifahan adalah hak ‘Alî, seperti roda sebuah kincir, sebab Nabî ‘mewasiatkan’ Imâmah itu kepada ‘Alî, sebagaimana dapat kesimpulan dari pidato ‘Alî tersebut. Mengapa maka ‘Alî mengata­kan bahwa Imâmah atau kepemimpinan umat adalah hak yang diwaris­kan kepadanya oleh Rasûl dan di ketahui juga oleh ‘Umar dan Abû Bakar, akan kita bicarakan pada bab mengenai nas untuk kekhalifahan. Cukuplah apabila dikemukakan di sini bahwa ‘Alî menganggap bahwa Rasûl telah mewariskan kekhalifahan kepadanya, sebagaimana dikatakannya sendiri.

Dengan kata lain khilâfah atau Imâmah, menurut ‘Alî, berdasarkan nas. Sebaliknya, menurut Abû Bakar dan ‘Umar, sebagaimana kita ikuti dari pertemuan di Saqîfah, berpendapat bahwa khalîfah berdasarkan pemilihan, musyawarah. Kalau pun ada nas, maka nas itu hanyalah sebuah hadis yang mengatakan bahwa Imâm itu dari orang Quraisy.

Malah menurut ‘Umar, kaum Quraisy yang menentukan terpilihnya seseorang menjadi khalîfah. Semua anggota ahlu’l-hall wa’l-’aqd yang ditunjuk ‘Umar untuk memilih khalîfah sepening­galnya adalah orang Quraisy, dan tidak ada seorang pun dari kaum Anshâr.

‘Umar Mengakui ‘Alî Paling Utama

Apakah ‘Umar dan Abû Bakar mengetahui kedudukan ‘Alî dalam kekhalifahan itu? Bukankah baru 73 hari sebelum Rasûl wafat ‘Umar memberi selamat pada ‘Alî di Ghadîr Khumm dengan kata-kata: ‘Mulai sekarang engkau jadi maulâku dan maulâ kaum mu’minîn dan mu’minât?’. Kalau ‘Umar mengetahui, maka bera­nikah ‘Umar melanggar ‘nash’ tersebut?’ Untuk itu, marilah kita ikuti dialog-dialog berikut. ‘Umar,tatkala sedang memangku jabatan khalîfah,terlibat perdebatan dengan seorang remaja kesayangannya tetapi selalu berdebat dengannya, yaitu ‘Abdullâh bin ‘Abbâs.

Dialog antara khalîfah ‘Umar dengan ‘Abdullâh bin ‘Abbâs.

‘Umar bin Khaththâb:

‘Apakah engkau mengetahui, hai Ibnu ‘Abbâs , mengapa kaum kalian menolak menyerahkan khilâfah kepada kalian?’

‘Abdullâh bin ‘Abbâs: (Saya tidak ingin menjawab pertanyaan ‘Umar secara lang­sung, maka saya kembalikan pertanyaan itu kepadanya)

‘Bila saya tidak mengetahui, maka Amîru’l-mu’minînlah yang akan memberitahukannya kepada saya’.

‘Umar:

Mereka tidak menginginkan kenabian dan kekhalifahan berkumpul sekaligus di tangan Banû Hâsyim, karena khawatir kalian akan menjadi sombong dan angkuh; maka kaum Quraish telah memilih sen­diri khalîfah, dan tindakan mereka ini sungguh tepat dan benar’.

‘Abdullâh:

‘Ya, Amîru’l-mu’minîn. Jika Anda menginginkan saya berbicara, dan Anda tidak memarahi saya’.

‘Umar:

‘Silahkan bicara, Ibnu ‘Abbâs ‘.

‘Abdullâh:

‘Sehubungan dengan ucapan bahwa kaum Quraisy telah memilih sen­diri seorang khalîfah, dan bahwa itu adalah pilihan yang tepat dan benar, maka sebenarnya yang lebih tepat dan benar ialah apabila mereka mengikuti apa yang telah dipilih Allâh. Dengan mengikuti pilihan Allâh, mereka akan menguasai kebenaran, dan tidak akan terlepas, dan tidak ada kedengkian terhadap pilihan Allâh.

‘Adapun ucapan Anda bahwa mereka tidak senang akan terkumpulnya kenabian dan kekhalifahan pada keluarga kami, maka sesungguhnya Allâh SWT telah berfirman di dalam Al-Qur’ân: ‘Yang demikian itu karena mereka benci akan apa yang Allâh turunkan, maka (Allâh) menjadikan sia-sia amal perbuatan mereka’.[3]

‘Umar:

Demi Allâh! Hai Ibnu ‘Abbâs , telah sampai kepada saya berita-berita yang tidak saya sukai, yang bersumber dari dirimu. Saya tidak ingin memberitahukan kepadamu, karena saya tidak mau kehilangan rasa hormat saya terhadapmu’.

‘Abdullâh:

‘Apakah itu, ya, Amîru’l-mu’minîn? Apabila apa yang saya katakan benar, maka tidak seharusnya kedudukan saya jatuh di hadapan Anda; dan apabila saya salah, orang seperti saya seharusnya membersihkan diri dari kesalahan’.

‘Umar:

‘Telah sampai kepada saya sebuah berita yang bersumber dari kamu bahwa kekhalifahan telah dialihkan dari Banû Hâsyim karena ke­dengkian dan kezaliman’.

‘Abdullâh:

‘Adapun kata-kata Anda mengenai kezaliman, telah diketahui oleh setiap orang, yang bodoh maupun yang pandai; dan apa yang Anda katakan tentang kedengkian, maka sebenarnya sejak dahulu kala telah ada kedengkian pada zaman Âdam, dan kami adalah keturunan Âdam yang menderita akibat kedengkian orang terhadap kami’.

‘Umar:

‘Demi Allâh, hai Banû Hâsyim; kedengkian yang mencekam hatimu tidak akan hilang atau tidak akan habis selama-lamanya’.

‘Abdullâh:

‘Tunggu dulu. Jangan sekali-kali Anda menuduhkan yang demikian itu kepada jiwa dan hati mereka (ahlu’l-bait) karena Allâh telah menghilangkan segala nista dari mereka serta menyucikan mereka sesuci-sucinya, dan bahwa Rasûl adalah dari Banû Hâsyim’.

‘Abdullâh:

(‘Umar pergi meninggalkan saya; maka kami pun berpisah).[4]

Perdebatan kedua

‘Abdullâh bin ‘Abbâs bercerita:

Aku mengunjungi ‘Umar pada awal masa kekhalifahannya. Aku melihat kurma dalam keranjang yang dibuat dari daun kurma (al-khashfah). Ia mempersilakan aku memakannya. Aku memakan sebutir. Sambil minum dari cangkir yang dibuat dari tembikar, ‘Umar bertanya: ‘Dari mana engkau, ya ‘Abdullâh?’

‘Abdullâh: ‘Dari masjid’.

‘Umar: ‘Bagaimana keadaan putra pamanmu?’

‘Abdullâh bin ‘Abbâs: (Karena mengira bahwa yang dimaksud ‘Umar ialah ‘Abdullâh bin Ja’far bin Abî Thâlib):

‘Kutinggalkan ia bersama teman-teman yang sebaya’.

‘Umar:

‘Bukan dia; yang kumaksud ialah pemimpin besar kalian ahlu’l-bait’.

‘Abdullâh:

‘Oh, kutinggalkan dia sedang mengaji Al-Qur’ân’.

‘Umar:

‘Hai, ‘Abdullâh, engkau harus membayar denda berupa unta, apabila engkau menyembunyikan jawaban atas pertanyaanku ini. Apakah persoalan kekhalifahan masih meresahkan hatinya?’

‘Abdullâh:

‘Ya, benar!

‘Umar:

‘Apakah ia mengaku bahwa Rasûl Allâh saw. telah menetapkannya untuk itu?’

‘Abdullâh:

‘Benar, dan bahkan saya tambahkan lagi, bahwa saya pernah menan­yakan kepada ayah saya tentang nas Rasûl Allâh saw. tersebut, dan ia membenarkannya’.

‘Umar:

‘Memang Rasûl Allâh saw. seringkali melimpahkan pujiannya pada pribadi ‘Alî, tetapi itu tidak merupakan hujjah yang pasti atau alasan yang kuat. Dan itu hanyalah sebagai ujian bagi beliau untuk sementara waktu (apakah umatnya mau menerimanya sebagai khalîfah atas mereka, atau tidak). Dan beliau pun pernah berkein­ginan untuk menyebutkan namanya secara terus terang, tetapi aku telah menghalangi keinginan beliau itu.[5]

‘Umar: ‘Alî Terlalu Muda?

Abû Bakar al-Anbari dalam Amaliah meriwayatkan bahwa ‘Alî, suatu ketika, duduk dekat ‘Umar di masjid yang penuh jemaah. Setelah ‘Alî pergi seorang menyebut ‘Alî sebagai seorang yang kelihatan bangga dan percaya akan dirinya sendiri. Maka ‘Umar lalu berkata: ‘Adalah hak orang seperti dia punya rasa bangga!’ Demi Allâh, bila tidak ada pedangnya, bagaimana mungkin tonggak Islam akan tegak? Ia adalah seorang pemutus masalah yang paling andal, anggota paling awal dan paling mulia dari umat ini!’. Lelaki itu bertanya: ‘Kalau demikian, wahai Amîru’l-mu’minîn, apa yang menghalangi kamu sehingga tidak menyerahkan kekhalifahan kepadanya?’. ‘Umar: ‘Kami mencegahnya, karena ia terlalu muda dan cintanya kepada Banû ‘Abdul Muththalib!’[6]

Pada garis besarnya ‘Umar mengetahui tuntutan ‘Alî, tapi mengha­langinya jadi khalîfah karena ‘terlalu muda’, ‘cinta pada keluar­ga ‘Abdul Muththalib’, ‘kaum Quraisy tidak menyukai nubuah dan khilâfah berada pada Banû Hâsyim, agar mereka tidak angkuh’. [7]

Juga dalam tradisi sebelum Islam “Senat” atau Nadwa yang dahulun­ya dijabat hanya oleh orang-orang tua, makin lama makin beralih ke anak-anak muda. Abû Jahl diterima tatkala ia masih belia dan Hâkim bin Hâzm dipilih tatkala ia baru berumur antara 15 sampai 20 tahun seperti dilaporkan oleh Ibnu Hisyâm. Ibnu ‘Abd Rabbih meriwayatkan bahwa “Tidak ada raja turun temurun di kalangan Arab jahiliah Makka, maka tatkala pecah perang mereka melakukan pemil­ihan diantara para tokoh dan memilih satu orang sebagai raja, tidak peduli ia masih muda atau tua. Maka pada perang fijâr, misalnya, Banû Hâsyim mendapat giliran dan berakhir dengan terpi­lihnya ‘Abbâs yang masih kanak-kanak. Lihat Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Iqdu’l-Farîd, jilid 3, hlm. 315.

‘Umar Berani Tolak Permintaan Rasûl saw.

Banyak orang berpendapat bahwa ‘Umar memang sengaja, seperti pengakuan ‘Umar sendiri, menyingkirkan ‘Alî dari jabatan kekhalifahan, meskipun mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rasûl Allâh saw. secara lansung maupun tidak lansung telah menunjuk ‘Alî sebagai penggantinya. Bukankah 73 hari sebelumnya Rasûl Allâh saw. telah bersabda di Ghadîr Khumm: ‘Barangsiapa menganggap aku sebagai maulânya maka ‘Alî adalah maulânya. Ya Allâh cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya!’. Dan ‘Umar memberi selamat kepada ‘Alî: ‘Mulai hari ini engkau adalah maulâku dan maulâ kaum mu’minîn dan mu’minât!’[8] Hadis ini sangat kuat dan bukan hadis lemah. Diterima oleh kaum Sunnî maupun Syî’î. Kemudian pengingkarannya terhadap perintah Rasûl Allâh saw. untuk mempercepat pasukan Usâmah. Ia juga meno­lak mengambil tinta dan kertas yang diminta Rasûl Allâh saw. tatkala sakit beliau makin berat. Pera­gaan ‘Umar yang mengingkari Rasûl wafat. Pergi ke Saqîfah tanpa mengajak ‘Alî. Pembaiatan ‘Umar kepada Abû Bakar terjadi sebelum ada mufakat, malah suasana masih gaduh dan orang sedang meneriakkan nama ‘Alî. Tidak mengajak kaum Anshâr untuk mendahulukan penguburan Rasûl dan bermu­syawarah di pusat kegiatan kaum Muslimîn, yaitu masjid dengan menghadirkan semua sahabat. Penyerbuan ke rumah Fâthimah untuk memaksa ‘Alî, keluarga dan teman-temannya membaiat Abû Bakar. Penghibahan jabatan khalîfah kepadanya oleh Abû Bakar. (‘Alî mengatakan: ‘Engkau memerah susu baginya hari ini dan ia akan memerah susu bagimu besok!’). Di kemudian hari, ia menyusun anggota sûyrâ demikian rupa sehingga jatuh ke tangan ‘Utsmân ra. yang telah ‘diramalkannya’ akan secara pelan-pelan mengalihkannya ke Banû ‘Umayyah yang menjadi musuh bebuyutan keluarga Rasûl Allâh saw. di zaman jâhiliyah dan menimbulkan musibah besar terhadap anak cucu Rasûl Allâh saw. dan pengikut-pengikut mereka.

Bagi banyak orang, tindakan ‘Umar ini bukanlah aneh.

Ibn Abîl-Hadîd melukiskan dengan kata-kata An-Naqib Abû Ja’far Yahyâ bin Muhammad bin Abî Zaid yang penulis terjemahkan secara bebas:

‘Janganlah heran bila ‘Umar membaiat Abû Bakar sedang ia mengeta­hui kedudukan ‘Alî. Karena ‘Umar punya keberanian untuk itu dan malah ia sering sekali mengingkari perintah Rasûl Allâh saw. dan Rasûl diam saja. Banyak sekali contoh yang menyangkut nash seper­ti pengingkarannya terhadap salat jenazah orang munafik (yang bernama ‘Abdullâh bin ‘Ubay) sambil menarik baju Rasûl Allâh saw., mengingkari perdamaian Hudaibiyah, harta rampasan Perang Hunain, perintah Nabî saw. untuk menyembelih sebagian unta dalam Perang Tabuk dan memakan dagingnya bila kelaparan, pengingkaran perintah Rasûl saw. kepada Abû Hurairah untuk menyeru: ‘Barangsiapa mengu­capkan Lâ ilâha ilallâh akan masuk surga’, dan memukul Abû Hurairah sampai jatuh, mengingkari Rasûl yang memer­intahkannya membunuh seseorang sedang Rasûl bersabda bila orang tersebut dibunuh, tidak akan ada dua orang yang berselisih dan banyak yang lain yang tertulis dalam buku-buku hadis. Tetapi belum pernah terjadi seperti ingkarnya ‘Umar terhadap Rasûl saw. tatkala Rasûl sakit yang berakhir dengan wafatnya: ‘Bawalah kemari kertas dan tinta, akan kutulis­kan kepadamu sebuah surat agar kamu tidak akan pernah tersesat selama-lamanya!’ Dan Rasûl saw. diam saja. Dan sesuatu yang ganjil terjadi. ‘Umar berkata: ‘Cukup bagi kami Kitâb Allâh!’. Dan orang-orang yang hadir mulai ribut. Ada yang mengulangi sabda Rasûl Allâh saw. dan ada yang mengulangi kata-kata ‘Umar. Sehing­ga Rasûl saw. bersabda: ‘Keluar, tiada pantas bertengkar di depan Rasûl saw!.’

Marilah kita lihat sebuah contoh yaitu penolakan ‘Umar tehadap perdamaian Hudaibiyah:

Bukhârî menulis dalam shahîhnya, Kitâb as-Syurûth yang berasal dari ‘Umar:[9]

Aku berkata: ‘Bukankah engkau benar-benar Nabî?’

Rasûl Allâh saw.: ‘Benar!’

‘Umar: Bukankah kita berada dalam hak dan musuh kita dalam keba­tilan?’

Rasûl Allâh saw.: ‘Benar!’

‘Umar: ‘Bukankah kita telah merendahkan agama kita?’

Rasûl Allâh saw.: ‘Aku ini pesuruh Allâh SWT. Aku tidak akan menentang Allâh SWT. Ia adalah penolongku.’

‘Umar: ‘Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kami akan mendatangi Bait Allâh dan akan bertawaf?.

Rasûl Allâh saw.: ‘Benar! Apakah aku mengatakan kepadamu bahwa kita akan mengunjunginya tahun ini?’

‘Umar: ‘Tidak!’

Rasûl Allâh saw.: ‘Engkau pasti akan mengunjunginya dan bertawaf!

‘Umar meneruskan: ‘Aku mendatangi Abû Bakar’.

‘Umar: ‘Ya Abû Bakar, bukankah Nabî Allâh itu hak?’

Abû Bakar: Ya

‘Umar: ‘Bukankah kita berada dalam hak dan musuh kita dalam kebatilan?’

Abû Bakar: ‘Benar’

‘Umar: ‘Bukankah kita telah merendahkan agama kita?’

Abû Bakar: ‘Hai laki-laki, ia adalah pesuruh Allâh dan tidak akan menentang Tuhannya, Dia adalah penolongnya! Demi Allâh, Ia berada di atas kebenaran.

‘Umar:’Bukankah ia mengatakan bahwa kita akan mengunjungi ka’bah dan bertawaf?’

Abû Bakar:’Benar! Apakah ia mengatakan kepadamu bahwa engkau akan mengunjunginya tahun ini?’

‘Umar:’Tidak!’

Abû Bakar: ‘Maka kau akan mengunjunginya dan bertawaf!’

Dan aku melaksanakannya’.

(Pada waktu penaklukan Makkah, Rasûl Allâh menyuruh panggil ‘Umar dan bersabda: ‘Ya ‘Umar, ini yang kukatakan padamu’)

Setelah Rasûl wafat, ‘Umar juga telah membuat ijtihâd-ijtihâd yang dianggap bertentangan dengan nash seperti manakwilkan ayat Al-Qur’ân yang berkenaan dengan khumus dan zakat, menakwilkan ayat yang bersangkutan dengan perkawinan mut’ah, ‘thalaq’ tiga sekaligus’, menakwilkan Sunnah Rasûl mengenai salat pada bulan Ramadhan, menakwilkan kalimat adzan, jumlah ucapan takbir pada shalât jenazah dan banyak yang lain.[10]

Perbedaan

Selama 24 tahun[11], yaitu selama pemerintahan Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân, ‘Alî bin Abî Thâlib hampir tidak keluar dari rumahnya, sea­kan-akan ia bukan warga dari umat itu; hanya sekali-sekali ia memberikan pendapat, apabila diminta.

‘Umar, misalnya, pernah berkata, ‘Apabila tidak ada ‘Alî, celakalah ‘Umar!’ dan ‘Mudah-mudahan jangan datang kesulitan apabila ‘Alî tidak ada!’[12]

Tetapi, orang meragukan sampai sejauh mana ‘Umar mendengarkan pendapat ‘Alî. Veccia Vaglieri melukiskannya:’ ‘Alî dimasukkan ke dalam Majelis Permusyawaratan para khalîfah, dan meskipun ia diminta untuk memberi nasihat dalam masalah hukum, karena penguasaannya terhadap Al-Qur’ân dan Sunnah, sangatlah meragukan apakah nasihatnya diterima oleh ‘Umar, yang sebenarnya memegang kekuasaan bahkan dalam kekhalifahan Abû Bakar sekali­pun’.

Di samping keyakinan ‘Alî akan Imâmah yang berdasarkan nas, yang menjadi haknya, ia juga berbeda pendapat dengan ketiga khalîfah sebelumnya dalam masalah-masalah keagamaan. Hal ini nyata sekali, apabila kita lihat bahwa pikiran-pikiran ‘Umar mendapat tempat di kalangan kaum Sunnî, sedang pendapat ‘Alî diikuti kalangan Syî’ah. Dalam segi politik maupun administrasi, ‘Alî juga berbeda pendapat. Dalam masalah pembagian diwan (gaji tahunan), misalnya, ‘Alî mengubahnya tatkala ia menjadi khalîfah di kemudian hari.

Suatu pertanyaan akan timbul setelah kita lihat sikap ‘Alî yang dengan tegas menolak pengangkatan Abû Bakar di Saqîfah, dengan alasan bahwa Rasûl telah menunjuknya sebagai pengganti beliau. Mengapa maka ‘Alî tidak melawan dengan kekerasan untuk merebut kekuasaan dari Abû Bakar? Dapat dikatakan di sini bahwa sebenarn­ya memang ada kesempatan untuk itu.

Ibnu Sa’d dalam Thabaqât menceritakan bahwa sebelum Rasûl dimakam­kan, ‘Abbâs berkata kepada ‘Alî: ‘Saya akan membaiat Anda di depan umum, agar orang lain melakukan hal yang sama’. Mas’ûdî menceri­takan bahwa ‘Abbâs (paman Rasûl dan paman ‘Alî) berkata kepada ‘Alî: ‘Biarkan saya membaiat Anda, wahai anak saudaraku, agar tidak ada keraguan di kalangan rakyat, bahwa Anda adalah khalîfah’. Demikian juga penulis-penulis lain, di antaranya Dzahabî, mengatakan bahwa ‘Abbâs telah berkata kepada ‘Alî: ‘Biarkan saya membaiat Anda, agar rakyat mengatakan bahwa paman membaiat kema­nakannya’.

Jauharî mengatakan, bahwa ‘Abbâs kemudian menyalahkan ‘Alî, dengan kata-kata:

Tatkala Rasûl wafat, Abû Sufyân dan saya (Abbas) datang kepada Anda dan menginginkan Anda menjadi pemimpin, dan saya sendiri akan membaiat Anda. Seluruh keluarga ‘Abdul Manâf dan keluarga Banû Hâsyim berpihak kepada Anda, maka kepemimpinan Anda akan ditegaskan dengan kukuh. Tetapi Anda mengatakan kepada kami untuk menunda pembaiatan sampai selesainya pemakaman Rasûl’.[13]

Thabarî mengatakan bahwa ‘Abbâs berkata kepada ‘Alî agar tidak membuang-buang waktu, tetapi ‘Alî tidak mau mendengarkannya.

Agaknya ‘Alî menolak pembaiatan dari pendukung-pendukungnya, karena beberapa pertimbangan:

1. ‘Alî berpendapat bahwa penguburan Rasûl harus dida­hulukan dari segala-galanya.

2. Ia merasa telah ditunjuk oleh Rasûl sebagai penggan­tinya. Dan ia tidak menyangka akan timbul peristiwa seperti yang terjadi di Saqîfah.

Namun, setelah Rasûl dimakamkan, hari ketiga setelah beliau wafat, agaknya ‘Alî telah mempertimbangkan untuk merebut kekua­saan. Mu’âwiyah,Gubernur Syam,tatkala ‘Alî telah menjadi khalîfah, 25 tahun kemudian, menulis surat kepada ‘Alî:

‘Seperti baru kemarin engkau meletakkan istrimu (Fâthimah) di punggung keledai pada malam hari ,yaitu pada waktu Abû Bakar ash-Shiddîq dibaiat. Engkau seharusnya menyuruh istrimu berdiam di rumah dan menjaga anakmu Hasan dan Husain, tetapi engkau malah membiarkan ia menunggang keledai dan mengetuk pintu-pintu rumah para peserta Perang Badr, dan meminta mereka agar tidak mendukung Abû Bakar, Sahabat Rasûl, dan agar mereka mendukungmu. Dan tidak ada yang menyambutmu kecuali empat atau lima orang. Saya bersum­pah dengan jiwa saya, bahwa bila engkau benar, tentu mereka akan mendukungmu. Engkau menuntut sesuatu yang bukan menjadi hakmu. Kau mengatakan hal-hal yang belum pernah kudengar sebelumnya.Ingatan saya buruk, tetapi saya tidak akan pernah melupakan kata-kata yang engkau katakan kepada Abû Sufyân:Bila engkau mempunyai empat puluh orang, aku akan pergi merebut hakku dari mereka, dengan kekerasan.”[14]

Ya’qûbi, misalnya, mengatakan bahwa beberapa orang telah datang untuk membaiat ‘Alî. ‘Alî mengatakan kepada mereka untuk kembali esok harinya dengan rambut yang telah dicukur, tetapi hanya tiga orang yang kembali.[15]

Sesudah itu, ‘Alî biasa menunggang keledai bersama istrinya Fâthimah untuk mencari dukungan. Tetapi orang-orang berkata kepada Fâthimah: ‘Wahai, putri Rasûl. Kami telah membaiat kepada laki-laki itu (maksudnya Abû Bakar), andaikata anak paman Anda (‘Alî) datang lebih dahulu kami tidak boleh memilih yang lain’’.[16]

‘Alî menjawab: ‘Sungguh memalukan! Apakah Anda mengharapkan saya meninggalkan jenazah Rasûl dan melibatkan diri dalam perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan’.

Fâthimah sering mengatakan bahwa ‘Alî telah melakukan apa yang harus dilakukannya, dan Allâh akan menanyai mereka tentang apa yang mereka lakukan.[17]



[1] Nahju’l-Balâghah, Khotbah 3.

[2] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 19; Thabarî, Târîkh, edisi de Goeje et al, jilid 1, hlm. 2780; Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Iqd al-Farîd, jilid 4, hlm. 276; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 191

[3] Al-Qur’ân 47:9

[4] Thabarî, Târîkh, jilid 5, hlm. 31; Târîkh Ibnu Atsîr, jilid 3, hlm. 31; Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 12, hlm. 46; jilid 12, hlm. 52, 53, 54

[5] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 12, hlm. 20, 21; Lihat juga Syarafuddîn al-Mûsâwî, Dialog Sunnah Syi’ah, terjemahan Muhammad al-Baqir, Mîzân, Bandung.

[6] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 12, hlm. 82. Lihat catatan kaki Bab 15: ‘Alî Dan Peristiwa Saqifah, sub bab ‘Umar: ‘Alî Terlalu Muda?

[7] Bila kita ikuti perdebatan antara Ibnu ‘Abbâs dan ‘Umar, kita melihat bahwa Ibnu ‘Abbâs mengingatkan ‘Umar agar mendahulukan nash dari pendapat pribadi. Tatkala turun ayat “Dan beri peringatanlah kepada keluargamu terdekat”, misaln­ya, Rasûl telah menetapkan ‘Alî sebagai khalîfah-nya tatkala ‘Alî baru berumur belasan tahun. Demikian pula hadis-hadis lain menge­nai ‘Alî yang tak terhitung jumlahnya. Lihat Bab 18: Nas Bagi ‘Alî. Semua orang tahu bahwa Rasûl Allâh mengangkat Usamah bin Zaid jadi jenderal yang membawahi kaum Muhâjirîn dan Anshâr termasuk Abû Bakar, ‘Umar, Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh dan Sa’d bin ‘Ubâdah untuk berperang melawan kaum Romawi di Mu’tah, tatka­la ia baru berumur 18 tahun

[8] Lihat bab ‘Nas Bagi ‘Alî’.

[9] Shahîh Muslim, al-Jihâd was-Sair, bab 34, jilid 3, hlm. 1412; Shahîh Bukhârî, Tafsîr Surat 48, jilid 6, hlm. 170 dan lain-lain

[10] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 12, hlm. 81-87. Nash wal Ijtihad karangan al-Imâm al-Mûsâwî, 1404 H, Qum.

[11] Sejak masa awal Rasûl wafat 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 H. sampai ‘Utsman meninggal tanggal 18 Dzul Hijjah, yahun 35 H., 24 tahun 9 bulan.

[12] Ibnu ‘Abdil Barr, Istî’âb, jilid 3, hlm. 104.

[13] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 48

[14] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 37.

[15] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 67.

[16] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105

[17] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 31 dst

No comments:

Post a Comment