Sunday, August 2, 2009

5 Pertemuan Kaum Anshâr di Saqîfah

5

Pertemuan Kaum Anshâr di Saqîfah

D

alam khotbah Jum’at ‘Umar bin Khaththâb yang terken­al itu, ‘Umar tidak menceritakan perdebatan yang terjadi di Saqîfah sebelum kedatangannya bersama Abû Bakar. Agar lebih mudah memahami perdebatan yang terjadi kemudian, marilah kita ikuti peristiwa ini sebagimana dituturkan oleh al-Jauharî dalam bukunya Saqîfah, dari isnâd yang lengkap sampai kepada Sa’îd bin Katsîr bin ‘Afir al-Anshârî, yang berkata[1]:Ketika Nabî saw. wafat, berkumpullah kaum Anshâr di Saqîfah Banî Sâ’idah. Dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya Rasûl Allâh saw. telah wafat’. Berkatalah Sa’d bin ‘Ubâdah kepada anaknya yang bernama Qais, atau kepada salah seorang anaknya: ‘Saya tidak sanggup memperden­garkan suara saya kepada semua orang, karena saya sedang sakit; tetapi engkau dapat mendengar suara saya; maka ulangilah suara saya agar mereka dapat mendengar’. Sa’d lalu berbicara, dan didengarkan oleh anaknya, yang mengulanginya dengan suara yang keras. Sebagian dari pidatonya, sesudah mengucapkan puji-pujian kepada Allâh SWT, ialah: ‘Sesungguhnya kamu adalah di antara orang-orang yang terdahulu dan mempunyai kemuliaan dalam Islam; tiada orang Arab yang lebih mulia dari kamu. Rasûl Allâh saw. telah tinggal di tengah kaumnya (orang Quraisy) di Makkah lebih dari sepuluh tahun, mengajak mereka menyembah Allâh Yang Maha Penyayang dan meninggalkan penyembahan berhala. Tetapi tiada yang mengakui beliau, kecuali beberapa orang. Demi Allâh, mereka tidak bisa melindungi Rasûl Allâh dan tidak dapat memuliakan agamanya; mereka tidak dapat membela Rasûl dari musuh beliau, sampai Allâh menghendaki kalian mendapatkan kemuliaan yang sebaik-baiknya, memberikan kehormatan kepada kalian dan mengkhususkan kalian dalam agamanya, dan kepada kalian diberikan keimanan dan Rasûl-Nya, memperkuat agama beliau dan berjihad melawan musuh-musuh beliau. Kamulah orang yang paling keras melawan para penyeleweng agama, dan kamulah yang memuliakan Islam dalam melawan musuh-musuhnya dibandingkan dengan yang lain, sehingga mereka mengikuti perintah Allâh, sebagian karena kepatuhan dan sebagian lagi karena terpaksa. Dan kepadamu diberikan-Nya kemampuan, sehingga orang-orang yang jauh tunduk kepada kepemimpinanmu, sampai Allâh SWT memenuhi janji-Nya kepada Nabî-Nya. Maka tunduklah seluruh bangsa Arab karena pedangmu. Dan Allâh SWT mengambil Nabî-Nya. Beliau rela dan puas akan kalian, lahir maupun batin. Maka gen­ggamlah kuat-kuat kekuasaan ini’.

Maka menjawablah kaum Anshâr bersama-sama: ‘Sungguh tepat penda­pat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda; kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan, akan kami angkat Anda seba­gai pemimpin. Kami puas akan Anda. Dan kaum mu’minîn yang saleh akan menyenangi.

Kemudian mereka saling bertukar kata. Dan sebagian di antara mereka berkata: ‘Bagaimana apabila kaum Muhâjirîn menolak dan berkata, ‘Kami adalah kaum Muhâjirîn dan Sahabat-sahabat Rasûl saw. yang pertama, kami adalah keluarganya (‘asyîratuhu) dan wali-walinya (auliya’uhu), maka mengapa kamu hendak bertengkar dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasûl?’ Maka sebagian di antara mereka berkata: ‘Kalau demikian, maka kita akan menja­wab: ‘Seorang pemimpin dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu,’ (minna Amîr wa minkum Amîr). Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela. Kita adalah pemberi perumahan dan pelin­dung (iwa’) dan penolong (nushrah), dan mereka melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al-Qur’ân sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemim­pin’. Maka berkatalah Sa’d bin ‘Ubâdah: ‘Inilah awal kelemahan!’ Demikianlah kesaksian Sa’îd bin Katsîr bin ‘Afir al-Anshârî, yang dicatat oleh al-Jauharî dalam bukunya Saqîfah.

Al-Jauharî selanjutnya mengatakan: ‘Maka kabar ini sampai kepada ‘Umar, yang kemudian pergi ke rumah Rasûl Allâh saw.. Ia menda­patkan Abû Bakar di dalam rumah (Rasûl), sementara ‘Alî sedang mengurus jenazah Rasûl Allâh. Yang menyampaikan berita itu kepada ‘Umar adalah Ma’n bin ‘Adî (seorang Anshâr, pen) yang memegang tangan ‘Umar lalu berkata: ‘Ayolah!’ (Qum! = Mari kita pergi!). ‘Umar berkata, ‘Saya sedang sibuk’. Ma’n berkata lagi, ‘Tidak bisa tidak, Anda harus pergi bersama saya’. Maka ‘Umar pun pergi bersama Ma’n, lalu Ma’n berkata: `Sesungguhnya kaum Anshâr telah berkumpul di Saqîfah Banî Sâ’idah, bersama mereka terdapat Sa’d bin ‘Ubâdah; mereka mengelilinginya dan berkata: ‘Anda, hai Sa’d, Anda adalah harapan kami. Di antaranya terdapat para pemuka mereka, dan saya khawatir akan timbulnya fitnah. Lihatlah, wahai ‘Umar, bagaimana pendapat Anda? Beritahukan kepada saudara-saudara Anda kaum Muhâjirîn, pilihlah seorang pemimpin di antara Anda sekalian. Saya sendiri melihat pintu fitnah sudah terbuka pada saat ini, kecuali apabila Allâh hendak menutupnya’. Maka ‘Umar sangatlah terkejut mendengar hal ini, sehingga ia datang kepada Abû Bakar, dan berkata, ‘Marilah kita pergi!’ Abû Bakar menjawab, ‘Hendak ke mana? Tidak, saya tidak akan pergi sebelum menguburkan Rasûl Allâh. Saya sedang sibuk’. ‘Umar lalu berkata lagi: ‘Tidak bisa tidak, Anda harus ikut saya. Nanti kita kemba­li, insya Allâh’. Maka Abû Bakar pun pergi bersama ‘Umar’.

Dari pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah ini, terlihat dengan jelas bahwa kaum Anshâr hendak membaiat Sa’d bin ‘Ubâdah menjadi pemim­pin kaum mu’minîn; terlihat juga kekhawatiran mereka akan domina­si kaum Quraisy Makkah yang telah mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir. Kedudukan mereka yang mayoritas, sebagai pelin­dung dan penolong Rasûl dan kaum Muhâjirîn, prestasi mereka dalam mengembangkan Islam yang maju pesat di tangan mereka, dan kegaga­lan kaum Quraisy di Makkah, menjadi pendorong bagi mereka untuk melanjutkan peranan sebagai mesin untuk mengembangkan Islam.

Mengenai kepemimpinan umat, terdapat perbedaan pendapat. Sa’d bin ‘Ubâdah berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kaum Anshâr. Sebagian lagi berpendapat, andai kata kaum Quraisy menolak dengan alasan bahwa mereka adalah sahabat dan keluarga dekat Rasûl, maka mereka akan membiarkan kaum Muhâjirîn mengangkat seorang pemimpin mereka sendiri. Sa’d tidak setuju dengan pendapat ini, dan menganggapnya sebagai awal kelemahan. Meskipun Sa’d bin ‘Ubâdah, sebagai seorang pemimpin Anshâr menyadari bahwa mem­biarkan kaum Muhâjirîn mengangkat seorang pemimpin di antara mereka sendiri tidak rasional, merupakan kemunduran dan awal kelemahan, namun selanjutnya ia tidak bersi­keras dengan pendapatnya. Sikap ini menunjukkan kesediaan hadirin bermujadalah dengan kaum Muhâjirîn dan membuka kemungkinan pem­bentukan pemerintahan koalisi.



[1] Tulisan Abû Bakar Jauharî, dalam bukunya Saqîfah, dikutip oleh Ibn Abîl-Hadîd dalam Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 6, hlm. 27-28. Bandingkan pula dengan Târîkh Thabarî, jilid 5, hlm. 207 dan seterusnya yang berasal dari Abû Mikhnaf Lûth al-’Azdî, yang mendengar dari ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân al-Anshârî sebagai saksi mata.

No comments:

Post a Comment