Sunday, August 2, 2009

6 Pertemuan Kelompok ‘Umar

6

Pertemuan Kelompok ‘Umar

S

emua penulis sependapat bahwa Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah ditunjuk Rasûl sebagai prajurit dalam pasukan Usâmah, dua minggu sebelum wafatnya Rasûl, dan mereka memperlambat keberangkatan pasukan, meskipun Rasûl dengan keras memerintahkan agar pasukan segera berangkat, dan melaknat mereka yang meninggalkan pasukan. Pada hari Kamis tanggal 8 Rabî’ul Awwal, ‘Umar juga telah menghalangi Rasûl membuat wasiat, sehingga Rasûl mengusirn­ya dari kamar, dengan kata-kata: ‘Keluar, tidak boleh ribut-ribut di hadapanku!’[1]

Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah telah menjalin persahabatan yang kukuh, sejak mula pertama memeluk Islam dalam menghadapi kaum aristokrat jahiliah. Persahabatan ini makin erat bersamaan dengan makin kuatnya kebangkitan Islam. Tatkala Rasûl wafat, ketiga tokoh ini, tanpa memberitahu kelompok ‘Alî, pergi ke Saqîfah Banî Sâ’idah. Bersama mereka ikut Mughîrah bin Syu’bah, ‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan Sâlim maulâ Abû Hudzaifah. Mereka juga berhasil menarik tokoh yang membawahi kaum Aus, Usaid bin Hudhair, Basyîr bin Sa’d, ‘Uwaim bin Sâ’idah[2] dan Ma’n bin ‘Adî[3].

Sebuah makalah telah ditulis oleh Henri Lammens, yang berjudul ‘Kelompok Politik tiga orang (triumvirat) Abû Bakar, ‘Umar, dan Abû ‘Ubaidah’, yang menceritakan keakraban ketiga tokoh ini sejak zaman Rasûl, kerja sama mereka sebelum pergi ke Saqîfah, dan perdebatan mereka dengan kaum Anshâr di sana. Demikian pula setelah Abû Bakar dan ‘Umar memegang tampuk pemerintahan.[4]

Abû Bakar menghibahkan jabatan khalîfah kepada ‘Umar bin Khaththâb. Tatkala ‘Umar akan menghadapi ajalnya, ia mengatakan hendak menghibahkan kekhalifahan kepada Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh atau Sâlim maulâ Abû Hudzaifah. Sayang keduanya telah meninggal.

Para ahli sering merasa ‘bingung’, karena Sâlim adalah bekas budak, dan bukan orang Quraisy, dan ini bertentangan dengan hadis Nabî yang dipakai oleh Abû Bakar dalam perdebatan di Saqîfah, bahwa pemimpin haruslah orang Quraisy, al-a’immah min Quraisy.[5]

‘Umar lalu menyebut Usaid bin Hudhair sebagai saudaranya. Tatka­la ‘Uwaim bin Sâ’idah meninggal dunia, ‘Umar duduk di pinggir kuburannya seraya berkata: ‘Tiada seorang pun di dunia ini yang lebih baik dari lelaki yang berada di dalam kubur ini’. Abû ‘Ubaidah ditunjuk ‘Umar sebagai panglima pasukan untuk berperang dengan orang Romawi. ‘Abdurrahmân bin ‘Auf ditunjuk sebagai anggota Sûyrâ untuk memilih khalîfah.

Bagaimana sikap dan tindakan ‘Umar tatkala ia mengetahui adanya pertemuan di Saqîfah? Setelah mengikuti catatan yang dibuat oleh Jauharî di atas, marilah kita lanjutkan pidato ‘Umar:

Maka saya (‘Umar) berkata kepada Abû Bakar, bahwa kami harus pergi kepada saudara-saudara kita kaum Anshâr. Kami lalu pergi menemui mereka, dan kami bertemu dengan dua orang yang saleh (‘Uwaim bin Sâ’idah dan Ma’n bin ‘Adî, dua orang Anshâr)[6] yang menceritakan kepada kami tentang kesimpulan yang diambil kaum Anshâr. Mereka bertanya: ‘Hendak ke mana kamu, kaum Muhâjirîn?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang menuju kepada saudara-saudara kami kaum Anshâr’. Mereka berkata: ‘Tidak ada gunanya kalian mendatangi mereka, wahai kaum Muhâjirîn; ambillah keputusan tentang urusan kamu sendiri’. Dan kami pun pergilah dan mendapatkan mereka di Saqîfah Banî Sâ’idah. Di tengah mereka terdapat seorang yang berselimut, lalu saya bertan­ya: ‘Mengapa dia?’ Mereka menjawab, ‘Ia sakit’. Dan setelah kami duduk, seorang pembicara mengucapkan syahadat dan memuji Allâh sebagaimana layaknya, kemudian melanjutkan..

Dalam pidato ‘Umar yang diucapkan dua belas tahun kemudian itu, sesudah mengatakan bahwa ‘Kaum Muhâjirîn berkumpul pada Abû Bakar’, ia mengatakan: ‘Maka saya berkata kepada Abû Bakar bahwa kami harus pergi kepada saudara-saudara kita kaum Anshâr’. Di tengah jalan mereka bertemu dengan dua orang Anshâr, ‘Uwaim bin Sâ’idah dan Ma’n bin ‘Adî, yang menyampaikan laporan. Versi ini tidak seluruhnya benar, karena bertentangan dengan kenyataan yang disepakati semua penulis, bahwa Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh ikut pergi bersama rombongan ini. ‘Umar juga tidak mencer­itakan bagaimana ia dan Abû Bakar yang berada di Masjid Madînah dan dalam rumah Rasûl, mendapat kabar tentang pertemuan di Saqîfah.

Siapa Ma’n bin ‘Adî dan ‘Uwaim bin Sâ’idah?

Zubair bin Bakkâr dalm bukunya Muwaffaqiat menceriterakan:

“Abû Bakar dan ‘Umar mendapat dukungan dua orang Anshâr pengikut perang Badr, untuk menjatuhkan Sa’d, yaitu ‘Uwaim bin Sâ’idah dan Ma’n bin ‘Adî. Ibn Abîl-Hadîd melengkapinya. “Keduanya sangat menyintai Abû Bakar semasa Rasûl masih hidup dan pada saat yang sama keduanya sangat membenci (bughdh wa syahna’) Sa’d bin ‘Ubâdah. Ibn Abîl-Hadîd mengutip dari buku Al-Qaba’il tulisan Abû ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna.

Madâ’inî dan Wâqidî menceriterakan bahwa Ma’n bin ‘Adî dan ‘Uwaim bin Sâ’idah sepakat mendorong Abû Bakar dan ‘Umar untuk mengambil kekuasaan dengan meninggalkan pertemuan kaum Anshâr. Kedua penulis ini mengatakan bahwa Ma’n bin ‘Adî ‘menyusup’ ke Saqîfah, mengikuti pembicaraan dan segera meninggalkan pertemuan sebelum kaum Anshâr mengambil keputusan.[7]

Zubair bin Bakkâr, Madâ’inî dan Wâqidî menerangkan kepada kita logika peristiwa Ma’n dan ‘Uwaim, dua orang Anshâr, yang menda­tangi ‘Umar dengan berita jalannya pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah.

Jauharî, dalam bukunya Saqîfah, menceritakan bahwa Ma’n bin ‘Adî yang memberi kabar kepada ‘Umar yang berada di rumah Rasûl. Lalu bersama-sama mereka ke Saqîfah.

Tetapi di mana mereka bertemu dengan Abû ‘Ubaidah yang datang ke sana, lalu duduk berdekatan dengan Abû Bakar dan ‘Umar di Saqîfah? Karena Jauharî tidak menyebut-nyebut Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh, yang jelas datang bersama ‘Umar dan Abû Bakar, maka versi ini pun belum dapat dianggap tepat.

Untuk memahami situasi pada masa itu, marilah kita ikuti suasana di rumah Rasûl tatkala Rasûl wafat, serta datangnya ‘Umar dan Abû Bakar ke rumah Nabî.

Dengan demikian kita juga dapat mengetahui mengapa ‘Alî tidak ikut ke Saqîfah, dan mengapa ‘keluarga Rasûl mengunci pintu rumahnya’, seperti dilaporkan oleh Ibnu Ishâq.

Wafatnya Rasûl Dan Amukan ‘Umar

Rasûl wafat pada lepas lohor hari Senin, tanggal 12 Rabî’ul Awwal. ‘Umar bin Khaththâb dan Mughîrah bin Syu’bah diperkenankan masuk ke kamar untuk melihat jenazah Nabî. Kedua orang ini termasuk prajurit dalam pasukan Usâmah, yang baru tiba dari Jurf bersama Usâmah. ‘Umar membuka tutup wajah Rasûl dan mengatakan, ‘Rasûl hanya pingsan’.

Tatkala meninggalkan kamar itu, Mughîrah berkata kepada ‘Umar:

“Tetapi Anda mengetahui bahwa Rasûl Allâh telah wafat”.

‘Umar menjawab:

“Anda bohong, Nabî tidak akan wafat sebelum beliau memusnahkan semua orang munafik”

‘Umar lalu mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan bahwa Rasûl telah wafat. Ia berkata lagi:

“Beberapa orang munafik mengatakan bahwa Rasûl telah wafat, sedangkan Rasûl tidak wafat. Rasûl hanya kembali kepada Allâh, seperti Nabî Mûsâ menghadap Allâh selama empat puluh hari. Orang mengira Mûsâ telah wafat, tetapi ia kembali lagi; demikian pula, Rasûl akan kembali.

“Nabî akan memotong tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan bahwa beliau sudah wafat’. ‘Umar berkata pula: ‘ Saya akan memenggal kepala siapa saja yang mengatakan bahwa Rasûl Allâh sudah wafat. Rasûl Allâh hanya naik ke langit”.[8]

Melihat keadaan ‘Umar , Ibnu Umm Maktûm lalu membaca ayat Al-Qur’ân: Muhammad hanyalah seorang Rasûl. Sebe­lumnya telah berlalu Rasûl-Rasûl. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allâh: Allâh memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur.[9]

Abbas, paman Rasûl, berkata kepada ‘Umar: ‘Rasûl jelas telah wafat. Saya telah melihat wajah beliau, seperti wajah jenazah anak-anak ‘Abdul Muththalib’. ‘Abbâs lalu bertanya kepada hadirin: ‘Apakah ‘Rasûl Allâh ada mengatakan sesuatu mengenai wafat be­liau? Bila ada, beritahukan kepada kami!’ Hadirin menjawab, ‘Tidak’. (maksudnya, Nabî tidak berpesan bahwa beliau ‘hanya menghadap Allâh sementara saja’,pen.). Kemudian ‘Abbâs bertanya kepada ‘Umar: ‘Apakah Anda mengetahui sesuatu?’ ‘Umar menjawab, ‘Tidak’. ‘Abbâs kemudian berpidato kepada hadirin: ‘Saksikanlah, tiada seorang pun mengetahui bahwa Rasûl Allâh mengatakan sesuatu tentang wafat beliau. Saya bersumpah dengan nama Allâh Yang Mahaesa dan tiada lain selain Dia, bahwa Rasûl Allâh telah wa­fat’.

‘Umar masih juga marah-marah sambil mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan Rasûl telah wafat. Tetapi ‘Abbâs terus berbicara: ‘Rasûl Allâh, sebagaimana manusia lainnya, dapat meninggal dan menderita sakit, dan beliau telah wafat. Kuburkan­lah beliau tanpa menunggu-nunggu. Apakah Allâh SWT mematikan kita satu kali dan mematikan Rasûl dua kali? Bila apa yang Anda kata­kan benar, Allâh dapat membangunkan beliau dari kubur. Rasûl Allâh telah menunjukkan kepada manusia jalan yang benar menuju kebahagiaan dan keselamatan selama hidup beliau’.

‘Umar tetap saja mengamuk. Sâlim bin ‘Ubaid lalu pergi kepada Abû Bakar yang tinggal di Sunh, sekitar satu kilometer ke arah barat Masjid Nabî. Ia menceritakan apa yang terjadi.

Tatkala Abû Bakar tiba, ‘Umar masih juga kelihatan mengancam orang-orang dengan mengatakan: ‘Rasûl Allâh masih hidup, beliau tidak wafat. Beliau akan keluar dari kamar dan memotong tangan mereka yang menyebarkan kebohongan tentang beliau; beliau akan memenggal kepala mereka. Beliau akan menggantung mereka’. Setelah itu, ‘Umar diam dan menunggu Abû Bakar keluar dari kamar Rasûl. Abû Bakar lalu berkata: ‘Barangsiapa yang menyembah Allâh, se­sungguhnya Allâh hidup; tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat’. Kemudian Abû Bakar membaca ayat al-Qur’ân yang tadi telah dibacakan Ibnu Ummu Maktûm kepada ‘Umar: ‘Muhammad hanyalah seorang Rasûl. Sebelumnya telah berlalu Rasûl-Rasûl. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikit pun ia tidak merugikan Allâh. Allâh memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur’.[10] ‘Umar lalu bertanya, ‘Apakah itu ayat Al-Qur’ân?’ Abû Bakar menjawab, ‘Ya’.

Kemudian, Abû Bakar telah berada di kamar Rasûl, bersama beberapa anggota keluarga Banû Hâsyim, termasuk ‘Alî, ‘Abbâs dan putranya, Qutham dan Fadhl. ‘Umar sedang di Masjid, atau di halaman Masjid. Pada saat itu, menurut Jauharî, datanglah dua orang pembawa informasi, ‘Uwaim bin Sâ’idah dan Ma’n bin ‘Adî. Ma’n menyampaikan berita kepada ‘Umar tentang adanya pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah, lalu ‘Umar masuk ke kamar Nabî. Karena kamar itu sempit (4,68 meter x 3,44 meter), bagaimana mungkin ‘Alî dan orang-orang lain yang berada di kamar itu tidak mendengar kata-kata ‘Umar memanggil Abû Bakar sehingga ‘Alî dan kawan-kawannya tidak menge­tahui adanya pertemuan di Saqîfah itu? Hal ini disebabkan karena ‘Umar memanggil Abû Bakar di dalam kamar Rasûl itu tanpa menye­but-nyebut adanya pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah, sebagaimana diceritakan oleh Jauharî.

Yang menjadi teka-teki: bagaimana maka Abû ‘Ubaidah dapat bersa­ma-sama ‘Umar dan Abû Bakar? Bagaimana pula dengan Mughîrah bin Syu’bah, ‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan Sâlim maulâ Abû Hudzaifah? Agaknya, ‘Umar dan Abû Bakar kemudian mampir ke rumah Abû ‘Ubai­dah dan merundingkan cara untuk menghadapi kaum Anshâr. Versi ini yang paling masuk akal, karena , sebagaimana akan kita ikuti, dalam perdebatan di Saqîfah , kesamaan ‘jalan pikiran’ mereka nampak jelas.

Kembali kepada perangai ‘Umar yang ganjil, yang memperagakan keraguannya tentang wafatnya Rasûl. Ada dua penafsiran tentang tingkah laku ‘Umar itu. Penafsiran yang pertama didasarkan kepada anggapan tentang kecintaan ‘Umar yang besar kepada Rasûl. Kecin­taannya yang besar yang membuat ia tidak dapat menerima kenyataan itu. Tetapi, kebanyakan ulama meragukan keanehan ‘Umar yang berlangsung demikian lama, dan baru menjadi tenang dengan da­tangnya Abû Bakar. ‘Umar adalah seorang Mu’min yang membaca Al-Qur’ân, dan telah dua puluh tahun hidup bersama Rasûl, sedang susunan bahasa ayat Al-Qur’ân adalah khas dan mudah dikenal. Aneh pula bahwa keterangan Mughîrah, pembacaan ayat Qur’ân oleh Ibnu Umm Maktûm serta penjelasan ‘Abbâs, tidak dapat menyadarkan ‘Umar. Di dalam al-Qur’ân terda­pat pula ayat, ‘Sesungguhnya engkau akan mati. Dan sungguh, mereka pun akan mati’,[11] yang tentu diketahui ‘Umar.

Penafsiran yang kedua , meminjam kata-kata Ibn Abîl-Hadîd ,: ‘Tatkala ‘Umar mendengar wafatnya Rasûl, ia menjadi cemas tentang masalah yang menyangkut pengganti Rasûl. Ia takut dan cemas apabila orang Anshâr dan yang lain mengambil kekuasaan; maka ia menciptakan keraguan dan memperagakan sikap enggan menerima kenyataan bahwa Rasûl telah wafat, untuk melindungi agama, sambil menunggu kedatangan Abû Bakar’.[12]

Yang di maksud oleh Ibn Abîl-Hadîd dengan ‘yang lain’, ialah kelompok yang berada di rumah Nabî sendiri, yang terletak di sisi timur Masjid Nabî, di mana ‘Umar pada waktu itu berada, yaitu ‘Alî bin Abî Thâlib. Ibn Abîl-Hadîd mengemukakan juga pendapat beberapa ulama yang mengatakan bahwa ‘Umar berbohong untuk kepen­tingan umat, menghindari ‘anarki’, dan oleh karena itu maka ia tidak berdosa.

Ibn Abîl-Hadîd: Amukan ‘Umar Hanya Peragaan?

Pendapat para ulama bahwa ‘Umar sengaja memperagakan keengganan menerima kenyataan bahwa Rasûl telah wafat, untuk melindungi agama sambil menunggu Abû Bakar yang direncanakan akan dibaiatn­ya, dan untuk mencegah kaum Anshâr dan Banû Hâsyim ‘merebut kekuasaan’, didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

1.Pada akhir Haji Perpisahan, delapan puluh hari sebe­lum wafatnya Rasûl, Allâh SWT telah menurunkan ayat Al-Qur’ân yang terakhir: ‘Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu. dan telah Kupilih Islam bagimu sebagai agama..’.[13]

Rasûl telah menyampaikan apa yang harus disampai­kan, dan kaum Muslimîn telah mengetahui bahwa hari terakhir Rasûl sudah dekat.

2.Pada hari Kamis, empat hari sebelum wafatnya, Rasûl telah meminta kertas dan tinta untuk mendiktekan wasiatnya, yang dihalangi ‘Umar. Ini menunjukkan bahwa Rasûl sudah akan kembali kepada Allâh SWT.

3.Sebelum menyampaikan ayat yang terakhir pada Haji Perpisahan, Rasûl telah menunjuk ‘Alî sebagai wali kaum Muslimîn, di hadapan sekitar 120.000 kaum Muslimîn, dan ‘Umar telah memberi selamat kepada ‘Alî. Hadis ini adalah mutawâtir menurut batasan Bukhârî dan Muslim, karena dilaporkan oleh seratus sepuluh orang Sahabat.

4. Rasûl telah berwasiat kepada seluruh kaum Muslimîn, di Masjid Nabî, yang terdiri dari kaum Muhâjirîn dan Anshâr serta keluarga Nabî. Anas bin Mâlik berkata: ‘Abû Bakar dan ‘Abbâs memasuki majelis kaum Anshâr, tatkala Rasûl Allâh saw. sedang sakit, dan mereka sedang menangis. Keduanya datang bertanya, ‘Mengapa kalian menangis? Kaum Anshâr menjawab, ‘Kami mengingatingat kebaikan Rasûl Allâh saw.’. Maka keduanya datang kepada Nabî saw. dan mengabarkan hal tersebut. Rasûl Allâh saw. lalu keluar, membungkus kepala beliau dengan serban, dan menaiki mimbar. Dan Rasûl tidak pernah lagi naik mimbar sesudah itu. Rasûl mengucapkan puji-pujian kepada Allâh SWT sebagaimana lazimnya, kemudian beliau bersabda: ‘Aku mewasiatkan kaum Anshâr kepadamu, karena mereka adalah kesayanganku, kedudukan mereka adalah khusus, dan mereka adalah penyimpan rahasiaku (karisyi wa ‘aibati). Hendaklah kamu membalas jasa mereka, mendahulukan kemaslahatan mereka, dan memaafkan kesalahan mereka.”[14]

5.Rasûl telah pergi ke pekuburan kaum Muslimîn, Baqî’ al-Gharqat, beberapa puluh meter di sebelah timur kota Madînah, di malam hari, sementara beliau dalam keadaan sakit. Sampai di sana, beliau bersabda: ‘Assalamu ‘alaikum, wahai para penghuni kubur. Semoga kamu selamat dari hal seperti yang akan terjadi atas diri orang lain. Fitnah telah datang seperti malam gelap gulita, yang akhir lebih jahat dari yang awal’. Peristiwa ini membuat orang-orang cemas, dan mereka merasa bahwa tidak lama lagi Rasûl akan meninggalkan mereka.

6. Rasûl pernah mendatangi Fâthimah dan berbisik kepa­danya, bahwa beliau akan segera wafat, dan Fâthimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi dengan kata-kata: ‘Engkau adalah anggota ahlu’l-bait pertama yang akan menemuiku,’ lalu Fâthimah tertawa.

7. Di hadapan pasukan Usâmah yang diperintahkan Rasûl segera berangkat memerangi orang Romawi di Mu’tah, Syam (Suriah), yang terdiri dari pemuka-pemuka Quraisy dan Anshâr, termasuk ‘Umar dan Abû Bakar, Rasûl pada waktu itu bersabda: ‘Seorang hamba Allâh telah disuruh oleh-Nya untuk memilih hidup di dunia atau di sisi-Nya, maka ia memilih yang di sisi Tuhan’. Abû Bakar menangis mendengar khotbah tersebut.

8. Rasûl Allâh telah sakit selama tiga belas hari, dan pada masa itu kaum Muslimîn telah siap menghadapi perpisahan itu.

Di hadapan kenyataan yang menunjukkan bahwa Rasûl Allâh telah memberi tanda akan kepergian beliau ke hadirat Allâh SWT, ‘Umar telah dianggap membuat sebuah drama yang tidak rasional.

a. ‘Umar mengatakan bahwa kaum munafik menyebut Rasûl telah wafat, dan mengancam akan membunuh mereka. ‘Umar tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh penduduk Madînah yang paling mengetahui kehidupan Rasûl adalah kaum munafik. Demikian pula keluarga Banû Hâsyim yang telah menutupi wajah Rasûl kecintaan ummah dengan selimut, dan sedang meratapinya.

b. ‘Umar tidak bersungguh-sungguh membandingkan Rasûl dengan Mûsâ yang pergi ke gunung hendak menemui Tuhannya selama empat puluh hari[15].Dalam ayat-ayat Al-Qur’ân Allâh SWT menceritakan tentang janji Allâh kepada Mûsâ untuk datang ke gunung selama empat puluh hari dan meminta kepada Hârûn untuk menggantikannya memimpin Banû Is­ra’il. Allâh SWT berfirman dalam Al-Qur’ân:

‘Dan kami janjikan Mûsâ tiga puluh malam. Dan Kami tambahkan sepuluh malam. Maka sempurnalah waktu empat puluh malam yang ditentukan. Dan berkata Mûsâ kepada sau­daranya Hârûn: ‘Gantilah aku memimpin kaumku. Dan jangan ikut jalan orang yang akan menimbulkan kerusakan.’

Dan Rasûl, dalam masa hidupnya, telah berulang-ulang menyebut kedudukan ‘Alî di samping Rasûl Allâh sebagai kedudukan Hârûn terhadap Mûsâ. Rasûl selalu membuktikannya dalam tindakan beliau. Kalau berkeyakinan demikian, mengapa ‘Umar tidak bertanya kepada ‘Alî mengenai pesan Rasûl? Lagi pula, Mûsâ datang ke gunung selama empat puluh hari dengan jiwa dan jasadnya, sementara Rasûl sedang terbaring di tempat tidur, dan seluruh tubuh sampai ke kepala telah ditutup dengan selimut oleh keluarganya.

c.Sekiranya ‘Umar yakin bahwa Rasûl belum wafat sebelum membunuh semua orang munafik, mengapa ‘Umar tidak mendesak supaya pasukan Usâmah segera berangkat, dan tidak usah gelisah dengan keadaan Rasûl?

d. Apabila ‘Umar demikian sedihnya melihat Rasûl wafat, mengapa ia tidak mengurus jenazah Rasûl, tetapi malah pergi ke Saqîfah? Atau, setelah sampai ke pertemuan orang Anshâr di Saqîfah, mengapa ‘Umar tidak mengajak mereka untuk kembali ke Masjid Nabî dan mengurusi pemakaman Rasûl dahulu?

Mengapa ‘Umar baru menjadi tenang setelah Abû Bakar datang, sedang (menurut penelitian ‘Abdul Fatah ‘Abdul Maqshud, dalam bukunya As-Saqîfah wal Khilâfah) perjalanan dari Sunh ke Masjid Nabî memakan waktu antara satu sampai dua jam, karena jalannya buruk dan berkerikil tajam bekas lahar gunung berapi? Sehingga, paling tidak, ‘Umar telah mengamuk selama dua jam, untuk menunggu Abû Bakar yang sedang disusul.

Maka banyak orang berpendapat bahwa ‘Umar memper­agakan keraguannya terhadap wafatnya Rasûl untuk menunggu Abû Bakar yang hendak diajaknya berunding. Orang juga mengatakan, bahwa sebagai seorang yang mempunyai naluri negarawan yang besar, ‘Umar juga menyadari bencana yang akan timbul, sekurang-kurangnya menurut pertimban­gannya, bila ‘Alî memegang kekuasaan pemerintahan. Karena tokoh dari Banû Hâsyim ini akan mendapat perlawanan dari Banû ‘Umayyah yang saling bersaing di antara sesamanya. Pendapat ‘Umar ini agaknya tidak semuanya benar.

Malah, barangka­li, karena dorongan rasa keadilan dan ‘ashabiyah pula tokoh Banû ‘Umayyah seperti Abû Sufyân malah menawarkan bantuan kepada ‘Alî untuk mengadakan perlawanan. Mungkin ‘Umar juga takut kekuasaan jatuh ke tangan orang Anshâr, karena akan timbul pula pertikaian antara Banû Khazraj dan Banû Aws. Dan ‘Umar mengatasinya dengan cara sendiri.



[1] Qûmû ‘annî, la yanbaghî ‘indî attanâzu’!

[2] ‘Uwaim bin Sâ’idah bin ‘A’isy bin Qays bin Nu’mân bin Zaid bin ‘Umayyah bin Mâlik bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mâlik bin ‘Aws dari klan ‘Aws dan al-Anshârî, ikut Baiat ‘Aqabah dan Perang Badr dan perang-perang sesudahnya. Meninggal tatkala ‘Umar jadi khalîfah. ‘Umar mengang­katnya sebagai saudara. ‘Umar berkata di atas kubur ‘Uwaim: “Tiada seorang pun penduduk bumi sanggup mengatakan bahwa ia lebih baik dari penghuni kubur ini.”

[3] Ma’n bin ‘Adî atau ‘Âshim bin ‘Adî bin Jadd bin ‘Ajlân bin Haristah bin Dhubai’ah bin Harâm al-Balawî bin ‘Ajlân, pemimpin klan ‘Ajlân. Ikut perang Uhud dan perang-perang sesudahnya, meninggal tahun 45 H.-665 M

[4] Henri Lammens, Le ‘triumvirat’ Abû Bakar, ‘Omar, et Abou ‘Obaida, Melanges de la Faculte Orientale de I’Universite St Yosef de Beyrouth, (1910),4, hlm. 113-144

[5] Bacalah H. Munawar Chalil, Kepala Negara dan Permusyawaratan Rakyat menurut Ajaran Islam, hlm. 23-24 dan 31

[6] Bahwa kedua orang tersebut bernama ‘Uwaim bin Sâ’idah dan Ma’n bin ‘Adî, bacalah tulisan Ibnu ‘Abdil Barr, al-Istî’âb fî Ma’rifatil Ashhab, jilid 3, hlm. 1248, dan jilid 4, hlm. 1441.

[7] Ibn Abîl-Hadîd, ibid, jilid 6, hlm. 19

[8] Thabarî, Târîkh al-Mulûk wal Umam, jilid 3, hlm. 198; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 1, hlm. 128; Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 5, hlm. 242, dan lain-lain.

[9] Al-Qur’ân, Âli ‘Imrân (III), 144

[10] Al-Qur’ân, 3:144.

[11] Al-Qur­’ân, s. az-Zumar (XXXIX), 30

[12] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 42-43

[13] Al-Qur’ân, al-Mâ’idah (V), 3

[14] Lihat, Shahîh Bukhârî, jilid 2, hlm. 213; Shahîh Muslim, jilid 1, hlm. 949.

[15] Lihat, Al-Qur’ân, al-Baqarah (II), 51 ; s. al-A’râf (VII), 142; s. al-Qashash (XXVIII), 33-35.

No comments:

Post a Comment