Sunday, August 2, 2009

3 Madînah al-Munawwarah

3

Madînah al-Munawwarah

Akhir Hayat Rasûl

S

ekitar lohor, hari Senin, tanggal 12 Rabî’ul Awwal tahun 11 Hijriah, bertepatan dengan 8 Juni 632 M., wafatlah Muhammad Rasûl Allâh saw., Nabî terakhir. Beliau menarik napas akhir di pangkuan atau di dada ‘Â’isyah, istri beliau, tanpa memberi wasiat apa-apa. Ini menurut ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah. Menurut Ummu Salamah yang juga ummu’l-mu’minîn, Nabî saw. wafat sementara bersandar ke dada ‘Alî bin Abî Thâlib, menantu dan sepupu beliau. ‘Alî pun mengatakan demikian, begitu pula ‘Umar bin Khaththâb. Nabî telah memberi wasiat, sekurang-kurangnya dalam hal menentukan orang yang akan memandikan jenazah dan membayarkan hutang-hutang beliau, yang kemudian dipenuhi oleh ‘Alî bin Abî Thâlib. Dalam kamar petak, hujrah, tempat tinggal ‘Â’isyah di sisi sebelah timur Masjid Nabî ini, berakhirlah hidup Rasûl dalam usia 63 tahun, 10 tahun di Madînah dan 53 tahun di Makkah.

Madînah al-Munawwarah

Batas utara Madînah adalah Bukit atau Jabal Tsaur dan Lembah atau Wadi Qanat. Perbukitan Tsaur, tepat di utara Uhud, terletak sekitar 8 (delapan) km utara Masjid Madînah.

Batas selatan Jabal ‘Air dan Wadi Aqiq. Jarak antara Jabal ‘Air dan Masjid Madînah sekitar 8 (delapan) km.

Di barat laut terletak Jabal Sala’. Yang melintas di tengah Wadi Bathhan (Abû Jaidah).

Uhud terkenal dengan Perang Uhud (Ma’rikah Uhud) yang terjadi tahun 3 H.,624 M. dan menyebabkan gugurnya 70 sahabat, 64 kaum Anshâr dan 7 kaum Muhâjirîn.

Batas barat adalah Lâbah (al-Harrah al-Gharbiyah atau Lahar Barat) berupa bukit batu lahar berwarna hitam. Sebelah timur terdapat Lâbah (al-Harrah al-Syarqiyah, Lahar Timur). Kedua Lâbah ini masing-masing berjarak 4 km dari Madînah.

Karena Lâbah ini sulit dilalui maka musuh, kaum Jahiliah, menyer­bu Madînah dari utara. Khandaq dibuat di sebelah utara sebagai perintang untuk menghambat musuh.

Al-Harrah Syarqiyah sangat terkenal di zaman para sahabat dan tâbi’în di kemudian hari, karena pada tahun 63 H.,683 M. pasukan Yazîd bin Mu’âwiyah menyerbu Madînah melalui Lahar Timur ini, ‘agar orang-orang Madînah menghadap matahari dan silau oleh sinar matahari’. Sepuluh ribu tujuh ratus delapan puluh, 10780, orang, dibunuh, diantaranya para sahabat, Muhâjirîn dan Anshâr masing-masing sebanyak tujuh ratus orang serta anak-anak mereka serta serta seribu gadis hamil akibat perkosaan.[1]

Khandaq adalah suatu terusan yang digali Rasûl dan para Sahabat atas usul Salmân al-Fârisî antara Bukit ‘Ubaid dan suatu tempat yang bernama Syaikhan. Terletak sekitar 1 km dari Madînah dan terkenal dengan Perang Khandaq atau Perang Ahzâb (Ma’rikah al-Khandaq atau Ma’rikah al-Ahzâb) yang berlansung tahun 5 H.,626 M.

Batas selatan adalah Jabal ‘Air dan Wadi ‘Aqiq yang terletak sekitar 8 km dari ‘kota’ Madînah.[2]

Arah ke timur, jarak Madînah ke Laut Merah, sekitar 375 km. Makkah berada di selatan dan berjarak sekitar 497 km. Damaskus, ibu kota Syam, yang sekarang jadi ibu kota Syria, di utara ber­jarak sekitar 1303 km.

Masjid Nabî

Masjid ini terletak di bagian yang disebut sebagai ‘Kota Madînah’, kurang lebih di tengah pemukiman berupa kampung-kampung yang terpancar luas di sekelilingnya. Sejak dulu diketahui adanya klan besar ‘Aus dan Khazraj dengan puluhan anak sukunya, serta beberapa suku Yahudi. Di masa-masa terakhir, banyak pendatang memasuki kota ini, antara lain kaum Muhâjirîn dan sejumlah peme­luk baru agama Islam. Walaupun jumlah penduduknya mungkin hanya belasan ribu jiwa, namun menjadi pusat pemerintahan Islam yang meliputi seluruh jazirah Arab. Karena Rasûl tinggal di sisi masjid ini, dan pusat kegiatan serta pusat pertemuan beliau dengan para tokoh Sahabat yang terpenting terjadi di Masjid ini, maka patut juga masjid ini disebut sebagai pusat pemerintahan Islam.

Masjid ini sendiri,setelah perluasan dari bentuknya yang asli sepuluh tahun yang lalu,berukuran 45 meter[3] setiap sisinya, dan hanya memiliki dua pintu untuk umum, sebuah di sisi utara dan sebuah di sisi barat. Ketika kiblat masih mengarah ke Baitul Muqaddis, dinding sisi utara tidak berpintu. Ketika kiblat berpindah mengarah Ka’bah di kota Makkah, dibuatlah sebuah pintu di sisi utara bersamaan dengan ditutupnya pintu di sisi selatan.

Sepanjang sisi barat terdapat serambi Masjid (shuffah), tempat tinggal beberapa Sahabat Nabî. Pada sisi timur masjid ini, berur­ut dari utara ke selatan, terdapat empat buah kamar petak dengan sekat yang terbuat dari pelepah dan daun kurma yang ditambal dengan tanah liat. Dinding sisi baratnya menyatu dengan dinding masjid. Pintu-pintunya menghadap ke halaman masjid. Selanjutnya terdapat lima buah kamar atau rumah kecil.

Tatkala pertama kali dibuat, kamar sebelah timur Masjid ini hanya dua buah. Satu kamar Rasûl dan sebuah lagi kamar Fâthimah. Tatka­la kumpul dengan ‘Â’isyah, kamar Rasûl ini sering juga dinamakan kamar ‘Â’isyah. Kamar-kamar lain dibuat kemudian.

Kamar Rasûl Yang Disucikan [4].

Sayid Samhûdî[5] mengukur kamar Rasûl saw.

Panjang dinding selatan kamar Rasûl dari Timur ke Barat 4.8 meter[6] . Dinding Utara 4.68 meter[7] .

Dinding Timur dan Barat, dari Utara ke Selatan, 3.44 meter [8].

Kamar Rasûl ini di sebelah timur berhubungan dengan sebuah kamar

tempat Rasûl menyembahyangi jenazah[9]. . Tinggi rumah dan kamar-kamar ini tujuh hasta atau 3,15 meter, sama dengan tinggi Masjid.

Kecuali dinding timur, tebal dinding 68 cm[10] . Tebal dinding timur 61 cm[11] .

Kelihatannya dinding ini sangat tebal untuk ukuran sekarang, tetapi demikianlah yang dicatat Samhûdî dalam Wafâ’ al-Wafâ’ yang dikutip A. Hâfizh.

Pintu kamar barat yang membuka ke Masjid, ditutup tirai, sehingga menurut ummu’l-mu’minîn ‘Â’isyah, ia pernah menyisir rambut Rasûl dari dalam kamar dan Rasûl berada dalam Masjid.

Rasûl tinggal dan menutup usia di kamar ini, yang sering juga disebut kamar ‘Â’isyah (18 tahun)[12].

Di sebelah utara kamar ‘Â’isyah terletak kamar ‘Alî bin Abî Thâlib (34 tahun) dan Fâthimah (18 atau 26 tahun) serta kedua putranya, Hasan (7 tahun) dan Husain (6 tahun).

Di antara kedua kamar itu terdapat sebuah lobang berupa jendela kecil,kuwah, yang telah ditutup Rasûl beberapa waktu lalu atas permintaan Fâthimah. Sebelum ditutup, Rasûl sering menjenguk Fâthimah melalui jendela ini untuk menanyakan keadaannya.

Fâthimah meminta untuk menutup jendela itu, setelah bertukar kata dengan ‘Â’isyah pada suatu malam, karena ‘Â’isyah memasu­ki rumah Fâthimah melalui jendela ini.[13]

Di hadapan jendela kamar Fâthimah terdapat sebuah tiang dari batang kurma, yang sekarang dinamakan tiang maqam Jibrîl[14] . Tiap hari Rasûl mendatangi kamar ‘Fâthimah, dan di dekat tiang ini Rasûl Allâh mengangkat tangan sambil mengucap: ‘Assalamu ‘alai­kum, ahlu’l-baitku, Sesungguhnya Allâh hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, ahlu’l-bait (Rasûl Allâh) dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya’.[15]

Di sebelah selatan kamar ‘Â’isyah terletak sebuah hujrah lagi, yaitu hujrah Hafshah putri ‘Umar bin Khaththâb, istri Rasûl, yang dipisahkan oleh sebuah lorong yang memanjang dari timur ke barat, dan berakhir di Masjid dengan lebar 0,68 meter. Sebelah timur lorong ini berakhir di halaman Masjid dengan lebar 1,37 meter. Luas kamar-kamar ini sama.

Lantai Masjid terbuat dari batu, dindingnya tersusun dari batu bata atau balok-balok tanah liat yang dikeringkan dengan sinar matahari (labîn). Tiang Masjid dibuat dari batang kurma (juzu’), atapnya dari pelepah (jarîd) dan daun kurma (khush) berbentuk bangsal yang ditambal dengan tanah liat dan tidak terlalu padat; apabila hujan, lantai masjid akan basah karena tiris.

Di sebelah utara kamar Fâthimah ada sebuah lorong yang memanjang dari timur ke barat dan berakhir ke sebuah pintu masuk ke Masjid. Pintu ini hanya digunakan oleh Rasûl saja, dan diberi nama ‘pintu Jibril’. [16]

Di samping pintu untuk Rasûl, ada sebuah pintu lagi dari kamar ‘Alî dan keluarganya. Pintu-pintu lain di sisi timur masjid ini, beberapa waktu yang lalu, telah diperintahkan Rasûl untuk ditu­tup, kecuali pintu masuk untuk ‘Alî. ‘Semua pintu ditutup,’ sabda Rasûl, ‘kecuali pintu masuk untuk ‘Alî’[17].

Di antara rumah atau kamar-kamar istri Rasûl, ada gang-gang yang menuju ke Masjid. Sebelumnya paman-paman Rasûl dan para Sahabat seperti Abû Bakar, menggunakan gang-gang yang berakhir ke pintu Masjid ini untuk salat. Agaknya pintu-pintu ini disuruh tutup oleh Rasûl, karena mengganggu kehidupan keluarga beliau. Dibukan­ya pintu untuk keluarga ‘Alî berhubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’ân: ‘Sesungguhnya Allâh hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, wahai ahlil bait, dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya’. (Al-Qur’ân, 33:33). Tatkala ayat ini turun, Rasûl membentangkan baju beliau dan mengerudungkannya di atas diri ‘Alî, Fâthimah, Hasan dan Husain. Dengan demikian maka ‘Alî dan keluarganya dapat memasuki Masjid dalam keadaan junub sekalipun. Hadis yang antara lain berbunyi, ‘Tutuplah semua pintu (di sisi timur Masjid), kecuali pintu untuk ‘Alî,’ adalah hadis mutawâtir, diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam.[18]

Juga ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khaththâb, yang berkata: “Ali bin Abî Thâlib mendapat tiga keistimewaan; bila satu saja yang aku dapat, maka aku akan lebih senang daripada mendapatkan sekawan unta; ia mengawini putri Rasûl dan mendapatkan anak-anak; semua pintu ke Masjid ditutup, kecuali pintu untuknya dan ia memegang bendera pada waktu perang Khaibar’[19].

Di riwayatkan oleh Ibnu ‘Abbâs , Jarîr bin ‘Abdullâh, Sa’d bin Abî Waqqâsh, Buraidah al-Islamî, ‘Alî bin Abî Thâlib dan lain-lain. Sa’d bin Abî Waqqâsh berkata: ‘Sesungguhnya Rasûl Allâh saw. menutup semua pintu Masjid dan membuka pintu untuk ‘Alî; dan orang-orang menghebohkannya. Maka bersabdalah Rasûl, ‘Bukan saya yang membukanya, melainkan Allâh yang membukakan untuknya’.[20]

Buraidah al-Islamî berkata: ‘Rasûl Allâh memerintahkan menutup semua pintu; maka ributlah para Sahabat, dan sampailah kepada Rasûl Allâh saw.. Rasûl mengajak salat berjemaah, dan setelah orang berkum­pul, Rasûl naik ke atas mimbar dan berkhotbah. Setelah membaca tahmîd dan ta’zhîm sebagaimana layaknya, Rasûl lalu bersabda, ‘Bukan saya yang menutupnya, dan bukanlah saya yang membukanya, tetapi Allâh yang menutup dan membukanya. Kemudian Rasûl membaca ayat: ‘Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu tiadalah sesat dan tiada kesasar. Dan dia tiada berkata menurut keinginannya sen­diri. (Perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)’.[21]

Dengan demikian maka ‘Alî dapat masuk keluar Masjid dalam keadaan junub, sebagaimana dicatat oleh Abû Nu’aim dalam Fadhâ’il ash-Shahâbah. Kemudian, ada pula sebuah hadis yang berbunyi: ‘Tutuplah semua lobang (khaukhah) ke Masjid, kecuali khaukhah untuk Abû Bakar’, namun hadis ini jelas dimasukkan di kemudian hari.

Di sebelah timur lorong ini, di halaman Masjid, terdapat rumah Abû Bakar, yang berhadapan dengan rumah ‘Utsmân yang kecil. Berdempetan dengan rumah ‘Utsmân yang lain, yang di sebut rumah ‘Utsmân yang besar. Di sebelah selatan rumah ‘Utsmân, arah ke selatan, terletak rumah Abû Ayyûb al-Anshârî yang bertingkat. Rasûl pernah menginap di rumah ini pada saat permu­laan Hijrah, sebelum Masjid dibangun.

Di sebelah selatan, berdempetan dengan rumah Abû Ayyûb, terdapat rumah Fâthimah yang lain. Rumah ini dihadiahkan oleh seorang Anshâr, Hâritsah bin Nu’mân, kepada Fâthimah, sebagai hadiah perkawinannya. ‘Alî bin Abî Thâlib membangun sebuah rumah di luar halaman Masjid, tetapi Fâthimah menghendaki tinggal dekat dengan ayahnya, maka dengan gembira Hâritsah memberikan rumah tersebut kepada Fâthimah.

Agaknya, setelah Rasûl wafat, keluarga ‘Alî bin Abî Thâlib dapat dikatakan menetap di rumah pemberian Hâritsah bin Nu’mân, yang lebih luas ini. Setelah memandikan jenazah Rasûl, keluarga ‘Alî dan para sahabatnya berkumpul di rumah ini. Agaknya, rumah inilah yang dikepung dan diancam akan dibakar oleh ‘Umar, sekembalinya ia dalam rombongan Abû Bakar dari Saqîfah Banî Sâ’idah di sore hari itu, untuk mendapatkan baiat ‘Alî.

Jurf

Tempat ini terletak sekitar tujuh kilometer sebelah barat laut kota Madînah, dan sebelah barat bukit Uhud. Di sana terdapat delapan mata air. Padang datar dan sumber air ini menjadikan Jurf tempat perkemahan kafilah yang datang ke atau yang akan berangkat dari Madînah. Pada hari Senin sesudah lohor ini, tatkala Rasûl wafat, terlihat suatu pasukan kaum Muhâjirîn dan Anshâr yang sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke Mu’tah, suatu daerah di Palestina, untuk berperang melawan orang Romawi. Semua tokoh kaum Muhâjirîn pertama, seperti Abû Bakar dan ‘Umar, serta tokoh kaum Anshâr seperti Sa’d bin ‘Ubâdah, diperintahkan Rasûl ikut dalam ekspedisi ini. Komandan pasukannya ialah Usâmah bin Zaid bin Hâritsah yang berusia tujuh belas tahun. Ia sedang berada di atas punggung kudanya tatkala datang utusan Ummu Aiman, ibunya, yang memberitahukan bahwa Rasûl sedang menghadapi saat-saat terakhir beliau. Pasukan ini pun kembali ke Madînah.

Sunh

Sunh terletak di tepi barat laut Bukit Sala’ dekat sebuah masjid yang bernama masjid al-Fatah, berjarak 1,6 kilometer dari Masjid Nabî. Ketika wafatnya Rasûl, Abû Bakar berada di rumahnya yang berada di perkampungan Hârits bin Khazraj di Sunh. Hampir semua catatan mengatakan bahwa Abû Bakar dan ‘Umar ikut dalam pasukan Usâmah, karena diperintahkan Rasûl, dan beliau mengutuk siapa saja yang meninggalkan pasukan ini. Dengan alasan bahwa Usâmah berusia muda, kaum Muhâjirîn pertama membangkang terhadap perin­tah Nabî. Catatan sejarah yang sukar dibantah mengatakan demi­kian. Mengapa Abû Bakar bisa berada di Sunh, ada dua versi. Yang pertama mengatakan bahwa Abû Bakar telah berada di Jurf, dan setelah mendengar Rasûl sedang menghadapi saat-saat terakhir beliau, ia mampir ke Sunh sesudah memimpin salat subuh di Masjid Nabî. Riwayat yang terakhir ini agaknya dimasukkan kemudian untuk memperkuat ‘Nas bagi Abû Bakar’, karena hadis ini mengandung pertentangan yang sukar didamaikan.

Saqîfah Banî Sâ’idah

Saqîfah atau balairung ini terletak di suatu tempat sekitar lima ratus meter sebelah barat Masjid Nabî. Di sini terdapat sebuah sumber air yang bernama Bi’r Budha’ah dan sebuah masjid. Marga Sâ’idah yang mendiami ‘desa”ini memiliki sebuah balairung (Saqîfah) tempat bermusyawarah, yang terkenal dengan nama Saqîfah Banî Sâ’idah. Di sinilah kaum Anshâr berkumpul pada saat Rasûl wafat, untuk mengangkat Sa’d bin Ubadah, pemimpin kaum Anshâr, menjadi pemimpin umat. Seorang Anshâr membocorkan pertemuan ini kepada ‘Umar bin Khaththâb, dan, bersama empat orang Mekkah lainnya, ‘Umar dan Abû Bakar datang ke Saqîfah. Terjadilah perdebatan hangat, dan kalau bukan karena anak Sa’d bin ‘Ubâdah yang bernama Qais, mungkin Sa’d bin ‘Ubâdah telah dibunuh ‘Umar pada saat itu. Abû Bakar dibaiat di Saqîfah. Kecuali beberapa orang yang tetap tidak mau membaiat Abû Bakar, seperti tokoh Anshâr Sa’d bin ‘Ubâdah, mayoritas yang hadir telah membaiat nya. Lembaga baiat yang di zaman Nabî merupakan lembaga pengukuhan, telah dijadikan lembaga pemilihan. Bagaimana dengan pihak yang tidak setuju? Timbul paksaan. Kekerasan datang susul menyusul. Rombongan Saqîfah kembali ke Masjid Nabî.

Rumah Fâthimah

Setelah sampai ke Masjid Nabî, ‘Umar lalu memimpin serombongan orang untuk mengepung dan mengancam akan membakar rumah Fâthimah putri Rasûl, ‘biarpun Fâthimah ada di dalam rumah’. Pengepungan ini dimaksudkan untuk mendapatkan baiat dari ‘Alî yang tidak mau membaiat Abû Bakar. Usaha ini gagal, karena Fâthimah putri Rasûl keluar dan mengusir mereka. Sejak itu, Fâthimah tidak berbicara baik-baik lagi dengan ‘Umar maupun Abû Bakar, sampai wafatn­ya. Wanita utama ini berpesan untuk dikuburkan secara diam-diam pada malam hari, dan tidak membolehkan Abû Bakar, ‘Umar maupun ‘Â’isyah menghadiri pemakamannya.

Kamar Rasûl

Rasûl wafat di kamar beliau, setelah berulang-ulang berpesan untuk dimakamkan di kamar ini, lama sebelum beliau wafat, dan bersabda bahwa yang terletak di antara ‘kamarku’ atau ‘kuburku’ atau ‘rumah ‘Â’isyah’ di satu sisi, dan ‘mimbarku’, di sisi lain, adalah taman dari taman-taman surga. Beliau bersabda:

1. Antara rumah dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman di surga. Mâ baina baitî wa minbarî raudhatun min riyâdhi’l jannah[22]

2. Antara kuburku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman di surga. Mâ baina qabrî wa minbarî raudhatun min riyâdhi’l jannah.[23]

3. Antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman di surga. Mâ baina hujratî wa minbarî raudhatun min riyâd­hi’l jannah[24]

4. Antara mimbar dan rumah ‘Â’isyah adalah taman dari taman-taman di surga. Mâ bainal minbari wa bait ‘Â’isyah raudhatun min riyâdhi’l jannah[25]

5. Barangsiapa ingin bergembira salat dalam taman dari taman-taman di surga, maka salatlah di antara kubur dan mimbarku. Man sarrahu an yushallî fî raudhatin min riyâdhi’l jannah fal yushallî baina qabrî wa minbarî.[26]

Ibn Abîl-Hadîd mengatakan: “Bagaimana mungkin orang berbeda pendapat mengenai tempat penguburannya, sedang beliau telah mengatakan kepada mereka: “Kamu letakkan saya di atas ranjangku di rumahku ini, ditepi kuburku”, (fa dha’ûnî ‘ala sarîrî fî baitî hâdâz ‘alâ syafîri qabrî) dan hal ini menjelaskan agar ia dikuburkan di rumah dimana mereka sedang berkumpul, yaitu rumah ‘Â’isyah. [27]

Hadis-hadis ini termasuk hadis yang sangat kuat.

Bacalah uraian al-Amînî dalam al-Ghadîr, jilid 7, hlm. 187-189. Dengan demikian maka semua Sahabat dan keluarga Rasûl telah mengetahui di mana Rasûl akan dimakamkan. Bahkan ‘Â’isyah sendiri mengatakan bahwa keluarga Rasûl, di antaranya ‘Alî bin Abî Thâlib menginginkan Rasûl dimakamkan di situ.

Rasûl wafat di kamar ini. ‘Umar dan Mughîrah bin Syu’bah melayat ke kamar Rasûl. Sekeluarnya dari kamar Rasûl, ‘Umar, seperti dalam keadaan panik, lalu mengancam akan membu-nuh siapa saja yang mengatakan bahwa Rasûl sudah wafat. Setelah Abû Bakar dipanggil dari Sunh dan memberi nasihat kepadan­ya, ‘Umar baru diam.

Atas informasi rahasia dari dua orang Anshâr tentang adanya perte­muan kaum Anshâr di Saqîfah, yang disampaikan kepada ‘Umar, ‘Umar lalu meneruskan informasi itu kepada Abû Bakar, lalu bersama-sama keduanya ke Saqîfah. Setelah pembaiatan Abû Bakar di Saqîfah, rombongan dari Saqîfah kembali ke Masjid Nabî, lalu mengepung dan mengancam hendak membakar rumah ‘Alî bin Abî Thâlib untuk mendapatkan baiatnya.

Setelah pemakaman Rasûl pada hari ketiga sesudah wafat beliau, pergilah ‘Alî bersama Fâthimah mendatangi kaum Anshâr untuk mencari pendukung. Tetapi, hanya tinggal empat atau lima orang saja yang belum membaiat Abû Bakar.

Melihat bahwa hampir seluruh kaum Anshâr telah membaiat Abû Bakar maka mestinya selama tiga hari sejak Rasûl wafat, rombongan ‘Umar telah berpencar mendatangi perkampungan kaum Anshâr, seperti Banû ‘Ubaid, Banû Syaikhan, Banû ‘Abdul Asyhal, Banû ‘Auf untuk mengambil baiat mereka. Malah rombongan-rombongan kabilah yang datang berbelanja ke pasar Madînah , yang sejak sepuluh tahun lalu telah dirubah Nabî dari hari Jumat ke hari Kamis , seperti Banî Aslam, telah dihadang Umar dan dibawah ke Masjid untuk membaiat Abû Bakar sebagaimana dilaporkan Syekh Mufîd dalam al-Jamal.

Hari Senin itu juga , hari wafatnya Rasûl , keluarga Banû Hâsyim memandikan jenazah Rasûl dan mengafani serta menyelimuti beliau.[28]

Ajakan ‘Abbâs, paman Nabî, untuk membaiat ‘Alî, ditolak oleh ‘Alî. Pada hari ketiga setelah beliau wafat, ‘Alî serta keluarga Banû Hâsyim terpaksa memakamkan jenazah Rasûl.[29]

Pemakaman ini terjadi pada pagi hari Rabu tengah malam atau tengah malam menjelang Rabu.[30]

Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasûl, yaitu orang-orang yang memandikannya seperti ‘Abbâs, ‘Alî, Fadhl dan Shalih (maulâ Rasûl Allâh) tiada orang lain.[31]

‘Â’isyah sendiri, yang agaknya menginap di rumah atau kamar Hafshah, mendengar bunyi-bunyi gemerisik dan gesekan orang menggali kubur, pada tengah malam menjelang Rabu. ‘Â’isyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasûl sampai kami mendengar suara-suara gesekan di tengah malam Rabu.[32]

‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasûl) kecuali keluarga dekatnya dan Banû Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriat keriut’.[33]

Seorang tua kaum Anshâr dari Banû Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’[34].

‘Yang masuk ke liang kubur adalah ‘Alî, Fadhl bin ‘Abbâs dan Qutsam bin ‘Abbâs serta Syuqran, (maulâ Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usâmah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasûl Allâh saw., memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abû Bakar dan ‘Umar tidak menghadirinya’.[35]

Ada sebuah hadis yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, dan dikatakan sebagai berasal dari ‘Â’isyah,sebuah hadis mursal,yaitu tatkala orang-orang bertanya di mana Rasûl hendak dimakam­kan. Tak seorang pun yang dapat menjawab, maka Abû Bakar berkata: ‘Saya mendengar Rasûl bersabda, ‘Setiap Nabî dimakamkan di bawah tempat (madhja’) wafatnya’. ‘Hadis ini jelas dimasukkan kemudian, karena catatan-catatan yang lebih kuat menunjukkan bahwa Rasûl telah menetapkan sebelumnya tempat pemakaman beliau. Kalau hadis yang disampaikan Abû Bakar tentang warisan Nabî, yang dikatakan sebagai didengarnya dari Rasûl bahwa ‘para Nabî tidak mewariskan dan yang ditinggalkannya adalah sedekah’ oleh Fâthimah dianggap bertentangan dengan ayat Al-Qur’ân , sebagaimana nanti akan dibicarakan pada bagian lain dari buku ini , maka hadis ini bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimîn yang hidup pada abad-abad permulaan. Thabrânî mengatakan, misalnya, bahwa Âdam wafat di Makkah dan dimakamkan di sebuah gunung di India, atau, seba­gian orang mengatakan, dimakamkan di bukit Abî Qibais di Makkah. Nabî Ya’qûb wafat di Mesir, dan Yûsuf meminta izin Raja Mesir untuk meninggalkan Mesir bersama ayahnya (Ya’qûb A.S), membawanya kepada keluarganya dan memakam­kannya di Hebron.[36]

Demikian pula Ibrâhîm dan anaknya Ishâq.[37]

Aus dan Khazraj

‘Aus dan Khazraj adalah nama dua orang putra Hârits bin ‘Amr Muziqiyyah bin Amîr Ma’a as-Sama’ bin Hâritsah bin Imra al-Qais bin Tsa’labah bin Mazim bin Azd. Mereka berasal dari Yaman. Setelah bobolnya bendungan Arîm, menjadi tanduslah Yaman di Arabia Selatan ini. Azd, kakek dari kedua pemuda ini lalu pindah dan menetap di Yaman bagian utara. Di kemudian hari, keluarga ‘Aus dan Khazraj pindah ke Yatsrib, yang pada masa itu didiami antara lain oleh suku Badui dan sejumlah orang Yahudi, dan harus membayar upeti. Penindasan terhadap ‘Aus dan Khazraj berakhir tatkala kedua keluarga ini memberontak, dan menang, melawan orang Yahudi hampir dua abad sebelumnya. Sebagian tanah milik Yahudi dibagi-bagi di antara mereka. Kedua keluarga ini berkembang biak dan menjadi klan besar dan kuat. Klan Khazraj tumbuh dan membentuk keluarga (marga) kecil-kecil seperti Banû Najjâr, Banû Hâritsah, Banû Hublâ al-Kawâkilah, Banû Sâ’i­dah, Banû Sâlimah, Banû Zuraiq dan Banû Bayada. Klan ‘Aus berkembang menjadi Banû ‘Abdul Asyhal, Banû Hâritsah, Banû Zhafar, Banû Amr bin ‘Auf, Banû Wakif dan Banû Khatma (Banû ‘Aus Manât)

Klan-klan kecil ini sering berselisih dan berperang di antara sesama mereka. Sudah pasti, sengketa ini akan menyeret marga-marga lain menjadi peperangan antara keluarga besar ‘Aus dan Khazraj. Dengki dan hasad, kekufuran dan kemunafikan sangat merajalela, sehingga Allâh SWT menurunkan firman-Nya dalam Al-Qur’ân.[38]

Ada empat peperangan besar antara klan Khazraj dan klan ‘Aus yang terjadi sebelum Islam:

(1) Perang Sumir, ‘Aus menang atas Kha­zraj.

(2) Perang Ka’b, Khazraj menang atas ‘Aus.

(3) Perang Hathib, Khazraj menang atas ‘Aus.

(4) Perang Bu’ats, ‘Aus menang atas Khazraj.

Dalam perang Bu’ats ini keluarga ‘Aus bersekutu dengan dua marga Yahu­di, Banû Quraizhah dan Banû Nadzir. Mulanya klan Khazraj menang, tetapi setelah pemimpinnya, ‘Amr bin Nu’mân terbunuh, kaum Khazraj pun kalah habis-habisan. Kebun dan rumah-rumah mereka dibakar. Hampir saja klan Khazraj ini punah. Sejak itu, kedua suku bersaudara ini hidup berdampingan secara tegang, penuh perselisihan dan kecuri­gaan serta dendam kesumat, sementara masing-masing menunggu lawannya lengah, untuk diterkam, sampai datangnya Rasûl, lima tahun setelah perang Bu’ats.

Rasûl menamakan klan ‘Aus dan Khazraj ini ‘kaum Anshâr’, atau penolong. Para pengikut beliau dari Makkah yang hijrah ke Madînah, beliau namakan ‘kaum Muhâjirîn’, atau orang yang berhijrah.

Ketika Rasûl wafat, kaum Anshâr mengadakan pertemuan di balairung Banû Sâ’idah, anggota suku Khazraj. Sa’d bin ‘Ubâdah akan mereka angkat menjadi pemimpin kaum Muslimîn. Tetapi, tatkala Abû Bakar dicalonkan, orang pertama yang membaiat Abû Bakar adalah Usaid bin Hudhair[39], ketua suku ‘Aus, karena takut kalau-kalau pemimpin Khazraj ini akan membalas dendam terhadap mereka, suku ‘Aus, apabila suku Khazraj berkuasa.

Thabarî menulis: ‘Beberapa orang dari suku ‘Aus, termasuk Usaid bin Hudhair, berbicara di antara sesama mereka, ‘Demi Allâh, sekali Khazraj menjadi penguasamu, mereka akan mempertahankan kekuasaan, dan tidak akan pernah membagikan kekuasaan itu kepada­mu; maka berdirilah, dan baiatlah Abû Bakar!’[40]
Karena suku Khazraj juga sadar bahwa mereka tidak dapat melawan suku ‘Aus dan Muhâjirîn sekaligus, maka mereka pun membaiat Abû Bakar.



[1] Lihat bab ‘Pengantar’, sub bab “Membunuh Muhâjirîn dan Anshâr”

[2] Lihat Peta Madînah

[3] 100 hasta

[4] Al-bait al-muthah­har, hujrah al-muthahhar

[5] Lihat Bab 2: Sumber, sub bab Samhûdî.

[6] 10 + 2/3 hasta

[7] 10 + 1/4 + 1/6 hasta

[8] 7 + 1/2 +1/8 hasta

[9] Denah Masjid no. 3

[10] 1 + 1/2 hasta + 2 inci

[11] 1 + 1/4 + 1/8 hasta. A. Hâfizh, Fushûl min Târîkh al-Madînah al-Munawwarah, Jiddah, hlm. 103-105

[12] Denah Masjid Nabî, no. 3

[13] A. Hâfizh, Fushûl min Târîkh al-Madînah al Munawwarah, Jiddah, hlm. 103-105.

[14] Denah Masjid no. 2

[15] Al-Qur’ân, 33:33. A. Hâfizh, Fushûl min Târîkh al-Madînah al Munawwarah, Jiddah, hlm. 59; dikutip dari Muslim pada bab Bait as-Sayyidah Fâthimah. Ibnu ‘Abbâs berkata: ‘Aku menyaksikan Rasûl Allâh saw. selama 6 bulan mendatangi pintu rumah ‘Alî bin Abî Thâlib, tiap waktu salat, dan mengatakan: ‘Assalâmu ‘alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh ahlu’l-bait, Sesungguhnya Allâh hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, ahlu’l-bait (Rasûl Allâh) dan menyucikan kamu seber­sih-bersihnya, ash-shalâtu rahimakumullâh!’ Tiap hari Rasûl Allâh saw melakukannya sebanyak lima kali’ “. Lihat juga Ad-Durru’l-Mantsûr, tatkala menafsirkan ayat tersebut di atas, Al-Qur’ân 33:33, dan bab ‘Perintahkan Keluargamu’. Yang lain berasal dari Abî al-Hamra’, maulâ Rasûl Allâh saw.: ‘Rasûl Allâh saw. selama delapan bulan di Madînah, belum pernah keluar untuk salat kecuali beliau mendatangi pintu ‘Alî, meletakkan tangan beliau disamping pintu dan bersabda; ‘Ash-shalâh, ‘Sesungguhnya..dst’(al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 598, Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 174, Nuruddîn al-Haitsamî, Majma’ Az-Zawâ’id, jilid 9, hlm. 168). Yang lain lagi dari Abû Barzah yang berkata bahwa ia salat bersama Rasûl Allâh selama enam bulan, dan Rasûl, bila keluar dari rumahnya, menda­tangi pintu Fâthimah... dst. (Majma’ az-Zawâ’id, jilid 9, hlm. 169) Yang lain lagi dari Anas bin Mâlik yang melaporkan bahwa Rasûl Allâh saw. melakukan hal tersebut selama enam bulan juga. (Musnad Ahmad, jilid 3, hlm. 259, 275; al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 159; Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 531.)

[16] Denah Masjid no. 5

[17] Denah Masjid Nabî no. 4.

[18] Musnad Imâm Ahmad, jilid 4, hlm. 369; dan lain-lain.

[19] Musnad Imâm Ahmad, jilid 2, hlm. 26;Ibnu Hajar, dalam Fat’h al-Bârî, jilid 5, hlm. 12; dan banyak yang lainnya

[20] Ibnu Katsîr, dalam Târîkh-nya, jilid 5, hlm. 342, dan lain-lain

[21] Al-Qur’ân, an-Najm (LIII), ayat 1-4.

[22] .“Antara rumahku dan minbarku”, diriwayat­kan oleh Bukhârî, Muslim, Tirmidzî, Imâm Ahmad, Ad-Daraquthni, Abû Ya’la, al-Bazzar, Nasâ’î, ‘Abdurrazaq, Thabrânî, Ibnu an-Najjâr melalui jalur Jâbir dan ‘Abdullâh bin ‘Umar, ‘Abdullâh al-Mazani dan Abû Bakar. Lihatlah Shahîh Bukhârî kitab “Ash-Shalah” bab “Kemuliaan antara Kubur dan Mimbar” dan kitab “Haji”; Shahîh Muslim, kitab “Haji”, bab “Kemuliaan antara Kubur dan Mimbar Rasûl”; Taisir Al-Wushûl, jilid 3, hlm. 323; Tamyiz ath-Thib, hlm. 139 dan ditam­bahkan bahwa hadis ini telah disepakati shahîh-nya; Kanzu’l Daqâ’iq, hlm. 129; Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 254; Al-Jâmi’ ash-Shaghîr, dan mensahihkan hadis ini dengan mengatakan bahwa hadis ini mutawâtir seperti tertera dalam al-Faidh al-Qadîr, jilid 5. hlm. 433; Tuhfatul Bârî dalam Dzail Al-Irsyâd, jilid 4, hlm. 412; Wafâ’ al-Wafâ’, jilid 1, hlm. 302-303 dan disahihkan melalui jalur Ahmad dan Al-Bazzar

[23] “Antara kuburku dan mimbarku”, diriwayatkan oleh Buk­hârî, Imâm Ahmad bin Hanbal, ‘Abdurrazaq, Sa’îd bin Manshûr, Baihaqî, al-Khathîb, al-Bazzar, Thabrânî, Abû Nu’aim, Ibnu Asâkir melalui jalur Jâbir, Sa’d bin Abî Waqqâsh, ‘Abdullâh bin ‘Umar dan Sa’îd al-Khudrî. Lihatlah Târîkh al-Khatîb, jilid 9, hlm. 228 dan 290, Irsyâd as-Sârî oleh Qasthalani, jilid 4, hlm. 413; Kanzu’l-’Ummâl oleh Muttaqî al-Hindî, jilid 6, hlm. 254; Wafâ’ al-Wafâ’ oleh Samhûdî, jilid 1, hlm. 303; mereka mengutip dari Bukhârî dan Muslim dari jalur al-Bazzar

[24] .“Antara kamarku dan minbarku” diriwayatkan oleh Imâm Ahmad, Sa’îd bin Manshur dan Khathîb Baghdâdi dari jalur Jâbir dan ‘Abdullâh Al-Mazini, seperti tertulis dalam Târîkh Al-Khathîb, jilid 3, hlm. 360; Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 254; Syarh Nawawî Li Muslim, Hamish Al-Irsyâd, jilid 6, hlm. 103

[25] .“Antara minbar dan rumah ‘Â’isyah”, diriwayatkan oleh Thabrânî, al-Awshad, dari jalur Abû Sa’d Al-Khudrî, seperti tertulis dalam Irsyâd as-Sârî, jilid 4, hlm. 413; Wafâ’ al-Wafâ’, jilid 1, hlm. 303

[26] Diriwayatkan oleh Dailami dari jalur ‘Ubai­dillâh bin Labîd, seperti tertera dalam Kanzu’l-’Ummâl, jilid 6, hlm. 254

[27] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 13, hlm. 39. Dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d, Al-Hâkim, Baihaqî dan Thabrânî dalam al-Awsath dari jalur Ibnu Mas’ûd. Lihat Suûythî, Al-Khashâ’ish al-Kubrâ, jilid 2, hlm. 276 dan lain-lain.

[28] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 2, hlm. 76

[29] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 271, Abu’l-Fidâ’, Târîkh, jilid 1, hlm. 152.

[30] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 2, hlm. 58; Ibnu Hisyâm, as-Sîrah an-Nabawiyah jilid 4, hlm. 342-344; Musnad Imâm Ahmad, jilid 6, hlm. 284; Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hlm. 499; Abu’l-Fidâ’, Târîkh, jilid 1, hlm. 152; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 5, hlm. 171 dan lain-lain

[31] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 2, hlm. 78.

[32] Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 4, hlm. 344; Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 452, 455 ( terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833,1837); Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 5 hlm. 270; Ibnu Atsîr, Usdu’l-Ghâbah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan Ar-Rasûl disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqât Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Târîkh Khamîs, jilid 1, hlm. 191 ; sedang Dzahabî dalam Târîkh-nya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu, juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”

[33] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 2, Bab 2, hlm. 78.

[34] Ibnu Sa’d, ibid, hlm. 78

[35] Alauddîn Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l-’Ummâl, jilid 3, hlm. 14

[36] Thabarî, Târîkh, jilid 1, hlm. 80-81; Ibnu Atsîr, al-Kâmil, jilid 1, hlm. 22; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 1, hlm. 97; Sya’labi, al-Arâ’is, hlm. 29

[37] Lihat al-Amînî, al-Ghadîr, jilid 7, hlm. 189-190

[38] Al-Qur’ân, at-Taubah (IX), 97

[39] Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Istî’âb fî Ma’rifatil Ashhab, jilid 1, hlm. 32. Ada yang mengatakan bahwa yang mendahului ‘Umar adalah Basyîr bin Sa’d

[40] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 200

No comments:

Post a Comment