Sunday, August 2, 2009

2 Sumber

2

Sumber

Catatan Ibnu Ishâq

T

ulisan yang paling dini tentang pemilihan khalîfah pertama yang berlangsung di Saqîfah atau balairung Banû Sâ’idah, adalah karya Muhammad bin Ishâq bin Yasar, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Ishâq (85-151 H.,704-768 M.) dalam bukunya As-Sîrah an-Nabawiyyah. Dalam buku ini, peristiwa yang terjadi di Saqîfah Banî Sâ’idah itu hanya mengambil tempat tiga setengah halaman. Hal ini dapat dipahami, karena Ibnu Ishâq menulis tentang Sîrah atau Riwayat Hidup Nabî, sedang peristiwa Saqîfah terjadi sesudah wafatnya Rasûl.

Catatan Ibnu Sa’d

Penulis kedua ialah Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Sa’d, yang umum dikenal sebagai Ibnu Sa’d (lahir 168 H.,768 M.), dalam kitabnya ath-Thabaqât al-Kubrâ. Ibnu Sa’d menulis sepanjang dua halaman tentang suku, keluarga, nama dan julukan Abû Bakar. Misalnya, ia mengatakan bahwa tatkala terjadi Isra’ dan Mi’raj, Rasûl khawatir bahwa orang tidak akan memercayainya, namun malaikat meyakinkan beliau bahwa Abû Bakar akan memercayainya, karena Abû Bakar adalah as-Shiddîq, yang benar.

Dalam bab kedua, dengan judul ‘Abû Bakar masuk Islam’, ia memuat lima riwayat, yang semuanya membuktikan bahwa Abû Bakar as-Shiddîq adalah laki-laki pertama yang masuk Islam, dan sama sekali menolak riwayat yang mengatakan bahwa “Ali bin Abî Thâlib-lah pria pertama masuk Islam’.

Kemudian disusul oleh bab ketiga, dengan judul ‘Riwayat tentang Gua dan Hijrah Nabî ke Madînah’. Untuk ini ia mengemukakan 26 hadis. Hadis-hadis ini mengatakan bahwa Abû Bakar adalah ‘satu dari dua orang’, tatkala Rasûl bersembunyi di gua dalam perjala­nan Hijrah beliau ke Madînah, dan bahwa bantuan Abû Bakar tidak terbatas pada saat-saat yang demikian kritisnya.

Kemudian Ibnu Sa’d menceritakan persaudaraan Abû Bakar dan ‘Umar dalam keimanan, dan pernyataan Nabî bahwa mereka berdua adalah pemimpin orang dewasa di surga, untuk selama-lamanya, selain para Rasûl dan Nabî. Ini disusul lagi dengan hadis-hadis yang melukiskan kecintaan Rasûl kepada Abû Bakar, yaitu tatkala beliau perintahkan Abû Bakar membangun rumahnya di samping Masjid Madînah, sedang para Sahabat lain tidak. Disebutkan bahwa Abû Bakar membela Rasûl pada setiap peperangan, dan bahwa dialah yang diperintahkan membawa panji pada perang Tabuk.

Terdapat lima riwayat dalam bab ini yang memuat pernyataan Nabî, bahwa bila Rasûl hanya harus memilih seorang Sahabat saja, maka beliau akan memilih Abû Bakar. ‘Tidak ada yang kucintai dari umatku melebihi Abû Bakar,’ sabda Nabî.

Pada bagian keempat, dengan judul ‘Riwayat tentang salat yang diimami Abû Bakar atas perintah Rasûl, sebelum Rasûl wafat’, ia mengemukakan sepuluh hadis, lima di antaranya mengatakan bahwa hanya Abû Bakarlah yang boleh mengimami salat ketika Rasûl sedang sakit.

Tiga hadis yang menyusul menceritakan betapa Rasûl yang sedang sakit meminta kertas dan tinta untuk mendiktekan wasiat beliau, dan Rasûl akan menetapkan Abû Bakar untuk menggantikan beliau kelak sesudah wafat, agar umat tidak akan ragu. Tatkala ‘Abdurrahmân bin Abû Bakar akan pergi mengambil kertas dan tinta sesuai perintah Rasûl, orang-orang yang hadir pada waktu itu mengatakan: ‘Duduklah! Siapa yang akan berselisih paham?’

Riwayat yang kesembilan menceritakan bahwa ada orang bertanya kepada ‘Â’isyah: ‘Wahai, Ibu kaum mu’minîn, siapakah yang akan ditunjuk Rasûl sebagai pengganti beliau andaikata Rasûl harus menunjuk penggantinya?’ ‘Abû Bakar,’ jawab ‘Â’isyah. ‘Siapa sesudah Abû Bakar?’ ‘Umar,’ jawabnya. ‘Siapa sesudah ‘Umar?’ “Ubaidah bin Jarrâh,’ jawabnya lagi.

Bab yang kesepuluh ini ditutup dengan hadis yang berhubungan dengan bab yang sebelumnya: ‘Nabî sakit selama tiga belas hari; dalam keadaan sakit beliau membaik, beliau mengimami sembahyang, dan pada waktu memburuk, Abû Bakar menjadi imam’. Dalam bab ini, ia malah memasukkan peristiwa yang akan dibahasnya kemudian, yaitu pembelaan ‘Umar terhadap Abû Bakar, bahwa Abû Bakar memim­pin salat tatkala Rasûl sakit:

Pada waktu Rasûl wafat, dan kaum Anshâr mengusulkan (dalam Ba­lairung Banû Sai’dah), ‘Biar kami mengambil seorang pemimpin di antara kami’, ‘Umar mengatakan, ‘Tidakkah kamu mengetahui, wahai kaum Anshâr, bahwa Rasûl menunjuk Abû Bakar untuk menjadi imam salat?’ Kaum Anshâr berkata: ‘Ya’. ‘Maka inginkah kamu lebih mengutamakan diri kamu dari Abû Bakar?’ ‘Kami berlindung kepada Allâh dari mengutamakan diri kami melebihi Abû Bakar, kata kaum Anshâr.

Prolog yang ditulis Ibnu Sa’d ini menunjukkan dengan jelas betapa ia ingin memberi kesan kepada pembaca, bahwa pengangkatan Abû Bakar menjadi khalîfah adalah hal yang wajar, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para Sahabat.

Kemudian ia membicarakan peristiwa Saqîfah dengan bab berjudul ‘Kisah (dzikir) Baiat Abû Bakar’, dan tidak menggunakan istilah ‘Peristiwa (amr). Ia kemudian membawa lima belas riwayat, meski­pun hanya enam yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan Saqîfah. Riwayat yang pertama mengatakan bahwa tatkala ‘Umar mendatangi Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh dan berkata: ‘Buka tangan Anda, saya akan membaiat Anda, karena Nabî mengatakan bahwa Anda adalah yang terpercaya dari umat ini’, Abû ‘Ubaidah menjawab, ‘Wahai, ‘Umar, saya belum pernah melihat Anda sesat sejak Anda menjadi Muslim. Apakah Anda mendurhakakan saya, sedang di antara kita ada as-Shâdiq, orang kedua dari dua orang yang berada di dalam gua?’

Riwayat yang kedua hampir sama dengan yang di atas itu. Dalam riwayat yang ketiga, Ibnu Sa’d mengutip sebuah kalimat dari tulisan Ibnu Ishâq: ‘Ibnu ‘Abbâs berkata, ‘Saya mendengar ‘Umar bicara tatkala menceritakan pembaiatan Abû Bakar: ‘Tiada seorang pun di antara kalian yang dicintai rakyat melebihi Abû Bakar’.

Dalam riwayat yang keempat, Ibnu Sa’d berkata:

Tatkala orang lain menarik diri dari Abû Bakar, ia berkata,’Siap­akah yang lebih patut menerima tugas ini, selain saya? Bukankah saya yang pertama salat bersama Nabî? Kemudian ia menyebut keba­jikan-kebajikan yang dilakukannya bersama Nabî’.

Pada bagian tulisan yang disebut terakhir ini, Ibnu Sa’d tidak dapat menutupi timbulnya kontroversi dengan adanya pembelaan diri Abû Bakar, dan pembelaan ‘Umar terhadap Abû Bakar di Saqîfah, meskipun Ibnu Sa’d menulis demikian baiknya untuk membenarkan pemilihan Abû Bakar.

Catatan Balâdzurî

Kita pindah sekarang ke penulis lain, yang lebih muda usia, tetapi masih hidup sezaman dengan Ibnu Sa’d, yaitu Ahmad bin Yahyâ bin Jâbir al-Balâdzurî (meninggal 279 H.,892 M.), penulis Ansâb al-Asyrâf. Balâdzurî seorang penulis yang teliti. Di samping mengutip Ibnu Sa’d, ia juga mengumpulkan bahan dari sumber-sumber lain. Pada bab yang berjudul ‘Peristiwa Saqîfah’ ,ia mencatat 33 riwayat, tujuh di antaranya sama dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Sa’d; ia selalu mengatakan haddatsani (ia berkata kepadaku), yang menunjukkan bahwa ia tidak mengutip buku karangan Ibnu Sa’d.

Riwayat yang lain, sebanyak 26 buah, yang menceritakan perbedaan pendapat tentang siapa yang seharusnya menjadi pengganti kepemim­pinan Rasûl, perdebatan yang terjadi di Saqîfah, saling menuntut hak antara kaum Anshâr dan Muhâjirîn, protes ‘Alî tentang pemili­han, penolakan Banû Hâsyim dan sebagian kaum Anshâr terhadap Abû Bakar, dan pernyataan Abû Bakar sendiri bahwa ia bukanlah calon yang terbaik, dan bahwa ia menerima jabatan khalîfah hanya untuk menyelamatkan umat dari perpecahan. Yang menarik ialah pernyataan Balâdzurî (empat dari dua puluh enam riwayat), bahwa ia mendengar langsung dari Ibnu Sa’d, dengan kata-kata haddatsani (ia telah berkata padaku), berupa:

1. Peristiwa lengkap tentang perdebatan di Saqîfah.

2. Tawaran bantuan Abû Sufyân kepada ‘Alî, andai kata ‘Alî mau dibaiat menjadi khalîfah untuk menentang Abû Bakar, yang ditolak oleh ‘Alî.

3. Pernyataan Abû Bakar bahwa meskipun ia bukanlah calon yang terbaik, ia menerima jabatan khalîfah untuk mencegah perpecahan di kalangan kaum Muslimîn.

4. Sebagian dari pidato ‘Umar yang mengatakan bahwa pemilihan Abû Bakar adalah suatu peristiwa keliru karena dilakukan tergesa-gesa (faltah), namun telah menyela­matkan umat dari bencana.

Ibnu Sa’d ternyata mengetahui betul pentingnya riwayat ini, dan merasa perlu untuk menyapaikannya kepada Balâdzurî, tetapi ia sendiri tidak memasukkannya ke dalam bukunya Thabaqât. Meskipun Balâdzurî cenderung kepada Abû Bakar untuk jabatan khalîfah, ia tidak menutup kecenderungan sebagian Sahabat yang terkemuka untuk memihak kepada ‘Alî bin Abî Thâlib.

Catatan Ya’qûbi

Gambaran tentang Saqîfah belum lengkap sebelum meneliti tulisan Ibnu Wadih al-Ya’qûbi (meninggal 284 H.,897 M.) yang lebih muda usia, namun yang sezaman dengan Balâdzurî, dalam isi maupun penekanan. Bila Ibnu Sa’d mengatakan bahwa Abû Bakar tidak mengalami perlawanan di Saqîfah, Ya’qûbi menerangkan bahwa terdapat pertentangan yang hebat terhadap pengangkatan Abû Bakar, yang datangnya dari para pendukung ‘Alî. Ia menulis tentang Saqîfah sepanjang empat halaman, dari sumber yang bermacam-macam, termasuk Madâ’inî dan Abû Mikhnaf Lûth al-’Azdî, yang juga digunakan oleh Tha­barî. Meskipun bersimpati kepada ‘Alî, tulisannya dapat melengka­pi tulisan sebelumnya.

Catatan Thabarî

Penulis lainnya ialah Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî (meninggal 310 H.,922 M.). Tulisannya mengenai Saqîfah adalah yang paling lengkap, sama seperti Ibnu Ishâq. Perbedaannya adalah bahwa isnâd yang digunakan Thabarî melalui jalur ‘Abbâd bin ‘Abbâd Muhallabî dari ‘Abbâd bin Rasyîd. Sedang tiga rantai paling atas adalah sama dengan Ibnu Ishâq. Tulisan Thabarî tentang peristiwa Saqîfah dianggap paling berimbang dan tidak memihak, memberikan penjela­san bahwa ada dukungan yang kuat bagi ‘Alî, tetapi menekankan bahwa Abû Bakar dipilih oleh mayoritas. Sejarah karangan Thabarî berjudul Târîkh al-Umam wal Mulûk, diterbitkan oleh Penerbit Istiqamah, Kairo, 1358 H.,1939 M. Namun dalam edisi terbitan Leiden, 1879-1901, kitab itu berjudul Târîkh ar-Rusul wal Mulûk. Kecuali bila dinyatakan lain maka yang dimaksud penulis dengan Târîkh Thabarî ialah Thabarî edisi Kairo, Mesir, itu.

Catatan Ibn Abîl-Hadîd

Penulis lain yang paling banyak memuat peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah adalah ‘Izzuddîn Abû Hâmid bin Abil Husain Hibatullâh bin Muhammad bin Muhammad bin Husain bin Abil Hadîd al-Madâ’inî, yang terkenal dengan sebutan Ibn Abîl-Hadîd (586-656 H.,1190-1258 M.), dalam bukunya yang ensiklopedik, Syarh Nahju’l-Balâghah, yang terdiri dari dua puluh jilid. Buku ini memuat catatan-catatan sejarah yang bermutu. Di samping mengutip buku-buku sejarah seperti Târîkh karangan Thabarî, al-Aghânî (buku tentang nyanyian-nyanyian dan liku-liku sejarah yang diiringinya) karangan Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, kitab-kitab Shahîh Bukhârî dan Muslim, serta berpuluh buku lainnya, ia juga memuat catatan-catatan sejarah yang langka, melalui isnâd yang lengkap dari sumber-sumber lama, yang tidak dimuat oleh Thabarî atau penulis-penulis lainnya.

Tentang peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah, misalnya, ia mengutip dari banyak sumber, di antaranya buku Saqîfah karangan Jauharî (meninggal 298 H.,910 M.). Buku ini telah ‘hilang’ dan tidak dikutip oleh Thabarî. Peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah terdapat dalam jilid kedua, hlm. 21-61, dengan judul ‘Hadîts Saqîfah’, dan jilid keenam, hlm. 5-45, dengan judul ‘Akhbâr Yaum as-Saqîfah’. Di samping itu, Ibn Abîl-Hadîd juga mencatat riwayat-riwayat dengan isnâd yang dapat dipercaya tentang latar belakang ‘sosial politik’ dari tokoh-tokoh yang berperan dalam peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah, melalui dialog-dialog yang menarik, misalnya antara ‘Umar dan Ibnu ‘Abbâs , yang sebagiannya kami muat dalam buku ini.

Ibn Abîl-Hadîd adalah seorang alim yang terkenal pada zamannya, sebagai ahli sejarah, penyair, ahli kesusasteraan, ahli bahasa, seorang faqih dan peneliti yang tekun. Maka tidaklah mengherankan apabila tokoh Sunnî seperti Abul A’lâ al-Maududî meme­tik juga Syarh Nahju’l-Balâghah dalam bukunya Khilafah dan Kera­jaan.

Ibn Abîl-Hadîd menulis sedikitnya enam belas; sebuah bukunya, Kitâb al-Fashih ditulisnya hanya dalam tempo 24 jam, dan sebuah yang lain, al-Falak ad-Da’ir ‘alâ al-Matsal as-Sa’ir diselesaikannya dalam lima belas hari; sedang Syarh Nahju’l-Balâghah ditulisnya selama lima tahun. Ketiga buku ini dipilih oleh Brockelman sebagai tiga dari lima buku ilmiah karangan Ibn Abîl-Hadîd.

Ibn Abîl-Hadîd mengemukakan pendapatnya secara terpisah, begitu pula pendapat kaum Mu’tazilah dan Syî’ah. Tuduhan bahwa Ibn Abîl-Hadîd adalah seorang Syî’î, tidak sesuai dengan pengakuannya sendiri. Meskipun ia berpendapat bahwa ‘Alî bin Abî Thâlib, ditinjau dari segala segi,memang merupakan orang pertama sesudah Rasûl, dan seharusnya telah menjadi Amîru’l-mu’minîn sejak awalnya, dan bahwa ‘Alî tidak bersalah andai kata ia melakukan pemberontakan terhadap khalîfah Abû Bakar, namun Ibn Abîl-Hadîd tidak berpendapat bahwa ‘Alî telah ditunjuk Rasûl berdasarkan nash. Ini berbeda secara diametrikal dengan paham Syî’ah. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang yang ‘berdiri di antara Sunnî dan Syî’ah’, bainal fariqain, antara kedua firqah. Karena bermazhab Mu’tazilah, ia juga sering dinamakan Ibn Abîl-Hadîd al-Mu’tazili.

Sekali lagi, penulis hanya mengutip masalah detil yang juga dicatat oleh tokoh Sunnî Ibnu Qutaibah dalam Imâmah was Siyasah seperti dialog antara Fâthimah dan Abû Bakar, atau memperkuat catatan dari sumber-sumber Sunnî. Ibn Abîl-Hadîd juga memuat khotbah Jum’at ‘Umar tentang peristiwa Saqîfah, seperti Ibnu Ishâq, Thabarî, Ibnu Sa’d, Balâdzurî dan lain-lain, melalui rang­kaian isnâd yang berbeda.

Catatan Tentang Beberapa Penulis

Ibnu Ishâq

Muhammad ibn Ishâq bin Yasar bin Khiyar, lahir di Madînah tahun 85 H.,704 M. pada masa akhir khalîfah ‘AbdulMâlik dari Dinas­ti ‘Umayyah. Kakeknya Yasar adalah budak Qays bin Makhramah bin Muththalib dan setelah dibebaskan jadi maulâ-nya. Ia hidup seza­man dengan Imâm Mâlik dan Sa’îd bin Musayyib dan berguru pada banyak tâbi’în. Ia meninggal di Baghdâd antara tahun 150-154 H.,767-770 M. pada masa khalîfah ‘Abbâsiyah al-Manshur. Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl, yaitu para kritikus awal, kebanyakan memujinya. Zuhrî menilainya sebagai ‘yang paling alim dalam maghâzî’ , ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan Rasûl’ , dan ‘Asim bin ‘Umar bin Qatâdah mengatakan bahwa ‘ilmu berada pada kita selama Ibnu Ishâq hidup’. Syu’bah bin Hajjâj (85-160 H.,704-777 M.) menggambarkannya sebagai ‘amîr dalam hadîts’. Imâm Syâfi’î mengatakan, ‘barangsiapa ingin belajar maghâzî secara mendalam, harus belajar dari Ibn Ishâq.’ Begitu juga Yahyâ bin Ma’in dan Imâm Ahmad bin Hambal memujinya. Mâlik bin Anas pernah mengutuknya sebagai ‘dajjal’, tapi kemudian menariknya kembali.

al-Wâqidî

Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn ‘Umar al-Wâqidî lahir di Madînah. Ayahnya al-Waqid, adalah maulâ, bekas budak ‘Abdullâh bin Buraida yang berdomisili di Madînah. Hanya satu bukunya yang tertinggal, yaitu Kitâb al-Maghâzî (Buku Tentang Ekspedisi-ekspedisi). Imâm Ahmad bin Hanbal, menamakannya ‘pembohong’ dan Dzahabî mengatakan bahwa ‘tulisannya tidak lagi dikutip’. Ibnu Khalikân mengatakan bahwa hadisnya lemah dan diragukan kejujuran para perawinya’. Meskipun banyak kritik terhadap buku ini, tapi beritanya tentang kehidupan Rasûl di Madînah sangat bermanfaat. Kitâb al-Maghâzî terbit di London, Oxford University Press, 1966, terdiri dari 2 jilid.

Ibn Sa’d

Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Sa’d bin Mani al-Bashri al-Hâsyimi, juru tulis atau kâtib dari Wâqidî, juga maulâ. Kakeknya adalah budak yang dibebaskan Husain bin ‘Abdullâh bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abbâs. Meskipun ia mendasarkan tulisannya dari tulisan gurunya Wâqidî, berbalikan dengan Wâqidî, ia dianggap sebagai ‘dapat dipercaya, adil’. Kitâb yang ditulisnya berjudul al-Thabaqât al-Kubrâ (Golongan-golongan yang Besar) atau disebut juga Kitâb al-Thabaqât al-Kabîr (Buku Besar tentang Golongan-golongan atau Kelas). Terbit di Beirut, 1957-1960, terdiri dari 7 jilid.

Thabarî

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr Ibn Yazîd ath-Thabarî al-’Amuli lahir tahun 224 H.,839 M. atau 225 H.,840 M. dan mening­gal tahun 310 H.,922 M. Ia adalah seorang yang cemerlang dan pada masanya dianggap sebagai ahli ilmu hadis, fiqih, tafsir dan sejarah serta bahasa. Ibn al-Nadim menggambarkannya sebagai ‘ahli fiqih yang setaraf dengan Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î dan Dâwud bin ‘Alî’. Umur 7 tahun ia belajar Al-Qur’ân dari ayahnya di kampungnya Amul, kemudian melanjutkan ke Ray, Bashrah dan Kûfah, Mesir dan Syria. Ia bela­jar hadis-hadis di kalangan penganut Mazhab Mâlikî dan Syâfi’î. Akhirnya ia kembali ke Baghdâd dan meninggal di kota ini. ‘Ia dikuburkan malam hari di halaman rumahnya karena takut pada penganut faham Hanbalî yang menuduhnya sebagai orang Syî’ah, tasyayyu’ seperti dilaporkan oleh Yaqut dalam ‘Mu’jam’l-‘Ubadâ’. Di antara buku-bukunya adalah Tahdzîb al-Âtsâr. Dalam buku ini ia melakukan studi kritis terhadap hadis dan dengan demikian punya madzhab yang bebas dan di bagian tertentu sesuai dengan Syî’ah. Tuduhan bahwa ia adalah râfidhah yang besar mungkin disebabkan ia menulis hadis ‘al-Ghadîr’ dan membuat catatan-catatan yang dianggap mengutamakan ‘Alî seperti ‘Hadîts ath-Thayr’. Dapat difahami bahwa hadis al-Ghadîr ini sangat meresah­kan kaum Hanabilah (pengikut mazhab sunnah Hanbalî), di mana Rasûl telah bersabda:

‘Man kuntu maulâhu, fa ‘Alîyyun maulâhu, Allâhumma wâli man wâlâhu, wa ‘âdî man ‘âdâhu ,

‘Barangsiapa menganggap aku sebagai walinya, maka ‘Alî juga adalah walinya, Allâhumma ya Allâh, cintailah siapa yang mencin­tainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya.’

Dan yang hadir di Ghadîr Khum memberi selamat kepada ‘Alî terma­suk Abû Bakar dan ‘Umar.[1].

Kaum râfidhah atau râfidhî berarti ‘yang menolak’ dan biasanya dimaksudkan ‘orang yang keterlaluan mengecam Abû Bakar dan ‘Umar’ atau, malah, ‘orang yang mendahulukan ‘Alî dari Abû Bakar maupun ‘Umar’. Pada abad ke 3 H., abad 9 M. ada pameo ‘Tunjukkan kepada saya seorang Rafidhah kecil, dan saya akan tunjukkan kepada Anda seorang Syi’i besar’. Bukunya yang lain adalah tafsir ‘Jâmi’ al-Bayan fî Tafsîr Al-Qur’ân dan yang membuatnya tersohor adalah ‘Târîkh al-Umam wa’l-Mulûk’, ‘Sejarah bangsa-bangsa dan Raja-raja’ (Kairo, 1961). Ada yang berjudul ‘Târîkh al-Rusul wa’l-Mulûk’ Sejarah Utusan-utusan dan Raja-raja’, (dengan editor M. J. de Goeje et al, Leiden 1870-1901). Dan tidaklah adil menuduhnya sebagai Syî’ah. Thabarî, tentu menyadari bahwa sebagai seorang Sunnî ia punya adagium, bahwa para sahabat semuanya adalah adil, dan bahwa urutan keutamaan harus dimulai dari Abû Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsmân, baru yang terakhir adalah ‘Alî. Dan bagi seorang penulis besar sebagai Thabarî, ini bukanlah berarti, ia harus memilah-milah sejarah, membuang semua peristiwa yang membu­ka keaiban para sahabat dan membuang keutamaan ‘Alî sehingga urutan keutamaan itu berubah. Di samping itu pekerjaan ini bukan­lah pekerjaan mudah, bahkan mustahil.

Tapi dalam dalam kitab tafsirnya ‘Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur‘ân, (terbi di Kairo, 1328 H.) ia sangat hati-hati. Misalnya dalam menerangkan hadis ‘Dakwah Keluarga Terdekat’ dalam buku sejarahnya ia meriwayatkan bahwa Rasûl dikatakan telah bersabda tentang ‘Alî sebagai ‘saudaraku’ (akhî) dan pengemban wasitku (Washî) serta khalîfahku (khalîfatî). Tapi dalam buku tafirnya ia mempersingkat sabda Rasûl dengan ‘saudaraku dan begini serta begitu’ (kadâz wa kadâz).[2]

Maka tidak heran bila Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang dekat dengannya, yang tidak akan memaafkan siapa pun yang berbau Syî’ah, meskipun hanya secuil mengatakan bahwa buku Tafsîr Thabarî di atas adalah ‘yang paling shahîh di antara buku-buku tafsir yang ada dan tidak mengandung bid’ah’ (Fatâwâ Ibnu Taimiyah jilid 2, hlm. 192). Imam-imam seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Katsîr, Ibnu Hajar, Khatîb Baghdâdi, Ibnu Atsîr menganggapnya sebagai sebagai imam besar dalam al-Qur’ân, Sunnah dan Sejarah.

Balâdzurî

Ahmad bin Yahyâ bin Jâbir al-Balâdzurî yang hidup sezaman dengan Ibn Ishâq, meski termuda, menulis Ansâb al-Asyrâf (Silsilah Para Tokoh) yang sering dianggap sebagai buku biografi sejarah ter­penting abad ketiga hijriah. Ia, tidak berbeda banyak dengan Ibn Sa’d yang mengikuti al-Wâqidî karena ia mengikuti cara Ibn Sa’d. Tapi berbeda dengan Ibn Sa’d yang hanya mengambil pelapor-pelapor dari Madînah, Balâdzurî menambah dengan mengutip Madâ’inî yang berada antara tokoh-tokoh Madînah dan Kûfah. Ia mengutip juga dari Ibn al-Kalbi, Abû Ma’syar, ‘Awâna malah ia mengutip juga dari Abû Mikhnaf, yang dianggap berpihak kepada ‘Alî, meski hanya dua riwafat. Buku lain yang ditulisnya adalah Futûh al-Buldân, (Daerah-daerah yang Ditaklukkan).

Ibn Qutaibah

Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah ad-Dainuri adalah salah seorang imam dalam sastra, sejarah dan bahasa Arab dilahirkan di Baghdâd tahun 213 H.,628 M. dan tinggal di Kûfah. Ia pindah dan jadi Kadi di kota Dainur, dan meninggal di Baghdâd tahun 276 H.,988 M. Di antara karangannya adalah Ta’wil Mukhtalafu’l Hadîts, (Penjelasan Tentang Aneka Ragam Hadis), Adab al-Kâtib, (Etika Penulis), Ma’ârif, (Pengenalan), Syi’r wa Syu’arâ’, (Syair dan Para Penyair), dan Al-Imâmah wa’s Siyâsah, (Kepemimpinan dan Politik) yang terkenal juga sebagai Târîkh al-Khulafâ’, (Sejarah Para Khalîfah). Buku ini berisi tarikh sejak wafatnya Rasûl sampai zaman khalîfah Amîn dan saudaranya khalîfah Makmun.(Kairo, 1957)

Ia adalah seorang ahli sunah yang fanatik dan seorang nashibi, pembenci ahlu’l-bait [3].

Ibnu Katsîr, Maslamah bin Qâsim dan Ibnu Hajar memujinya dan melukiskannya sebagai dapat dipercaya.

Mengenai Al-Imâmah wa’s Siyâsah, ada yang meragukannya sebagai tulisan Ibn Qutaibah, kalau tidak seluruh, sebagiannya. Ada yang mengang­gap tulisan itu berasal dari tulisan-tulisan yang lebih lama. Mungkin karena buku ini menceriterakan pembangkangan ‘Alî terha­dap pembaiatan Abû Bakar, perdebatannya dengan Abû Bakar, percek­cokan antara Abû Bakar dan ‘Umar di satu pihak serta Fâthimah di pihak lain. Tetapi alasan ini berlebihan, karena Ibn Qutaibah bukanlah satu-satunya sumber berita tersebut.[4].

Lagi pula banyak ulama’ meyakini buku tersebut sebagai buku tulisan Ibn Qutaibah, sepert Ibn al-’Arabî (wafat 543 H.,1148 M.) dalam bukunya Al-’Awâshim min al-Qawâshim[5], mengatakan ‘shahîh semua apa yang tertulis di dalamnya’. Begitu pula Nijamuddîn Abî Qâsim ‘Umar bin Muhammad bin Muhammad al-Hâsyimî al-Makki dalam bukunya ‘Itti’hâfu’l-Warâ bî Akhbâr Umm’l-Qurâ’ mengutip dari buku tersebut sebagai buku Ibn Qutaibah. Juga al-Qadhî Abû ‘Abdullâh at-Tanwizî yang terken­al dengan Ibn Syabbath mengutip darinya. Juga Ibn Hajar al-Hait­samî maupun Ibnu Khaldûn. Juga penulis abad ini seperti Jarji Zaidan dalam Târîkh al-âdâb al-lughah al-’Arabîyah dan Farîd Wajdi dalam bukunya ‘Dâ’irah al-Ma’ârif’ tidak meragukan keas­liannya.

Ibn ‘Abdil Barr

Abû ‘Umar, Yûsuf bin ‘Abdillâh al-Qurtubî al-Mâlikî (386-463 H. ,996-1071 M.) adalah penulis Sunnî terkenal. Dari kata ‘al-Qurtubî’ kita tahu bahwa ia hidup di Cordova, Spanyol, dan ber­madzhab Mâlikî. Bukunya Al-Istî’âb fî Ma’rifatill Ashhâb (Peneli­tian Tentang Pengenalan Para Sahabat),Kairo, tak bertahun , merupakan kumpulan riwayat hidup para sahabat, telah menjadi buku rujukan dan tidak pernah dipersoalkan. Dzahabî dalam Tadzkiratu’l Huffâzh menamakannya sebagai Syaikhu’l Islam. Abdul Walîd al-Baji mengatakan ‘Aku tidak mengenal seorang yang demikian menda­lam ilmunya mengenai hadis seperti Ibnu ‘Abdil Barr, apalagi yang lebih baik darinya. Ibnu Hajar berkata: ‘Ia mempunyai karangan-karangan yang tiada bandingnya. Di antaranya adalah kitabnya al-Istî’âb tentang riwayat hidup sahabat Nabî, tidak seorang pun mengarang sepertinya’.

Abû Nu’aim al-Isbahani

Hâfizh yang terkenal Abû Nu’aim Ahmad ibn ‘Abdullâh ibn Ahmad bin Ishâq bin Mûsâ bin Mihran al-Isbahani (penduduk Ispahan) oleh Ibnu Khalikân dikatakan sebagai hafizh dan ahli hadis yang masy­hur. Ia adalah penulis Hilyat al-Awliyâ’ (Hiasan Para Wali), Kairo 1933, adalah juga ahli hadis kenamaan. Kakeknya Mihran adalah budak yang dibebaskan oleh ‘Abdullâh bin Mu’awiah bin ‘Abdullâh bin Ja’far bin Abî Thâlib. Abû Nu’aim dilahirkan tahun 336 H.,948 M. dan meninggal di Ispahan tahun 430 H.,1038 M.

Mas’ûdî

Abul Hasan ‘Alî bin al-Husain bin ‘Alî asy-Syâfi’î (m. 346 H.,906 M.), bermazhab Syâfi’î, menulis ‘Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin al-Jauhar, (Ladang-ladang Emas dan Medan-medan Permata), Mesir 1346 H.. Dimulai dengan sejarah ‘purba’. Kisah Rasûl dimu­lai dengan halaman 389, jilid pertama dan berakhir dengan khalî­fah Muthi’ Lillâh, halaman 562 jilid 2.

Ibnu ‘Abd Rabbih

Shahabuddîn Abû ‘Umar, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd Rabbih bin Habîb bin Hudair bin Sâlim al-Andalusi al-Qurtubî. Ibnu ‘Abd Rabbih, ‘Anak dari Hamba Tuhannya’, adalah penduduk Cordo­va, Andalusia, Spanyol. Turunan maulâ, bekas budak, khalîfah Banî ‘Umayyah, Hisyâm bin ‘Abdurrahmân bin Mu’âwiyah bin Hisyâm bin ‘Abdul Mâlik bin Marwân bin Hakam. Penganut mazhab Mâlikî. Ia lahir tanggal 10 Ramadhan tahun 246 H. atau 28 November 860 M. dan meninggal hari minggu tanggal 18 Jumadil Awal tahun 328 H. atau 1 Maret 940 M. Dikuburkan di pekuburan Banû al-’Abbâs di Cordova. Sebelum meninggal ia mender­ita lumpuh separuh badan. Orang pandai ini mernulis buku ‘Iqd al-Farîd, Kalung Permata, Mesir, 1372 H.

Suyûthî

Hilaluddîn Abdurrahmân Abî Bakar bin Nashiruddîn Muhammad, asy-Syâfi’î. Murid Ibnu Hajar ini bermazhab Syâfi’î wahat tahun 911 H. ,1505 M.. Ia menulis Târîkh al-Khulafâ’ (Sejarah Para Khalîfah), Mesir 1351 H., al-Jâmi’ al-Kabîr atau Jam’ul Jawâmi’ (Kumpulan yang Besar), al-Jâmi’ ash-Shaghîr (Kumpulan Kecil) berisi 10010 hadis, Ziyâdat ‘alâ al-Jâmi’ ash-Shaghîr (Tambahan untuk Kumpulan Kecil). Yûsuf An-Nabhânî menyatukan ketiga buku terakhir ini dan menamakannya Al-Fathul Kabîr fî Dammaz-Ziadat ilâ al-Jâmi’ ash-Shaghîr dalam tiga jilid, Mesir, 1351 H./1932 M.

Muttaqî al-Hindî

Ulama India yang bernama ‘Alâ’udîn ‘Alî bin Hisamuddîn Abdul Mâlik bin Qadhî Khan (meninggal 975 H.,1567 M. di Makkah) dan terkenal dengan Muttaqî al-Hindî menyusun lagi tiga buku Suyûthî, al-Jâmi’ al-Kabîr, al-Jâmi’ ash-Shaghîr, Ziyâdat ‘alâ al-Jâmi’ ash-Shaghîr, lebih rapih, memisahkan kata-kata dan tindakan Rasûl Allâh dan menamakannya Kanzu’l-’Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa’l-Af’âl, Harta Karun Pengamal dalam Sunah, Sabda dan Tindakan (Rasûl), Haiderabat, 1313 H.

Muhibbuddîn Thabarî

Muhibuddîn ath-Thabarî Ahmad bin ‘Abdullâh bin Muhammad ath-Thabarî asy-Syâfi’î (m. 694 H., 1390 M.) bermazhab Syâfi’î dan menulis ar-Riyâdh an-Nadhirah, Taman-taman Cantik, Mesir, 1327.

Ibnu ‘Atsîr

Abul Hasan ‘Izuddîn ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim asy-SyaiBanî al-Jazari asy-Syâfi’î adalah seorang ahli hadis dan sejarah bermazhab Syâfi’î. Ibnu ‘Atsîr penulis Târîkh al-Kâmil atau al-Kâmil fî at-Târîkh (Sejarah Yang Sempurna), Beirut, 1975, dan Usdu’l-Ghâbah fî Ma’rifat ash-Shahâbah (Singa-singa Belantara Dalam Pengenalan Para Sahabat), Kairo, tak bertahun. Kedua buku tersebut adalah sumber rujukan.

Ibnu Katsîr

Ismâ’îl bin ‘Umar penulis tarikh al-Bidâyah wa’n-Nihâyah (4 jilid, Kairo 1966) dan Tafsîr Al-Qur’ân al-Azhîm (4 jilid, Penerbit Îsâ al-Bâbî al-Halabî, tak bertahun) adalah penulis Sunnî yang ‘kosi­sten’. Ia terkenal dengan kata-katanya yang menjadi semboyan Sunnî:

Li’l mujtahidi’l-mushîbi ajrân wa li’l mujtahidi’l mukhthî’ ajran wâhidan’

‘Bagi mujtahid benar, dapat dua pahala, dan bila salah satu pahala’

Dengan alasan tersebut maka bagi para sahabat yang saling membunu­h atau berontak terhadap khalîfah yang sah sekalipun akan mendapat satu pahala.

Pembunuh ‘Alî bin Abî Thâlib, misalnya disebut sebagai mujtahid:

Innahu kâna muta’awwilan mujtahidan

Sungguh, ia adalah seorang muta’awwil dan mujtahid.[6]

Yazîd yang membunuh Husain bin ‘Alî dan menjarahi Kota Madînah disebut Dâzka imâmun mujtahidun. (Mengenai Yazîd, bacalah bab Pengantar buku ini dalam sub bab Membunuh Husain Cucu Rasûl)

Semua ini berdasarkan keputusan Abû Bakar membebaskan Khâlid bin Walîd[7] dan menamakan Khâlid bin Walîd ‘Pedang Allâh’

Ibnu Hâzm

Abû Muhammad ‘Alî bin Ahmad al-Zhâhirî (384-546 H.,994-1064 M.) dalam ‘Al-Fishâl fî al-Milal wa Ahwâ’ aw al-Nihal’[8] berkata tentang Al al-’Adîyah pembunuh ‘Ammâr bin Yâsir [9]:

Bi’annahu muta’awwilun, mujtahidun, mukhthi’un bâghin ‘alaihi ma’jûran ‘ajran wâhidan.

‘Sesungguhnya ia adalah seorang muta’awwil dan mujtahid dan karena berbuat salah ia mendapat pahala satu.’

Dan ia juga berkata di bagian lain bahwa Mu;awiyah dan kawan-kawannya adalah orang yang berijtihâd dan andaikata salah, mereka akan memperoleh satu pahala. Ia juga seperti Ibnu Taimiyah menolak mutlak hadis ‘al-Ghadîr’.

Ibnu Taimiyah

Taqiuddîn Ahmad bin ‘Abdulhakim bin ‘Abdussalâm (661-728 H.,1263-1328 M.) berpendapat serupa dan menyatakan bahwa Mu’awiah adalah mujtahid dan dapat pahala[10]. .

Samhûdî

Sayyid Nuruddîn Abû al-Hasan ‘Alî bin ‘Abdullâh bin Ahmad al-Samhûdî (644-991 H.,1440-1505 M.) adalah penulis buku Madînah al-Musthafâ (Kota Rasûl) terkenal Wafâ’ al-Wafâ’ bi Akhbâr Dâr al-Musthafâ, ‘Penepatan Janji Penyempurnaan Berita Rumah Rasûl’[11]. Ia belajar di Kairo pada al’Iraqi, seorang sufi terkenal. Tahun 455 H.,1063 M. ia nak haji dan kemudian ting­gal di Madînah selama hampir enam tahun. Selama itu ia menyelidi­ki sejarah Kota Rasûl ini dengan sangat tekun. Tahun 641 H.,1243 M. ia naik haji lagi dan kembali ke Kairo. Tahun 685 H. ,1286 M. ia kembali ke Madînah untuk melanjutkan peneli­tiannya dan tinggal lagi disana selama 26 tahun, sampai ia me­ninggal. Buku Wafâ’ al-Wafâ’ adalah bukunya yang terpenting dan merupakan rujukan utama tentang sejarah dan peta Madînah al-Munawwarah.



[1] Lihat ‘Hadis al-Ghadîr’ dalam bab ‘Nash Bagi ‘Alî’ dalam buku ini

[2] Lihat bab ‘Nash Bagi ‘Alî’

[3] Al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, jilid 11 hlm. 48, Lisân al-Mîzân, jilid 3, hlm. 357-359

[4] Lihat bab ‘Penge­pungan Rumah Fâthimah’, ‘Abû Bakar dan Fâthimah’ dan ‘Kapan ‘Alî Membaiat Abû Bakar

[5] Al-’Awâshim min al-Qawâshim, hlm. 248, Kairo 1375 H

[6] Lihat catatan kaki dalam Sunan Baihaqî ,jilid 8, hlm. 58, 59. Dikutip dari Ibnu Hâzm, Al-Muhalla, jilid 1, hlm. 484, dan Ibnu Turkmânî dalam Al-Jauhar al-Naqî.

[7] Mengenai Khâlid, lihat Pengantar sub bab ‘Sifat Jahiliah di Kalangan Sahabat’ dan bab ‘Reaksi Terhadap Saqîfah’, sub bab ‘Mâlik bin Nuwairah’

[8] Ibn Hâzm, Al-Fishâl fî al-Milal wa Ahwâ’ aw al-Nihal, Kairo, 1347 H., jilid 4, hlm. 161

[9] Lihat bab ‘Pengantar’, sub bab ‘Membunuh Husain Cucu Rasûl’

[10] Lihat bab Pengan­tar, sub bab ‘Membuat Hadis Palsu’, ‘Terror terhadap kaum Syî’î’, ’Membunuh Muhammad bin Abû Bakar’ dan ‘Mempermainkan Jenazah.’

[11] Wafâ’ al-Wafâ’ bi Akhbâr Dâr al-Musthafâ, 4 jilid, Kairo, 1955

No comments:

Post a Comment