Sunday, August 2, 2009

8 Pembaiatan Abû Bakar

8

Pembaiatan Abû Bakar

S

ejarah mencatat enam orang Makkah yang memasuki pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah pada sore hari Senin, tanggal 12 Rabî’ul Awwal tahun 11 Hijriah, pada saat Rasûl belum lagi dima­kamkan. Mereka itu ialah Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah, serta tiga orang lagi, yaitu Mughîrah bin Syu’bah, ‘Abdurra­hmân bin ‘Auf dan Sâlim maulâ Abû Hudzaifah. Bagaimana terjadinya perdebatan, marilah kita ikuti lagi pernyataan ‘Umar yang ikut berperan dalam perdebatan itu.

Masih dalam rangkaian pidato Jum’at ‘Umar, ia berkata:

Dan setelah duduk, seorang pembicara mengucapkan syahadat dan memuji Allâh sebagaimana layaknya, kemudian melanjutkan: ‘’Amma ba’du, kami adalah Anshâr Allâh dan pasukan Islam, sedang kamu, wahai kaum Muhâjirîn, pada hakikatnya adalah kelompok kami, karena kalian telah hijrah ke Madînah dan bercampur dengan kami.”

(Sampai di sini, ‘Umar memotong pembicaraannya, seraya berkata): “Coba lihat, mereka hendak memutuskan kita dari asal usul kita.”

Tatkala pembicara kaum Anshâr tersebut selesai berpidato, saya hendak berbicara, karena saya telah menyiapkan pidato dalam pikiran saya, yang sangat menggembirakan hati saya. Saya hendak mendahului Abû Bakar, dan hendak menangkis kata-kata kasar pembi­cara kaum Anshâr tadi. Maka berkatalah Abû Bakar, “Pelan, wahai ‘Umar” Saya tidak suka menyakiti hatinya, dan dengan demikian ia lalu berbicara. Ia lebih berilmu dan lebih patut (auqar) dari saya, dan demi Allâh, ia tidak meninggalkan satu patah kata pun dari yang ada di dalam hati saya, secara spontan dan lebih afdal dari yang dapat saya lakukan. Abû Bakar berkata: “Kebaikan yang kalian katakan tentang diri kalian, patut. Tetapi orang-orang Arab tidak menerima selain kepemimpinan Quraisy. Mereka adalah orang Arab yang paling mulia, dari segi keturunan, maupun dari segi tempat tinggal mereka.”

Pidato ‘Umar yang diucapkan dalam khotbah Jum’at dan disaksikan oleh banyak orang itu, diriwayatkan dengan versi yang berbeda-beda, melalui rangkaian isnâd yang berbeda. Balâdzurî melengkapi pidato Abû Bakar ini: “Kami adalah orang pertama dalam Islam. Dan di antara kaum Muslim, kedudukan kami di tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasûl yang paling dekat; sedang kamu, kaum Anshâr, adalah saudara-saudara kami dalam Islam, dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami, melindungi kami dan menunjang kami; mudah-mudahan Allâh membalas kebaikan kalian. Maka kami adalah pemimpin (umarâ’), sedang kalian adalah pembantu (wuzara’, menteri). Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada orang Quraisy. Tentu sebagian dari kamu mengetahui betul sabda Rasûl: ‘Para pemimpin adalah dari orang Quraisy’, (al-a’immah min Quraisy). Maka janganlah kalian bersaing dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapat anugerah dari Allâh.”[1] Al-Jauharî, dalam bukunya Saqîfah, menyebut juga bahwa Abû Bakar, dalam pidatonya, mengatakan bahwa mereka adalah “Sahabat Rasûl yang pertama, keluarga dan para walinya”, ‘asyiratuhu wa auliya’uhu.[2]

Sangatlah menarik argumen Abû Bakar bahwa kepemimpinan adalah dari orang Quraisy. Setelah menerima laporan dari pertemuan di Saqîfah, tanpa membantah hadis tersebut, ‘Alî mengatakan bahwa “Rasûl telah menyampaikan wasiat agar berbuat baik kepada orang Anshâr serta memaafkan mereka yang bersalah”, dan melanjutkan bahwa “kalau kepemimpinan berada pada orang Anshâr, maka Rasûl tidak akan memberi nasihat seperti itu”.[3]

Dan argumen Abû Bakar bahwa “Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah” adalah kerabat Rasûl[4] tatkala disampaikan kepada ‘Alî, ia berkata: “Bila Anda berargumentasi kepada kaum Muslimîn dengan dekatnya kekerabatan kepada Rasûl, bukankah yang lebih dekat lagi kepada beliau lebih berhak dari Anda sendiri? Jika kuasa Anda atas mereka berdalihkan musyawarah, betapa mungkin hal itu terjadi tanpa kehadiran para ahlinya?”[5]

Marilah kita kembali lagi kepada pidato ‘Umar:

Abû Bakar berkata: “Saya relakan kepada kalian satu dari dua orang. Pilihlah siapa yang kalian senangi.” Sambil berkata demikian, ia mengangkat tangan saya (‘Umar) dan tangan Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh yang duduk di antara kami berdua (Abû Bakar dan ‘Umar). Dan tidak pernah ada perka­taannya yang lebih tidak saya sukai dari ini. Demi Allâh, saya lebih suka bangun dan memenggal kepala saya sendiri, bila perbua­tan ini tidak berdosa, daripada memerintah umat, di mana Abû Bakar adalah seorang daripadanya.”

Ya’qûbi melengkapi pidato Abû Bakar dalam catatannya. Menurut Ya’qûbi, Abû Bakar berkata: “Kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasûl Allâh dari pada kalian. Maka inilah ‘Umar bin Khaththâb kepada siapa Nabî berdoa, ‘Ya Allâh, kuatkanlah imannya!’ dan yang lain adalah Abû ‘Ubaidah, yang oleh Rasûl disebut sebagai ‘seorang terpercaya dari umat ini’; pilihlah orang yang kalian kehendaki dari mereka, dan baiatlah kepadanya.” Tetapi keduanya menolak dengan mengatakan: “Kami tidak menyukai diri kami melebi­hi Anda. Anda adalah Sahabat Nabî, dan orang kedua dari yang dua (dalam gua pada waktu hijrah).[6]

Di bagian lain, Balâdzurî menulis, bahwa tatkala Abû Bakar mengu­sulkan pencalonan dirinya, ‘Umar berkata: “Sementara Anda masih hidup? Siapa yang dapat menggeser Anda dari kedudukan Anda yang telah ditentu­kan oleh Rasûl?”[7].

Ya’qûbi juga menceritakan bahwa Abû ‘Ubaidah telah berkata: “Wahai kaum Anshâr, kalian adalah yang pertama membela Islam; maka janganlah kamu menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.” Ya’qûbi melanjutkan: “Kemudian, ‘Abdurrahmân bin ‘Auf berdiri dan berkata: ‘Kalian memang berjasa, tetapi kalian tidak memiliki orang-orang seperti Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Alî’. Sampai di sini, seorang Anshâr bernama al-Mundzir bin Arqam menjawab: ‘Kami tidak menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi sesungguhnya ada seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun menolak, apabila ia menginginkan kepemimpinan ini; orang itu ialah ‘Alî bin Abî Thâlib.”[8]

Sekarang suasana menjadi panas. Menurut Thabarî, tatkala kaum Anshâr melihat bahwa Abû Bakar akan memenangkan perdebatan dengan argumen bahwa “kepemimpinan adalah dari Quraisy”, dan bahwa Abû Bakar adalah keluarga Rasûl”, maka ‘Alî adalah orang yang paling tepat memenuhi argumen itu, dan mereka lalu berteriak: “Kami tidak akan membaiat yang lain kecuali ‘Alî!” Malah dalam suasana pembaiatan sedang berlangsung, suara “kami hanya akan membaiat ‘Alî” masih terdengar.[9]

Catatan Balâdzurî ini berasal dari Abû Ma’syar.

Kita lanjutkan pidato ‘Umar:

Seorang Anshâr berkata: “Saya adalah orang yang sudah tua[10], biarkan kami mengangkat seor­ang pemimpin di antara kami, dan seorang pemimpin lain di antara kalian, wahai kaum Quraisy.” Suasana menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan selanjutn­ya, saya berkata, “Bentangkan tangan Anda, Abû Bakar!” Ia memben­tangkan tangannya, lalu saya membaiatnya. Kaum Muhâjirîn mengiku­ti saya, kemudian kaum Anshâr. Sambil bertindak demikian, kami meloncat ke arah Sa’d bin ‘Ubâdah, dan orang mengatakan, “Kamu membunuhnya!” Saya katakan, “Allâh yang membunuhnya’.”

Sampai di sini berakhirlah khotbah Jum’at ‘Umar tentang peristiwa Saqîfah yang dicatat oleh Ibnu Ishâq, yang berasal dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs.

Thabarî memuat secara lengkap pidato seorang Anshâr yang bernama Hubâb bin Mundzir[11] tersebut, melalui Abû Mikhnaf Lûth al-’Azdî, yang mendengar kesaksian ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân bin Abî ‘Amrah al-Anshârî:[12]

Hubâb bin Mundzir: “Wahai, kaum Anshâr, kuatkanlah diri Anda, dan bersatulah, agar orang lain melayani kalian dan tiada seorang pun yang akan melawan kalian. Apabila tidak, maka orang-orang ini akan bertindak menurut rencana Abû Bakar yang baru saja kalian dengar. Biarlah kita memilih seorang pemimpin, dan dari mereka seorang pemimpin.”

‘Umar: “Demi Allâh, dua pedang tidak akan masuk ke dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan tunduk kepada kalian, wahai orang Anshâr, karena Nabî adalah seorang dari kaum Muhâjirîn. Tentang ini, kami mempunyai bukti yang jelas. Hanya orang yang telah meninggalkan Islam yang menolak hak penggantian Nabî oleh kaum Muhâjirîn.”

Hubâb bin Mundzir berdiri dan berkata: “Wahai kaum Anshâr! Jangan kamu dengarkan orang-orang ini, ‘Umar dan sahabat-sahabatnya. Mereka akan mengambil hak kalian dan merampas kebebasan kalian untuk memilih. Jika mereka tidak setuju, kirim mereka pulang dan biarkan mereka membentuk pemerintahannya sendiri di sana. Demi Allâh, kamu lebih berhak menjadi pemimpin dari siapa pun juga. Orang-orang ini adalah orang yang sama dengan orang-orang yang dahulu menolak untuk beriman kepada Rasûl, dan sekiranya bukan karena takut akan pedang kalian, mereka tidak akan masuk Islam....Kita akan berperang, apabila perlu, dan akan memaksakan keinginan kita kepada mereka yang menentang kita.”

‘Umar berkata: “Mudah-mudahan Allâh membunuhmu.” Sambil berkata demikian, ‘Umar memukulnya, sehingga ia jatuh ke tanah, dan ‘Umar memasukkan tanah ke mulutnya.

Suasana menjadi lain tatkala dua orang Anshâr ‘membelot’, berbalik melawan kaum Anshâr, dan membela kaum Muhâjirîn. Orang pertama adalah Basyîr bin Sa’d, ayah Nu’mân bin Basyîr, saudara sepupu Sa’d bin ‘Ubâdah, ketua suku Khazraj. Orang yang kedua adalah pemimpin kaum ‘Aus, Usaid bin Hudhair[13], musuh bebuyutan kaum Khazraj sebelum Islam.

Ibn Abîl-Hadîd mrnulis[14]: “Tatkala Basyîr bin Sa’d al-Khazrajî meli­hat bagaimana kaum Anshâr berkumpul pada Sa’d bin ‘Ubâdah untuk mengangkatnya jadi pemimpin (Amîr) dan ia amat dengki pada Sa’d bin ‘Ubâdah (kâna hasadan lahu), ia berdiri dan berkata: “Wahai kaum Anshâr, kita kaum Anshâr telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allâh SWT. Kita tidak mengejar kedudu­kan. Nabî Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum Muhâjirîn, dan layaklah sudah apabila seorang dari keluarganya menjadi penggan­tinya. Saya bersumpah dengan nama Allâh, bahwa saya tidak akan melawan mereka. Saya harap Anda sekalian pun demikian.”

Pada saat itulah agaknya ‘Abdurrahmân angkat bicara dan menyebut nama ‘Alî, dan suasana menjadi seru tatkala orang berteriak: “Kami tidak akan membaiat yang lain, kecuali ‘Alî”

Inilah yang dimaksud ‘Umar tatkala ia mengatakan: “pertengkaran menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan selanjutnya, saya berkata, Buka tangan Anda, Abû Bakar”.

Dan sebelum ‘Umar membaiat Abû Bakar, ia telah didahului oleh Basyîr bin Sa’d.

Ibn Abîl-Hadîd melanjutkan: “Tatkala ‘Umar membentangkan tangan dan berdiri hendak membaiat Abû Bakar, Basyîr bin Sa’d mendahu­linya”

Hubâb bin Mundzir berteriak kepada Basyîr bin Sa’d: “Wahai, Basyîr bin Sa’d! Hai, orang durhaka, orang tuamu sendiri tidak menyukaimu. Engkau telah menyangkal ikatan keluarga, engkau dengki dan tidak mau melihat saudara sepupumu menjadi pemimpin.”

Thabarî kemudian melanjutkan: “Sebagian kaum Aus, di antaranya Usaid bin Hudhair, berkata di antara mereka, ‘Demi Allâh, bila kaum Khazraj sekali berkuasa atas dirimu, mereka akan seterusnya mempertahankan keunggulannya atas diri kamu, dan tidak akan pernah membagi kekuasaan itu kepadamu untuk selama-lamanya; maka berdirilah, dan baiatlah Abû Bakar.”[15]

Ibnu ‘Abdil Barr, dalam Istî’âb-nya malah mengatakan bahwa Usaid bin Hudhair telah mendahului Basyîr bin Sa’d, dan dengan demikian maka dialah orang pertama yang membaiat Abû Bakar.[16]

Setelah kaum Khazraj melihat bahwa kaum Aus telah membaiat Abû Bakar, maka tiada pilihan lain lagi bagi mereka, kecua­li berbuat serupa. Meskipun Sa’d bin ‘Ubâdah tetap tidak hendak membaiat Abû Bakar sampai ia dibunuh oleh ‘Umar di kemudian hari, tetapi anak buahnya kemudian membaiat Abû Bakar.

Siapa sebenarnya yang lebih dahulu membaiat Abû Bakar setelah ‘Umar bin Khaththâb?

Zubair bin Bakkâr dalam “Al-Muwaffaqiat” berkata yang berasal dari Muhammad bin Ishâq bahwa klan Aws menuduh pembaiat pertama adalah Basyîr bin Sa’d dari klan Khazraj sedang klan Khazraj menyatakan bahwa Usaid bin Hudhair dari klan Aws-lah yang pertama membaiat Abû Bakar.

Ibn Abîl-Hadîd mengatakan: Semua orang tahu Basyîr bin Sa’d dari klan Khazraj dan Usaid bin Hudhair dari klan Aws yang secara historis bermusuhan, kedua-duanya ingin menghancurkan Sa’d bin ‘Ubâdah. Karena Basyîr berasal dari klan Khazraj dan sepupu Sa’d bin ‘Ubâdah maka masuk akal bila klan Khazraj menolak anggapan bahwa pembaiat pertama adalah Basyîr. Demikian pula klan Aws menolak Usaid bin Hudhair sebagai pembaiat pertama dan mengatakan bahwa Basyîr-lah yang ingin manjatuhkan Sa’d bin ‘Ubâdah, dengki karena merasa kurang dibandingkan dengan Sa’d, sepupunya itu. Basyîr bermata satu (a’war).

Maka menurut Ibn Abîl-Hadîd yang betul adalah bahwa yang pertama membaiat Abû Bakar adalah ‘Umar, kemudian Basyîr bin Sa’d kemu­dian Usaid bin Hudhair, lalu Abû ‘Ubaidah bin Jarrâh dan akhirnya Sâlim maulâ Abî Hudzaifah.[17]

Jelaslah, kedengkian dan persaingan antar suku telah memungkinkan Abû Bakar mendapatkan baiat kaum Muslimîn.

Agaknya setelah itu banyak kabilah-kabilah Arab yang datang ke Madînah untuk membeli keperluan sehari-hari di pasar Madînah yang dibuka pada hari Kamis, telah diseret ‘Umar untuk membaiat Abû Bakar, seperti Aslam dan anggota klannya. Thabarî melaporkan bahwa ‘Umar telah bertaka, “Tatkala saya lihat Aslam, tahulah saya pertolongan telah datang.”[18] Tetapi Banyak juga yang tidak hendak membaiat Abû Bakar dan malah menolak menyerahkan zakat mereka kepadanya.[19]

Kaum Khazraj dan Aus sebenarnya membaiat Abû Bakar dengan segala alasan untuk kelangsungan hidup suku mereka masing-masing dan sebutir alasan untuk kemuliaan Abû Bakar. Bagi kaum Muhâjirîn pembaiatan ini dijadikan bukti segala keutamaan Abû Bakar.

Beberapa tahun kemudian, tahun 63 H.,683 M. pasukan Yazîd bin Mu’âwiyah menduduki Madînah, membunuh ribuan kaum Anshâr dan keluarga mereka dan menghamili 1000 perempuan mereka, mengingatkan orang akan pidato Hubâb bin Mundzir yang sangat menakuti dominasi kaum Muhâjirîn.[20]

Sebagai gambaran, di kemudian hari, kebanyakan kaum Quraisy berpihak kepada Mu’âwiyah seperti Gubernur Mesir, ‘Amr bin ‘Âsh, Sekretaris Negara Khalîfah ‘Utsmân, Marwân bin Hakam, Gubernur-gubernur seperti Walîd bin ‘Uqbah, ‘Abdullâh bin ‘Umar dan keluarga Banû ‘Umayyah lainnya. Barangkali Thalhah bin ‘Ubaidillâh dan Zubair bin ‘Awwâm yang dengan bantuan ‘Â’isyah memerangi ‘Alî dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Mereka telah menjadi kaya raya di zaman ‘Utsmân.[21]

Dan kebanyakan kaum Anshâr berpihak pada ‘Alî. Abû Ja’far Al-Iskâfî menggambarkannya dengan tepat:

‘Semua orang Makkah amat membenci ‘Alî dan semua orang Quraisy melawannya dan berpihak kepada Banû ‘Umayyah’.[22]

Barangkali yang dimaksudkan faltah atau ‘seperti faltah kaum Jahiliah’, dan ‘kalau ada yang melakukan hal serupa maka bunuhlah dia’ dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Tindakan mengadakan pertemuan di Saqîfah itu sendiri oleh banyak kalangan dianggap sebagai tindakan salah. Karena selama ini masjid dianggap sebagai pusat kegiatan Islam.

2. Pertemuan itu sendiri bukanlah musyawarah karena banyak sahabat tidak diikutsertakan.

3. Dikatakan bahwa faktor utama terpilihnya Abû Bakar adalah hadis yang disampaikannya bahwa ‘Pemimpin adalah dari kaum Quraisy’ dan bahwa ia adalah keluarga Rasûl. Agaknya argumentasi Abû Bakar ini dibuat secara tergesa gesa.

Hadis Abû Bakar tersebut punya dampak luar biasa di kalangan kaum Suni.

Sedang Abû Bakar sendiri pada akhir hayatnya menyatakan keraguannya terhadap hadis tersebut dengan mengatakan bahwa ia menyesal tidak bertanya kepada Rasûl Allâh apakah orang Anshâr punya hak juga untuk kekhalifahan itu yang terkenal dengan nama ‘Riwayat Tiga dan Tiga’.[23]

Abû Bakar berkata di akhir hayatnya kepada ‘Abdurrahmân bin ‘Auf:

‘Ada tiga hal yang telah kulakukan, yang tidak ingin kulakukan. Dan tiga hal yang tidak aku lakukan, tetapi ingin kulakukan.

Tentang tiga yang telah kulakukan tapi mestinya tidak kulakukan, aku tidak boleh menyerbu ke rumah Fâthimah sama sekali biarpun akan timbul perang...

Yang tidak kulakukan, yang mestinya kulakukan... Aku ingin tanya kepada Rasûl Allâh saw. siapa yang seharusnya jadi pemimpin umat ini, sehingga tidak akan ada yang berbeda pendapat. Aku juga ingin tanyakan apakah ada tempat bagi Anshâr untuk kepemimpinan umat ini.’ [24]

‘Umar sendiri berkata tatkala ia ditusuk dan hendak menetapkan anggota Sûyrâ: ‘Andaikata satu dari dua orang ini masih hidup akan aku menjadikannya khalîfah, Sâlim maulâ Abî Hudzaifah dan Abû ‘Ubaidah al-Jarrâh[25]. Ia juga mengatakan: ‘Andaikata Sâlim masih hidup, aku tidak akan bentuk Sûyrâ.’[26]. Sedang Sâlim bukanlah orang Quraisy.

Abû Bakar dianggap satu-satunya sahabat yang menyampaikan hadis ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy’.

Dampak hadis yang diragukan sendiri oleh Abû Bakar di kemudian hari ini adalah terbungkamnya suara Anshâr yang mayoritas dan menghapus kesan musyawarah.

Hal ini akan dibicarakan di bagian lain.

4.Tatkala ‘Umar menjabat tangan Abû Bakar, mufakat belum tercapai.

5.Seharusnya para sahabat mengatur penguburan Rasûl Allâh saw. dahulu, sehingga tidak akan terbengkalai selama tiga hari dan terpaksa dikuburkan oleh keluarga beliau pada hari Rabu malam.

6.Pembaiatan itu telah menyebabkan pembunuhan terhadap pemimpin kaum Anshâr, Sa’d bin ‘Ubâdah, kemudian hari, dan penyerbuan ke rumah Fâthimah yang akan dibicarakan pada bab-bab berikut .

7. Andaikata ‘Umar dan Abû Bakar mengajak kaum Anshâr kembali ke masjid maka keadaan akan jadi lain. Tatkala ‘Alî bin Abî Thâlib diangkat jadi khalîfah 25 tahun kemudian, di Kûfah beliau menanyakan para sahabat akan khotbah Rasûl di Ghadîr Khumm dan 11 orang saha­bat menyatakan mendengar Rasûl bersabda: ‘Barangsiapa menganggap aku sebagai maulânya maka ‘Alî adalah maulânya juga. Ya Allâh, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memu­suhinya!’. Baru 73 hari yang lalu khotbah ini diucapkan dan ‘Umar serta Abû Bakar datang memberi selamat kepada ‘Alî. Hadis ini bukan hadis yang lemah tapi hadis yang kuat. Dan berpu­luh hadis yang hampir serupa telah diucapkan Rasûl untuk ‘Alî seperti: ‘Kedudukanmu di sisiku seperti Hârûn terhadap Mûsâ, hanya saja tidak ada lagi Nabî sepeninggalku’. ‘Aku adalah gudang ilmu dan ‘Alî adalah pintunya’. dan lain-lain.

8. ‘Umar dan Abû Bakar tahu akan hal ini. ‘Umar juga telah mengatakan kepada Ibnu ‘Abbâs bahwa ‘Alî adalah yang paling utama, tetapi orang Arab tidak menyukai kerasulan dan kekhalifahan berkumpul pada Banû Hâsyim. Itu barangkali, satu sebab menga­pa ‘Umar tidak mengajak jemaah kembali ke masjid.

9. Barangkali yang tidak disadari Abû Bakar dan ‘Umar adalah dampak tindakan kekerasan mereka terhadap keluarga Rasûl Allâh saw. , seperti penyerbuan ke rumah Fâthimah yang akan dibicarakan di bab berikut , terhadap anak-anak mereka dan penguasa-penguasa di kemudian hari. Kalau Abû Bakar dan ‘Umar sendiri yang mengetahui betul keutamaan ‘Alî sudah bertindak demikian, apalagi orang lain. ‘Â’isyah, anak Abû Bakar, meskipun telah diperintahkan Allâh agar tinggal di rumah, telah memerangi ‘Alî dan menyebabkan 20.000 kaum Muslimîn meninggal dunia. ‘Abdullâh bin ‘Umar tidak mau membaiat ‘Alî di kemudian hari, malah membaiat Mu’âwiyah dan Yazîd bin Mu’âwiyah dan gubernur Hajjâj bin Yûsuf. Keduanya membuat hadis-hadis yang memojokkan ‘Alî[27]. Tatkala ‘Abdullâh bin Zubair dikritik karena akan membakar keluarga Rasûl, adiknya ‘Urwah membela ‘Abdullâh dengan mengatakan bahwa ‘Abdullâh hanya mencontoh perbuatan ‘Umar bin Khaththâb tatkala ‘Umar hendak membakar rumah ‘Fâthimah.
10. Banyak orang berpendapat bahwa andaikata ‘Umar mengajak jemaah ke masjid maka umat dan agama Islam akan maju lebih pesat dan tidak akan ada fitnah di kemudian hari yang datang susul-menyusul terutama sesudah ‘Utsmân meninggal. Juga berakibat terbunuhnya anak-cucu Rasûl Allâh saw.



[1] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 582.

[2] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 6

[3] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 3

[4] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 3.

[5] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 3; Lihat juga, al-Mûsâwî, Dialog Sunnah-Syi’ah, dialog no. 80, hlm. 366

[6] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 123.

[7] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 582

[8] Ya’qûbi, Târîkh jilid 2, hlm. 123; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah jilid 6, hlm. 19-20.

[9] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 198; Ibnu Atsîr, al-Kâmil, jilid 2, hlm. 157; dan lain-lain

[10] Saya adalah tunggul (tempat unta menggosok-gosokkan badannya yang gatal), dan penopang (untuk menyanggah tandan kurma agar buah kurma agar tidak runtuh)

[11] Hubâb bin Mundzir bin Jumûh bin Zaid bin Haram bin Ka’b bin Ghanm bin Ka’b bin Salmah al-Anshârî. Ikut perang Badr dan perang-perang sesudahnya. Ia meninggal di zaman khalîfah ‘Umar.

[12] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 207-208

[13] Usaid bin Hudhair bin Samâk bin ‘Atik bin Rafi’ bin Imra’ul Qays bin Zaid bin ‘Abdul Asyhal bin Hârits bin Khazraj bin ‘Amr bin Mâlik bin ‘Aws orang Anshâr dari klan ‘Abdul Asyhal (‘Aws), ikut Baiat al-Aqabah kedua dan ikut Perang Uhud dan sesudahnya. Di antara kaum Anshâr ia paling dekat dengan Abû Bakar dan ‘Umar. Meninggal di Madînah tahun 20 H. atau 21 H., 641 atau 642 M.

[14] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 9-10

[15] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 209.

[16] Ibnu ‘Abdil Barr, Istî’âb,jilid 1, hlm. 92

[17] Ibn Abîl-Hadîd, ibid, jilid 6, hlm. 18

[18] Thabarî, Târîkh, edisi Goeje, Leiden, jilid 1, hlm. 1843; Lihat juga Syaikh Al-Mufîd, al-Jamal, hlm. 50

[19] Lihat Bab: 19: ‘Riwayat Tiga Dan Tiga’

[20] Lihat Bab 1: “Membunuh Muhâjirîn dan Anshâr”

[21] Lihat bab ‘Pengantar’

[22] Ibn Abîl-Hadîd, Syah Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 103. Dalam jilid ini anda dapat membaca ‘Bab pelaknatan Mu’awiah dan kelompoknya kepada ‘Alî’ hlm. 56; ‘Bab hadis-hadis palsu untuk mengucilkan ‘Alî’ hlm. 63; ‘Bab orang-orang yang memusuhi ‘Alî’ hlm. 74

[23] Lihat Bab 19: ‘Riwayat Tiga dan Tiga’..

[24] Thabarî, Târîkh, jilid 4, hlm. 52; Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 18; Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 1, hlm. 414; Ibnu ‘Abd Rabbih, Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 254; Abû ‘Ubaid, al-Amwal, hlm. 131

[25] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 3, hlm. 343

[26] Baca biografi Sâlim dalam Istî’âb; Usdu’l-Ghâbah, jilid 2, hlm. 246

[27] Lihat ‘Pengantar’

No comments:

Post a Comment