Sunday, August 2, 2009

12 Reaksi Terhadap Saqîfah Fadhl bin ‘Abbâs dan ‘Utbah bin Abî Lahab

12

Reaksi Terhadap Saqîfah

Fadhl bin ‘Abbâs dan ‘Utbah bin Abî Lahab

Y

a’qûbi meriwayatkan pidato Fadhl bin ‘Abbâs: “Setelah orang-orang keluar dari rumah Rasûl, Fadhl bin ‘Abbâs berdiri dan berseru kepada kaum Quraisy: ‘Kamu tidak berhak menegakkan kekhalifahan dengan kepal­suan! Kami adalah ahlinya dan bukan kamu. Sahabat kami ‘Alî lebih pantas untuk kekhalifahan ini dari kamu’.

Kemudian ‘Utbah bin Abû Lahab membaca sajaknya:

Tak terlintas di akal hak Banû Hâsyim akan di alihkan

Tidak juga kusangka mereka akan tinggalkan Abul Hasan,

Paling tahu akan Al-Qur’ân dan Sunnah

Paling awal mengikuti Rasûl Allâh

Dan yang terakhir meninggalkan jenazah

Untuk menolong ‘Alî, memandikan dan mengafan

Malaikat turun ke tempat peristirahatan

Di kaum ini, tiada yang sebaik ayah Hasan’.

‘Alî mengirim utusan dan mengingatkan ‘Utbah agar berhenti memba­cakan syairnya, dan ‘Alî berkata: ‘ Keselamatan umat lebih kami inginkan dari hal-hal lain’.[1]

Salmân al-Fârisî

Jauharî dalam Saqîfah meriwayatkan bahwa Salmân, Zubair dan kaum ‘Anshâr ingin membaiat ‘Alî setelah Rasûl wafat. Dan tatkala mengetahui bahwa Abû Bakar telah dibaiat, Salmân berkata:

“Kamu mendapat sedikit dan membuat kesalahan besar”

Dan di bagian lain:”Kamu memilih orang tua, dan membuat kesalahan kepada Ahlu’l-bait Nabîmu. Bila saja kamu menyerahkan kekhalifa­han kepada mereka, tidak akan ada dua orang yang berselisih paham dan kamu akhirnya akan menikmatinya juga.”[2]

Balâdzurî mencatat: “Kardaz atau Na kar­daz, lihat apa yang kamu lakukan, andaikata kamu membaiat ‘Alî, kamu akan menikmatinya dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka”.[3]

Ummu Misthah binti Utsatsah

“Tatkala penolakan ‘Alî terhadap pembaiatan Abû Bakar bertambah dan Abû Bakar serta ‘Umar bertambah keras menentang ‘Alî, Ummu Misthah, puteri Utsatsah, pergi kekuburan Nabî dan bersyair:

Kericuhan sesudahmu, telah dimulai,

Andai engkau ada, tentu terlerai,

Kehilangan engkau, bak kehilangan bumi dan unta,

Umat merosot, aku saksikan dengan mata”[4].

Abû Dzarr

Ia tidak berada di Madînah tatkala Rasûl Allâh wafat, tetapi tatkala ia kembali dan mendengar Abû Bakar diangkat jadi khalîfah, ia berkata: Kamu mendapat sekerat, dan meninggalkan kerabat. Bila kamu mendukung tuntutan Keluarga Rasûl untuk menduduki kekhalifahan itu, kamu akan mendapat keuntungan lebih besar, dan tidak akan ada dua orang yang berselisih di antara umat”[5].

Dan Ya’qûbi meriwayatkan:

‘Alî bin Abî Thâlib adalah pengemban wasiat Muhammad dan pewaris ‘ilmunya. Wahai umat yang kebingungan ditinggalkan Nabînya! Andaikata kamu mendahulukan orang yang didahulukan Allâh dan mengakhirkan orang yang diakhirkan Allâh dan menempatkan perwalian (wilâyah) dan pewarisan (wirâtsah) kepada ahlu’l-bait Nabîmu, kamu akan makan dari atas kepala dan dari bawah kaki mereka. Maka mengapa kamu menindas Wali Allâh? Tidak boleh menga­lihkan keutamaan yang diberikan Allâh! Tidak boleh berselisih mengenai Hukum Allâh! Sedang mereka paling memahami Kitâb Allâh serta Sunnah Nabî-Nya. Sejauh apa yang kamu lakukan, akan kamu rasakan! Perhatikanlah! Mereka yang zalim akhirnya akan tahu juga!”[6]

Miqdâd[7]

Ia bergabung dengan keluarga Al-Aswad bin Abd Yaghuts Az-Zuhrî dan dia diberi nama keluarga Aswad, sehingga namanya jadi Al-Miqdâd bin Al-Aswad Al-Kindî. Tatkala turun ayat “Panggillah mereka dengan (nama-nama) ayah mereka” (QS Ahzâb (33):5) dia lalu dipanggil sebagai Miqdâd bin ‘Amr. Meninggal tahun 33 H.,654 M. Ia bereaksi tatkala Abû Bakar dibaiat.

Ya’qûbi mencatat dalam Târîkh-nya dari seorang yang melihat seorang laki-laki di Masjid Madînah, dalam keadaan cemas seperti baru dirampok kekayaannya. Lelaki itu sedang berkata: “Aneh, kedudukan itu telah diambil dari orang yang paling berhak!”[8]

Seorang Wanita dari Banû Najjâr

Setelah Abû Bakar jadi khalîfah, ia mengirim uang kepada beberapa wanita kaum Muhâjirîn dan Anshâr. Zaid bin Tsâbit memba­wa bagian seorang wanita Banû Najjâr, tapi ia menolak dan berkata:

‘Abû Bakar ingin membeli agama kita dengan sogokan’.

Abû Sufyân

Ia adalah Sakhr bin Harb, anak ‘Umayyah, anak ‘Abdu Syams, anak ‘Abdul Manâf. Ia memerangi Rasûl Allâh sampai Pembukaan Makkah dan Rasûl memberikan pengampunan kepadanya. Pada waktu Rasûl Allâh wafat, ia tidak berada di Madînah. Tatkala kembali ke Madînah, Abû Sufyân mendengar bahwa Rasûl Allâh telah wafat dan Abû Bakar telah diangkat menjadi khalîfah.

Dalam Iqd al-Farîd dan Abû Bakar al-Jauharî dalam bukunya Saqîfah yang diriwayatkan oleh Ibn Abîl-Hadîd :

“Rasûl Allâh saw. wafat, dan Abû Sufyân tidak berada di Madînah. Ia berada di Mas’at, melakukan tugas sebagai pengumpul zakat yang diberikan Rasûl Allâh saw.. Dan tatkala ia kembali ke Madînah ia bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah jalan menuju ke Madînah:

Abû Sufyân: “Muhammad wafat?”

Jawab: “Ya!”

Abû Sufyân: “Dan siapa menggantinya?”

Jawab: “Abû Bakar!”

Abû Sufyân: “Dan apa yang dikerjakan dua orang lemah ‘Alî dan ‘Abbâs?”

Jawab: “Mereka sedang duduk-duduk saja!”

Abû Sufyân: “Demi Allâh, aku akan pacu mereka berdua. Aku melihat debu di udara yang hanya dapat dibersihkan dengan hujan darah!”

Setelah sampai ke Madînah ia berkeliling kota sambil membacakan syairnya:

Hai Banû Hâsyim, jangan biarkan ketamakan orang merugikanmu

Terutama Taim bin Murrah atau ‘Adî (Abû Bakar dan ‘Umar.)

Kedaulatan Umat dimulai olehmu dan harus kembali kepadamu.

Dan tiada yang lebih pantas kecuali ayah Hasan, ‘Alî[9].

Menurut Thabarî, Abû Sufyân berkata:[10]

Ada debu di udara, demi Allâh, hanya hujan darah yang dapat membersihkannya

Wahai anak-anak Banû ‘Abd Manâf, mengapa Abû Bakar dibiarkan mencampuri urusanmu? Di mana ‘Alî dan ‘Abbâs, di mana kedua orang yang lemah itu?”

Kemudian dia berkata kepada ‘Alî: “Ayah Hasan, ulurkan tangan, akan aku baiat Anda!”. Dan ‘Alî menolak. Abû Sufyân lalu membaca syair berikut:

Hanya keledai, bukan manusia bebas, mau dihina,

Dua lambang rasa rendah diri yang tercela adalah

Pasak kemah yang ditimpa godam,

Unta kafilah yang diberi beban.

Secara historis kedua keluarga ini, ‘Alî dan Abû Sufyân bermusu­han. Kakek Abû Sufyân adalah sepupu kakek Rasûl Allâh saw. dan ‘Alî. Kedua keluarga yang sangat berdekatan ini adalah bangsawan Arab yang bersaing untuk mendapatkan kepimpinan bangsa Arab. Abû Sufyân benar tatkala ia mengatakan bahwa barangsiapa menguasai suku Qusay, suku Abû Sufyân dan ‘Alî, mereka akan menguasai bangsa Arab. Pecahnya suku ini menjadi dua, melemahkan kepemimpi­nan bangsa Arab. Dalam merebut kepemimpinan ini, kakek Muhammad mendapat kemenangan.

Tuntutan Muhammad saw. sebagai Nabî, tambah mengguncangkan Banû ‘Umayyah tetapi juga memberi kesempatan kepada Abû Sufyân sebagai pemimpin Banû ‘Umayyah untuk menghasut suku-suku bangsa Arab memerangi Muhammad dengan agama barunya. Dua puluh tahun Muhammad diperangi dan berakhir dengan kemenangan Muhammad saw.. Tatkala Makkah dibuka, Banû ‘Umayyah masuk Islam karena terpaksa, yang terkenal dengan istilah thula­qâ’ (bentuk jamak dari thalîq, yang dibebaskan) tetapi secara tersembunyi permusuhan terhadap Banû Hâsyim tetap menjalar seperti api dalam sekam.

Kalau ‘Alî menerima tawaran Abû Sufyân, sejarah mungkin menjadi lain. Mengapa ‘Alî menolaknya? Baru tiga hari yang lalu, tatkala jenazah Rasûl masih hangat, rumahnya dikepung oleh kelompok Abû Bakar dan diancam akan dibakar, biarpun puteri dan cucu Rasûl Rasûl saw. berada di dalam. Baru tiga hari yang lalu ia membantah Abû Bakar dan mengatakan bahwa ia lebih berhak dari Abû Bakar akan kekhalifahan dengan menggunakan argumentasi Abû Bakar sen­diri. Ia, bersama keluarganya baru saja menguburkan Rasûl, tatka­la lawan-nya masih sedang sibuk menghimpun kekuatan menghadapin­ya. Dalam suasana seperti itu, ‘Abbâs, pamannya menawarkan diri untuk membaiatnya yang berarti juga dukungan terhadapnya dari seluruh keluarga Banû Hâsyim. Kemudian Abû Sufyân, pemimpin Banû ‘Umayyah datang menawarkan baiatnya. Sedang ia sendiri tidak mau membaiat Abû Bakar yang baru dilakukannya enam bulan kemudian, setelah Fâthimah meninggal.

Abû Sufyân meski telah Muslim, hanya menganggap Muhammad sebagai pemimpin dan tidak lebih dari itu. Misalnya, beberapa waktu kemudian setelah ia membaca syahadat, ia berkata kepada ‘Abbâs: “Demi Allâh, Ayah Fadhl, kemanakanmu sekarang telah menjadi raja!”. ‘Abbâs menjawab:”Ya, Abû Sufyân, ini kerasulan!”. Padahal ia sudah hampir dua puluh tahun memerangi Rasûl Allâh saw. dan mengetahui betul tuntutan Rasûl. Abû Sufyân juga tidak peduli, apakah ‘Alî kafir atau Muslim, tetapi sebagai pemimpin Banû ‘Umayyah ia merasa hina dipimpin oleh orang asing.

Abbas sendiri baru tiga tahun yang lalu menyelamatkan Abû Sufyân, karena ‘ashabiyah atau kefanatikan suku, seperti diriwayatkan Ibnu Hisyâm. “Tatkala Makkah sedang dikepung kaum Muslimîn pada malam Pembukaan Makkah, ‘Abbâs menyelinap masuk kota dengan menunggang bagal (jenis hewan tunggangan, hasil perkawinan antara keledai dengan kuda, pen.) untuk mengabarkan kaum Quraisy tentang kedatangan Rasûl Allâh saw. dan bahwa kotanya sedang dikepung dan menganjurkan mereka untuk minta pengampunan. ‘Abbâs tiba-tiba melihat pemimpin Banû ‘Umayyah itu. Ia sedang memata-matai kaum Muslimîn. Melihat Abû Sufyân ‘Abbâs beriak: ‘Demi Allâh, bila mereka berhasil, engkau akan dipenggal!’ Kemudian ‘Abbâs membawan­ya di atas punggung bagal untuk menghadap Nabî memohonkan perlin­dungan.

Keduanya lalu menunggangi bagal milik Rasûl Allâh tersebut. ‘Abbâs duduk di depan. Dan tatkala mereka melewati cahaya lampu-lampu kaum Muslimîn yang bertebaran, orang-orang berkata: “Lihat, paman Rasûl Allâh sedang menunggangi bagal Rasûl Allâh!”. Tatkala bertemu ‘Umar bin Khaththâb ‘Umar melihat Abû Sufyân yang sedang duduk di punggung bagal. Ia berseru: “Musuh Allâh! Segala puji bagi Dia yang memungkinkan engkau sekarang berada di tangan kami dan tiada yang akan melindungimu!” ‘Umar kemudian lari ke Nabî (untuk mendapatkan izin membunuh Abû Sufyân). Tetapi ‘Abbâs mempercepat bagalnya mendahului ‘Umar. (Abbas melanjutkan ri­wayatnya). “Dan aku meloncat turun dari bagal dan segera masuk menghadap Rasûl Allâh saw.”. ‘Umar pun tiba, masuk serta berseru: “Ya Rasûl Allâh, Allâh SWT telah memungkinkan Abû Sufyân berada pada kita dan tiada yang menjamin untuk melindunginya! Izinkanlah saya memenggal lehernya!” (Abbas melanjutkan riwayatnya). Dan aku berkata: “Saya telah memberikan perlindungan untuknya!” ‘Umar bersiteguh, tetapi ‘Abbâs berkata: ‘Tenanglah ‘Umar, bila Abû Sufyân bermarga ‘Adî bin Ka’b (marga ‘Umar, pen.), engkau tentu tidak akan memaksa membunuhnya! Tapi karena dia bermarga ‘Abdu Manâf, maka engkau mengeluarkan kata-kata keras!”

Tindakan ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, dan kata-kata ‘Abbâs menunjukkan betapa besar ‘ashabiyah bangsa Arab. ‘Abbâs tidak menyadari bahwa pembelaannya terhadap Abû Sufyân, akan membuat tragedi di kemudian hari. Keturunan dua tokoh ini menur­unkan Dinasti Banû ‘Umayyah dan Banû ‘Abbâs. Dan kedua Dinasti ini memburu keturunan ‘Alî

Untuk menenangkan Abû Sufyân setelah pembaiatan Abû Bakar, ‘Umar mengusulkan kepada Abû Bakar untuk tidak usah menagih sadaqah yang dikumpulkan Abû Sufyân sebagai ‘âmil yang diperintahkan Rasûl Allâh saw. yang menyebabkan ia terlambat tiga hari dan tidak menyaksikan wafatnya Rasûl Allâh. Kemudian ‘Umar mengangkat Yazîd, anak Abû Sufyân menjadi gubernur di Syam. Dan akhirnya ‘Umar mengangkat Mu’âwiyah, anak Abû Sufyân yang lain untuk menggantikan kakaknya yang kemudian membentuk Dinasti ‘Umayyah. Tindakan ‘Umar ini membuat Abû Sufyân menghentikan protesnya.

Jelaslah sudah bahwa ‘Alî menolak tawaran Abû Sufyân karena mengetahui bahwa tawaran itu didasarkan pada ‘ashabiyah yang justru ingin diberantas dan dikubur Rasûl Allâh saw..

Khâlid bin Sa’îd al-Amawî

Khâlid bin Sa’îd bin ‘Âsh bin ‘Umayyah bin ‘Abd Sayms adalah pemeluk ketiga, atau keempat dan ada yang mengatakan yang kelima. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa Khâlid lebih dulu memeluk Islam dari Abû Bakar[11].

Ia termasuk Sahabat yang berhijrah ke Habasyah. Kedua saudaranya ‘Amr dan Abân ditugaskan Rasûl Allâh sebagai ‘âmil (pengumpul zakat) Banû Madzhaj. Dan ia sendiri sebagai pengumpul zakat di Yaman dan tatkala Rasûl Allâh wafat ia kembali dari tugasnya bersama kedua saudaranya ‘Amr dan Abân. Abû Bakar berkata:

“Apa sebabnya kamu kembali dari tugasmu?” Tiada seorang pun yang lebih berhak atas tugas dari tugas-tugas yang dibebankan kepada kamu oleh Rasûl Allâh!”

Mereka menjawab:

Kami, Banû Uhaihah, kami tidak akan bekerja untuk siapa pun setelah Rasûl Allâh wafat!”[12]

Dan Khâlid serta kedua saudaranya ‘Amr dan Abân memperlambat baiat mereka kepada Abû Bakar.

Khâlid pada waktu itu berkata kepada Banû Hâsyim:

“Sesungguhnya, kamulah pohon yang rindang dan terhormat serta berbuah lebat, kami akan mengikutimu!”

Setelah baiat berlalu dua bulan Khâlid berkata:

“Rasûl Allâh telah memberi tugas kepadaku, dan ia tidak memecatku sampai wafatnya!”

Dan tatkala ia bertemu ‘Alî bin Abî Thâlib dan ‘Utsmân ia berkata:

Ya Banû ‘Abdu Manâf! Kamu tidak menyelesaikan urusanmu dengan sungguh-sungguh, sehingga orang lain memerintah atas dirimu!”.[13]

Dan ia mendatangi ‘Alî dan berkata:

“Mari, aku akan membaiatmu! Demi Allâh tidak ada manusia yang lebih utama pengganti Rasûl Allâh dari Anda![14]

Setelah Banû Hâsyim membaiat, baru Khâlid membaiat Abû Bakar.

Kemudian Abû Bakar mengirim Pasukan ke Syam, dan orang pertama yang ditunjuk sebagai pemimpin seperempat pasukan adalah Khâlid bin Sa’îd. ‘Umar bertengkar dengan Abû Bakar. Ia bertanya: “Engkau mengangkatnya? “Dan Abû Bakar akhirnya memecat Khâlid dan menggantinya dengan Yazîd bin Abû Sufyân.[15]

Nu’mân bin ‘Ajlân

Nu’mân bin ‘Ajlân membacakan kasidahnya sebagai jawaban syair ‘Amr bin ‘Âsh tentang riwayat Saqîfah:

Dan kamu katakan Sa’d haram jadi khalîfah,

Dan ‘Atiq bin ‘Utsmân, Abû Bakar, halal,

Dan bila Abû Bakar adalah pemegang kuasa yang baik,

Maka ‘Alî adalah pemimpin yang terbaik,

Cinta kami tertumpah pada ‘Alî, dan orang tentu tahu,

Ialah ahlinya, wahai ‘Amr, bagaimana Anda sampai tak tahu,

Dengan bantuan Allâh dia mengajak kepada tuntunan,

Mencegahmu dari yang keji, kelaliman dan kemungkaran,

Dialah pengemban wasiat dan sepupu Nabî, namanya terukir,

Ia perangi pasukan yang sesat dan kafir,

Dan dengan memuji Allâh ia menuntun yang buta,

Dan membuka pendengaran hati manusia[16].

Mâlik bin Nuwairah

Nama lengkapnya adalah Mâlik bin Nuwairah bin Jamrah bin Syaddad Bin ‘Ubaid bin Tsa’labah bin Yarbu’ at-Tamimi al-Yarbu’i dengan kunyah Aba Hanzhalah dan laqab al-Jaful. Ia adalah seorang sahabat, bangsawan, penyair dan ahli berkuda Banû Yarbu’.

Sesudah masuk Islam, ia diangkat Nabî sebagai pengumpul zakat dari kaumnya dan tatkala Rasûl Allâh saw. wafat ia membagi-bagikan zakat pada kaumnya sendiri dengan kata-katanya:

Aku berkata ambillah zakat mal kamu tanpa takut,

Jangan pikirkan apa yang akan terjadi besok

Bila datang seorang mengatasnamakan agama

Kita ‘kan taat dan berkata:

‘Agama kami agama yang dibawa Muhammad’.[17]

Thabarî menulis yang berasal dari ‘Abdurrahmân bin Abû Bakar.[18]

Tatkala Khâlid bin Walîd tiba di Buthah[19] ia mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Dhirâr bin Azwar. Dalam ekspedisi itu terdapat Abû Qatâdah. Mereka melakukan serangan mendadak, dahamû, terhadap kabilah Mâlik di malam hari dan Abû Qatâdah menceritakan: ‘Mereka mengepung kaum itu, mengejutkan mereka, ra’ûhum, ditengah malam dan kaum itu menyiapkan senjata ‘.

Abû Qatâdah berkata:

“Kami berkata: ‘Kami adalah kaum Muslimîn,

Dan mereka berkata: ,Dan kami juga Muslimîn’

Abû Qatâdah berkata: ‘Mengapa kamu bersenjata?’

Mereka menjawab: ‘Dan mengapa kamu bersenjata?’

Kami berkata: ‘Bila kamu seperti apa yang kamu katakan maka letakkanlah senjata’

Abû Qatâdah berkata: ‘Mereka lalu meletakkan senjata mereka, kami lalu salat dan mereka juga salat’”

Ibn Abîl-Hadîd menambahkan cerita di atas:’Dan setelah meletakkan senjata, mereka diikat dan dibawa kepada Khâlid’.[20]

Muttaqî al_Hindî menceritakan:[21]

‘Khâlid mendakwa Mâlik bin Nuwairah, menurut cerita yang sampai kepadan­ya, telah ‘murtad’ dan Mâlik mengingkarinya sambil berkata: ‘Saya berada dalam Islam, saya tidak berubah dan tidak sama sekali pindah agama. ‘Abû Qatâdah serta ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khaththâb menyaksikannya. Khâlid bin Walîd menyuruh Mâlik maju dan memerintahkan Dhirâr bin Azwar al-Asadi memenggal kepalanya. Dan Khâlid meniduri istri Mâlik, Umm Tamim’.

Ya’qûbi berkata:[22]

Dan Khâlid mendatangi Mâlik bin Nuwairah dan mendebatnya dan istri Mâlik mengikutinya, dan setelah Khâlid melihat istri Mâlik bin Nuwairah, ia takjub akan kecantikannya dan berkata kepada Mâlik: ‘Demi Allâh aku tidak bisa tidak harus membunuhmu’.

Dan Abû’l-Fidâ’[23] dan Ibnu Khalikân:[24]

‘Dan di sana berada ‘Abdullâh bin ‘Umar dan Abû Qatâdah al-Anshârî yang mengingatkan Khâlid akan rencana perbuatannya tetapi Khâlid menolak peringatan mereka.

Mâlik berkata: ‘Wahai Khâlid, utuslah kami kepada Abû Bakar dan dengan begitu ia dapat menjatuhkan hukuman kepada kami. Anda telah mengutus kepadanya orang lain yang dosan­ya lebih besar dari dosa kami’.

Khâlid menjawab: ‘Tidak Allâh telah menetapkan kepadaku untuk membunuhmu’, dan ia menyuruh Dhirâr bin al-Azwar agar memenggal kepalanya. Dan Mâlik berpaling ke istrinya yang memang cantik jelita sambil berkata kepada Khâlid: ‘Karena ia (istri Mâlik) engkau membunuh­ku’.

Khâlid menjawab: ‘Tidak, Allâh yang membunuhmu dengan keluarnya engkau dari Islam’.

Mâlik berkata: ‘Saya berada dalam Islam.

Khâlid berkata: ‘Hai Dhirâr, penggal kepalanya’, dan Dhirâr pun memenggalnya.

Dan Ibnu Hajar dalam Ishâbah-nya mengutip[25] dari Tsâbit bin Qâsim yang menceritakannya dalam ad-Dalâ’il:

“Khâlid memandangi istri Mâlik, dan wanita ini memang cantik sekali dan Mâlik berkata setelah itu kepada istrinya: ‘Engkau membunuhku, maksudku aku dibunuh karena engkau ,istriku’”.

Dan selanjutnya, masih dalam Ishâbah karangan Ibnu Hajar yang berasal dari Zubair bin Bakkâr.[26]

“Kepala Mâlik bin Nuwairah berambut tebal dan setelah ia dibunuh, Khâlid bin Walîd memerin­tahkan mengambil kepalanya, menegakkannya dengan menyandarkan ke batu tungku sampai semuanya matang oleh api dan rambut kepalanya habis terbakar.”

Dan Ya’qûbi[27]:

Dan Khâlid meniduri istri Mâlik , Ummu Tamim binti Minhal , pada malam itu juga.

Peristiwa ini melahirkan syair Abû Numair as-Sa’di:

Tidakkah kampung itu telah rata dilanda kuda Khâlid,

Sesudah Mâlik mati, malam jadi panjang tak berpagi lagi,

Khâlid bertekat meniduri istri Mâlik,

Karena nafsu lebih dahulu menyusup hati,

Dan birahi Khâlid tak kenal ampun dan belas kasih,

Tak mau ia kekang, tak punya ia kendali,

Ketika pagi tiba Khâlid telah ‘beristri’,

Dan Mâlik tak beristri lagi, ia telah mati.[28]

Dan Minhal, mertua Mâlik, bersama orang-orang dari kaumnya menda­patkan jasad Mâlik bin Nuwairah, mengumpul bagian-bagian tubuhnya, memasukkannya ke dalam kantong dan mengafaninya.[29]

Ya’qûbi:

‘Maka Abû Qatâdah menemui Abû Bakar, menyampaikan berita tersebut serta bersumpah bahwa ia tidak akan pergi berperang di bawah bendera Khâlid karena Khâlid telah membunuh Mâlik yang Muslim’.

Thabarî meriwayatkan dari Abû Bakar:

‘Abû Qatâdah yang menyaksikan keislaman Mâlik berjanji kepada Allâh bahwa ia tidak akan disaksikan dalam perang bersama Khâlid untuk selama-lamanya’

Dalam tarikh Ya’qûbi:

‘’Umar berkata kepada Abû Bakar: ‘Ya khalîfah Rasûl Allâh, sesungguhnya Khâlid telah membunuh seorang Muslim dan meniduri istrinya hari itu juga!’. Abû Bakar menyurati Khâlid agar menghadap dan Khâlid berkata: ‘Ya khalîfah Rasûl Allâh, sesungguhnya aku ber-ta’wîl dan salah’.

Dan Muttamim bin Nuwairah, saudara Mâlik bin Nuwairah membuat syair duka yang sangat banyak untuk saudaranya dan ia pergi ke Madînah menemui Abû Bakar dan salat subuh di belakang Abû Bakar. Setelah selesai salat, Muttamim bangkit, bersandar di atas busurnya dan berkata:

‘Sungguh bahagia mati di medan perang,

Tapi Anda bunuh dia berdarah dingin, ya Ibnu Azwar,

Bukankah Anda panggil dia dan Anda khianati,

Bila Anda ia panggil, Anda akan aman, ia memegang janji.

Abû Bakar berkata: ‘Demi Allâh, aku tidak memanggilnya dan tidak mengkhianatinya’.

Muttamim lalu menangis:

‘Nikmatlah pemakai baju perang yang tahu dirinya telanjang,

Berbahagialah tempat berlindung yang jalannya terang,

Janganlah menyimpan perbuatan buruk di balik pakaian,

Sungguh manis bila akhlak dan murah hati jadi hiasan’.

Kemudian ia menangis dan mengendurkan busurnya.

Dan dalam tarikh Abû’l-Fidâ’ tatkala berita sampai kepada ‘Umar dan Abû Bakar:[30]

‘Umar berkata kepada Abû Bakar: ‘Sesungguhnya Khâlid sudah berzina, maka engkau harus merajamnya’.

Abû Bakar berkata: ‘Aku tidak akan merajamnya, karena ia melakukan ta’wîl dan salah’.

‘Umar menjawab: ‘Dia membunuh Muslim maka bunuhlah dia!’

Abû Bakar berkata: ‘Aku tidak akan membunuhnya, karena ia melakukan ta’wîl dan salah’.

Maka ‘Umar pun pergilah. Abû Bakar berkata: ‘Aku tidak akan menyarungkan pedang yang dihunus Allâh untuk mereka’.

Dan dalam riwayat Thabarî yang berasal dari Ibnu Abû Bakar:

“Umar berkata: ‘Hai musuh Allâh, Anda menganiaya dan membunuh seorang Muslim, kemudian Anda berzina dengan istrinya!’. Khâlid tidak menjawab. Ia terus masuk ke masjid dengan mengenakan jubah (qaba’), baju besi dan serban yang disisipi anak-anak panah dan tatkala memasuki masjid ‘Umar menghadangnya, mencabut anak-anak panah dari kepalanya dan berkata: ‘Congkak, Anda membunuh seorang Muslim dan berzina dengan istrinya!

Demi Allâh aku akan merajam Anda!’ Khâlid bin Walîd sekali lagi diam dan ia tidak menduga bahwa Abû Bakar akan sependapat dengan ‘Umar dalam masalah ini.Ia menemui Abû Bakar dan tatkala ia masuk, ia menyampaikan beritanya dan ia dimaafkan oleh Abû Bakar. Khâlid bin Walîd keluar setelah Abû Bakar rida akan perbuatannya dan ‘Umar sedang duduk di masjid.

Ia berkata kepada ‘Umar: ‘Hayo, mari ya Umm Syam­lah!’. ‘Umar tahu bahwa Abû Bakar telah meridainya.

‘Umar tidak menjawab dan langsung masuk ke rumahnya.

Mâlik bin Nuwairah adalah Sahabat Rasûl Allâh saw. yang teguh dalam Islam, dan dia tidaklah murtad seper­ti dituduhkan. Ia dan kaumnya tetap mengeluarkan zakat; ia tidak mengirimnya ke pusat, memang, tetapi membagikannya kepada yang berhak di kaumnya sendiri. Tetapi ia telah dibunuh melalui suatu ekspedisi yang dikirim Abû Bakar dan dipimpin oleh Khâlid bin Walîd. Khâlid bin Walîd lalu meniduri istrinya yang terkenal dalam sejarah karena kecan­tikannya. ‘Umar mengatakan bahwa Khâlid adalah musuh Allâh SWT yang membunuh seorang Muslim dan meniduri istrinya. Abû Bakar mengampuni Khâlid.

Yang mengenaskan adalah permohonan Mâlik waktu ia mengatakan: ‘Wahai Khâlid, utuslah kami kepada Abû Bakar dan dengan begitu ia dapat menjatuhkan hukuman kepada kami. Anda telah mengutus kepadanya orang lain yang dosanya lebih besar dari dosa kami’. Dan Khâlid menjawab: ‘Tidak Allâh telah menetapkan kepadaku untuk membunuhmu’.

Maksud Mâlik adalah Asy’ats bin Qais al-Kindî, yang dinamakan munafik tingkat tinggi nomor dua sesudah ‘Abdullâh bin ‘Ubay bin Salut oleh Muhammad ‘Abdu. Ia menjadi murtad tatkala Rasûl Allâh saw. wafat, yaitu tatkala Abû Bakar jadi khalîfah. Pemberontakan terjadi di kawasan Hadhramaut. Pemberontak akhirnya terkepung dalam benteng An-Nujair. Suatu malam secara sembunyi-sembunyi Asy’ats bin Qays keluar benteng menemui Ziyâd dan Muhajir yang mengepung benteng itu dan berse­kongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberi perlindungan kepada sembilan orang keluarganya, maka ia akan membuka benteng itu. Mereka menerima ketentuan itu dan meminta ia menuliskan nama kesembilan anggota yang dimaksud. Ia khilaf dan tidak menu­liskan namanya sendiri. Ia lalu menyelinap masuk ke dalam benteng dan mengatakan kepada penghuni benteng bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Alang­kah kaget teman-temannya tatkala Ziyâd menunjukkan sembilan nama yang disepakati Asy’ats bin Qays. Asy’ats juga terkejut karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang ia tulis. Asy’ats bin Qays tidakdibunuh. Ia minta bertemu Abû Bakar dan diluluskan. Sepanjang perjalanan ke Madînah, sekitar seribu kaum wanita yang juga dibelenggu mengutuknya sebagai pengkhianat dan penjerumus kaumnya. Sekitar delapan ratus orang dibunuh dalam benteng itu karena perbuatannya. Setelah tiba di Madînah Abû Bakar bukan saja tidak membunuhnya malah mengawinkannya dengan adik perempuannya Umm Farwah binti Abî Quhâfah yang kemudian melahirkan tiga orang anak, yaitu Muhammad , Ismâ’îl dan Ishâq. Asy’ats bin Qays ini juga yang besekongkol dalam pembu­nuhan Imâm ‘Alî di kemudian hari. Putrinya, Ja’dah binti Asy’ats, membunuh Imâm Hasan bin ‘Alî bin Abî Thâlib, suaminya sendiri. Mu’âwiyah menjanjikan seratus ribu dinar dari Mu’âwiyah dan akan dikawinkan dengan Yazîd bila Ja’dah meracuni suaminya, yang kemudian dilaku­kannya. Puteranya dari Farwah binti Abî Quhâfah di atas, yaitu Muhammad bin Asy’ats bin Qays terkenal karena mencurangi Muslim bin Aqil yang diutus Husain ke Kûfah dan turut dalam pembunuhan Imâm Husain di Karbala. Meskipun demikian ia termasuk di antara orang-orang yang meriwayatkan hadis-hadis oleh Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Tirmidzî, Nasâ’î, dan Ibnu Mâjah. Orang menghubungkan tindakan Khâlid dengan ayat Al-Qur’ân:

Bila ada orang yang membunuh seseorang, bukan karena (orang itu membunuh) seorang (lain), atau membawa kerusakan di atas bumi, maka (pembu­nuh itu) seolah membunuh manusia seluruhnya[31].

Dan barang siapa membunuh seorang Mu’min dengan sengaja, bala­sannya ialah neraka. (Ia) tinggal di dalamnya selama-lamanya. Allâh murka kepadanya dan melaknatinya, dan menyediakan baginya azab yang dahsyat.[32]

Mengapa Mâlik bin Nuwairah yang jelas seorang Mu’min dibunuh secara berdarah dingin, sedang tokoh kaum murtad seperti As’ats dibebaskan, malah dijadikan ipar oleh Abû Bakar dan dijuluki ‘Saifullâh’ atau pedang Allâh.

Sebenarnya yang dikatakan kaum ‘murtad’ di masa Abû Bakar adalah kaum Muslimîn yang tidak hendak membayar zakat ke pusat pemerin­tahan Abû Bakar tetapi seperti dikemukakan Mâlik bin Nuwairah, ia membagikan zakat itu kepada mustahik dalam masyarakatnya sendiri. Ini disebabkan kericuhan yang terjadi dalam pengangkatan khalîfah, sehingga pemimpin Anshâr, Sa’d bin ‘Ubâdah maupun keluarga Rasûl tidak mau membaiat Abû Bakar.[33]

Mungkin Mâlik bin Nuwairah dianggap lebih berbahaya dari segi politik. Mungkin juga Mâlik adalah Syî’ah ‘Alî dan ‘Alî punya hubungan buruk dengan Khâlid sejak zaman Rasûl. (Lihat Bab Pengantar ‘Sifat Jahiliyah di Kalangan Sahabat’)

Tindakan Abû Bakar membebaskan Khâlid bin Walîd punya dampak besar dan telah menjadi preseden adagium ‘Orang yang berijtihâd kalau benar dapat pahala dua dan kalau salah dapat pahala satu’. [34]

Ajaran semacam ‘penebusan dosa’ ini sungguh tidak adil dan membe­narkan semua cara untuk mencapai tujuan, membenarkan agresi dan pembunuhan berdarah dingin terhadap sesama Muslim dan punya dampak sampai sekarang dan entah sampai kapan.

Mu’âwiyah bin Abû Sufyân

Surat Muhammad bin Abû Bakar kepada Mu’âwiyah:

Bismillâhirrahmânirrahîm.

Dari Muhammad bin Abû Bakar.

Kepada si tersesat Mu’âwiyah bin Shakhr.

Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allâh!

Amma ba’du, sesungguhnya Allâh SWT, dengan keagungan dan kekua­saan-Nya, mencipta makhluk-Nya tanpa main-main. Tiada celah kelemahan dalam kekuatan-Nya. Tidak berhajat Ia terhadap hamba-Nya. Ia mencipta mereka untuk mengabdi kepada-Nya.

Ia menjadikan mereka orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.

Kemudian, dari antara mereka, Ia Yang Mahatahu memilih dan mengk­hususkan Muhammad saw. dengan pengetahuan-Nya. Ia jualah yang memilih Muhammad saw. berdasarkan ilmu-Nya sendiri untuk menyam­paikan risalah-Nya dan mengemban wahyu-Nya. Ia mengutusnya seba­gai Rasûl dan pembawa kabar gembira dan pemberi ingat.

Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, menaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allâh dan menerima Islam sebagai agamanya , adalah saudaranya dan misannya ‘Alî bin Abî Thâlib , yang membenarkan yang gaib. ‘Alî mengutamakannya dari semua kesayan­gannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat-saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasûl dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat-saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.

Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal ‘Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, isterinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja’far) syahid di Perang Mu’tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasûl Allâh saw. dan isterinya.

Dan engkau adalah orang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasûl Allâh saw.. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nûr Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasut dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan, dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.

Dan saksi-saksi perbuatan Anda adalah orang-orang yang meminta-minta perlindungan Anda, yaitu dari kelompok musuh Rasûl yang pemberontak, kelompok pemimpin-pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasûl Allâh saw..

Sebaliknya sebagai saksi bagi ‘Alî dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong-peno­longnya yang keutamaan mereka telah disebut dalam Al-Qur‘ân, yaitu kaum Muhâjirîn dan Anshâr. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang-pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.

Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan ‘Alî, sedang dia adalah pewaris (wârits) dan pelaksana wasiat (Washî) Rasûl Allâh saw., ayah anak-anak (Rasûl), pengikut perta­ma, dan yang terakhir menyaksikan Rasûl, teman berbincang, pen­yimpan rahasia dan serikat Rasûl dalam urusannya. Dan Rasûl memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.

Tiada peduli keuntungan apa pun yang kau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu’l-’Âsh menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan jadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allâh, yang tidak engkau pikirkan.

Kepada-Nya engkau berbuat licik. Allâh menunggu untuk menghadang­mu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.

Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk yang benar’.

Jawaban Mu’âwiyah kepada Muhammad bin Abû Bakar:

Dari Mu’âwiyah bin Abû Sufyân.

Kepada Pencerca ayahnya sendiri, Muham­mad bin Abû Bakar.

Salam kepada yang taat kepada Allâh.

Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allâh Yang Mahakuasa dan Nabî pilihan-Nya dengan kata-kata yang engkau rangkaikan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abî Thâlib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabî Allâh saw. dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabî pada tiap keadaan genting.

Engkau juga berhujah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.

Di zaman Nabî saw., kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abî Thâlib. Keutamaannya jauh di atas kami.

Dan Allâh SWT memilih dan mengutamakan Nabî sesuai janji-Nya. Dan melalui Nabî Ia menyampaikan dakwah-Nya dan memperoleh hujah-Nya. Kemudian Allâh mengambil Nabî ke sisi-Nya.

Ayahmu dan Faruq-nya (‘Umar) adalah orang-orang pertama yang merampas haknya (ibtazza). Hal ini diketahui umum.

Kemudian mereka mengajak ‘Alî membaiat Abû Bakar tetapi ‘Alî menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya ‘Alî membaiat Abû Bakar dan berdamai dengan mereka ber­dua.

Mereka berdua tidak mengajak ‘Alî dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.

Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu ‘Utsmân yang menuruti tuntunan mereka. Kau dan temanmu berbicara tentang kerusakan-kerusakan yang dilakukkan ‘Utsmân agar orang-orang yang berdosa di propinsi-propinsi mengembangkan maksud-maksud buruk terhadapn­ya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-keinginanmu sendiri.

Hai putra Abû Bakar, berhati-hatilah atas apa yang engkau laku­kan. Jangan menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyer­ah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.

Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abû Thâlib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.

Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan dia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kau dapatkan, arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.

Salam bagi dia yang kembali.’

Yang menarik dari kedua surat ini adalah kritik Mu’âwiyah terha­dap pembaiatan Abû Bakar di Saqîfah. Mu’âwiyah berkeyakinan bahwa Abû Bakar dan ‘Umar mengetahui betul tuntutan ‘Alî. Di pihak lain yang membuat kedua surat ini lebih menarik adalah pernyataan Muhammad bin Abû Bakar tentang ‘Alî sebagai pemegang wasiat dan pewaris Rasûl yang tidak dibantah Mu’âwiyah. Kedua surat ini dimuat Nashr bin Muzahim dalam Kitâbnya Waq’ah Shiffîn dan Mas’ûdî dalam kitabnya Murûj adz-Dzahab dan telah diisyarat­kan oleh Thabarî dan Ibnu Atsîr sebagai surat yang ditulis tahun 36 Hijriah, yaitu tatkala Muhammad bin Abû Bakar menjadi Gubernur di Mesir di zaman kekhalifahan ‘Alî. Agaknya, kedua penulis tersebut tidak melihat hikmat kedua surat ini[35].



[1] Ibn Abîl-Hadîd, ibid, jilid 2, hlm. 8; Lihat juga Ibnu Hajar, Ishâbah, jilid 2, hlm. 263

[2] Abû Bakar Jauharî dalam bukunya Saqîfah, diriwayatkan oleh Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 2, hlm. 131-132, jilid 6, hlm. 17

[3] Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 1, hlm. 591

[4] Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 2, hlm. 131-132, jilid 6, hlm. 17

[5] Abû Bakar Jauharî, Saqîfah, Diriwayatkan Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 6, hlm. 5

[6] Ya’qûbi, Târîkh, tatkala membicarakan Abû Dzarr; Lihat Majlisi, al-Bihâr, jilid 8, hlm. 49.

[7] Al-Miqdâd bin al-Aswad Al-Kindî. Ia adalah Ibnu ‘Amru bin Tsa’labah bin Mâlik al-Bahrani. Di zaman jahiliah ia menderita dari kaumnya dan melarikan diri ke Hadramaut dan bergabung dengan Banî Kindah; kemudian terjadi malapetakan antaranya dan Abî Syamr bin al-Hajr al-Kindî dan kakinya dibacok sehingga ia melarikan diri ke Makkah.

[8] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 114

[9]Iqd al-Farîd, jilid 3, hlm. 62;.

[10] Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 449, Cetakan Leiden, jilid 1, hlm. 1827-1828.

[11] Ibnu Qutaibah, al-Ma’ârif, hlm. 128

[12] Istî’âb, jilid 1, hlm. 398-400; al-Ishâbah, jilid 1, hlm. 406; Usdu’l-Ghâbah, jilid 2, hlm. 82; Ibn Abîl-Hadîd, ibid., jilid 6, hlm. 13,16

[13] Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 586, Leiden, jilid 1, hlm. 2079; Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 5, hlm. 48.

[14] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 105

[15] Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 586; Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 5, hlm. 48

[16] Istî’âb, Haidrabat, jilid 1, hlm. 298; Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 26; Ishâbah, jilid 3, hlm.

[17] Al-Ishâbah,jilid 3,hlm.336; dengan sedikit berbeda dalam Mu’jam asy-Syu’arâ’ halaman 260

[18] Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 503.

[19] Tempat mata air Asad bin Khuzaimah di daerah Banû Yarbu’

[20] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 17, hlm. 206

[21] Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l ‘Ummâl, jilid 3, hlm. 132

[22] Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 110

[23] Abu’l-Fidâ’, Târîkh, hlm. 158

[24] Wafayât al-A’yân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, jilid 5, hlm. 66.

[25] Ibnu Hajar, al-Ishâbah, jilid 3, hlm. 337

[26] Lihat juga Târîkh Thabarî, jilid 2, hlm. 503; Ibnu Hajar, Ishâbah, jilid 3, hlm. 337; Ibnu Atsîr, dalam Perang Buthah; Târîkh Ibnu Katsîr, jilid 6, hlm. 323; Abû’l-Fidâ’, Târîkh, hlm. 158; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 17, Ibnu Khalikân, Wafayât al-A’yân, jilid 2, hlm. 627

[27] Al-Ya’qûbi, Târîkh, jilid 2, hlm. 110

[28] Abu’l-Fidâ’, Târîkh, hlm.157; al-Kâmil, jilid 11, hlm. 114; Ibnu Khalikân, Wafayât al-A’yân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, pada riwayat Watsimah

[29] al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 478, mengenai riwayat Minhal

[30] Kanzu’l-’Ummâl, jilid 3, hlm. 132 dan lain-lain.

[31] Al-Qur’ân, al-Mâ’idah (V), 32

[32] Al-Qur’ân, an-Nisâ’(IV), 93

[33] Lihat Bab 9: “Nasib Sa’d bin ‘Ubâdah”. Lihat juga Bab 13: “Kapan ‘Alî membaiat Abû Bakar?” Mungkin juga mereka meyakini khotbah Rasûl di Ghadîr Khum dalam Haji Perpisahan, 82 hari sebelum Rasûl wafat. Lihat Bab 18 “Nash Bagi ‘Alî” sub bab ‘Hadis al-Ghadîr’, sehingga mereka meragukan keabsahan kekhalifahan Abû Bakar.

[34] Lihat Bab Sumber, sub bab Ibnu Katsîr, Ibnu Hâzm dan Ibnu Taimiyah.

[35] Lihat Nashr bin Muzahim, Waq’ah Shiffîn, Kairo, 1382 H., hlm. 118, 119; Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, Beirut, 1385 H., jilid 3, hlm. 11 atau Cetakan Mesir, 1346 H., jilid 2, hlm. 59-60; Penunjukan Thabarî dan Ibnu Atsîr akan adanya surat menyurat antara Muhammad bin Abû Bakar dan Mu’âwiyah, lihat Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 108; Ibnu Atsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 108

No comments:

Post a Comment